• Tidak ada hasil yang ditemukan

NUSA TENGGARA BARAT

Dalam dokumen (1250 Kali) (Halaman 61-70)

BAB III HASIL PENELITIAN

NUSA TENGGARA BARAT

Gambaran Umum Pekerja Migran Provinsi Nusa Tenggara Barat Berikut adalah sejumlah data-data statistik dasar tahun 2015 menurut BNP2TKI yang menggaris-bawahi posisi penempatan, kedatangan dan kepulangan pekerja migran asal Nusa Tenggara Barat. Jumlah penempatan tenaga kerja Indonesia asal NTB sebesar 18,76% dari total tenaga kerja Indonesia yang berjumlah 212.579 per September 2015. Sedangkan bila dibandingkan berdasarkan sektor pekerjaan ada sejumlah 87% yang bekerja di sektor formal, dan 13% sector informal. Jika dilihat dari status perkawinan, tenaga kerja Indonesia NTB yang berstatus kawin ada sejumlah 64,31%. Berdasarkan pendidikan ada sebesar 59,81% yang berlatar belakang pendidikan Sekolah Dasar.

Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang menerima kepulangan TKI bermasalah dengan jumlah cukup besar, dengan dua lembaga RPTC di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan data BP3TKI Nusa Tenggara Barat, Penempatan kerja di luar Negeri tahun

2013 sebanyak 45.629 orang, tahun 2014 meningkat menjadi 46.187 orang dan tahun 2015 hingga bulan April 2015 sebanyak 9.974 orang, baik pekerja formal maupun non formal. Hal ini belum termasuk yang melalui jalur tidak resmi (ilegal) yang dikawatirkan jumlahnya cukup banyak. Bank Indonesia dan BPS mencatat remitansi dari pekerja migran dari provinsi NTB mencapai hampir 1,5 triliun pada tahun 2014. Tidak semua pekerja migran sukses bekerja di luar negeri, sebagian diantara mereka mengalami masalah karena berangkat melalui jalur ilegal, bahkan yang berangkat melalui jalur resmi juga dipulangkan karena terkait dengan pelanggaran dokumen.

Selain didasarkan pada Undang-Undang dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, penempatan dan perlindungan pekerja migran, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat juga telah memiliki Pergub dan Peraturan Bupati seperti (1) Pergub NTB Nomor 32 tahun 2008 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI Provinsi NTB; (2) Pergub NTB Nomor 36 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI yang Bekerja di Luar Negeri Provinsi NTB; (3) Nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Pergub nomor 36 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan TKI yang bekerja ke Luar Negeri, dan (4) Perda Kabupaten Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2006 tentang Penempatan, Perlindungan dan Pembinaan TKI asal Kabupaten Lombok Timur. Hingga saat ini provinsi NTB belum memiliki Perda tentang penanganan TKI, sehingga berpengaruh besarnya anggaran APBD

SKPD yang terkait dengan penempatan dan perlindungan sosial pekerja migran adalah adalah Dinas Sosial dan Dukcapil Provinsi NTB (Seksi Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran), dan Instansi Pemberdayaan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana, Dinas Sosial, Tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten Lombok Timur (Seksi Korban Tindak kekerasan dan Orang Terlantar). Penanganan dan kepulangan pekerja migran bermasalah ini dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Provinsi NTB. Tahun 2013 pekerja migran bermasalah yang dipulangkan ke wilayah ini berjumlah 2.447 orang, tahun 2014

berjumlah 3.130 orang dan hingga 22 Mei 2015 berjumlah 913 orang yang kesemuanya berasal dari Malaysia.

Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial bagi PMB

RPTC merupakan salah satu lembaga yang menangani pekerja migran bermasalah yang baru datang dari luar negeri. Di Provinsi NTB terdapat 2 RPTC yang terdapat di Kota Mataram dan kabupaten Lombok Timur, sedangkan RPTC Lombok Barat saat ini masih dalam persiapan pendiriannya. Kedua RPTC ini didirikan oleh Direktorat KTKPM (Direktorat Pemberdayaan Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran) Kementerian Sosial. Status gedung RPTC ini merupakan sewa/ kontrak, dan dikelola oleh Dinas Tenaga Kerja dan Dukcapil Provinsi NTB. Sumber dana kegiatan RPTC ini berasal dari Direktorat KTKPM Kementerian Sosial. RPTC ini telah memiliki SOP tentang perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Bermasalah, dan pendiriannya merupakan bentuk kepedulian Kementerian Sosial (Direktorat Pemberdayaan Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran) dalam penanganan pekeja Migran bermasalah. RPTC bukan hanya memberikan perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah, namun korban tindak kekerasan juga memperoleh perlindungan sosial.

Mengutip Petunjuk Pelaksanaan Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan (2013), Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) merupakan lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre)

maupun pusat pemulihan traumatik (traumatic centre). Dalam kapasitas sebagai crisis centre, RPTC berfungsi sebagai pusat penanggulangan masalah tindak kekerasan, yang terdiri dari: (1) layanan informasi dan advokasi; dan (2) layanan rumah perlindungan (shelter unit). Selanjutnya, dalam kapasitas sebagai pusat trauma (truma centre), RPTC berfungsi pula sebagai wahana pemulihan traumatik, yang terdiri dari: (1) layanan rehabilitasi psikososial dan spiritual; dan (2) layanan resosialisasi dan rujukan.

RPTC Lombok Timur mulai operasional bulan Agustus 2014, memiliki 3 asrama dengan daya tampung 12 orang, ruang kantor, ruang konseling, ruang makan dan dapur. Selama 8 bulan beroperasi, RPTC ini telah memberikan perlindungan sosial sebanyak 24 orang, 5 orang diantaranya adalah pekerja migran bermasalah dan sisanya Korban Tindak kekerasan/penelantaran. RPTC Lombok Timur memiliki petugas sebanyak 8 orang terdiri dari seorang koordinator yang merangkap sebagai Kepala Seksi Korban Tindak kekerasan dan Orang Terlantar Dinsosnakertrans Lombok Timur, 4 orang pekerja sosial, 2 orang Satpam dan seorang pramubhakti. Tingkat pendidikaan mereka cukup bervariasi yakni S2 (1 orang), S1 (2 orang), D3 (1 orang) dan SLTA (3 orang). RPTC kota Mataram juga merupakan rumah tinggal yang berstatus sewa, memiliki 10 orang tenaga, terdiri dari seorang koordinator, seorang sekretaris, 4 orang peksos, seorang perawat, seorang pramubhakti dan 3 orang Satpam. Status pegawai RPTC adalah kontrak, kecuali koordinator yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil pemerintah daerah setempat.

Klien RPTC berasal dari masyarakat dan lembaga formal seperti RSUD, PPT/kepolisian, Orsos dan UPT terutama kasus-kasus tindak kekerasan dan penelantaran. Sedangkan Pekerja Migran Bermasalah (PMB) yang ditampung di RPTC berasal dari RPTC Tanjung Pinang dan RPTC Bambu Apus Jakarta, mayoritas berasal dari Malaysia. Mereka yang ditampung di RPTC adalah perempuan yang sakit sebagai akibat penyiksaan isik dan kecelakaan kerja, dan trauma. Kegiatan ini diawali dengan penerimaan korban (intake proces), pendampingan sementara

(brief assistance) asesmen cepat (rapid Assessment). Pelayanan RPTC minimal 2 hari dan tidak lebih dari 10 hari sesuai dengan kasus yang dialaminya. Selain pelayanan makan dan pakaian, juga diberikan pelayanan kesehatan melalui kerjsama dengan puskesmas setempat. Sedangkan kegiatan keterampilan baru diberikan bila dalam satu periode tertentu jumlah PMB lebih satu orang.

Pekerja sosial merupakan unsur penting dalam proses pelayanan pelayanan di RPTC. Pekerja sosial berusaha membantu memulihkan

kondisi psikis dan sosial PMB, dan menghubungkan dengan keluarganya dalam upaya proses reintegrasi.

Mempertemukan dan mengembalikan PMB ke keluarga dan masyarakat merupakan salah kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial RPTC. Kegiatan ini diawali dengan kunjungan rumah ke keluarga PMB, atau keluarga PMB yang datang ke RPTC. Tujuan kegiatan ini adalah agar keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadiran PMB. Secara kualitatif menunjukkan bahwa PMB yang mengalami kegagalan bekerja di luar negeri, pada umumnya PMB diterima oleh keluarga dan masyarakat. Meskipun demikian mereka masih merasa malu dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Permasalahan yang dihadapi RPTC Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Timur provinsi NTB:

1. RPTC belum memiliki tempat yang tetap, saat ini masih berstatus sewa, dan bila tidak ada komitmen pemda, maka penanganan Korban Tindak kekerasan PMB melalui RPTC akan mengalami masalah. 2. Sarana dan prasarana untuk operasional RPTC sangat terbatas

bahkan tidak ada computer, camera, sarana telepon/fax, kendaraan roda 4 dan 2, serta ambulan. Sementara ini masih menggunakan fasilitas pribadi dan pinjaman dari Pemda

3. Peran dan fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten/kota belum diatur dalam RPTC.

4. Belum semua instansi daerah dan masyarakat mengenal dan memahami peran dan tugas RPTC karena minimnya kegiatan sosialisasi.

5. Anggaran operasional RPTC sangat terbatas, dan belum sepenuhnya didukung oleh APBD

6. RPTC tidak memiliki pekerja sosial yang berasal dari latar belakang pendidikan pekerjaan/kesejahteraan sosial, sementara pekerja sosial yang ada juga belum semua mengikuti pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.

7. RPTC belum memiliki tenaga psikolog, tenaga medis, tenaga bantuan hukum, pembimbing spiritual, pranata computer, instruktur

keterampilan, olah raga dan kesenian, perawat dan tenaga arsiparis sebagaimana diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan (2013).

Harapan pengelola RPTC

1. Melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan seperti computer,

kamera, sarana telpun/fax, kendaraan roda 4 dan 2, serta ambulan 2. Dukungan APBD terkait dengan operasional RPTC

3. Keterlibatan pemerintah daerah, LSM dan masyarakat lebih ditingkatkan dalam perlindungan sosial bagi PMB

4. Alokasi anggaran sesuai kebutuhan operasional RPTC

5. Peningkatan SDM RPTC melalui berbagai pelatihan sesuai kebutuhan 6. Sosialisasi tentang RPTC sehingga lebih dikenal dan dimanfaatkan

oleh masyarakat

7. Status pegawai RPTC diperhatikan masa depannya Kondisi Kerentanan PMB selama Migrasi

Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, keluarga asal)

1. Pra Penempatan

a. Calon Pekerja migran tidak mengetahui proses bekerja ke luar negeri dari instansi berwewenang, tetapi dari calo yang datang langsung menemui calon pekerja migran

b. PPTKIS belum berperan sebagaimana mestinya, pengurusan dokumen dilakukan via calo

c. Rendahnya tingkat pendidikan calon pekerja migran

d. Pemalsuan dokumen seperti nama, umur, pendidikan dan alamat calon pekerja migran

e. Meninggalkan hutang karena biaya pengurusan dokumen berasal dari pinjaman keluarga, kerabat dan tetangga

f. Tidak melalui PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan)

g. Berangkat via jalur tidak resmi dengan nenggunakan kapal laut yang kurang terjamin keselamatannya

h. Calon pekerja migran menggunakan visa pelancong, i. Tidak mengetahui dan menandatangai PK (Perjanjian Kerja) j. Tidak memiliki Asuransi

2. Penempatan

a. Penempatan bekerja tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh calo, Pekerja Migran terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya

b. Besarnya gaji yang diterima tidak sesuai yang dijanjikan, bahkan ada yang tidak dibayar

c. Dalam waktu 3 sampai 4 bulan gaji diambil atau dipotong oleh calo sebagai pengganti biaya pengurusan dokumen dan pemberangkatan

d. Paspor ditahan oleh calo atau majikan

e. Konlik dengan majikan sebagai akibat bekerja melebihi jam kerja, gaji tidak dibayar dan penyiksaan isik dan mental, sehingga terpaksa kabur tanpa membawa dokumen

f. Mengalami kecelakaan kerja yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan/majikan

g. Pemerkosaan pekerja migran perempuan oleh majikan

h. Mengalami nasib yang sama saat pindah kerja ke majikan/ perusahaan lain

i. Pihak KBRI/KJRI tidak memberikan perlindungan sosial, meskipun mereka juga sudah berusaha menghubungi via telpun namun tidak diangkat

j. Penangkapan oleh aparat keamanan Malaysia karena dianggap ilegal, semua uang dan barang berharga lainnya dirampas serta mengalami penyiksaan isik dan mental

k. Proses pengadilan pekerja migran tidak didampingi oleh pengacara dan petugas dari KBRI/KJRI. Pihak KBRI/KJRI baru bertindak apabila kasusnya menjadi berita besar di Indonesia. l. Pada kasus-kasus tertentu, berdasarkan putusan pengadilan

Malaysia, pekerja migran yang dianggap salah selain dihukum penjara, juga dihukum cambuk

m. Fasilitas kesehatan selama menjalani masa hukuman di penjara Malaysia tidak maksimal, semua jenis penyakit hanya diberikan “panadol”

n. Proses pemulangan pekerja migran setelah selesai menjalani hukuman di penjara Malaysia melalui sebuah tempat penampungan yang mereka sebut “Pekan nanas”, berisi ratusan orang yang bukan hanya pekerja migran Indonesia, tetapi juga berasal dari berbagai negara dengan fasiitas kamar mandi, MCK, dan tempat tidur terbatas selama 1 minggu. Selanjutnya PMB ini dibawa ke di penampungan Pasir Gudang sambil menunggu pemulangan dengan kapal ke Tanjung Pinang

3. Pasca Penempatan

a. Tidak membawa uang, bahkan hanya pakaian yang dipakai yang dibawa pulang

b. Penampungan sementara bagi pekerja migran laki-laki di Tanjung Pinang dianggap kurang memenuhi syarat seperti fasilitas kamar mandi, makan dan tidur yang tidak sebanding dengan jumlah pekerja migran serta fasilitas air yang kurang bersih. Sedangkan PMB perempuan di tampung di RPTC Tanjung Pinang yang fasilitasnya lebih baik

c. Pekerja migran dalam keadaan sakit, cacat isik, stres, hamil dan ada yang trauma saat tiba kembali di tanah air

d. Pemulangaan pekerja migran bermasalah menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang hingga Tanjung Priuk tanpa pendampingan petugas, dan selanjutnya dipulangkan via darat ke daerah masing-masing. Kondisi isik dan mental para PMB sudah sedemikian lelah, sehingga kadang terjadi pemukulan isik kepada sopir bus yang tidak mau mengantarnya hingga ke daerah asal.

e. Pemulangan PMB yang sakit berat merupakan masalah besar yang dihadapi RPTC Tanjung Pinang terkait dengan biaya pemulangan ke daerah asal yang cukup basar.

f. Dalam kasus-kasus tertentu terkait dengan kondisi isik dan mental, PMB ditampung di RPTC

g. Kondisi PMB yang sakit berat merupakan berban berat terkait dengan biaya pengobatannya. Kasus yang terjadi dan ditemui dalam penelitian ini adalah seorang isteri PMB yang mengalami sakit cukup berat dan dalam keadaan hamil akibat kecelakaan di Malaysia. Disamping pengobatannya tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan, proses pemulangannya cukup dramatis. Saat ini PMB ini tidak bisa bekerja karena harus menunggu isterinya sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sementara pengurusan BPJS juga tidak mudah karena harus melengkapi KTP yang sudah lama mati h. Bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, merupakan

beban berat bagi PMB laki-laki karena harus memenuhi kebutuhan bagi keluarganya.

i. Pada umumnya PMB belum sepenuhnya bisa mendapatkan pekerjaan pasca kembali ke daaerahnya, karena tidak ada lapangan pekerjaan di daerahnya. Mereka lebih banyak bekerja sebagai buruh tidak tetap.

j. Terbatasnya lapangan kerja di daerah asal, sebagian PMB masih ada yang ingin tetap kembali bekerja di luar negeri. Malaysia masih merupakan pilihan sebagian warga untuk mendulang emas.

BAB IV

Dalam dokumen (1250 Kali) (Halaman 61-70)

Dokumen terkait