• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skema II.1 Siklus kekerasan

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan analisis hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya maka pada bab ini akan dilanjutkan dengan kesimpulan, diskusi dan saran-saran terkait hasil penelitian.

V.A. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian akan diuraikan berdasarkan perumusan masalah penelitian yaitu tahapan forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

1. Berdasarkan defenisi forgiveness yang dikemukakan oleh Enright dan The

Human Development Studio Group yaitu bagaimana seseorang memaafkan

perasaan, pemikiran dan perilaku orang lain terhadap dirinya. Respon psikologis dalam forgiveness meliputi tidak adanya afeksi negatif, penilaian dan perilaku negatif terhadap orang lain melainkan adanya afeksi, penilaian dan perilaku positif terhadap orang tersebut.

Berdasarkan hasil analisa ketiga partisipan diatas diperoleh bahwa partisipan I (Mira) bisa menunjukkan penilaian, afeksi dan penilaian positif terhadap suami. Mira tidak merasa dendam, sakit hati dan kecewa atas perilaku suami yang sebelumnya tetapi saat Mira mampu bekerjasama dengan suami, mengajak suami membangun kembali rumah yang lebih sederhana sebab rumah yang sebelumnya sudah dijual untuk membayar

hutang-hutang judi suami. Sebenarnya bisa saja Mira menuntut ganti rugi dan membalas perilaku suami tetapi Mira berhasil mengesamping penilaian, perasaan dan perilaku negatif lalu membangun penilaian, afektif dan perilaku positif terhadap suami. Pada partisipan II (Nina), belum menunjukkan forgiveness karena meskipun telah berpisah selama kurang lebih dua tahun tapi Nina masih menyimpan marah, benci dan dendam. Nina belum bisa mengatasi penilaian, afektif dan perilaku negatif terhadap suami. Namun, saat ini Nina sudah keluar dari siklus kekerasan yang dialaminya dan sedang berusaha untuk bangkit dari keadaan semula. Nina mencoba untuk memfokuskan dirinya pada masa depan demi anaknya. Sari juga masih menunjukkan kondisi yang unforgive. Sari mengaku sampai saat ini memendam rasa marah, kecewa dan sakit hati yang dalam. Namun, sesekali Sari juga merasakan bahwa suami adalah orang yang sangat baik dan selalu memanjakan Sari. Kondisi ini disebabkan Sari masih berada dalam siklus kekerasan. Ketika Sari berada dalam tahap ketegangan dan konflik maka muncul emosi-emosi negatif lalu ketika Sari berada pada tahap bulan madu maka emosi-emosi yang muncul adalah emosi positif.

2. Sesuai dengan tahapan forgiveness menurut Enright dan The Human

Development Study Group (Enright & Coyle, 1998) maka tahapan tersebut

terdiri dari empat tahapan yaitu : uncovering phase, decision phase, work

kaku tetapi lebih fleksibel sehingga masing-masing individu mempunyai pengalaman unik sendiri.

1. Uncovering phase

Orcutt, Pickett & Pope (2005) menjelaskan tahap ini melibatkan rasa disakiti secara tidak adil pada individu yang dipenuhi dengan pengalaman emosi negatif dan rasa sakit yang diasosiasikan dengan luka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga partisipan telah melalui tahap ini. Masing-masing partisipan mengalami dengan cara yang berbeda-beda. Mira melalui ini dengan rasa iri jika melihat pasangan suami istri yang lain, banyak mengkhayal dan melamun sambil menangisi nasibnya. Mira juga berusaha membela diri dengan bersumpah bahwa dia tidak selingkuh. Mira juga mengekspresikan rasa marahnya dengan melaporkan pihak ketiga (ND) kepada suami dan orang tua ND. Mira juga tidak mau mengingat-ingat kejadian yang telah lalu sehingga memudahkan Mira untuk lepas dari pengalamannya. Lain halnya dengan Nina, tahap ini dia lalui dengan dorongan untuk melawan dan membalas amarah suami. Nina masih menyimpan rasa benci, dendam dan kecewa yang dalam pada suami. Bahkan Nina merasa stres dan sakit kepala jika bertemu atau melihat wajah suaminya. Bukan hanya pada suami tapi Nina juga tidak peduli pada keluarga dari pihak suami. Nina tidak ingin memikirkan suami karena merasa akan menambah beban pikiran. Untuk Sari tahap ini dilalui dengan perasaan benci dan membanding-bandingkan dirinya

dengan suami yang enak-enakkan berjudi sedangkan Sari harus bekerja sepnajang hari untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sari mengatasi tekanan stres yang dialami dengan duduk-duduk di warung, merokok, tertawa dan bercanda dengan tetangga. Dengan demikian Sari merasa dirinya telah lepas dari masalah untuk sementara.

2. Decision phase

Orcutt, Pickett & Pope (2005) menjelaskan tahap ini dimana individu menyadari bahwa memfokuskan diri secara terus menerus pada luka dan pelaku hanya dapat menghasilkan penderitaan yang berlanjut. Kemungkinan memaafkan dilakukan sebagai strategi untuk penyembuhan dan individu membuat komitmen untuk memaafkan pelaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua partisipan melalui tahap ini. Ketiga partisipan sama-sama telah melalui fase ini. Pada tahap ini, Mira memutuskan untuk mencari suaminya karena kondisi anak yang sedang sakit dan diduga ingin bertemu ayahnya. Perilaku Mira pergi menemui suami menunjukkan bahwa Mira telah melepaskan afektif negatif yang dialaminya. Setelah itu, Mira juga memutuskan untuk memperbaiki keadaan keluarga yang berhutang dalam jumlah besar karena perilaku judi dan mabuk-mabukan suami. Sikap ini menandakan bahwa Mira mampu melepaskan diri dari perasaan marah, benci kecewa terhadap suami. Lain halnya dengan Sari, tahap ini dilalui dengan melihat perubahan sikap pada suami yang kejam menjadi lembut sehingga Sari memutuskan untuk melepaskan

rasa sakit yang dialami sedangkan Mira memasuki tahap ini dengan mempertimbangkan untuk memahami suami. Akan tetapi, perilaku suami yang tidak juga mau berubah setiap hari membuat Mira semakin dipenuhi emosi negatif dan kembali ke tahap uncovering phase.

3. Work phase

Orcutt, Pickett & Pope (2005) menjelaskan bahwa tahap ini melibatkan perubahan persepsi terhadap pelaku, mungkin dengan menempatkan kejadian dalam konteks kehidupan pelaku. Orang yang disakiti memilih untuk menawarkan beberapa bentuk perbuatan baik (pribadi dan/atau umum) terhadap pelaku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan Mira dan Sari telah melalui tahap ini sedangkan Nina tidak sampai pada tahap ini. Pada tahap ini Mira menunjukkan usaha untuk menemui suami dan berusaha memperbaiki keadaan keluarganya dengan membayar lunas semua hutang-hutang suami dan membangun kembali rumah yang lebih sederhana. Mira juga selalu meminta pada suami supaya tidak mengulangi perbuatannya. Mira juga menemukan cara yang berbeda dalam menghadapi suami. Semula Mira membalas perilaku suami dengan amarah dan ternyata cara itu tidak efektif sehingga Mira lebih memilih untuk diam ketika suami marah. Mira semakin hari semakin mencoba untuk memahami sifat-sifat dan perilaku suami. Disisi lain, Sari melalui tahap ini dengan lebih memahami situasi suami sebagai seseorang yang mudah berubah-ubah kadang jahat kadang baik. Setelah itu, Sari dapat berhubungan baik

4. Outcome/deepening phase

Pada tahap ini, memaafkan individu menjadikan seseorang sadar akan keuntungan emosional positif yang akan diterimanya dari proses

forgiveness. Secara umum, individu menemukan makna dalam

penyembuhan yang dialaminya sehingga pada tahap terakhir ini individu mengalami paradox of forgiveness, sebagai salah satu sikap terhadap rasa sakit yang tidak adil dan memberikan kemurahan hati pada orang lain, orang yang telah disembuhkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya satu partisipan yang dapat mencapai tahap ini yaitu Mira sedangkan Nina dan Sari tidak mencapai tahap ini. Mira menunjukkan hubungan yang baik dengan suami meskipun suami sesekali masih berperilaku menyimpang. Mira merasa cukup puas dengan keluarganya saat ini meskipun keadaan ekonomi semakin sulit. Mira mengaku bahwa dirinya masih mencintai dan menyayangi suaminya. Mira juga tidak ingin anaknya mengalami pengalaman yang sama seperti dirinya.

3. Tahapan forgiveness dilalui dengan urutan yang bervariasi oleh ketiga partisipan. Pada partisipan Mira, untuk kasus Mira ditelantarkan oleh suami, tahapan forgiveness diawali dengan uncovering phase, decision

phase, work phase dan outcome/depeening phase. Setelah itu, Mira

mengalami kekerasan lain yaitu kekerasan fisik, psikologis, seksual dan finansial hampir bersamaan. Mira kembali berusaha untuk memaafkan suami. Mira mulai lagi dari tahap uncovering phase, decision phase,

kembali lagi uncovering phase, lalu decision phase, work phase dan terakhir adalah outcome/depeening phase.

Urutan yang berbeda terjadi pada partisipan Nina, Nina mengawali tahapan forgiveness dengan uncovering phase, lalu decision phase dan kembali lagi ke uncovering phase. Sampai saat ini Nina masih berada di tahap ini karena Nina belum memutuskan untuk memaafkan suami. Sedangkan pada partisipan ketiga, Sari juga mengawali tahapan

forgiveness dengan uncovering phase, decision phase, work phase dan

kembali lagi uncovering phase.

V.B. Diskusi

Forgiveness bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilalui bahkan

kadangkala terasa sangat menyakitkan. Menurut Lazarus dan Folkman bahwa ketika seseorang dihadapkan pada situasi konflik yang membutuhkan penyelesaian (coping) maka terdapat dua gaya coping yang biasanya digunakan yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused

coping yaitu aktivitas tertentu yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah

sedangkan emotion-focused coping yaitu aktivitas tertentu yang dilakukan untuk membuat perasaan lebih nyaman terkait suatu masalah (Greenberg, 2002). Hasil penelitian ini menemukan bahwa orang yang menggunakan problem-focused

coping yaitu Mira dapat melalui tahapan forgiveness dengan baik. Hal ini

dikarenakan Mira melakukan aktivitas-aktivitas yang langsung ditujukan untuk menyelesaikan masalah sehingga Mira tidak berlarut-larut dalam afektif, kognitif

dan perilaku negatif. Ini tampak dari perilaku Mira yang langsung memutuskan untuk mencari suami karena suami tidak pernah datang. Selain itu, Mira juga menyelesaikan masalah hutang piutang suami sehingga tidak membuat keadaan semakin sulit. Sedangkan dua partisipan lainnya yaitu Nina dan Sari menggunakan emotion-focused coping. Ini ditunjukkan dengan masih adanya perasaan-perasaan negatif seperti marah, benci, dendam yang membuat seolah- olah mereka merasa nyaman untuk sementara.

Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa kemampuan seseorang untuk menerima kondisi yang sebenarnya terjadi. Menurut Kubler-Ross kondisi ini sesuai dengan tahapan acceptence. Tahapan acceptence merupakan tahapan kelima dimana seseorang mengembangkan rasa damai, penerimaan akan diri sendiri dan dalam banyak kasus mereka ingin menyendiri (Santrock, 2002). Jika seseorang mampu menerima kondisi tersulit mereka bisa berdamai dengan kondisi emosional mereka. Mira yang lebih bisa menerima keadaan dan diri suami memudahkan Mira untuk berdamai dengan situasi, suami dan dirinya sendiri.

Berdasarkan ketiga partisipan dalam penelitian ini tampak juga perbedaan diantara ketiganya dalam hal menanggapi peristiwa menyakitkan tersebut. Sarafino (2006) menjelaskan ini sebagai resilience. Resilience melibatkan tiga komponen yaitu self esteem, personal control dan optimism. Orang yang resiliens menilai peristiwa negatif bukan sesuatu yang stressful, mereka bisa melihat kembali kebelakang dan menemukan kekuatan dan semangat mereka sendiri. Orang yang resiliens memanfaatkan emosi positif dan menemukan makna dalam setiap pengalaman hidup. Resiliens dapat memudahkan seseorang untuk melalui

masa-masa sulit dalam hidup dan tidak menimbulkan depresi setelah peristiwa traumatis (Sarafino, 2006).

Selain itu, defense mechanism juga menentukan bagaimana seseorang menanggapi suatu peristiwa menyakitkan. Pada penelitian ini, ketiga partisipan sama-sama merepresi pengalaman dan emosi-emosi negatif yang sedang mereka alami. Dalam represi, seseorang yang mengalami suatu dorongan yang tidak dapat diterima umum, secara tidak sadar mengeluarkan dorongan itu dari kedarannya dan memasukkannya kedalam alam bawah sadar (Calhoun & Acocella, 1990).

Perlakuan kasar baik fisik maupun makian kata-kata yang bisa menjatuhkan harga diri seseorang kerap dialami oleh ketiga partisipan. Hal ini membentuk konsep diri yang negatif bagi semua partisipan. Menurut Poerwandari (2006) dampak psikologis bagi istri yang sering dipukuli dan direndahkan akan kehilangan harga diri dan merasa dipermalukan. Istri akan menghayati banyak sekali emosi negatif : merasa malu, marah tetapi tidak mampu berbuat apa-apa, tertekan, tidak berdaya dan hilang harapan, menyesali dan membenci dirinya sendiri atau mungkin menunjukkan tanda-tanda depresi. Terkait hubngan dengan relasi sosial, individu akan menjadi orang yang minder, berwawasan sempit, ketakutan dan tegang.

Pada penelitian ini ditemukan juga bahwa istri korban kekerasan juga mengalami learned helplessness yaitu individu belajar bahwa ternyata dunia dan orang-orang sekitarnya tidak memberikan dukungan terhadap dirinya dan sebagai akibatnya akan merasa kecil hati dan tidak yakin akan dapat menyelesaikan masalahnya (Poerwandari (2006). Kondisi tampak pada partisipan Mira dan Sari

dalam penelitian ini. Mira merasa tidak ada orang yang akan membantunya karena orang-orang takut berhadapan dengan suaminya. Sari juga merasa bahwa persoalan rumah tangganya harus diselesaikan oleh dirinya sendiri karena tidak akan ada orang yang mau untuk mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Oleh karena itu, Sari tidak pernah mau melaporkan peristiwa yang dialaminya ke pihak berwajib.

Padahal bagi seorang korban kekerasan, dukungan pemulihan dari orang- orang terdekat sangat dibutuhkan. Mereka memerlukan orang-orang yang peduli dan dapat memahami mereka. Jika korban kekerasan tidak mendapatkan dukungan ini sedangkan mereka sedang berada dalam ketidakberdayaan, kalut dan putus asa, pikiran-pikiran tentang bunuh diri dapat saja muncul (Poerwandari, 2006). Seperti yang dialami oleh Sari ketika sedang tejadi pertengkaran dengan suaminya. Sari nekad meminum racun serangga untuk mengakhiri hidupnya. Bunuh diri menjadi satu-satunya jalan keluar jika seseorang telah terjebak dalam situasi penuh tekanan.

V.C. Saran

Berdasarkan kesimpulan dan diskusi terhadap hasil penelitian ini maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Saran praktis

 Bagi kaum perempuan supaya lebih membekali diri dengan pengetahuan dan informasi terkait isu-isu perempuan yang saat ini

banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga tidak akan bertambah lagi korban-korban kekerasan baru.

 Bagi lembaga-lembaga sosial khusus perempuan baik pemerintah dan non pemerintah supaya lebih memperhatikan dan memberdayakan kaum perempuan sehingga tidak selalu bergantung pada orang lain.

 Bagi keluarga supaya lebih bisa menjalin hubungan yang lebih komukatif dan mendukung bagi perkembangan pribadi dan sosial masing-masing anggota keluarga.

2. Saran penelitian

 Mengadakan penelitian yang lebih mendalam seperti studi kasus sehingga lebih memahami konteks individu secara mendetail.

 Pengambilan partisipan sebaiknya dilakukan lebih bervariasi misalnya dalam hal tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, latar belakang keluarga dan sebagainya sehingga diperoleh hasil penelitian yang lebih beragam.

 Teknik pengambilan data dilakukan dengan lebih banyak cara misalnya observasi atau diskusi kelompok supaya data yang diperoleh semakin kuat.

Dokumen terkait