• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN REKOMENDAS

Dalam dokumen (1250 Kali) (Halaman 86-92)

Kesimpulan

Penelitian ini telah menunjukkan bahwa kondisi perlindungan pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri masih merupakan salah satu tantangan kebijakan yang jauh dari optimal, baik dalam konteks ketenagakerjaan maupun perlindungan sosial. Penelitian ini juga ingin memperlihatkan bahwa Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, sebenarnya masih dalam tahap memulai dalam kebijakan perlindungan tenaga kerja migran. Temuan lapangan dalam konteks kebijakan sedikit-banyaknya membuktikan bahwa implementasi kebijakan perlindungan sosial yang diamanatkan payung hukum tertinggi ternyata belum dapat menjawab adanya ketidakjelasan pembagian wewenang susbstantif maupun teknis Pusat dan Daerah. Temuan lapangan penelitian ini juga menunjukkan sisi kelam kondisi kerentanan yang dialami pekerja migran, dengan gambaran yang berbanding terbalik dengan semangat upaya perlindungan Negara terhadap hak warga negara. Meskipun demikian, penelitian ini berusaha mengidentiikasi sejumlah persoalan dan tantangan yang dapat digaris-bawahi agar inisiatif perlindungan sosial yang dibangun di ranah domestik tidak saja dapat meningkatkan kondisi kesejahteraan pekerja migran, tetapi juga bisa mengalami perluasan ke perlindungan pada negara penerima sehingga hal ini dapat meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi pekerja migran dan keluarga mereka.

Berkenaan dengan kebijakan perlindungan sosial, persoalan utama adalah apakah Indonesia sudah memiliki sistem jaminan sosial yang dikembangkan. Jika hal ini terjadi, cakupan jaminan sosial dapat ditingkatkan dengan menyediakan akses yang lebih baik dari mulai domain Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pemberangkatan Pusat, dan juga melalui upaya dengan perjanjian internasional yang menjamin

portabilitas manfaat perlindungan tersebut. Ada juga beberapa ruang lingkup untuk negara pengirim untuk meningkatkan cakupan jaminan sosial bagi pekerja migran dan keluarga mereka. Berkenaan dengan perluasan perlindungan sosial, masalah utama adalah sejauh mana sarana dan kemauan politik untuk memberikan perlindungan sosial dasar bagi migran rentan dan tidak berdokumen. Sehubungan dengan perlindungan tenaga kerja, sangat penting bahwa ada kerjasama bilateral yang mengikat secara hukum internasional antara pengirim dan negara tuan rumah perihal bagaimana pekerja migran dapat dilindungi pada semua tahap perjalanan migrasi, yaitu pra-keberangkatan, transit, tinggal di luar negeri dan kembali (reintegrasi).

Persoalan kebijakan lainnya yang tetap menjadi rintangan utama untuk memberikan perlindungan sosial dasar bagi pekerja migran dan keluarga mereka adalah kurangnya implementasi ratiikasi internasional seperti UN Migrant Workers Convention dan ILO Recommendation on National Social Protection yang berupaya lebih jelas mendeinisikan status

perlindungan hukum buruh migran regular (berdokumen) dan irregular

(tidak berdokumen) dan keluarga mereka (van Ginneken, 2013). Hal ini tercermin pada misalnya belum paralelnya perjanjian kerjasama dengan negara tujuan yang dilakukan oleh Indonesia dengan ratiikasi terhadap regulasi transnasional yang telah dilakukan. Persoalannya adalah bahwa meskipun perlindungan sosial dasar, bahkan bagi migran gelap, memiliki prioritas implementasi, tetapi ketika perlindungan dimaksud telah disediakan, harus ada aturan yang jelas tentang bagaimana migran dan keluarga mereka dapat kembali ke tanah air. Sekali lagi harus ada ruang yang lebih luas untuk menjamin prosedur pengembalian ini dapat diaplikasikan dalam perjanjian migrasi bilateral dan multilateral.

Pada akhirnya, tantangan utama penanganan pekerja migran adalah bagaimana memberikan perlindungan sosial dan ketenagakerjaan dasar untuk pekerja (teratur dan tidak teratur) migran dan keluarga mereka, mengingat skema jaminan sosial formal di Indonesia belum mengikutsertakan pekerja migran secara sistemik. Cara yang paling efektif untuk meningkatkan perlindungan sosial adalah dengan memastikan hak asasi manusia dan hak

sosial tertentu. Warga migran, terlebih pekerja, sering kali tidak memiliki akses untuk upaya hukum melawan eksploitasi yang sering mereka alami (seperti kasus hampir semua pekerja migran Indonesia yang kami wawancara yang diadili di Malaysia, sama saja karena berdokumen atau tidak, yang tidak didampingi penasihat hukum di persidangan). Selain itu, penting juga untuk memastikan akses ke perawatan kesehatan dasar dan pendidikan dasar bagi anak-anak dari keluarga migran. Seperti disebutkan sebelumnya, ratiikasi Konvensi PBB untuk Pekerja Migran oleh negara- negara BRICS dan negara-negara maju secara signiikan akan meningkatkan status hukum para migran dan keluarga mereka. Selain itu, sangat penting untuk memberikan pekerja migran perlindungan sosial dan ketenagakerjaan selama semua tahap perjalanan migrasi, yaitu pra-keberangkatan, transit, tinggal di luar negeri dan kembali (reintegrasi). Dalam hal ini, langkah- langkah ini dapat diaplikasikan dalam konteks regional pada perjanjian bilateral dan multilateral dengan negara penerima, dan ini tentunya harus dapat diambil-alih oleh Pemerintah Pusat dan tidak mungkin diserahkan ke Pemerintah Daerah yang tidak memiliki jursidiksi maupun sumber daya yang relevan untuk itu.

Peran dan fungsi RPTC dalam perlindungan sosial bagi PMB: (1) Sebagai tempat penampungan setelah dibuang dari negara jiran. (2) Tempat rehabilitasi sementara bagi PMB yang mengalami gangguan kejiwaan dan PM yang melahirkan. (3) Sebagai rujukan bagi unit pelayanan sejenis dibawahnya (Rumah Singgah Dinsos Kota Tanjung Pinang).

Kondisi kerentanan PMB dalam proses migrasi terdiri dari: (1) Kerentanan administrasi (Status PM sebagai pelancong tanpa bekal uang). (2) Kerentanan isik (masalah kesehatan). (3) Kerentanan psikis (stres, depresi,trauma, masalah kejiwaan). (4) Kerentanan sosial (penipuan, hubungan dengan majikan, keluarga, hubungan dengan sesama PM, keterbatasan informasi, keterbatasan mengakses fasilitas publik,dll). (5) Kerentanan ekonomi (gaji ditahan, hutang pada calo atau pihak lain,tidak memiliki penghasilan/pekerjaan yang tetap atau jelas). Dan (6) Kerentanan spiritual (mudah dipengaruhi tentang aqidah, tidak segan melakukan apa yang dilarang agama demi mendapatkan ringgit).

Faktor pendorong PMB tetap ingin kembali bekerja ke luar negeri diantaranya karena: (1) Mudah mendapatkan pekerjaan, (2) Tidak harus memiliki keterampilan tertentu (3) Dekat dengan Indonesia. (4) Gaji lebih besar dibandingkan di Indonesia. (5) Bahasa mirip bahasa indonesia (6) Terbatasnya lapangan pekerjaan di daerah asal. (7) Sebagai pelarian dari masalah pribadi, serta (8) Mencoba peruntungan.

Rekomendasi

Perlu penataan dan penguatan kembali regulasi khusus untuk penanganan PMB, agar ada payung hukum yang jelas tentang peran masing-masing Kementerian dan Lembaga dalam perlindungan PMB. Dalam konteks kebijakan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tentu saja merupakan sumber hukum utama penanganan masalah perlindungan sosial-ekonomi-politik tenaga kerja migran Indonesia dan dampak sosial- budaya yang ia timbulkan. Pelbagai studi maupun termasuk penelitian ini telah menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang krusial dalam regulasi tersebut. Ini semakin memperlihatkan urgensi untuk merevisi Undang-Undang tersebut yang memang telah masuk dalam Prolegnas (Prioritas Legislasi Nasional) Tahun 2016. Pelajaran kelemahan yang terkandung dalam Undang-Undang Tahun 2004 harus dielaborasi dengan pengalaman kelemahan-kelemahan yang juga terkandung dalam sejumlah regulasi daerah (untuk menyebut sebagai contoh, seperti Peraturan Daerah di Kabupaten Lombok Timur) yang disusun sebagai penajaman terhadap Undang-Undang Tahun 2004. Termasuk temuan penelitian ini yang paling urgen dimasukkan dalam RUU Perlindungan Pekerja Migran nantinya adalah perlu penataan dan penguatan kembali regulasi khusus untuk menjelaskan peran dan batasan wewenang masing- masing Kementerian/Lembaga dan dualisme kepentingan desentralisasi antara Pusat-Daerah.

Penelitian ini juga merekomendasikan agar ada pemisahan yang jelas dan tegas antara domain penempatan, yang harus diterjemahkan dalam konteks penataan manajemen ketenagakerjaan, dan domain perlindungan, yang harus diterjemahkan dalam konteks perlindungan

sosial-politik-ekonomi warga negara Indonesia yang bermigrasi ke luar negeri (terlepas dari apakah warga tersebut terikat dalam perjanjian kerja ataupun tidak). Pemisahan penanganan ini akan lebih mudah untuk diwujudkan ketika keduanya dimasukkan ke dalam Undang-Undang dan turunan regulasi yang berbeda. Jadi idealnya, dua konteks ini, penempatan dan perlindungan harus direalisasikan dalam dua Undang- Undang yang berbeda.

Rekomendasi lainnya adalah untuk menyediakan akses yang lebih luas ke cakupan jaminan sosial bagi para pekerja migran Indonesia di luar negeri. Migran sering bekerja di sektor informal, dan oleh karena itu sulit bagi mereka untuk mengakses jaminan sosial. Namun, akses migran ke jaminan sosial pada dasarnya adalah soal legislasi dan praktek nasional. Dengan demikian perlu untuk meninjau undang-undang nasional untuk menilai sejauh mana migran dirugikan berkaitan dengan kelayakan mereka menerima hak perlindungan. Hal ini juga penting untuk menemukan cara dimana migran dan majikan mereka dapat termotivasi untuk terailiasi pada skema jaminan sosial yang tersedia, misalnya, melalui kampanye informasi publik tentang manfaat jaminan sosial dan melalui mekanisme kepatuhan khusus, seperti untuk pekerja migran musiman.

Rekomendasi selanjutnya adalah untuk memberikan perlindungan sosial bagi anggota keluarga yang tinggal di daerah asal mereka dan untuk melindungi hak-hak para pekerja migran yang mungkin sudah terakumulasi di sana. Sejumlah Negara tujuan migran telah menyiapkan skema kesejahteraan untuk tujuan itu. Skema ini biasanya menjadi bagian dari aturan dukungan yang lebih luas bagi para pekerja migran, termasuk dalam hal regulasi perekrutan tenaga kerja langsung dari luar negeri dan pengembangan mekanisme untuk memahami kebutuhan migran. Indonesia perlu memulai ini untuk mengompensasi beberapa negara pengirim lain yang bahkan telah menyiapkan skema pensiun untuk migran.

Rekomendasi lainnya adalah Indonesia perlu meningkatkan kemanfaatan skema jaminan sosial dalam kaitan dengan pekerjaannya,

seperti kompensasi, pesangon, pensiun dan dana deposit yang dikumpulkan dari PPTKIS. Meskipun sebagian besar dari manfaat ini secara hukum bersifat portabel (maksudnya tidak terikat dengan tempat, bisa dipindah-tangankan dengan mudah), ketentuan pembayaran lintas- batas Luar Negeri umumnya diimplementasikan dengan buruk, sehingga manfaat umum tidak pernah mencapai migran atau korban mereka di negara asal para migran. Implementasi yang tepat dari ketentuan tersebut, misalnya, melalui pengaturan administrasi yang lebih baik untuk pengajuan klaim dan penginisiatifan mekanisme banding, akan menjadi langkah penting menuju peningkatan cakupan jaminan sosial untuk pekerja migran.

Perlu peningkatan Kerjasama pemerintah pusat dan pemerintah daerah (misalnya mulai membuat SKB, SOP) tentang penanganan & pencegahan pekerja migran ilegal sehingga terbangun kembali komitmen bersama satgas penanganan PMB. Selain itu perlu juga diadakan koordinasi antar Kementerian/Lembaga dan SKPD dalam Sosialisasi & Pengawasan calon PM di kantong PMB melalui kerjasama dengan organisasi masyarakat seperti majelis taklim, MUSLIMAT NU, PKK, SMU, SMK dan lembaga sosial lainnya. Rekomendasi lainnya perlu meninjau ulang alur dan teknis pemulangan PMB ke daerah asal dan meninjau meninjau ulang konsep RPTC untuk memberikan perlindungan bagi PMB, sehingga mereka tetap terlindungi sejak dari pintu masuk pemulangan hingga sampai ke daerah asalnya. Idealnya setiap daerah memiliki RPTC yang difasilitasi oleh Pemerintah daerah atau Pemerintah Pusat. Perlu juga Peningkatan kapasitas sumber daya manusia RPTC.

Pemberdayaan PMB melalui peningkatan kegiatan UEP, kemudian membentuk KUBE eks PMB, yang kemudian dilakukan pendampingan. Tujuan ini semua untuk memudahkan eks PMB melakukan proses reintegrasi dengan keluarga dan masyarakat dilingkungan tempat tinggalnya. Sehingga dapat meminimalisir mereka untuk kembali bekerja ke luar negeri. Koordinasi antar program di Kemensos terkait dengan penanganan dan perlindungan PMB melalui program-program yang ada di Kementerian Sosial, seperti PKH, Kube.

Dalam dokumen (1250 Kali) (Halaman 86-92)

Dokumen terkait