• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 12. Lokasi Wisata Pantai di Kabupaten Karawang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.2. Aspek Ekologi

5.1.2.2. Kualitas Terestrial

Variabel yang termasuk kualitas terestrial yaitu kemiringan lahan, penggunaan lahan (land use), bahaya, dan penutupan lahan (land cover).

Kemiringan lahan hanya dianalisis secara deskriptif, sedangkan ketiga variabel lainnya (penggunaan lahan, bahaya, dan penutupan lahan) dianalisis secara deskriptif dan spasial.

a. Kemiringan Lahan

Topografi di Desa Pasirjaya dan kawasan PTB relatif landai/datar dengan persentase kelerengan 0-2% (RDTR Tanjung Baru, 2003). Topografi yang datar memungkinkan berbagai aktivitas dan pembangunan sarana prasarana penunjang bagi kawasan PTB walaupun akan timbul kesan monoton pada tapak. Topografi yang cenderung landai diakibatkan adanya abrasi/penggerusan pantai oleh arus laut. Jika daratan pesisir masih menunjukkan ketinggian yang signifikan, dapat dikatakan bahwa daratan tersebut relatif tahan terhadap abrasi. Sebaliknya jika peta topografi mengindikasikan permukaan daratan yang mendekati datar, maka dapat disimpulkan bahwa daratan tersebut tidak tahan abrasi, karena terbukti abrasi telah berhasil mengikis daratan tersebut (DLHPE Kab.Karawang, 2008).

Abrasi yang melanda PTB telah menggerus garis pantai ± 100 meter (RDTR Tanjung Baru, 2003). Hal ini terkait dengan perubahan tata guna lahan dan kerusakan terumbu karang sebagai salah satu penahan/pereduksi kecepatan arus dan gelombang laut.  

Gambar 22. Peta Sejarah Luasan Mangrove di Pantai Tanjung Baru

46

Gambar 23. Peta Persebaran Sisa Mangrove di Pantai Tanjung Baru

b. Bahaya

Bahaya di PTB dianalisis dari aspek abrasi yang terjadi di area ini.

Berdasarkan wawancara dan laporan RDTR PTB tahun 2003 disebutkan bahwa PTB telah mangalami abrasi sejauh 100 meter dari garis pantai pada awalnya. Di bagian timur tapak abrasi lebih parah dibandingkan dengan di bagian barat tapak.

Hal ini dapat terlihat dari batas langsung tanah (sawah) dengan garis pantai.

Sedangkan di bagian barat tapak abrasi terjadi walaupun tidak separah di bagian timur. Indikasinya adalah permukaan daratan yang mendekati datar (topografi datar), maka dapat disimpulkan bahwa daratan tersebut tidak tahan abrasi, karena terbukti abrasi telah berhasil mengikis daratan tersebut (DLHPE Kabupaten Karawang, 2008). Gambar 24 menunjukkan salah satu contoh abrasi yang pernah terjadi di PTB. Terjadinya abrasi ini salah satunya disebabkan oleh hilangnya buffer pantai berupa vegetasi hutan mangrove. Peta analisis bahaya di PTB dapat dilihat pada Gambar 25.

Sumber: Laporan DLH Kab.Karawang, 2008

Keberadaan mangrove dan formasi pantai sebagai salah satu buffer alami pada kawasan pantai sangat penting. Oleh karena itu, program rehabilitasi yang diikuti oleh program konservasi yang berkelanjutan sangat diharapkan dapat dilaksanakan pada kawasan ini. Program ini juga sebagai tahap awal dan wajib dilaksanakan dalam pengembangan rencana wisata PTB berbasis ekologi.

Gambar 24. Abrasi Pantai

48

Gambar 25. Peta Analisis Bahaya Abrasi

c. Penggunaan Lahan (Land Use)

Penggunaan lahan di kawasan wisata PTB sebagian besar sebagai areal tambak warga dan sawah (Gambar 26a dan 26b). Lahan terbangun (Gambar 26c) berupa kawasan permukiman penduduk, mushola, kamar mandi/WC, dan panggung hiburan (permanen) serta warung makan/kios (semi permanen dan permanen). Total lahan terbangun yaitu 7,54 Ha (9,05%). Sisanya adalah area terbuka yaitu 75,76 Ha (90,95%) berupa tambak/empang, sawah, pasir, dan bekas area motor cross (Gambar 26d).

(a) (b)

(c) (d)

Keterangan:

(a) Tambak (c) Permukiman Penduduk (b) Sawah (d) Area Terbuka

Adanya perubahan penggunaan lahan dari area penyangga pantai berupa hutan mangrove menjadi warung makan/kios, tambak, dan sawah menjadi permasalahan di kawasan ini. Hal ini berimplikasi terhadap kondisi garis pantai terkena abrasi oleh terjangan gelombang laut. Oleh karena itu keberadaan area penyangga pantai berupa hutan mangrove sangat penting untuk direhabilitasi di

Gambar 26. Penggunaan Lahan di Pantai Tanjung Baru

kawasan ini. Selain sebagai area penyangga diharapkan keberadaan area tersebut dapat mendukung kegiatan wisata, mengundang kehadiran satwa (habitat satwa), dan fungsi ekonomi (misalnya sistem tambak yang ditanam dengan mangrove/silvofishery). Area sempadan pantai minimal 100 meter dari titik arus pasang tertinggi sesuai dengan Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kondisi eksisting di tapak menunjukkan area sempadan pantai telah beralih fungsi menjadi area warung/kios makanan. Hal ini bertentangan dengan kondisi ideal yang sebaiknya tercipta untuk melindungi wisatawan dan lingkungan sekitarnya dari bahaya. Relokasi warung makan/kios penting dilakukan karena letaknya yang tidak sesuai dan dapat menghalangi view wisatawan ke arah laut. Relokasi warung/kios dapat dilakukan ke zona pemanfaatan/budidaya yang letaknya di belakang area penyangga/sempadan pantai. Selain itu panggung hiburan dapat direlokasi atau dihilangkan (diganti) karena letaknya terlalu dekat dengan garis pantai. Analisis penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 27. Konversi lahan yang ada saat ini merupakan hasil konversi lahan yang harus diperbaiki ke arah yang lebih baik.

Tentu hal tersebut perlu didukung dengan perencanaan yang sesuai dengan kondisi ekologi pantai.

d. Penutupan Lahan (Land Cover)

Secara umum penutupan lahan di kawasan PTB terbagi menjadi 3 jenis yaitu penutupan lahan alami, penutupan lahan semi alami, dan penutupan lahan terbangun (Gambar 28). Penutupan lahan alami berupa pasir, tanah, badan air (sungai/kali), vegetasi (mangrove dan pes-caprae). Penutupan lahan semi alami berupa air tambak dan padi/air sawah. Sedangkan penutupan lahan terbangun berupa struktur bangunan.

Penutupan lahan yang dominan di tapak yaitu berupa penutupan lahan semi alami. Alih guna lahan dari penutupan lahan alami (mangrove) menjadi area olahan berupa sawah dan tambak dan juga menjadi penutupan lahan terbangun merupakan penyebab terjadinya hal tersebut. Hal tersebut tidak boleh terus berlanjut karena terkait dengan fungsi penutupan lahan alami yang merupakan green belt/sempadan pantai yang perannya sangat penting bagi keberlanjutan area PTB baik sebagai area wisata maupun lingkungan alami.

Gambar 27. Peta Analisis Penggunaan Lahan

52

Gambar 28. Peta Analisis Penutupan Lahan (Aspek Ekologi)

e. Kualitas Ekologi

Berdasarkan analisis spasial pada tiga variabel kualitas terestrial yaitu bahaya abrasi, penggunaan lahan (land use), dan penutupan lahan (land cover) akan didapatkan peta kualitas terestrial dan setelah di overlay dengan aspek kesejarahan (kualitas akuatik) akan didapatkan peta overlay kualitas ekologi. Peta overlay kualitas ekologi berisi empat kategori tingkat kualitas yang didasarkan pada hasil skoring pada ketiga variabel tersebut. Kualitas ekologi tersebut memiliki 4 klasifikasi yaitu kualitas ekologi baik, sedang, kurang, dan buruk.

Selang yang akan menunjukkan kualitas ekologi dapat dihitung sebagai berikut:

S 215 85

4 32,5

Keterangan selang:

85 ≤ x < 117,5 : Kualitas Ekologi Buruk 117,5 ≤ x < 150 : Kualitas Ekologi Kurang 150 ≤ x < 182,5 : Kualitas Ekologi Sedang 182,5 ≤ x ≤ 215 : Kualitas Ekologi Baik

Selang tersebut dijadikan dasar dalam penentuan kualitas aspek ekologi pada tapak yang dapat dilihat pada Gambar 29. Sedangkan Gambar 30 memperlihatkan overlay antara kategori kualitas terestrial dengan sejarah luasan mangrove (kualitas akuatik). Sejarah luasan mangrove didapatkan berdasarkan wawancara dengan penduduk lokal PTB.

Berdasarkan Gambar 30 terlihat bahwa area yang berada di dekat garis pantai memiliki kualitas ekologi yang buruk (warna merah). Hal ini dikarenakan adanya area terbangun yang berada di green belt pantai yang seharusnya dialokasikan untuk ditanami mangrove sebagai buffer yang akan melindungi pantai dari bahaya alam. Kualitas ekologi sedang (warna kuning) umumnya digunakan sebagai area tambak. Keberadaannya akan sedikit berpengaruh terhadap kualitas air pantai akibat limbah sisa makanan/pupuk yang dibuang ke pantai saat panen/pergantian air tambak. Tetapi area ini masih tergolong sebagai area terbuka sehingga dinilai kualitas ekologi masih sedang.

Adapun area berwarna jingga mengindikasikan area dengan kualitas ekologi yang kurang. Area ini adalah area pesawahan (salah satu bentuk area terbuka). Tetapi intensitas pencemaran terhadap air laut lebih tinggi dibandingkan tambak karena penggunaan pupuk dan pestisida lebih intensif pada lahan sawah.

Dengan demikian area tersebut termasuk kategori kualitas ekologi kurang. Area dengan warna hijau mengindikasikan area tersebut memiliki nilai kualitas ekologi baik (berupa area terbuka dan badan air/kali yang relatif masih alami).

Gambar 29. Peta Overlay Kualitas Terestrial

56

Gambar 30. Peta Overlay Kesesuaian Kualitas Ekologi

Dokumen terkait