• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka pada bab V ini penulis mencoba mengambil kesimpulan mengenai hukum antidumping sebagai pelindung produk industri dalam negeri dalam rangka ACFTA ini.

1. Dumping adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau pengekspor yang melaksanakan penjualan barang/komoditi di luar negeri atau negara lain dengan harga dibawah harga normal atau lebih murah dari harga pasar di pasar domestik. Dumping yang dipermasalahkan adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian material pada industri dalam negeri negara pengimpor, sehingga berdasarkan ketentuan pasal VI ayat 1 GATT 1994 mengijinkan otoritas di suatu negara untuk mengenakan biaya tambahan dalam bentuk bea masuk antidumping terhadap produk-produk impor yang dijual dengan praktik dumping yang merugikan industri dalam negeri.

Antidumping adalah kebijakan yang dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah timbulnya berbagai kejahatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk. Jadi negara yang merasa dirugikan dapat melakukan tindakan balasan dalam bentuk Bea Masuk Antidumping dari tindakan dumping.

Tujuan antidumping code ini dibuat untuk memberikan aturan dan batasan yang jelas dalam mengenakan Bea Masuk Antidumping agar tidak terjadi tindakan yang over protective dalam penggunaan instrument antidumping dan tidak dijadikan sebagai alat proteksi terselubung. Untuk dapat dilarangnya suatu dumping harus memenuhi unsur-unsur termuat dalam pasal VI GATT. Apabila suatu negara terbukti melakukan praktik dumping yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara pengimpor, maka negara pengimpor yang dirugikan oleh praktik tersebut mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan yakni tindakan remedial berupa bea tambahan pada barang-barang dumping sebesar margin dumping.

2. Anti Dumping di Indonesia mulai diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Estabilishing the World Trade Organization dan untuk selanjutnya diatur juga dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Dan untuk melaksanakan amanat dari Undang-Undang Kepabeanan tersebut lahirlah Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan. Dalam hukum Indonesia ada beberapa variabel penentu adanya praktik dumping yakni; barang sejenis, adanya margin antara nilai normal dan harga ekspor, dan adanya kerugian, industri dalam negeri. Dan sebagai lembaga pelaksana pengadministrasian hukum antidumping ini yakni KADI sebagai penyelidik antidumping dimana sifatnya mengusulkan pengenaan bea masuk antidumping berdasarkan temuan dan analisanya terhadap dugaan praktik dumping dan diusulkan kepada

Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan kemudian diteruskan ke menteri keuangan untuk ditetapkan menjadi sebuah keputusan dan selanjutnya pemungutannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Dan segala keberatan terhadap penetapan bea masuk antidumping diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Besarnya BMAD dihitung dari selisih harga ekspor dan nilai normal dibagi dengan harga ekspor dikalikan 100%.

3. Semenjak diberlakukannya ACFTA ada yang memandang sebagai sebuah kesempatan dan ada juga yang menolak dan memandang sebagai ancaman dengan berbagai alasan diantaranya berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri dan pekerja lokal akan terancam pemutusan hubungan kerja sebagai imbas dari membanjirnya produk China yang ditakutkan terbukti memiliki harga yang lebih murah. Dengan adanya bea masuk anti dumping dapat menjadi obat bagi industri dalam negeri untuk memulihkan injury yang dialaminya.

Dalam melindungi produk industri dalam negeri dalam rangka ACFTA ini, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan KADI dapat melakukan upaya preventif yakni dengan melakukan sosialisasi, pembinaan, pendidikan, terhadap seluruh pihak yang terkait kepentingannya dalam hukum antidumping ini, baik eksportir dan importir juga para aparatur lembaga juga dapat melakukan pengkajian terhadap mekanisme perizinan impor yang berindikasi menimbulkan kerugian terhadap industri sejenis dalam negeri. Upaya represif adalah pengenaan sanksi bea masuk antidumping sesuai

dengan ketentuan hukum dan dalam menetapkan sanksi antidumping diputuskan dengan bijak demi kelangsungan produksi industri dalam negeri. 2. Saran

Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Pemerintah harus segera mereformasi ketentuan mengenai antidumping kedalam bentuk Undang-Undang yang membahas dengan rinci mengenai antidumping tersendiri, diantaranya ketentuan yang jelas mengenai

national interst, mengatur waktu yang diperlukan dalam kasus

antidumping, dan juga mempersingkat proses pembentukan keputusan bea masuk antidumping yang berbelit-belit demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap industri dalam negeri yang membutuhkan perlindungan dalam waktu yang tepat.

2. China termasuk negara yang memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang baik. Pemerintah juga harus mempersiapkan sumber daya manusia yang ahli dalam hukum antidumping dan khususnya ketentuan antidumping nasional di negara China sehingga memperkecil dana yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan ketentuan remedial untuk mengumpulkan informasi yang detail dan kompleks dan dapat memberikan perlindungan yang memadai khususnya terhadap usaha kecil dan menengah.

3. Dalam menghadapi tuduhan dumping dari luar negeri sebaiknya:

a. Memahami secara seksama ketentuan antidumping di negara penuduh;

b. Memberikan kerjasama yang baik kepada penyidik negara pengimpor yang mencari fakta dilapangan;

c. Melakukan koordinasi dalam asosiasi produk yang bersangkutan dan mendapatkan berbagai informasi dari instansi yang terkait; d. Bilamana kondisi yang memungkinkan gunakan tenaga konsultan

hukum (Lawyer) yang ahli di bidang antidumping.

4. Dalam menghadapi ACFTA ini sebaiknya pemerintah mengambil sikap yang tegas untuk mendapatkan keuntungan yang sama dalam ACFTA ini yang diikuti dengan tindakan nyata untuk menghilangkan kerentanan industri dalam negeri terhadap pasar bebas dengan memperkecil kendala industri dalam negeri untuk mengembangkan diri seperti masalah birokrasi, tidak adanya kepastian hukum, iklim politik yang tidak kondusif, ekonomi berbiaya tinggi, pungutan-pungutan tidak resmi, masalah bahan baku, dan lain sebagainya.