• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU Gambaran umum RPTC Tanjung Pinang

Dalam dokumen (1250 Kali) (Halaman 34-42)

BAB III HASIL PENELITIAN

TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU Gambaran umum RPTC Tanjung Pinang

Kota Tanjung Pinang terletak di Kepulauan Riau dipilih menjadi salah satu lokasi penelitian karena di kota ini terdapat salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), dimana sebelumnya juga telah berdiri RPTC di DKI Jakarta milik Kementerian Sosial dibawah Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTKPM). RPTC didirikan di Tanjung Pinang karena Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu masuk (Gate way Indonesia), dimana (1) Daerah Kepulauan Riau merupakan daerah perbatasan dengan luar negeri khususnya Singapura, Malaysia dan Vietnam. (2) Perairan Kepulaun Riau (selat malaka) merupakan alur lalu lintas perdagangan dunia yang sangat ramai di lalui oleh kapal - kapal domestik dan asing. (3) Berdasarkan kedua hal tersebut mendorong banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ke Malaysia dan Singapura melalui Perairan Kepulauan Riau. (4) Diantara mereka ada yang keluar Negeri tanpa menggunakan dokumen resmi, sehingga bermasalah dan akhirnya ditangkap oleh Polisi Diraja/Custome Malaysia/Singapura selanjutnya dideportasi melalui Johor Baru Malaysia ke Kepulauan Riau.

Selain itu karena alasan konektivitas, dimana (1) Daerah kepulauan Riau merupakan daerah perbatasan dengan luar negeri khususnya Singapura, Malaysia, Vietnam dan Philipina. (2) Demikian juga merupakan jalan lalu lintas antara negara tetangga ke kepulauan Riau dapat di akses dengan mudah melalui jalan laut. (3) Berdasarkan kedua hal tersebut berdampak kepada banyaknya Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah (PMB) yang dideportasi melalui wilayah Kepulauan Riau.

RPTC Tanjung Pinang dibangun di lahan seluar 3 hektar yang merupakan hibah Pemerintah provinsi Kepulauan Riau. Keterlibatan Kementerian Sosial dalam penanganan PMB adalah sebagai bentuk perlindungan sosial dari pemerintah. RPTC bertujuan untuk menampung PMB yang dipulangkan paksa dari negara tempatnya bekerja. Para PMB tersebut akan dibina sebelumnya, dan akhirnya dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Dalam kontek pendirian RPTC ini, perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah adalah untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan, serta kerentanan sosial PMB yang menjadi korban di negara tempat mereka bekerja.

RPTC Tanjung Pinang dipimpin oleh koordinator yang merupakan pejabat eselon 4 di Dinas Sosial Propinsi Kepulauan Riau. Adapun Kebijakan yang dimiliki oleh Dinas Sosial Prov Kepri terkait PMB adalah

MoU antar SKPD. Instansi yang terlibat meliputi Dinas Perhubungan, PT Pelni, Dinas Kesehatan terutama untuk kasus ringan. Dinas Sosial tidak sama sekali melibatkan LSM, karena LSM disini selalu melihat keburukan dan kelemahan dari kinerja pemerintah. Tahun 2012 Dinas Sosial Kepri yang mendapatkan kewenangan dalam perlindungan bagi PMB melalui RPTC. Melalui APBD Dinsos mengganggarkan untuk UEP bagi PMB yang berasal dari Kepri, sementara untuk PMB yang berasal dari luar Kepri seluruhnya ditanggung oleh Kemensos.

Latar belakang pendidikan sumber daya manusia di RPTC Tanjung Pinang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1. SMA 9 orang

2. D3 2 orang

3. S1 / Sarjana 6 orang

Sedangkan tabel dibawah ini menggambarkan kondisi SDM RPTC Tanjung Pinang berdasarkan jabatan yang menjadi tanggungjawabnya.

Tabel 3. SDM dilihat dari Jabatannya

No Personil/Profesi

1. Koordinator 1 orang

2. Pekerja sosial 3 orang

3. Dokter 1 orang

4. Psikolog 1 orang

5. Bidan 1 orang

6. Perawat 1 orang

7. Ahli hukum 1 orang

8. Ahli agama 1 orang

9. Pramusosial 4 orang

10. sekuriti 4 orang

Jumlah 18 orang

Sumber: RPTC Tanjung Pinang, 2015.

Alur Penanganan Pekerja Migran Bermasalah

Alur penanganan PMB saat kedatangan dari Malaysia melalui pintu masuk Tanjung Pinang dapat ditelusuri sebagai berikut:

1. Sebelum kedatangan (perjalanan Malaysia - Tanjungpinang), petugasnya adalah Pendamping dari pihak ke 3 utusan dari Konsulat Jendral Malaysia.

2. Saat kedatangan, petugasnya adalah Pendamping PMB yang merupakan satuan tugas (satgas) yang melakukan penjemputan di pelabuhan dan pendampingan sampai ke RPTC. Adapun satgas PMB meliputi Imigrasi, KP3, Dishub, KKP, Dinsos Kota (satgas lapangan) dan Polres. Selanjutnya PMB dibawa ke RPTC.

3. Penanganan di RPTC, petugasnya adalah perangkat RPTC yang melakukan:Pendataan PMB dengan menggunakan Finger Scan,

Pelayanan Kebutuhan PMB, Intervensi Psikososial, Pelayanan Kesehatan, dan Pelayanan Keamanan.

4. PMB menunggu kapal yang akan membawa ke Tanjung Priuk di RPTC Tanjung Pinang.

5. Dalam perjalanan ke Tanjung Priuk, PMB didampingi oleh pendamping dari RPTC dan atau satgas lain. Sesampainya di Tanjung Priuk, PMB diserahkan pada satgas.

6. PMB kemudian dipulangkan ke daerahnya masing-masing dengan menggunakan kapal laut, bis atau dijemput keluarganya atau dibawa ke RPTC Bambu Apus.

Kondisi pekerja migran pada saat dipulangkan diantaranya dalam keadaan sakit (trauma/psychotik ; aid/HIV; cacat/lumpuh; struk ; hamil dll). Pada saat mereka sampai maka tahapan yang dilakukan adalah: 1. Proses penerimaan kedatangan PMB dengan melakukan Pendekatan

awal yang meliputi tahap pengarahan dan pemberian informasi 2. Proses identiikasi klien mencangkup pendataan, analisis, dan

mengungkap permasalahan yang dihadapi klien 3. Bimbingan dan pendampingan klien

4. Penyuluhan kesehatan

Saat tahap pemulangan atau keberangkatan ke Tanjung Priuk, petugas yang bertanggungjawab terdiri dari:

1. Pendamping PMB yang tugasnya mengantar PMB sampai ke Pelabuhan dan juga mendampingi ke Tanjung Priok

2. Sedangkan Satgas PMB Tanjung. Pinang mengantarkan PMB sampai pelabuhan, mempersiapkan prasyarat keberangkatan dengan PELNI.

Setibanya di Tanjung Priok Jakarta, serah terima PMB dilakukan oleh pendamping kepada satgas Tanjung Priuk.

Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB Kebijakan pemerintah mendirikan RPTC di provinsi Kepulauan Riau adalah sebagai lembaga penampungan bagi PMB, yang juga berfungsi sebagai “pintu masuk” PMB kembali ke kampung halaman.

Proses pemulangan PMB yang selama ini dilaksanakan melalui RPTC Tanjung Pinang, dibawah pembinaan Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau, pada prakteknya telah bekerja sama dengan SKPD lainnya, seperti Dinas Perhubungan Provinsi Kepulauan Riau, Kantor Imigrasi Kepulauan Riau maupun dari Pemerintah Daerah Kepulauan Riau itu sendiri. Pada kenyataannya masing-masing sektoral belum cukup kuat komitmennya dalam proses pemulangan PMB. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan dibawah ini:

“……Perlu ada kerjasama dinas sosial, perhubungan, imigrasi,, kerja dilapangan.. jangan hanya lengkap saat di rapat,, karena selama ini dilapangan tidak professional. Bagaimana bersama dalam satgas saat dilapangan, bertugas untuk pencegahan. Sepanjang tidak ada kerjasama maka selalu ada PMB

Tidak pernah ada sumbernya,, kita hanya dapat menyelesaikan kasus.

Percuma uang bertrilyun trilyun dikeluarkan tidak menyelesaikan masalah….”

(sumber: BNP2TKI, hasil FGD)

UU no. 39/2004 selalu didengung-dengungkan tetapi pihak imigrasi tidak disentuh (contoh: cukup hanya melihat seseorang punya pasport dan tidak expired/ada ijin pelancong). DPRD tidak mau menganggarkan dalam penanganan PMB. Selain itu ada lempar tanggungjawab dari konjen Indonesia di Malaysia saat pemulangan PMB ke Tanjung Pinang. Tanpa memilah kasus PMB, sebagian besar dipulangkan kepada Kementerian Sosial melalui RPTC. Komitmen dengan negara tetangga (Malaysia) terkait PM Indonesia yang mencari kerja belum dibuat. Karena menurut Malaysia, orang Indonesia yang datang sendiri mencari kerja bukan diminta datang.

Mekanisme penanganan PMB, dimulai dari kedatangan dari pelabuhan, kemudian diterima oleh Satgas, dan dilakukan pendataan,

melalui KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan), dilakukan identiikasi kesehatan PMB, setelah itu dilakukan serah terima ke pendamping TKI dan apabila para PMB ini telah bergerak sejauh 400 meter dari KKP, maka secara birokrasi sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Di kepulauan Riau, Satuan Tugas belum mempunyai komitmen yang tegas untuk sama-sama menangani PMB yang masuk ke wilayah Kepulauan Riau . Contohnya saat penanganan PMB yang sakit dimana masing-masing pihak saling lempar tanggungjawab. Belum dipahami kesepakatan antar SKPD dalam menangani PMB yang masuk ke wilayah kepulauan riau, sehingga ada kesan ego sektoral. Dalam hal ini sangat jelas bila sistem penanganan PMB belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Selain itu Selalu ada selisih data antara kedatangan dan pemulangan PMB. Tidak ada data yang menjamin PMB benar-benar kembali kedaerah asalnya ataukah mereka kembali lagi menjadi pekerja migrant.

Bagi PMB yang menderita sakit saat dipulangkan juga tidak ada laporan bagaimana kondisi kesehatannya setelah sampai didaerah asalnya. Pemda setempat tidak memberikan laporan resmi pada daerah pengirim PMB, dengan kata lain rujukan terputus. Begitu pula berdasarkan Standar operasional prosedur (SOP) pemulangan PMB dari Tanjung Pinang cukup rumit. Dimana PMB yang akan pulang ke Medan (Belawan) dan sekitarnya dari Tanjung Pinang harus melalui Tanjung Priuk dahulu baru kembali ke Medan dan sekitarnya.

Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB Hasil penelitian menemukan RPTC Tanjung Pinang belum maksimal menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, dimana dalam petunjuk pelaksanaan RPTC dinyatakan sebagai lembaga kesejahteraan sosial yang memberikan layanan terpadu baik sebagai pusat krisis, maupun pusat pemulihan traumatik. Pada kenyataannya RPTC Tanjung Pinang hanya sebagai tempat transit para PMB menunggu kapal yang akan pulang ke daerah asalnya. Selain itu RPTC Tanjung Pinang hanya melayani PMB perempuan. Dibawah ini adalah tabel data pemulangan PMB

sebagai awal perjalanan pemulangan PMB dari pintu masuk Tanjung Pinang menuju Tanjung Priuk dan selanjutnya menyebar ke daerah dipulau Jawa dan sekitarnya sampai ke NTB dan NTT. Berdasarkan data yang ada, jumlah PMB yang dipulangkan dari Malaysia periode Januari sampai dengan Mei cukup besar, bahkan selalu ada bayi dan anak-anak didalamnya. Kondisi ini tentunya sangat memperihatinkan. Untuk lebih jelas data kepulangan PMB dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 4. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang Periode Januari - Mei 2015

Bulan Laki-laki Perempuan Anak Bayi jumlah

Januari 1135 399 17 10 2261

Februari 813 283 7 9 1112

Maret 1457 658 18 15 2148

April 1742 650 21 24 2418

Mei 807 359 11 15 1192

Sumber: RPTC Tanjung Pinang Kepulauan Riau

Seperti yang telah dikemukakan diatas, RPTC di Tanjung Pinang kepulauan Riau merupakan tempat transit bagi PMB perempuan sambil menunggu kapal laut ke Tanjung Priuk. Sedangkan PMB laki-laki ditempatkan di rumah penampungan milik swasta (pihak ketiga) yang jauh dari layak. Belum ada regulasi khusus

“….Kalo di RPTC dan transito harus dari pusat, tidak ada regulasi sebagai orang terlantar, diperbantukan dari APBD, tetapi untuk TKI yang bertanggung jawab adalah pemerintah pusat.

Saat kedatangan PMB siapa yang akan mengurus untuk kesehteraan.. karena tidak ada BPJS dan unregister. Seharusnya kewajiban Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar.. Untuk itu Perlu payung hukum antara kem kes dan Kemsos, untuk penanganan kesehatan PMB …..”

Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal. Peran dan fungsi RPTC Tanjung Pinang adalah sebagai rumah perlindungan trauma dan juga sebagai penampungan TKI. Dalam prakteknya RPTC Tanjung Pinang hanya menampung pekerja migran bermasalah perempuan. Sedangkan PMB laki-laki ditampung di rumah yang disebut transito milik pihak ketiga. Petugas RPTC tidak ada yang datang memberikan pelayanan pada PMB di transito.

RPTC Tanjung Pinang dalam kenyataannya tidak maksimal melakukan kegiatan mempersiapkan para PMB saat mereka sampai di kampungnya nanti. Jumlah PMB yang cukup besar setiap kedatangan menjadi salah satu kendala. Sekali lagi RPTC hanya tempat transit. RPTC Tanjung Pinang hanya memberikan pelayanan kesehatan, bimbingan rohani. Bila jadwal kapal yang akan mengangkat para PMB belum ada atau masih lama, maka para PMB diberikan kegiatan pengisian waktu luang, seperti membuat kerajinan tangan menyulam dan lain-lain. Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal).

Kondisi PMB selama proses migrasi cukup rentan. Pemulangan pekerja migran bermasalah menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang hingga Tanjung Priuk tanpa pendampingan petugas, dan selanjutnya dipulangkan melalui darat ke daerah masing-masing. Kondisi isik dan mental para PMB sudah sedemikian lelah, sehingga kadang terjadi pemukulan isik kepada sopir bus yang tidak mau mengantarnya hingga ke daerah asal. Pemulangan PMB yang sakit berat merupakan masalah besar yang dihadapi RPTC Tanjung Pinang terkait dengan biaya pemulangan ke daerah asal yang cukup besar selain itu apabila PMB mengalami masalah kesehatan sangat sulit untuk segera mendapat layanan kesehatan. PMB tidak mempunyai kartu identitas (KTP) sehingga tidak bisa mengakses layanan BPJS saat sakit dan perlu penanganan di RS. Dalam hal ini PMB dianalogikan sebagai penduduk unregister.

Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri

Hasil wawancara dengan sampel informan menunjukkan mereka ada yang masih ingin tetap akan kembali ke Malaysia, meskipun mereka sudah tahu resiko yang akan dihadapinya. Bagi mereka pengalaman buruk yang menimpa mereka selama mencari kerja di negara orang adalah resiko yang harus mereka terima. Walau bagaimanapun kembali bekerja menjadi pekerja migran lebih membantu kelangsungan hidup mereka dan keluarganya dari pada tetap tinggal di daerah asalnya yang menurut mereka sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu karena banyak jalan untuk bisa sampai ke Negara jiran. Seandainya tidak melalui jalur resmi, mereka masih bisa sampai dengan melalui “jalan tikus” walaupun mereka tahu cara ini melanggar hukum.

Dalam dokumen (1250 Kali) (Halaman 34-42)

Dokumen terkait