• Tidak ada hasil yang ditemukan

(1250 Kali)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "(1250 Kali)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Sosial

Pekerja Migran Bermasalah Melalui

Rumah Perlindungan Trauma Center

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial

(2)

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau seluruhnya tanpa izin dari penerbit Pembimbing:

1. Direktur KTKPM

2. DR.Ir. Lala M Kolopaking, MS.

Editor:

DR.Ir. Lala M Kolopaking, MS.

Penulis:

Dra. Husmiati,M.Soc.Sc.,PhD. Drs. Nurdin Widodo, MSi Dra. Alit Kurniasari, MP Ivo Noviana, S.Sos., MSi. M. Belanawane Sulubere, S.Sos.

Tata letak & Desain Sampul: Tim Inovasi

Cet. I. Jakarta 2015 vi + 92 hal; 14,8 x 21cm. ISBN 978-602-363-012-7

Diterbitkan oleh: P3KS Press

(3)

KATA PENGANTAR

Bekerja di luar negri kini memang menjadi pilihan sebagian masyarakat Indonesia. Banyak diantara mereka yang tidak mempunyai keterampilan khusus masuk negara lain melalui jalur tidak resmi. Mereka tidak memikirkan resiko yang dihadapi sampai akhirnya menjadi pekerja migran bermasalah. Kecenderungan jumlah pekerja pekerja migran bermasalah dan yang harus dipulangkan ke tempat asalnya semakin bertambah setiap tahunnya. Jumlah yang semakin meningkat ini tentunya menjadi beban pemerintah. Masalah anggaran dan tenaga (SDM) untuk mengurus kepulauan PMB menjadi hambatan yang cukup besar bagi pemerintah khususnya bagi Kementerian Sosial. Sedangkan bagi pekerja migran itu sendiri membawa masalah sosial, psikologis dan ekonomi yang dibawa ke kampung halamannya.

Sementara ini, Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, telah menyediakan Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC). RPTC merupakan penampungan sementara bagi pekerja migran bermasalah dan korban tindak kekerasan sebelum mereka dikembalikan ke daerah asalnya.

Penelitian tentang Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center 2015 yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial ini dimaksudkan untuk mengetahui implementasi kebijakan penanganan pekerja migran bermasalah, peran dan fungsi Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) dalam melakukan perlindungan sosial dan kondisi kerentanan yang dialami mereka, serta faktor pendorong mereka yang ingin kembali bekerja di luar negeri.

(4)

Meskipun buku ini hanya menggambarkan provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat, namun informasinya cukup menarik untuk didiskusikan. Diharapkan dapat dijadikan acuan bagi unit-unit terkait di lingkungan Kementerian Sosial, dan Kementerian terkait serta pemerintah daerah dan LSM yang bergerak dalam perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah.

Kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para peneliti, yang dengan keseriusannya mampu menyajikan informasi terkait perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah melalui Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC). Tidak lupa ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi hingga terbitnya buku ini.

Jakarta, Desember 2015

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial

Kepala,

(5)

PENGANTAR

Perkembangan tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam tiga periode terakhir menunjukkan, bahwa mereka yang bekerja itu cenderung menjadi buruh migran di sektor informal. Diperkirakan sampai tahun 2014 jumlah mereka mendekati 6.3 juta orang yang tersebar di 28 negara tujuan bekerja di tiga benua dunia, Asia pasiik (61.78%), Timur Tengah dan Afrika (37.08%), Eropa dan Amerika (1.14%). Mereka ini dicatat berasal dari hampir seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, seperti Jawa-Madura-Bali, NTB dan NTT, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, kawasan-kawasan perbatasan yang semula hanya menjadi tempat singgah atau transit mereka yang akan bekerja ke luar negeri, kini telah berkembang menjadi daerah pengirim tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri.

Proses tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri dicatat telah memberikan manfaat. Bank Indonesia menyebutkan jumlah aliran uang sebagai remitansi dari mereka yang bekerja di luar negeri pada periode tahun 2010 hingga tahun 2015 rata-rata per tahun mencapai 7,217 juta USD. Tidak saja manfaat ekonomi, di beberapa negara seperti Hongkong, Taiwan dan Singapura, proses tersebut dapat menjadi sumber gejala diaspora budaya. Diperkirakan selama ada permintaan atas tenaga kerja dari Indonesia dari negara-negara tujuan bekerja maka proses ini akan terus berlangsung.

(6)

sebagai akibat tidak dilindungi dalam norma hukum nasional maupun internasional. Meskipun, sebagian dari mereka yang punya masalah seharusnya dilindungi agar dapat bekerja dan hidup yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri. Hingga saat ini tenaga kerja dari Indonesia yang bekerja ke luar negeri khususnya mereka yang menjadi buruh migran perempuan paling rentan menghadapi masalah. Mereka yang terkena masalah itu kemudian menjadi tanggungan negara. Ketidaksiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi pemulangan tenaga kerja dari luar negeri sering menimbulkan dampak terhadap hak asasi manusia para tenaga kerja yang dipulangkan.

Buku berjudul “Perlindungan Sosial Pekerja Migran Bermasalah Melalui Rumah Perlindungan Trauma Center” ini, adalah hasil penelitian yang ingin mencoba membahas kondisi tenga kerja dari Indonesia yang mengadu nasib bekerja ke luar negeri dan menghadapi masalah, sehingga dipulangkan dengan paksa oleh negara tujuan bekerja, khususnya Malaysia. Tenaga kerja bermasalah tersebut dinyatakan dalam buku ini sebagai pekerja migran bermasalah (PMB). Pemulangan PMB ini tentunya menjadi kewajiban pemerintah untuk menerimanya. Salah satunya adalah Kementerian Sosial yang menyediakan Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) sebagai upaya melakukan perlindungan sosial bagi para PMB.

(7)

Penelitian ini menekankan, bahwa pemerintah perlu memiliki rencana antisipatif atas pemulangan PMB. Bahkan, rencana jangka pendek perlu disiapkan dengan langkah yang terstruktur untuk dapat dilakukan. Antisipasi yang baik dari pemerintah pusat juga perlu disinergikan dengan kegiatan dari pemerintah daerah dan desa dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara sebagai tenaga kerja yang bekerja diluar negeri dan dideportasi. Selain itu, perlu langkah nyata melakukan upaya pencegahan agar mereka yang pulang dan bekerja kembali ke luar negeri tidak terjerumus lagi dalam masalah yang sama.

Salah satu bunyi NAWACITA yang dicanangkan oleh Pemerintah Jokowi-Jusuf Kala 2014-2019 adalah “menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya…”. Hal ini menegaskan pentingnya kehadiran pemerintah dalam memberikan hak perlindungan pada warganya serta menghilangkan eksploitatif yang kerap ditemui dalam akiran tenaga kerja dari Indonesia ke luar negeri hingga saat ini.

Negara harus hadir tersebut adalah gagasan yang perlu diwujudkan dalam langkah konkret dengan melibatkan mereka yang akan, sedang atau sudah kembali dari bekerja di luar negeri secara aktif. Permasalahan yang mengancam mereka yang akan bekerja keluar negeri perlu dicegah dan ditangani dengan baik. Oleh karena, tidak ada satu bangsa pun yang berhak melecehkan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, rangkaian lima bab dari buku ini yang dirangkai secara terintegrasi diharapkan dapat memberikan wawasan dan menemukan iktibar untuk lebih baik lagi dalam melayani pekerja-pekerja migran bermasalah, khususnya dari mereka yang dilayani di RPTC.

Jakarta, Desember 2015

DR. IR. Lala M Kolopaking, MS

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

PENGANTAR EDITOR ii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

BAB I: PENDAHULUAN 1

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 7

Migrasi 7

Pekerjan Migran 10

Pekerja Migran Bermasalah 13

Kebijakan Pemerintah bagi Pekerja Migran 15

Perlindungan Sosial 17

Rumah Perlindungan Trauma Center 19

Kerangka Konseptual 20

BAB III: HASIL PENELITIAN 22

TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU 22

- Gambaran umum RPTC Tanjung Pinang 22

- Alur Penanganan Pekerja Migran Bermasalah 24

- Implementasi kebijakan dan program perlindungan

- sosial bagi PMB 25

- Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan

sosial bagi PMB 27

- Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi

PMB didaerah asal. 29

- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama

proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal). 29

- Faktor pendorong internal dan eksternal yang

(9)

DKI JAKARTA 30

- Gambaran Umum RPTC Bambu Apus, Jakarta 30

- Sumberdaya 32

- Implementasi kebijakan dan program perlindungan

sosial bagi PMB di DKI Jakarta 33

- Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial dan Proses

Reintegrasi di Daerah 35

- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama

proses migrasi (transit, destinasi, keluarga asal) 37

- Faktor pendorong yang menyebabkan PMB ingin

tetap bekerja di luar negeri 40

JAWA TIMUR 40

- Implementasi kebijakan dan program perlindungan

sosial bagi PMB 41

- Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial dan pada saat proses

reintegrasi eks PMB didaerah asalnya. 45

- Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama

proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal) 46

- Faktor pendorong internal dan eksternal yang

menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri. 47

NUSA TENGGARA BARAT 49

- Gambaran Umum Pekerja Migran Provinsi

Nusa Tenggara Barat 49

- Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial bagi PMB 51

- Kondisi Kerentanan PMB selama Migrasi 54

BAB IV: PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 58

Implementasi kebijakan dan program perlindungan

sosial bagi PMB 58

Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan

sosial bagi PMB 60

Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi

(10)

Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama

proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal). 65

Faktor pendorong internal dan eksternal yang

menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri. 70

BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 74

Kesimpulan 74

Rekomendasi 77

DAFTAR PUSTAKA 80

BIODATA PENULIS 85

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Teori Migrasi 8

Tabel 2. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan 23

Tabel 3. SDM dilihat dari Jabatannya 24

Tabel 4. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang

Periode Januari - Mei 2015 28

Tabel 5. SDM dilihat dari Jabatannya 32

Tabel 6. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan 33

Tabel 7. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk hingga saat ini sangat fantastik dari tahun ketahunnya. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 252 juta orang. Kondisi ini tentunya akan memberi berbagai dampak positif maupun negatif di berbagai sektor. Apabila dilihat dari keberadaan angkatan kerja yang ada saat ini, jumlahnya cukup tinggi dan tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. Badan Pusat statistik mengeluarkan data pada tahun 2011 dimana jumlah angkatan kerja mencapai angka lebih dari 22 juta orang. Setiap tahunnya angka ini terus mengalami peningkatan, tanpa kecuali di tahun 2015 ini. Jumlah angkatan kerja yang tinggi ini tidak diimbangi dengan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri, sehingga menyebabkan banyak yang melakukan migrasi ke kota-kota besar di Indonesia dan juga migrasi keluar negeri terutama ke negeri jiran Malaysia, Korea, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Negara-negara di Timur Tengah.

Bekerja di luar negeri kini menjadi pilihan banyak orang, termasuk warga Indonesia. Mayoritas tenaga kerja di Indonesia baru mampu mengisi segmen pasar tenaga kerja rendah dan mayoritas di sektor informal, seperti asisten rumah tangga (ART), buruh bangunan dan buruh perkebunan (Sutaat dkk, 2008). Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang tidak mempunyai ketrampilan khusus meski harus dilakukan dengan cara illegal. Mereka tidak memikirkan resiko yang akan dihadapi sampai akhirnya mereka menjadi pekerja migran bermasalah dan yang menjadi pekerjaan tambahan pemerintah untuk memulangkan mereka.

(14)

dilakukan oleh pekerja migran merupakan sumber devisa kedua terbesar bagi Indonesia setelah devisa dari sektor migas. Kondisi ini membuat tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin tinggi. Namun dibalik itu semua, mereka menjadi tanggungan Negara terutama pada pekerja migran bermasalah. Mereka tidak hanya merepotkan Negara dengan berbagai masalah khas pekerja migran seperti dipulangkan secara paksa dari Negara tempat mereka bekerja, dokumen yang tidak lengkap,

overstay, dan masalah-masalah lainnya.

Bagi pekerja migran domestik hingga kini permasalahannya rata-rata didominasi sebagai korban penipuan dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, seperti gaji dibawah upah minimum, korban

traficking, penyiksaan dari majikan dan lain-lain. Permasalahan pekerja migran ke luar negeri, ditemukan berasal dari pemalsuan dokumen akibat penipuan calo, penganiayaan oleh majikan, overstay,

bekerja tanpa dilengkapi dokumen, gaji tidak dibayarkan, pembatasan komunikasi denga keluarga dan hak-hak lainnya tidak sesuai kontrak kerja, menjadi korban pelecehan seksual, terlibat kasus kriminal. Saat pekerja migran pulang muncul masalah lain diantaranya pengangguran, disharmoni keluarga, pulang dalam keadaan sakit, dijerat hutang, dan lain-lain (Sutaat dkk, 2007). Sebelum proses pemulangan ke Indonesia tidak sedikit mereka telah melalui proses pengadilan bahkan sampai masuk penjara, namun kondisi tersebut tidak menyurutkan mereka untuk kembali lagi bekerja di luar negeri.

(15)

Indonesia di Luar Negeri juga menyatakan bahwa Negara melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia

Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, telah menyediakan Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC). Fungsi RPTC sebagai penampungan sementara bagi pekerja migran bermasalah dan korban tindak kekerasan sebelum mereka di kembalikan ke daerah asalnya. Di RPTC mereka mendapatkan pelayanan rehabilitasi psikososial, terutama bagi pekerja migran yang menjadi korban kekerasan maupun mereka ynang menunggu saat pemulangan kedaerah asal. Kenyataan menunjukkan bahwa diantara PMB ini, ternyata masih ada yang berminat untuk kembali menjadi pekerja migran, mereka belum siap untuk kembali ke kampung halamannya. Alasannya karena tidak mempunyai pekerjaan, harus membayar hutang kepada calo yang mengurus keberangkatannya ke luar negeri, disharmoni keluarga, malu pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya karena mengetahui mereka gagal menjadi TKI dan lain sebagainya. Tidak sedikit juga ada pekerja migran yang masih mengalami trauma akibat kejadian yang mereka alami selama menjadi pekerja migran.

(16)

menguruskan kepulangan PMB menjadi hambatan yang cukup besar bagi pemerintah khususnya bagi Kementerian Sosial. Sedangkan bagi pekerja migran itu sendiri membawa masalah sosial, psikologis dan ekonomi yang dibawa ke kampung halamannya.

RPTC sebagai salah satu lembaga yang menangani pekerja migran saat mereka baru dipulangkan perlu bekerja keras dalam memberikan pelayanan, karena tidak menutup kemungkinan masih banyak masalah sosial psikologis yang mereka alami belum tuntas tertangani. Dari sisi sosial ekonomi, mereka mengalami kesulitan untuk pulang ke daerah asalnya. Anggapan pulang bekerja dari luar negeri selalu berhasil dan membawa uang banyak telah melekat dalam diri mereka. Padahal kenyataannya mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk kembali hidup biasa di daerah asalnya. Mereka malu dan mengalami kesulitan berinteraksi dalam lingkungannya. PMB yang dipulangkan melalui RPTC semakin meningkat dengan permasalahan yang hamper sama sebagai pekerja migran yang “gagal” menjadi TKI, dan dalam pola yang sama mulai dari proses keberangkatan ke negara tujuan, telah menimbulkan permasalahan yang perlu ditelusuri lebih lanjut.

Berdasarkan uraian diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi. (2) bagaimana peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB (3) bagaimana peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal. (4) bagaimana kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal). (5) apakah faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.

Penelitian tentang perlindungan sosial bagi Pekerja Migran Bermasalah (PMB) melalui Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) bertujuan:

(17)

2. Mengetahui peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB.

3. Mengetahui peran dan fungsi RPTC dalam proses re-integrasi PMB di daerah asal

4. Mengetahui kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal)

5. Mengetahui faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri.

Sedangkan Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Tersusunnya rekomendasi dalam membuat kebijakan tentang upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah khususnya Kementerian Sosial RI dalam upaya perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah.

2. Tersusunnya laporan penelitian yang berisi tujuan penelitian ini.

3. Sebagai bahan rujukan atau literatur dalam memperkaya ilmu pengetahuan dalam ilmu-ilmu sosial

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, karena ditujukan untuk menyampaikan gambaran dari sebuah situasi atau setting sosial tertentu, mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keadaan yang ada. (Mardalis,1999).

Lokasi penelitian ditentukan di 4 (empat) lokasi yaitu Tanjung Pinang(Kepri), DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Lokasi dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut;

a. Tanjung Pinang (Kepri) dan DKI Jakarta dipilih karena terdapat Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), yaitu DKI Jakarta dan Tanjung Pinang.

(18)

Teknik pengumpulan data melalui: (1) Wawancara dengan pihak direktorat KTKPM Kementerian Sosial, Dinas Sosial Propinsi, Pengelola RPTC, PMB dalam RPTC, dan eks PMB di masyarakat, LSM. Wawancara ini bertujuan untuk menggali dan mendapatkan informasi tentang semua aspek yang berkaitan dengan tujuan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). (2) Diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan dengn Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja Propinsi, Satuan Gugus Tugas Penanganan PMB, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI), pengelola RPTC dan instansi terkait lainnya. (3). Pengamatan terhadap kondisi PMB baik di RPTC maupun di masyarakat. (4). Studi kepustakaan / dokumentasi untuk mendapatkan data-data dari tulisan, laporan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian. Data dan informasi yang diperoleh dari lapangan dianalis secara kualitatif deskriptif meliputi reduksi data, pengelompokan data sesuai tujuan penelitian dan lokasi, penyajian, pembahasan dan menyimpulkan.

Penelitian ini dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI dengan organisasi penelitian sebagai berikut:

Pembimbing : Direktur KTKPM Kementerian Sosial

DR.IR.Lala M Kolopaking,MS. Ketua Tim : Dra. Husmiati,M.Soc.Sc.,PhD.

Anggota : 1. Drs. Nurdin Widodo,MSi

2. Dra. Alit Kurniasari,MP

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Migrasi

Konsep tentang migrasi dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, yang menyebabkan hakekat, penyebab dan kosekuensi dari migrasi cukup bervariasi. Massey et.al (1993) berpendapat bahwa pemahaman tentang migrasi perlu dilihat secara komprehensif yang menggabungkan atas berbagai perspektif, tingkat dan asumsi. Penyebab dan konsekuensi dari migrasi tidak dapat digeneralisir karena keragaman dan kompleksitas fenomena migrasi itu sendiri, sehingga membahas migrasi tidak dapat dipisahkan dari proses sosial, ekonomi dan politik, serta menggabungkannya dengan teori migrasi secara makro, mikro sehingga tidak ada teori migrasi yang umum. Namun demikian teori migrasi dapat diklasiikasikan berdasarkan tingkat analisisnya, yang membagi kedalam tingkat mikro, meso, makro. Untuk tingkat mikro, fokus analisis pada individu, untuk tingkat makro fokus pada tren migrasi, sementara tingkat messo memfokuskan antara tingkat individu dan tren yakni pada tingkat rumah tangga atau komunitas. Berdasarkan fokus analisa tersebut, dapat menjelaskan tentang penyebab dan pelestari atau yang mempertahankan terjadinya migrasi.

(20)

Tabel 1. Teori Migrasi

(21)

(modern) dan tenaga yang surplus di sektor pertanian, akan diserap oleh sektor modern. Pekerja dari pedesaan akan tertarik dengan upah yang tinggi, akhirnya bermigrasi ke perkotaan, sehingga terjadi pemerataan upah. Todaro, 1969 dan Haris &Todaro, 1970 mengemukakan bahwa migrasi dari desa ke kota akan semakin meningkat jika upah atau tingkat pekerjaan di kota semakin meningkat (Ceteris paribus). Penganut teori tersebut berpendapat bahwa migrasi secara rational (logika) dapat terjadi, meski tingkat pengangguran di kota cukup tinggi, karena adanya harapan akan upah yang tinggi.

Teori dual market labour, (Priore, 1979) berpendapat bahwa migrasi sebagai hasil dari permintaan tenaga kerja yang kuat dari negara-negara maju. Pendekatan teori ini mencerminkan adanya dualisme pada pasar tenaga kerja di negara maju dan upah yang mencerminkan status dan prestise. Di negara maju terdapat pekerjaan di sektor primer dengan upah tinggi, dan sektor sekunder untuk pekerjaan kasar. Permintaan tenaga kerja migran, karena terjadi inlasi struktural pada upah sektor primer secara konstan konsekuensinya terjadi upah rendah pada sektor sekunder. Akibatnya pekerjaan di sektor sekunder tidak menarik bagi pekerja pribumi. Lapangan pekerjaan pada sektor sekunder berluktuasi sesuai dengan siklus ekonomi, membuat pekerjaan tersebut tidak stabil dan tidak pasti sehingga tidak menarik bagi pribumi. Pekerja migran termotivasi untuk bekerja di sektor sekunder karena mereka tidak menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat negara tujuan.

Analisis pada level mikro, (Crawford, 1973) dengan model behavioral, menjelaskan bahwa keputusan untuk bermigrasi tidak hanya atas pertimbangan ekonomi. Kekuatan potensial untuk bermigrasi karena adanya harapan atas kekayaan dan nilai keamanan atau eksistensi diri yang tidak bermakna ekonomi. Oleh karenanya menjadi migran sangat tergantung pada niat migrasi, pengaruh-pengaruh tidak langsung dari faktor individu dan masyarakat.

(22)

Seorang migran yang berasal dari negara dengan peringkat kesejahteraan lebih rendah dari negara tujuan akan sulit mencapai status yang tinggi, karena terjadi “undercasting” migran, artinya migran mengambil posisi terendah dalam masyarakat, sementara pribumi dengan strata rendah justru mengalami mobilitas keatas, setidaknya dalam pendapatan. Teori ini menempatkan faktor penyebab bermigrasi dari faktor dorongan sosial dengan mempertimbangkan apa yang terjadi pada pekerja migran di negara tujuan.

Pekerjan Migran

Menurut pasal 1 angka 2 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maupun kebutuhan masyarakat. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penekanan terhadap TKI adalah warga negara yang mampu dan memenuhi syarat.

Dalam perkembangannya, muncul istilah pekerja Indonesia di luar negeri dan buruh migran. Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyamakan pengertian buruh dan pekerja sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Penekanan pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja, baik yang memenuhi syarat atau tidak termasuk didalamnya pekerja anak, ilegal dan lain sebagainya. Sedangkan migran sendiri berasal dari kata migrasi yang berarti tindakan berpindah ke tempat lain baik di dalam suatu negara maupun ke negara lainnya. Migrasi tenaga kerja adalah tindakan berpindah ke negara lain untuk tujuan bekerja.

(23)

yang cukup kuat untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang mencukupi. Biasanya kita memberi sebutan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau untuk yang lebih spesiik Tenaga Kerja Wanita (TKW) karena memang lapangan kerja bagi kaum perempuan lebih besar peluangnya untuk direkrut di sektor informal khususnya pekerja rumah tangga. Keberadaan mereka sering menjadi bahan pemberitaan media massa terkait perlakuan buruk yang mereka terima di luar negeri. Meski tidak semua buruh migran mengalami hal yang sama, namun tidak dipungkiri, sebagian besar masih berada dalam situasi rentan karena rendahnya perlindungan dan jaminan keamanan di negeri tujuan.

Berbicara mengenai migran, terdapat beberapa deinisi mengenai pekerja migran dari berbagai sumber. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation/ILO) migrasi perburuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pergerakan/migrasi yang dilakukan orang dari sebuah tempat ke tempat lain, dengan tujuan bekerja atau menemukan pekerjaan. Ketika bermigrasi, mereka diklasiikasikan sebagai pekerja migran. Migrasi perburuhan mencakup berbagai jenis pekerja migran, mulai dari pekerja kontrak yang kurang terampil hingga semi dan sangat terampil. Dalam konteks migrasi perburuhan, negara-negara tempat para migran berasal disebut sebagai negara pengirim dan negara yang dituju disebut sebagai negara tujuan atau negara tuan rumah. Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation/ILO) mendeinisikan

seorang pekerja migran sebagai seseorang yang bermigrasi, atau telah bermigrasi dari satu negara ke negara lain, dengan sebuah gambaran bahwa orang tersebut akan dipekerjakan oleh seseorang yang bukan dirinya sendiri, termasuk siapapun yang biasanya diakui sebagai seorang migran, untuk bekerja

(24)

ke luar negeri untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu. Deinisi ini mengandung makna sangat luas dan umum, yaitu meliputi semua orang baik laki-laki maupun perempuan, yang berpindah lintas batas negara (ke luar negeri) mapupun di dalam negeri, serta tidak membedakan sektor pekerjaan formal maupun informal, domestik atau publik serta status hukum legal atau illegal.

Sedangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia tahun 2006 (dalam Sutaat, 2011) digunakan istilah domestic worker untuk menunjuk pada warga Negara Indonesia yang pindah sementara ke Malaysia untuk dikontrak dan bekerja sebagai asisten rumah tangga. Dalam MoU tersebut, domestic worker yang dimaksud adalah: “a citizen of Republic of Indonesia who

is contracting or contracted for a special periode of time for speciic individual as a domestic servant as deined in the employment act 1955,

the labour Ordinance Sabah (chapter 67) and the Labour Ordinance Sarawak (Chapter 76). Deinisi ini lebih spesiik menunjuk kepada warga

Negara Indonesia yang dikontrak untuk periode waktu tertentu sebagai asisten rumah tangga, sehingga tidak mencakup mereka yang bekerja tanpa kontrak.

(25)

Pekerja Migran Bermasalah

Perubahan sosial yang sangat cepat dalam era globalisasi selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif. Dampak negatif yang muncul diantaranya muculnya penyandang masalah kesejahteraan sosial baru seperti pekerja migran baik domestik maupun lintas Negara. Munculnya permasalahan pekerja migran internal telah berdampak dengan meningkatnya jumlah pendatang ke kota-kota besar dengan tujuan yang kurang jelas telah menimbulkan masalah sosial seperti menjamurnya perumahan liar dan kumuh, meningkatnya kriminalitas, pelacuran, penggelandangan dan lain-lain. Sementara masalah pekerja migran lintas Negara berupa terjadinya deportasi tenaga kerja Indonesia (TKI), ketelantaran di luar negeri, berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, telah menimbulkan persoalan nasional, bilateral dan internasional yang rumit. Masalah-masalah tersebut timbul tidak diperkirakan sebelumnya oleh siapapun, baik oleh lembaga bahkan Negara yang sudah terorganisir atau tidak terorganisir akan mengakibatkan korban mengalami gangguan isik, psikologis dan sosial sebagai dampak dari pengalaman traumatis yang dialami.

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa pekerja migran mengalami kadar gangguan psikologis yang lebih tinggi berbanding penduduk asli sebuah negara (Patel, 1992; dalam Husmiati, 2013). Prevalensi gangguan mental di kalangan kelompok pekerja migran di United Kingdom telah menjadi perhatian dalam kepustakaan penelitian sejak tiga puluh tahun yang lalu. Penelitian ini umumnya menggunakan angka masuk rumah sakit sebagai sumber data utama mereka. Wanita Asia diketahui mempunyai resiko lebih tinggi mengalami gangguan psikologis berbanding lelaki (Community Relations Commission, 1976c; dipetik oleh Patel, 1992). Selain itu Cochrane (1981) dan Dean et al. (1981) mendapati tingginya angka masuk dan dirawat di rumah sakit pada kelompok pekerja migran.

(26)

yang dilaporkan dalam beberapa penelitian mungkin disebabkan ketidaktepatan model asesmen Barat mengenai sakit mental ketika diterapkan ke dalam budaya kelompok ini. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lloyd (1986) melaporkan negara berkembang mempunyai angka somatik yang tinggi, hal ini ditunjukkan dengan adanya simptom-simptom psikologis sebagai releksi dari pendekatan budaya untuk memahami penyakit.

Di Malaysia, penelitian di kalangan wanita pekerja migran menunjukkan wanita pekerja migran ilegal mengalami masalah kesehatan mental yang tinggi berbanding wanita pekerja migran legal. Wanita pekerja migran ilegal memperlihatkan tingkat stress, anxiety dan

depression yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan wanita pekerja migran legal. Dari segi strategi daya tindak (coping strategy) juga wanita pekerja migran yang ilegal tidak baik berbanding wanita pekerja migran yang legal (Fahrudin & Baco, 2001; 2002; 2004). Pekerja migran yang legal juga mengalami masalah berkaitan dengan kehilangan dan kesedihan (loss and grief) karena terpaksa meninggalkan anggota keluarga mereka, tidak adanya dukungan sosial, kedudukan sosial, nilai dan norma, kebudayaan dan lingkungan mereka (Husmiati, 2013).

Para pekerja migran juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Mereka menghadapi kesulitan dalam percobaan untuk mengatasi masalah bahasa dan kebudayaan semasa proses acculturation. Faktor-faktor ini saling berkait dan menghasilkan berbagai gangguan dan masalah sosial. Faktor budaya pekerja migran dengan budaya negara baru yang mereka datangi sangat jelas berbeda. Akibatnya pekerja migran tersebut akan mengalami stres yang serius serta beban mental yang berat (Rogler, Dharma & Malgady, 1991; dalam Husmiati 2013).

(27)

Selain itu, gangguan psikologis dan gangguan tingkah laku yang serius juga ditemui di kalangan anak-anak pekerja migran terutama pada war-affected children (anak-anak korban peperangan). Anak-anak yang mengalami pengalaman perpisahan dan kehilangan anggota keluarga akan menyebabkan terjadinya trauma dan begitu pula pada orang-orang yang kehilangan tempat berteduh, kelaparan, penganiayaan dan menjadi korban tindak kekerasan. Peristiwa seperti ini akan memberi pengaruh kepada anak-anak dimana mereka tidak yakin atau timbul ketidak percayaan antara satu sama lain atau diri sendiri dan menaruh kecurigaan terhadap orang dewasa.

Berbagai kajian di atas telah membuktikan bahwa kaum pekerja migran mempunyai status kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan dengan penduduk asli negara yang dituju. (Chae Chung Um & Dancy, 1999; dalam Husmiati, 2013),

Kebijakan Pemerintah bagi Pekerja Migran

Perhatian Negara terhadap warganya yang menjadi pekerja migran diatur dalam beberapa regulasi, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

2. Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia, Pasal 30 yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

(28)

peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja

4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Pasal 14 ayat (1) Pasal 14 (1) Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Perlindungan sosial korban tindak kekerasan dan pekerja migran merupakan salah satu pilar pelayanan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. 5. Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2013 tentang Koordinasi

Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia, Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal TKI yang akan dipulangkan mempunyai keluarga, maka pemulangan tersebut termasuk keluarganya sampai ke daerah asal. Dan ayat (2) Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi isteri/suami dan anaknya.

6. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI, Pasal 281 menyebutkan bahwa Subdirektorat Perlindungan Sosial Pekerja Migran mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perlindungan sosial pekerja migran.

(29)

Perlindungan Sosial

Hingga saat ini terdapat berbagai macam deinisi perlindungan sosial. Keragaman ini dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Berikut adalah beberapa dari sekian banyak deinisi yang digunakan oleh berbagai institusi dan negara. Asian Development Bank (ADB) menjelaskan bahwa perlindungan sosial pada dasarnya merupakan sekumpulan kebijakan dan program yang dirancang untuk menurunkan kemiskinan dan kerentanan melalui upaya peningkatan dan perbaikan kapasitas penduduk dalam melindungi diri mereka dari bencana dan kehilangan pendapatan. Dalam hal ini perlindungan sosial tidak berarti merupakan keseluruhan dari kegiatan pembangunan di bidang sosial, dan tidak termasuk upaya penurunan resiko (risk reduction). ADB membagi perlindungan sosial ke dalam 5 (lima) elemen, yaitu: (i) pasar tenaga kerja (labor markets); (ii) asuransi sosial (social insurance); (iii) bantuan sosial (social assitance); (iv) skema mikro dan area-based untuk perlindungan bagi komunitas setempat; dan (v) perlindungan anak (child protection).

Namun, menurut Bank Dunia dalam “World Bank Social Protection Strategy”, konsep yang digunakan oleh ADB dalam membagi perlindungan sosial tersebut masih tradisional. Bank Dunia mendeinisikan perlindungan sosial sebagai: (i) jejaring pengaman dan ‘spring board’; (ii) investasi pada sumberdaya manusia; (iii) upaya menanggulangi pemisahan sosial; (iv) berfokus pada penyebab, bukan pada gejala; dan (v) mempertimbangkan keadaan yang sebenarnya.

Interpretasi yang agak berbeda diberikan oleh Hans Gsager dari

(30)

Menurut Barrientos dan Shepherd (2003), perlindungan sosial secara tradisional dikenal sebagai konsep yang lebih luas dari jaminan sosial, lebih luas dari asuransi sosial, dan lebih luas dari jejaring pengaman sosial. Saat ini perlindungan sosial dideinisikan sebagai kumpulan upaya publik yang dilakukan dalam menghadapi dan menanggulangi kerentanan, resiko dan kemiskinan yang sudah melebihi batas (Conway, de Haan et al.; 2000).

Deutsche Stiftung für Internationale Entwicklung (DSE) melalui

discussion report mengambil deinisi perlindungan sosial yang

digunakan oleh PBB dalam “United Nations General Assembly on Social Protection”, yaitu sebagai kumpulan kebijakan dan program pemerintah dan swasta yang dibuat dalam rangka menghadapi berbagai hal yang menyebabkan hilangnya ataupun berkurangnya secara substansial pendapatan/gaji yang diterima; memberikan bantuan bagi keluarga (dan anak) serta memberikan layanan kesehatan dan permukiman. Secara lebih detail dijelaskan bahwa perlindungan sosial memberikan akses pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak dasar manusia, termasuk akses pada pendapatan, kehidupan, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, gizi dan tempat tinggal. Selain itu, perlindungan sosial juga dimaksudkan sebagai cara untuk menanggulangi kemiskinan dan kerentanan absolut yang dihadapi oleh penduduk yang sangat miskin. Dengan demikian, perlindungan sosial menurut PBB dapat dibagi menjadi dua sub-kategori yaitu bantuan sosial (social assistance) dan asuransi sosial (social insurance). Bantuan sosial merupakan penyaluran sumberdaya kepada kelompok yang mengalami kesulitan sumber daya; sedangkan asuransi sosial adalah bentuk jaminan sosial dengan pendanaan yang menggunakan prinsip-prinsip asuransi.

(31)

korban, yaitu mereka yang mendapatkan perlakuan dari perilaku seseorang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan isik, mental, sosial maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan nilai dan norma dalam masyarakat yang berlaku secara universal serta mengakibatkan trauma psikologis. (2) Pekerja migran internal dan lintas negara yang mengalami masalah sosial, baik dalam bentuk tindak kekerasan, keterlantaran karena mengalami musibah (faktor alam dan sosial), mengalami konlik sosial karena ketidakmampuan menyesuaikan diri ditempat kerja baru atau di negara tempatnya bekerja maupun mengalami kesenjangan sosial sehingga mengakibatkan fungsi sosial terganggu.

Rumah Perlindungan Trauma Center

Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) merupakan salah satu unit pelaksana teknis dibawah direktorat jenderal perlindungan sosial dan jaminan sosial yang memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre) maupun pusat pemulihan traumatik (traumatic centre). Dalam kapasitas sebagai crisis centre, RPTC berfungsi sebagai pusat penanggulangan masalah tindak kekerasan, yang terdiri dari: (1) layanan informasi dan advokasi; dan (2) layanan rumah pertlindungan (shelter unit). Selanjutnya, dalam kapasitas sebagai pusat trauma (trauma centre), RPTC berfungsi pula sebagai wahana pemulihan traumatik, yang terdiri dari: (1) layanan rehabilitasi psikososial dan spiritual; dan (2) layanan resosialisasi dan rujukan. Adapun sasaran meliputi semua korban yang mengalami tindak kekerasan isik, mental dan sosial, terdiri dari:

a. Korban yang mengalami perlakuan salah; meliputi segala bentuk penganiayaan, pemukulan dan/atau tindakan sejenis lainnya yang mengakibatkan korban mengalami cedera isik dan/cedera mental b. Korban yang mengalami penelantaran isik, mental dan sosial c. Korban yang mengalami eksploitasi isik dan ekonomi

(32)

e. Korban yang dibiarkan dalam situasi berbahaya

RPTC memiliki fungsi sebagai tempat rehabilitasi sosial bagi korban tindak kekerasan, yang mengalami traumatik, dilaksanakan secara terpadu dan komprehensif, dengan tujuan agar para korban tindak kekerasan dapat pulih kembali fungsi sosialnya, dan dapat di integrasikan ke masyarakat. Dalam kapasitasnya sebagai krisis center, RPTC berfungsi untuk memberikan layanan infornasi dan layanan rumah perlindungan (shelter unit). Sedangkan sebagai trauma center RPTC berfungsi memberikan layanan pemulihan sosial dan layanan resosialisasi dan rujukan serta mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.

Kerangka Konseptual

(33)

Pekerja migran bermasalah (PMB) dari waktu ke waktu semakin meningkat, dalam jumlah maupun permasalahan psikososial saat dipulangkan ke Indonesia. Menyadari hal itu Pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial memiliki kewenangan, tugas dan tanggung jawab untuk pemulangan pekerja migran bermasalah ke daerah asal, yang dilaksanakan melalui Rumah Perlindungan Trauma Center dengan memberikan layanan terpadu (integrated services), baik sebagai pusat krisis (crisis centre) maupun pusat pemulihan traumatic (traumatic centre). Dalam hal ini RPTC berfungsi sebagai tempat tinggal sementara sebelum mereka dikembalikan ke kampung halamannya, dan bagi pekerja migran yang mengalami masalah psikologis akan memperoleh rehabilitasi sampai mereka pulih secara psikologis.

Model kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(34)

BAB III

HASIL PENELITIAN

TANJUNG PINANG KEPULAUAN RIAU

Gambaran umum RPTC Tanjung Pinang

Kota Tanjung Pinang terletak di Kepulauan Riau dipilih menjadi salah satu lokasi penelitian karena di kota ini terdapat salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), dimana sebelumnya juga telah berdiri RPTC di DKI Jakarta milik Kementerian Sosial dibawah Direktorat Perlindungan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran (KTKPM). RPTC didirikan di Tanjung Pinang karena Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu masuk (Gate way Indonesia), dimana (1) Daerah Kepulauan Riau merupakan daerah perbatasan dengan luar negeri khususnya Singapura, Malaysia dan Vietnam. (2) Perairan Kepulaun Riau (selat malaka) merupakan alur lalu lintas perdagangan dunia yang sangat ramai di lalui oleh kapal - kapal domestik dan asing. (3) Berdasarkan kedua hal tersebut mendorong banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ke Malaysia dan Singapura melalui Perairan Kepulauan Riau. (4) Diantara mereka ada yang keluar Negeri tanpa menggunakan dokumen resmi, sehingga bermasalah dan akhirnya ditangkap oleh Polisi Diraja/Custome Malaysia/Singapura selanjutnya dideportasi melalui Johor Baru Malaysia ke Kepulauan Riau.

(35)

RPTC Tanjung Pinang dibangun di lahan seluar 3 hektar yang merupakan hibah Pemerintah provinsi Kepulauan Riau. Keterlibatan Kementerian Sosial dalam penanganan PMB adalah sebagai bentuk perlindungan sosial dari pemerintah. RPTC bertujuan untuk menampung PMB yang dipulangkan paksa dari negara tempatnya bekerja. Para PMB tersebut akan dibina sebelumnya, dan akhirnya dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Dalam kontek pendirian RPTC ini, perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah adalah untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan, serta kerentanan sosial PMB yang menjadi korban di negara tempat mereka bekerja.

RPTC Tanjung Pinang dipimpin oleh koordinator yang merupakan pejabat eselon 4 di Dinas Sosial Propinsi Kepulauan Riau. Adapun Kebijakan yang dimiliki oleh Dinas Sosial Prov Kepri terkait PMB adalah

MoU antar SKPD. Instansi yang terlibat meliputi Dinas Perhubungan, PT Pelni, Dinas Kesehatan terutama untuk kasus ringan. Dinas Sosial tidak sama sekali melibatkan LSM, karena LSM disini selalu melihat keburukan dan kelemahan dari kinerja pemerintah. Tahun 2012 Dinas Sosial Kepri yang mendapatkan kewenangan dalam perlindungan bagi PMB melalui RPTC. Melalui APBD Dinsos mengganggarkan untuk UEP bagi PMB yang berasal dari Kepri, sementara untuk PMB yang berasal dari luar Kepri seluruhnya ditanggung oleh Kemensos.

Latar belakang pendidikan sumber daya manusia di RPTC Tanjung Pinang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1. SMA 9 orang

2. D3 2 orang

3. S1 / Sarjana 6 orang

(36)

Sedangkan tabel dibawah ini menggambarkan kondisi SDM RPTC Tanjung Pinang berdasarkan jabatan yang menjadi tanggungjawabnya.

Tabel 3. SDM dilihat dari Jabatannya

No Personil/Profesi

1. Koordinator 1 orang

2. Pekerja sosial 3 orang

3. Dokter 1 orang

4. Psikolog 1 orang

5. Bidan 1 orang

6. Perawat 1 orang

7. Ahli hukum 1 orang

8. Ahli agama 1 orang

9. Pramusosial 4 orang

10. sekuriti 4 orang

Jumlah 18 orang

Sumber: RPTC Tanjung Pinang, 2015.

Alur Penanganan Pekerja Migran Bermasalah

Alur penanganan PMB saat kedatangan dari Malaysia melalui pintu masuk Tanjung Pinang dapat ditelusuri sebagai berikut:

1. Sebelum kedatangan (perjalanan Malaysia - Tanjungpinang), petugasnya adalah Pendamping dari pihak ke 3 utusan dari Konsulat Jendral Malaysia.

2. Saat kedatangan, petugasnya adalah Pendamping PMB yang merupakan satuan tugas (satgas) yang melakukan penjemputan di pelabuhan dan pendampingan sampai ke RPTC. Adapun satgas PMB meliputi Imigrasi, KP3, Dishub, KKP, Dinsos Kota (satgas lapangan) dan Polres. Selanjutnya PMB dibawa ke RPTC.

(37)

Pelayanan Kebutuhan PMB, Intervensi Psikososial, Pelayanan Kesehatan, dan Pelayanan Keamanan.

4. PMB menunggu kapal yang akan membawa ke Tanjung Priuk di RPTC Tanjung Pinang.

5. Dalam perjalanan ke Tanjung Priuk, PMB didampingi oleh pendamping dari RPTC dan atau satgas lain. Sesampainya di Tanjung Priuk, PMB diserahkan pada satgas.

6. PMB kemudian dipulangkan ke daerahnya masing-masing dengan menggunakan kapal laut, bis atau dijemput keluarganya atau dibawa ke RPTC Bambu Apus.

Kondisi pekerja migran pada saat dipulangkan diantaranya dalam keadaan sakit (trauma/psychotik ; aid/HIV; cacat/lumpuh; struk ; hamil dll). Pada saat mereka sampai maka tahapan yang dilakukan adalah:

1. Proses penerimaan kedatangan PMB dengan melakukan Pendekatan awal yang meliputi tahap pengarahan dan pemberian informasi 2. Proses identiikasi klien mencangkup pendataan, analisis, dan

mengungkap permasalahan yang dihadapi klien 3. Bimbingan dan pendampingan klien

4. Penyuluhan kesehatan

Saat tahap pemulangan atau keberangkatan ke Tanjung Priuk, petugas yang bertanggungjawab terdiri dari:

1. Pendamping PMB yang tugasnya mengantar PMB sampai ke Pelabuhan dan juga mendampingi ke Tanjung Priok

2. Sedangkan Satgas PMB Tanjung. Pinang mengantarkan PMB sampai pelabuhan, mempersiapkan prasyarat keberangkatan dengan PELNI.

Setibanya di Tanjung Priok Jakarta, serah terima PMB dilakukan oleh pendamping kepada satgas Tanjung Priuk.

Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB

(38)

Proses pemulangan PMB yang selama ini dilaksanakan melalui RPTC Tanjung Pinang, dibawah pembinaan Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau, pada prakteknya telah bekerja sama dengan SKPD lainnya, seperti Dinas Perhubungan Provinsi Kepulauan Riau, Kantor Imigrasi Kepulauan Riau maupun dari Pemerintah Daerah Kepulauan Riau itu sendiri. Pada kenyataannya masing-masing sektoral belum cukup kuat komitmennya dalam proses pemulangan PMB. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan dibawah ini:

“……Perlu ada kerjasama dinas sosial, perhubungan, imigrasi,, kerja dilapangan.. jangan hanya lengkap saat di rapat,, karena selama ini dilapangan tidak professional. Bagaimana bersama dalam satgas saat dilapangan, bertugas untuk pencegahan.

Sepanjang tidak ada kerjasama maka selalu ada PMB

Tidak pernah ada sumbernya,, kita hanya dapat menyelesaikan kasus.

Percuma uang bertrilyun trilyun dikeluarkan tidak menyelesaikan masalah….”

(sumber: BNP2TKI, hasil FGD)

UU no. 39/2004 selalu didengung-dengungkan tetapi pihak imigrasi tidak disentuh (contoh: cukup hanya melihat seseorang punya pasport dan tidak expired/ada ijin pelancong). DPRD tidak mau menganggarkan dalam penanganan PMB. Selain itu ada lempar tanggungjawab dari konjen Indonesia di Malaysia saat pemulangan PMB ke Tanjung Pinang. Tanpa memilah kasus PMB, sebagian besar dipulangkan kepada Kementerian Sosial melalui RPTC. Komitmen dengan negara tetangga (Malaysia) terkait PM Indonesia yang mencari kerja belum dibuat. Karena menurut Malaysia, orang Indonesia yang datang sendiri mencari kerja bukan diminta datang.

(39)

melalui KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan), dilakukan identiikasi kesehatan PMB, setelah itu dilakukan serah terima ke pendamping TKI dan apabila para PMB ini telah bergerak sejauh 400 meter dari KKP, maka secara birokrasi sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Di kepulauan Riau, Satuan Tugas belum mempunyai komitmen yang tegas untuk sama-sama menangani PMB yang masuk ke wilayah Kepulauan Riau . Contohnya saat penanganan PMB yang sakit dimana masing-masing pihak saling lempar tanggungjawab. Belum dipahami kesepakatan antar SKPD dalam menangani PMB yang masuk ke wilayah kepulauan riau, sehingga ada kesan ego sektoral. Dalam hal ini sangat jelas bila sistem penanganan PMB belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Selain itu Selalu ada selisih data antara kedatangan dan pemulangan PMB. Tidak ada data yang menjamin PMB benar-benar kembali kedaerah asalnya ataukah mereka kembali lagi menjadi pekerja migrant.

Bagi PMB yang menderita sakit saat dipulangkan juga tidak ada laporan bagaimana kondisi kesehatannya setelah sampai didaerah asalnya. Pemda setempat tidak memberikan laporan resmi pada daerah pengirim PMB, dengan kata lain rujukan terputus. Begitu pula berdasarkan Standar operasional prosedur (SOP) pemulangan PMB dari Tanjung Pinang cukup rumit. Dimana PMB yang akan pulang ke Medan (Belawan) dan sekitarnya dari Tanjung Pinang harus melalui Tanjung Priuk dahulu baru kembali ke Medan dan sekitarnya.

Peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial bagi PMB

(40)

sebagai awal perjalanan pemulangan PMB dari pintu masuk Tanjung Pinang menuju Tanjung Priuk dan selanjutnya menyebar ke daerah dipulau Jawa dan sekitarnya sampai ke NTB dan NTT. Berdasarkan data yang ada, jumlah PMB yang dipulangkan dari Malaysia periode Januari sampai dengan Mei cukup besar, bahkan selalu ada bayi dan anak-anak didalamnya. Kondisi ini tentunya sangat memperihatinkan. Untuk lebih jelas data kepulangan PMB dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 4. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang Periode Januari - Mei 2015

Bulan Laki-laki Perempuan Anak Bayi jumlah

Januari 1135 399 17 10 2261

Februari 813 283 7 9 1112

Maret 1457 658 18 15 2148

April 1742 650 21 24 2418

Mei 807 359 11 15 1192

Sumber: RPTC Tanjung Pinang Kepulauan Riau

Seperti yang telah dikemukakan diatas, RPTC di Tanjung Pinang kepulauan Riau merupakan tempat transit bagi PMB perempuan sambil menunggu kapal laut ke Tanjung Priuk. Sedangkan PMB laki-laki ditempatkan di rumah penampungan milik swasta (pihak ketiga) yang jauh dari layak. Belum ada regulasi khusus

“….Kalo di RPTC dan transito harus dari pusat, tidak ada regulasi sebagai orang terlantar, diperbantukan dari APBD, tetapi untuk TKI yang bertanggung jawab adalah pemerintah pusat.

Saat kedatangan PMB siapa yang akan mengurus untuk kesehteraan.. karena tidak ada BPJS dan unregister. Seharusnya kewajiban Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar..

Untuk itu Perlu payung hukum antara kem kes dan Kemsos, untuk penanganan kesehatan PMB …..”

(41)

Peran dan fungsi RPTC dalam proses reintegrasi PMB didaerah asal.

Peran dan fungsi RPTC Tanjung Pinang adalah sebagai rumah perlindungan trauma dan juga sebagai penampungan TKI. Dalam prakteknya RPTC Tanjung Pinang hanya menampung pekerja migran bermasalah perempuan. Sedangkan PMB laki-laki ditampung di rumah yang disebut transito milik pihak ketiga. Petugas RPTC tidak ada yang datang memberikan pelayanan pada PMB di transito.

RPTC Tanjung Pinang dalam kenyataannya tidak maksimal melakukan kegiatan mempersiapkan para PMB saat mereka sampai di kampungnya nanti. Jumlah PMB yang cukup besar setiap kedatangan menjadi salah satu kendala. Sekali lagi RPTC hanya tempat transit. RPTC Tanjung Pinang hanya memberikan pelayanan kesehatan, bimbingan rohani. Bila jadwal kapal yang akan mengangkat para PMB belum ada atau masih lama, maka para PMB diberikan kegiatan pengisian waktu luang, seperti membuat kerajinan tangan menyulam dan lain-lain.

Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, daerah asal).

(42)

Faktor pendorong internal dan eksternal yang menyebabkan PMB ingin kembali bekerja diluar negeri

Hasil wawancara dengan sampel informan menunjukkan mereka ada yang masih ingin tetap akan kembali ke Malaysia, meskipun mereka sudah tahu resiko yang akan dihadapinya. Bagi mereka pengalaman buruk yang menimpa mereka selama mencari kerja di negara orang adalah resiko yang harus mereka terima. Walau bagaimanapun kembali bekerja menjadi pekerja migran lebih membantu kelangsungan hidup mereka dan keluarganya dari pada tetap tinggal di daerah asalnya yang menurut mereka sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu karena banyak jalan untuk bisa sampai ke Negara jiran. Seandainya tidak melalui jalur resmi, mereka masih bisa sampai dengan melalui “jalan tikus” walaupun mereka tahu cara ini melanggar hukum.

DKI JAKARTA

Gambaran Umum RPTC Bambu Apus, Jakarta

Suatu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan tingkat pengangguran yang tinggi, maka migrasi tenaga kerja ke luar negeri (migrasi internasional) merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. Migrasi internasional merupakan proses perpindahan penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya orang melakukan migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. Bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran memang menjanjikan gaji yang besar, namun resiko yang harus ditanggung juga sangat besar. Sementara itu, arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri semakin hari semakin membesar jumlahnya.

(43)

migran ilegal). Hal-hal ini menimbulkan ketegangan antara pihak pemerintah dengan negara-negara tujuan pekerja migran tersebut dan apabila didiamkan akan menimbulkan terganggunya hubungan bilateral kedua negara.

Rentetan kisah suram pekerja migran bermasalah (PMB) memang membutuhkan perhatian yang serius dan segera dari pemerintah. Pemerintah melalui instansi terkait, dalam hal ini Kementerian Sosial merasa perlu untuk segera membuat langkah-langkah yang signiikan dalam menanggulangi permasalahan pekerja migran bermasalah, terutama dalam perlindungan sosial dan proses reintegrasi PMB di daerah asal. Oleh karena itu, sejak tahun 2004 di daerah kemayoran, Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran bekerja sama dengan Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Propinsi DKI Jakarta telah mendirikan Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) sebagai tempat perlindungan dan rehabilitasi psikososial bagi korban tindak kekerasan dan pekerja migran bermasalah sosial. Pada tanggal 30 Agustus 2008, RPTC telah melakukan pindahan gedung dan lokasi yang tadinya bergabung dengan Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Popinsi DKI Jakarta di daerah Kemayoran, Jakarta Pusat ke daerah Bambu Apus, Jakarta Timur. Rumah Perlindungan dan Trauma Center Bambu Apus merupakan rumah lembaga kesejahteraan sosial milik Kementerian Sosial RI terletak di Kelurahan Bambu Apus kecamatan Cipayung Jakarta Timur. RPTC Bambu Apus tidak memiliki visi dan misi tersendiri tetapi menginduk visi dan misi Direktorat Korban Timdak Kekerasan dan Pekerja migran.

(44)

Sumberdaya

Kelengkapan sumberdaya dalam perlindungan sosial bagi pekerja migran bermasalah di RPTC, sebagai berikut :

1. Sumberdaya Manusia

Jumlah pegawai di RPTC sebanyak 32 orang, 30 orang diantaranya sebagai honorer dan 2 orang PNS yaitu sebagai koordinator dan sekretaris di RPTC. Sebagian besar pegawai RPTC Bambu Apus telah memiliki masa kerja honor 1 - 10 tahun. Dilihat jabatannya, pegawai RPTC dibedakan menjadi 3 tim atau bagian, yaitu :

Tabel 5. SDM dilihat dari Jabatannya

No Personil/Profesi Jumlah

e.Tokoh agama (Islam dan Kristen) f.Pendamping Korban Tindak Kekerasan

(45)

Tingkat pendidikan pegawai cukup bervariasi terdiri dari:

Tabel 6. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1. SD - orang

2. SMP 1 orang

3. SMA 14 orang

4. D3 2 orang

5. S1 / Sarjana 11 orang

6. S2 4 orang

T O T A L 32 orang

2. Sarana kelengkapan

Kapasitas daya tampung RPTC Bambu Apus sebanyak 100 orang, memiliki sarana prasarana cukup lengkap baik perkantoran, ruangan untuk kegiatan, ruang tidur dan sarana pendukung lainnya. Bila PMB yang datang melebihi kapasitas daya tampung, maka RPTC memfungsikan ruangan lain seperti ruang perpustakaan, ruang bimbingan/kegiatan yang dijadikan sebagai tempat tidur. RPTC Bambu Apus dipimpin oleh seorang koordinator yang berstatus sebagai PNS Kementerian sosial.

Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB di DKI Jakarta

(46)

Sosial diwujudkan dalam kegiatan Pendirian Rumah Perlindungan dan Trauma Center yang kegiatannya meliputi perlindungan dan pelayanan sosial. Pendirian RPTC di berbagai daerah diiniasi oleh Kementeriaan sosial dengan status sewa selama 2 tahun, yang selanjutnya kepemilikan dan pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah daerah

Sedangkan penanganan Pekerja Migran Bermasalah di DKI Jakarta selain didasarkan atas Undang-Undang dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 22 tahun 2013 tentang Pemulangan Pekerja Migran Bermasalah dan Tenaga Kerja Indonesia bermasalah ke daerah asal, juga didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta. Peraturan Gubernur ini antara lain Peraturan Gubernur Nomor 134 tahun 2007 tentang Penanggulangan Sosial Korban Tindak Kekerasan di Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 218 tahun 2010 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 184 tahun 2012 tentang Pelayanan Sosial kesehatan dan Permakanan Orang terlantar. Implementasi dari berbagai peraturan ini, oleh Dinas Sosial DKI Jakarta diwujudkan dalam kegiatan antara lain:

a. Pendirian Panti Sosial Bhakti Kasih di Kebon Kosong yang bertujuan untuk melindungi, memulihkan trauma dan memberikan pemberdayaan kepada KTK dan PM

b. Dinas Sosial membangun sinergi dengan LSM, dunia usaha dan masyarakat dalam melakukan deteksi awal terhadap KTK dan PM

c. Pemberdayaan Pekerja Migran di daerah Cilincing Jakarta Utara melalui bantuan UEP sebesar Rp. 5.000.000,-/orang dalam bentuk barang kepada 25 orang KTK dan 25 orang PMB. Bantuan serupa juga pernah diberikan oleh Kementerian Sosial tahun 2013 yang diwujudkan dalam bentuk peralatan catering, dan pendampingan terhadap KTKPM terkait dengan trauma yang dialaminya.

(47)

ke daerah asal. Pemerintah DKI menyebut sebagai Orang Terlantar dan dapat dipulangkan ke daerah asal dengan anggaran Pemda DKI jakarta.

Peran RPTC dalam Perlindungan Sosial dan Proses Reintegrasi di Daerah

a. Kegiatan perlindungan sosial

Perlindungan sosial bagi PMB di RPTC diwujudkan dalam beberapa kegiatan terjadual meliputi:

1) Penerimaan PMB

2) Kontrak sosial, yang diwujudkan kesediaan dan persetujuan PMB untuk menandatangani peraturan/tata tertib selama di RPTC

3) Pemberian pakaian, peralatan mandi, makan dan ruang tidur

4) Asesemen yang dilakukan oleh pekerja sosial

5) Kegiatan dalam rangka pengisian waktu luang seperti bimbingan rohani, dinamika kelompok, olah raga, senam dan kegiatan lainnya

6) Trauma healing

7) Pelayanan kesehatan melalui kerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Cipayung dan RS Koja

8) Pendampingan PMB yang mengalami trauma

(48)

memiliki kasus-kasus cukup berat seperti sakit isik sebagai akibat kecelakaan kerja dan penyiksaan isik oleh majikan, hamil dan gangguan jiwa. Mengatasi permasalahan ini, RPTC Bambu Apus selain memiliki peketrja sosial, psikolog dan perawat, juga telah menjalin kerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Cipayung, RS Koja dan RS Jiwa. RPTC Bambu Apus juga menangani PMB yang tidak ingin kembali ke daerah asal, penggunaan alamat “palsu” dan penolakan keluarga PMB di daerah asal. Menghadapi permasalahan ini, RPTC telah berupaya sedemikian rupa agar masalah ini bisa diatasi, diantaranya melalui pendekatan informal dengan Dinas Sosial setempat terkait dengan pencarian alamat keluarganya di daerah asal. Pendekatan informal cukup berhasil, banyak keluarga dapat ditemukan dan dapat menerima kembali PMB yang dikembalikan ke daerah asal.

b. Kegiatan reintegrasi sosial

Mempertemukan dan mengembalikan PMB ke keluarga dan masyarakat merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh pekerja sosial RPTC. Tujuan kegiatan ini adalah agar PMB dapat hidup menyatu dalam keluarganya atau kerabatnya agar bisa kembali hidup di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan RPTC dalam proses reintegrasi PMB dengan keluarga dan masyarakat daerah asal, antara lain:

1) Penyiapan keluarga asal melalui koordinasi dengan Dinas Sosial Provinsi, kabupaten/kota. Pada kasus-kasus tertentu, penyiapan keluarga dilakukan sendiri oleh RPTC Bambu Apus.

2) Home visit dilakukan sebelum dan sesudah PMB kembali ke daerah asal. Home visit sebelum PMB kembali ke daerah asal dilakukan dalam rangka penyiapan keluarganya, sedangkan

home visit pasca PMB kembali ke daerah asal dilakukan dalam rangka penyiapan pemberian bantuan UEP.

(49)

mereka dengan keluarga daerah asal yang umumnya mengharap agar PMB segera kembali ke daerah asal.

Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama proses migrasi (transit, destinasi, keluarga asal)

a. Pra Penempatan

1) Calon Pekerja migran tidak mengetahui proses bekerja ke luar negeri dari instansi berwewenang, tetapi dari calo yang datang langsung menemui calon pekerja migran. Bahkan ada yang belum pernah mendengar Instansi Tenaga kerja, Dinas Sosial, dan Emigrasi

2) Mereka terpaksa bekerja di Malaysia karena sulit mencari pekerjaan di daerahnya

3) PPTKIS belum berperan sebagaimana mestinya, pengurusan dokumen dilakukan via calo

4) Rendahnya tingkat pendidikan calon pekerja migran

5) Pemalsuan dokumen seperti nama, umur, pendidikan dan alamat calon pekerja migran

6) Beaya pengurusan dokumen berasal dari penjualan aset keluarga seperti hewan ternak dan sawah/tanah, ada yang terpaksa hutang keluarga, kerabat dan tetangga.

7) Tidak melalui PAP (Pembekalan Akhir Pemberangkatan)

8) Berangkat via jalur tidak resmi dengan nenggunakan kapal laut yang kurang terjamin keselamatannya

9) Calon pekerja migran menggunakan visa pelancong, bahkan ada yang sama sekali tidak membawa dokumen

10) Tidak mengetahui dan menandatangai PK (Perjanjian Kerja)

11) Tidak memiliki Asuransi

b. Penempatan

1) Penempatan bekerja tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh calo, mereka terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan bakat dan minatnya

(50)

3) Dalam waktu 3 sampai 4 bulan gaji diambil atau dipotong oleh calo sebagai pengganti biaya pengurusan dokumen dan pemberangkatan

4) Paspor ditahan oleh calo atau majikan

5) Penipuan pengurusan perpanjangan visa oleh calo/tekong di Malaysia

6) Konlik dengan majikan sebagai akibat bekerja melebihi jam kerja, gaji tidak dibayar dan penyiksaan isik dan mental, sehingga terpaksa kabur tanpa membawa dokumen

7) Mengalami kecelakaan kerja yang tidak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan/majikan

8) Pemerkosaan pekerja migran perempuan oleh majikan

9) Mengalami nasib yang sama saat pindah kerja ke majikan/ perusahaan lain

10) Tidak melakukan perpanjangan visa, atau melakukan perpanjangan melalui calo namun ternyata palsu

11) Pihak KBRI/KJRI tidak memberikan perlindungan sosial, meskipun mereka juga sudah berusaha menghubungi via telpun namun tidak diangkat

12) Penangkapan oleh aparat keamanan Malaysia karena dianggap ilegal, semua uang dan barang berharga lainnya dirampas, serta mengalami penyiksaan isik dan mental

13) Proses penyelesaian masalah PMB oleh aparat kepolisian malaysia melalui tahapan: (a) penahanan oleh kepolisian yang mereka sebut “lokap” selama 1-2 minggu, semua barang bawaan PMB dirampas; (b) sidang di mahkamah (pengadilan); (c) masa hukumannya penjara sesuai dengan putusan mahkamah; (d) camp (penampungan) imigrasi selama 2 minggu; (e) penampungan di pasir gudang 4 - 5 hari untuk menunggu kapal ke Tanjung Pinang; (f) pemulangan dengan kapal laut ke Tanjung Pinang.

(51)

15) Pada kasus-kasus tertentu, berdasarkan putusan pengadilan Malaysia, pekerja migran yang dianggap salah selain dihukum penjara, juga dihukum cambuk

16) Fasilitas penjara Malaysia dianggap tidak manusiawi baik makan, tempat tidur, kamar mandi dan kesehatan, bahkan semua jenis penyakit hanya diberikan “panadol”

c. Pasca Penempatan

1) Tidak membawa uang, bahkan hanya pakaian yang dipakai yang dibawa pulang

2) Penampungan sementara bagi pekerja migran laki-laki di Tanjung Pinang dianggap kurang memenuhi syarat seperti fasilitas kamar mandi, makan dan tidur yang tidak sebanding dengan jumlah pekerja migran serta fasilitas air yang kurang bersih. Sedangkan PMB perempuan di tampung di RPTC Tanjung Pinang, sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke daerah asal.

3) Pengangkutan kapal laut dari Tanjung Pinang ke Tanjung Priuk di Jakarta, Sebagian ada yang langsung melanjutkan perjalanan darat ke daerah asal. Sedangkan yang masih menunggu kapal dibawa ke RPTC Bambu Apus

4) Pekerja migran dalam keadaan sakit, cacat isik, stres, hamil dan ada yang trauma saat tiba kembali di tanah air

5) Pemulangaan pekerja migran bermasalah menggunakan kapal laut dari Tanjung Pinang hingga Tanjung Priuk tanpa pendampingan petugas, dan selanjutnya dipulangkan via darat ke daerah masing-masing. Kondisi isik dan mental para PMB sudah sedemikian lelah, sehingga kadang terjadi pemukulan isik kepada sopir bus yang tidak mau mengantarnya hingga ke daerah asal.

6) Dalam kasus-kasus tertentu terkait dengan kondisi isik dan mental, PMB ditampung di RPTC Bambu Apus hingga pulih, dan kadang memerlukan waktu lebih dari 2 minggu

(52)

8) Bagi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, merupakan beban berat bagi PMB laki-laki karena harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Kadang mreka juga harus menanggung kebutuhan orang tuanya atau anggota keluarga lainnya

9) Pada umumnya PMB belum sepenuhnya bisa mendapatkan pekerjaan pasca kembali ke daaerahnya, karena tidak ada lapangan pekerjaan di daerahnya. Mereka lebih banyak bekerja sebagai buruh tidak tetap.

10) Terbatasnya lapangan kerja di daerah asal, sebagian PMB masih ada yang ingin tetap kembali bekerja di luar negeri. Malaysia masih merupakan pilihan sebagian warga untuk mendulang emas.

Faktor pendorong yang menyebabkan PMB ingin tetap bekerja di luar negeri

Perbedaan pendapatan dan tingginya pengangguran di daerah, tingginya pertumbuhan penduduk, keterbatasan lahan produktif dan sulitnya mencari pekerjaan di daerah merupakan faktor dominan pekerja migran bekerja di Malaysia. Selain itu juga ada faktor budaya, dan janji imbalan lebih tinggi dibandingkan di Indonesia turut menjadi faktor pendorong. Hasil wawancara dengan sampel informan menunjukkan mereka ada yang masih ingin tetap akan kembali ke Malaysia, meskipun mereka sudah tahu resiko yang akan dihadapinya.

JAWA TIMUR

Jawa Timur merupakan salah satu dari empat lokasi penelitian yang dipilih karena merupakan provinsi yang menjadi tujuan pengiriman PMB dari Tanjung Priok dan juga merupakan daerah transit para PMB yang akan melanjutkan pulang ke NTB atau NTT. Di Jawa Timur ada dua RPTC sewa yaitu di Kabupaten Jombang dan Kabupaten Jember yang merupakan kantong pekerja migran di provinsi Jawa Timur. Jawa Timur menjadi provinsi urutan ke 2 yang mengirim pekerja migrant.

(53)

perhatian dari berbagai lintas sektoral di Lingkup kabupaten Jombang. Penanganannya tidak dapat dipikul oleh Dinas Sosial Kabupaten Jombang sendiri, tapi harus duduk bersama antar SKPD untuk bersama-sama menangani permasalahan penduduk yang menjadi pekerja migran. Jumlah pekerja migran dari kabupaten Jombang akan nampak saat proses pemulangan, yang menuntut SKPD terkait memperketat data administrasi, seperti data RT - RW pekerja migran harus jelas, sementara kasus yang muncul, dan teridentiikasi hanya kecamatan dengan nama pekerja migran yang tersebar di dibeberapa desa. Meski sudah dilakukan pendataan, tapi alamat sebenranya sering tidak jelas, kadang RT dan RW jelas tapi nama pekerja migran bersangkutan tidak ditemukan. Seperti kasus pekerja migran bermasalah di Kabupaten Jombang terdaftar 41 orang tapi kenyataan hanya 30% penduduk yang mejadi pekerja migran.

Berdasarkan kilas balik fenomena tersebut maka perlu dipertanyakan mereka yang bekerja ke luar negeri, dari mana pintu masuk keberangkatan ke luar negeri, melihat bagaimana hubungan Dinas Tenaga Kerja dengan PJTKI dalam hubungannya dengan pekerja migran yang bermasalah. Apakah ada aturan yang diberlakukan untuk pekerja migran yang akan berangkat ke Luar Negeri, serta mengapa mereka bisa menjadi pekerja migran bermasalah. Selain itu bagaimana keberangkatan mereka ke luar negeri. Pertanyaan pertanyaan mendasari tersebut mengarahkan para pemangku kebijakan dalam mengatasi permasalah pekerja migran bermasalah. Dalam bagian ini akan dipaparkan kebijakan terkait penanganan pekerja migran bermasalah, Bagaimana peran dan fungsi RPTC dalam melakukan perlindungan sosial dan pada saat proses reintegrasi eks PMB didaerah asalnya. Kondisi kerentanan yang dialami PMB selama menjadi pekerja migran dan faktor - faktor yang mendorong pekerja migran bermasalah ingin kembali menjadi pekerja migran.

Implementasi kebijakan dan program perlindungan sosial bagi PMB

Gambar

Tabel 1. Teori Migrasi
Tabel 2. SDM dilihat dari Tingkat Pendidikan
Tabel 3. SDM dilihat dari Jabatannya
Tabel 4. Data pemulangan PMB di RPTC Tanjung Pinang PeriodeJanuari - Mei 2015
+4

Referensi

Dokumen terkait

“l etak garis sempadan bangunan gedung terluar untuk daerah di sepanjang jalan,. diperhitungkan berdasarkan lebar daerah milik jalan dan peruntukan lokasi, serta diukur dari

Memadukan kedua konsep pendidikan Islam dengan metode pendidikan Montesori merupakan sebuah hal yang bisa menjadi referensi bagi orang tua maupun guru dalam mendidik

Ciri khas yang ingin ditunjukan adalah warna- warna natural seperti coklat dan hijau dengan menggunakan kayu dan elemen tanaman, dengan memberikan konsep rustic yang menunjukan

STEL Batas paparan jangka pendek: 2) batas paparan jangka pendek: nilai batas yang di atasnya paparan hendaknya tidak terjadi dan yang terkait dengan jangka 15-menit kecuali

Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Larasati dan Gilang (2014), dimensi yang paling berpengaruh terhadap kinerja adalah kebutuhan afiliasi

Penelitian tugas akhir bertujuan untuk menerapkan metode fotogrametri rentang dekat dalam pengambilan data titik-titik sampel permukaan suatu objek untuk penentuan volume,

Hasil uji hipotesis ketiga yang diajukan adalah “ada pengaruh positif dan signifikan antara pemanfaatan literasi akuntansi dan minat baca terhadap prestasi belajar mata

.ULVLV PXOWLGLPHQVLRQDO PHQMDGL WDQWDQJDQ EHUDW EDJL EDQJVD ,QGRQHVLD PHQ\DGDUNDQ NLWD EHWDSD VLVWHP SHQGLGLNDQ \DQJ NLWD ODNXNDQ VHODPD LQL EHOXP PDPSX PHPEHQWXN SULEDGL \DQJ