HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI PELINDUNG INDUSTRI
DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA
(Asean – China Free Trade Area)
SKRIPSI
Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai
persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
Romina Purnama M
NIM. 080200153
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Jesus Kristus, Tuhan Yang
Maha Esa, atas segala berkat dan rahmatNya yang memberikan kesempatan untuk
menjalani masa perkuliahan hingga tahapan penyelesaian skripsi seperti sekarang
ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini diberikan judul “HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI
PELINDUNG PRODUK INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA
ACFTA (Asean Free Trade Area)” sebagai salah satu unsur penting dalam
pemenuhan nilai-nilai tugas dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa penulis ingin
mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut dibawah
ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivator penulis dari
awal masa perkuliahan hingga sekarang. Penulis menghanturkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Kedua Orang Tua yang sangat penulis cintai dan hormati, Frans
Manurung dan Linda Hutagalung, serta kakak dan adik penulis
tersayang, Sventy, Kartika, Janri, Ria, Cristophel, Hesty, serta Jenny.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, S.Hum, selaku Pembantu Dekan
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan
II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak M. Hoesni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Windha, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas ilmu dan saran yang
telah diberikan kepada Penulis.
7. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen
Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
8. Bapak Prof. Bismar Nasution, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing
I, atas bimbingan dan pengetahuan yang diberikan sejak masa perkuliahan
hingga sekarang ini.
9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II,
atas ilmu, pengajaran serta bimbingan dan saran yang telah banyak
diberikan kepada penulis, baik dalam masa penulisan skripsi maupun
dalam masa-masa perkuliahan.
10.Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing
Akademik penulis yang telah banyak memberikan masukan selama masa
perkuliahan.
11.Semua Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh administrasi
Fakultas Hukum, Program Ilmu Hukum dan Perpustakaan Pusat
12.Semua senior yang mendukung dan membantu dengan memberikan
masukan mulai saat perkuliahan sampai penulisan skripsi ini, Bang Indra,
Bg Jojo, SH., Fonger, SH., Yenny, SH.,Ivan, SH., dan lain-lain
13.Semua Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Bung
Hot Marudur, B’Howard, B’Marshias, B’Welson, SH.,, B’Roy, SH.,
B’Adrianto, SH., B’Rudi, B’Apul, B’Prinst, B’Hizkia B’Martin
Luther dan Sarinah Elyza, S’Andriana, S’Dorothy, S’Rina, S’Fenny,
S’Yola, S’Melda, S’Mika, S’Diandes, S’Maria dan lain-lain.
14.Semua teman-teman stambuk 2008, Siska Purba, Nodi, Wanelfi,
Lusiana, Lidia, Hasan Afif Muhammad, Harianto, Ranto, Erny
Suciaprianti, Fatiya Rochimah, Juni, Fiqi dan lain-lain.
15. Teruntuk adinda tersayang, Santi Nababan.
16.Teruntuk KK NEHEMIA, Ka’Corry Aruan., SH, Ka’ Delfi Aruan, SE.,
Desy Siringoringo, Bona, Juliana Hutasoit, Jhon Sipayung, Suspim
Gunawan Parlindungan Nainggolan, Dedy Sihombing, atas doa dan
semangat yang selalu diberikan.
17.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam
Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan segala
kritikan dan saran yang bersifat membangun, agar bisa lebih baik lagi di
kesempatan yang akan datang.
Medan, 1 Febuari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI v
ABSTRAK viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Judul 1
B. Perumusan Masalah 8
C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan 9
D. Keaslian Penulisan 9
E. Tinjauan Pustaka 11
F. Metode Penelitian 16
G. Sistematika Penulisan 19
BAB II HUKUM ANTIDUMPING DALAM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Tinjauan umum mengenai Antidumping 21
1. Konsep dan Pengertian Dumping 21
2. Dampak Praktik Dumping terhadap negara Importir dan Eksportir 32
3. Sejarah Ketentuan Antidumping 36
B. Ketentuan Antidumping menurut GATT dan WTO 40
1. Penentuan Harga 43
3. Penentuan Barang Dumping 47
4. Penentuan Kerugian 47
5. Hubungan Sebab-Akibat 50
6. Industri dalam Negeri 51
C. Tindakan Remedial 52
BAB III HUKUM ANTIDUMPING DI INDONESIA
A. Dasar dan Ketentuan Antidumping di Indonesia 58
1. Indikator yang Digunakan Dalam Analisis Dumping 59
a. Barang Sejenis 60
b. Margin antara Nilai Normal dan Harga Ekspor 61
c. Kerugian 70
d. Industri dalam negeri 72
2. Lembaga Administrasi dan Pelaksana Peraturan Antidumping 75
3. Proses Penyelidikan Antidumping 84
B. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 94
C. Pemberlakuan Surut 96
D. Tenggat Waktu Penyelesaian Kasus Antidumping 97
E. Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 99
BAB IV IMPLEMENTASI KETENTUAN ANTIDUMPING
DI INDONESIA DALAM RANGKA ACFTA
(Asean Free Trade Area)
A. Ulasan Mengenai ACFTA (Asean Free Trade Area) 103
2. Landasan ACFTA 105
3. Kesepakatan dalam ACFTA 107
4. Renegoisasi dan Revisi dalam ACFTA 110
B. Dampak ACFTA terhadap Perdagangan Indonesia 113
1. Neraca Perdagangan Indonesia-China 118
2. Langkah Pemerintah terkait dampak ACFTA 122
C. Antidumping Sebagai Salah Satu Bentuk Proteksi Produk Industri
Dalam Negeri Dalam Menghadapi ACFTA. 125
1. Penegakan hukum terhadap produk impor yang berindikasi
dumping 128
2. Kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktek dan
tuduhan dumping 133
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 139
B. Saran 142
HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI PELINDUNG PRODUK INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA
(ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA)
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M. Hum*) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum**)
Romina Purnama M***)
ABSTRAK
Penyatuan ekonomi antar negara baik regional maupun multinasional diantaranya adalah ACFTA (Asean-China Free Trade Area) menciptakan mekanisme pasar berdaya saing tinggi sehingga tidak jarang bila ada tindakan persaingan curang salah satunya dalam bentuk diskriminasi harga yaitu praktik Dumping. Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilishing The World Trade
Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, konsekuensinya
kemudian membuat ketentuan dasar tentang Antidumping yang hanya dikenakan kepada produk yang mengancam industri dalam negeri terutama Usaha Kecil Menengah. Daya saing industri dalam negeri yang masih rentan, penting peran pemerintah memberikan perlindungan dengan perangkat Hukum Antidumping sebagai tindakan balasan dari politik dumping. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Hukum Antidumping tersebut digunakan sebagai pelindung Industri Dalam Negeri dalam rangka ACFTA.
Metode penelitian yang dipakai penulis ialah metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang menggambarkan situasi atau peristiwa yang sedang diteliti dan kemudian menganalisanya berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisis yuridis normatif, yaitu dengan berusaha mengkaji dan menguji data yang berkaitan dengan permasalahan dalam Hukum Antidumping. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan,
literature / dokumen untuk memperoleh data sekunder.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara tidak langsung Bea Masuk Antidumping (BMAD) dapat menjadi obat pemulihan bagi industri dalam negeri dan terlebih bila BMAD tersebut digunakan untuk research development sehingga industri tersebut dapat mengeksplorasi produknya tidak hanya mengurangi dampak injury namun juga meningkatkan daya saing industri tersebut. Hal ini dapat terjadi bila pemerintah dan pelaku pihak industri bisa bekerja sama dengan baik untuk memahami dan memandang bahwa Hukum Antidumping merupakan hal yang harus dikuasai dalam melakukan perdagangan bebas khususnya dalam ACFTA.
Kata kunci : ACFTA, Hukum Antidumping *) Dosen Pembimbing I
*) Dosen Pembimbing II
PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN
KREDIT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI
KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH
(Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)
S K R I P S I
Disusun dan diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
MAHRINA ADIBAH NASUTION
NIM : 080200122
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
berkat dan rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga peulis
dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat
pada waktunya.
Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “PENERAPAN THE FIVE
C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN KREDIT SEBAGAI SALAH
SATU UPAYA MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA
KREDIT BERMASALAH (Studi PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang
Medan)” disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih
gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara, dimana hal tersebut
merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan
perkuliahannya
Skripsi ini membahas tentang penerapan PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang
Medan terhadap kaitannya dalam analisis pemberian kredit yakni the five c’s of
credit guna meminimalkan risiko kredit bermasalah seminimal mungkin. Penulis
telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan
skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih
banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini
Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen
Hukum Perdata dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan
arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.
4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen
Hukum Perdata
5. Ibu Puspa Melati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan
arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.
6. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan
membantu penulis selama menjalani perkuliahan.
7. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda Djusman Nasution dan
Ibunda Erna Z. yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan
kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan
8. Kepada Kakaku Dini Meilani Nst dan Abangku Achmad Syukri Nst yang
telah memberikan motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.
9. Kepada sahabat-sahabat Penulis : Astri Grahita Putri SE, Novita Anggraini
S.Hut, Swanty Eka Putri SE, Deli Utari S.Kom.
10.Teman-teman seangkatan 2008 Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
11.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis
mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita
semua. Amin.
Medan, September 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
ABSTRAK ... iii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metode Penelitian ...20
G. Sistematika Penulisan ...23
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian Perjanjian Kredit ...25
B. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Bank ...32
C. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank ...41
D. Jaminan Kredit Bank ...43
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PENILAIAN ANALISIS THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) & KREDIT BERMASALAH A. Penilaian Analisis The Five C’s Of Credit (5C) ...51
B. Pengertian Kredit Bermasalah ...55
C. Penyebab Kredit Bermasalah ...62
E. Tekhnik Menyelesaikan Kredit Bermasalah...72
BAB IV : PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) MENGURANGI
KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH
(Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)
A. Gambaran Umum Mengenai PT. Bank BNI (Persero) Tbk ...77
B. Penerapan The Five C’s Of Credit (5C) dalam Analisis Pemberian
Kredit Untuk Mengurangi Risiko Kredit Bermasalah di PT. Bank
BNI (Persero) Tbk Cabang Medan ...81
C. Hambatan-Hambatan yang Menyebabkan The Five C’s Of Credit
(5C) Tidak Dapat Dilakukan Secara Optimal ...95
D. Cara Mengatasi Hambatan-Hambatan yang Terjadi dalam
Penerapan The Five C’s Of Credit (5C)...99
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...
B. Saran... ...
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Analisis kredit merupakan penilaian terhadap suatu permohonan kredit (baik permohonan kredit baru, perpanjangan/pembaharuan, maupun restrukturisasi) layak atau tidak untuk disalurkan kepada Debitur. Prinsip penilaian kredit yang yang menjadi standar minimal yang lazim digunakan dikalangan perbankan yaitu dengan analisis the five c’s of credit (5C) yaitu: Penilaian Watak (Character), Penilaian Kemampuan (Capacity), Penilaian terhadap modal (Capital), Penilaian terhadap agunan (Collateral), dan Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy). Dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut bermasalah pasti ada. Hanya saja dalam hal ini, bagaimana meminimalkan risiko tersebut seminimal mungkin.
Dengan alasan di atas, penulis mengadakan penelitian yang dilakukan di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan, dengan menggunakan metode analisis data kualitatif yakni menganalisis data didasarkan atas kualitas data selanjutnya dituangkan dalam bentuk deskriptif. Penelitian mulai dilakukan November 2011.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Penggunaan the five c’s of
credit (5C) dalam setiap permohonan kredit merupakan hal yang mutlak dan harus
dilakukan untuk menentukan keputusan diterima atau ditolaknya suatu kredit. Di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan penilaian terhadap permohonan kredit dimulai dengan meneliti proposal dan berkas permohonan kredit dari calon debitur, kemudian dilakukan penyelidikan terhadap berkas pinjaman, selanjutnya dilakukan penilaian kelayakan kredit yang menggunakan analisis the five c’s of
credit (5C), sebelum diputuskannya permohonan kredit diterima atau tidak, maka
setelah penilaian kelayakan kredit, kemudian melalui tahap wawancara pertama, peninjauan ke lokasi, hingga wawancara kedua. Setelah itu baru diputuskan permohonan kredit tersebut diterima atau tidak. Namun dalam pelaksanaanyan di lapangan ada beberapa kendala sehingga penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam analisis pemberian kredit tidak dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini karena kesengajaan pihak bank yang terlibat dalam proses kredit yang tidak profesional atau bankir kurang ahli dalam menganalisis atau kesalahan prosedur manejemen bank.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kondisi perekonomian dunia sekarang ini sudah berubah dimana kondisi
perekonomian dunia semakin mendunia sehingga memberikan kesempatan bagi
negara yang satu dan negara yang lainnya untuk melakukan peredaran barang dan
jasa. Dengan menurunkan biaya transportasi, komunikasi, berkembangnya
teknologi dan informasi dan hilangnya hambatan bagi arus barang dan jasa antar
negara menghilangkan batas antar negara yang satu dan negara yang lain,
sehingga terbentuklah penyatuan ekonomi antar negara-negara. Indonesia juga
melakukan kegiatan perdagangan internasional mengikuti berbagai kerja sama
ekonomi khususnya di kawasan ASEAN baik regional maupun multilateral
contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan yang diterapkan pada Januari
2010 ini adalah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)
Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum pun tidak dapat
dihindarkan sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut
dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian melewati batas
negara.1
1
Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi Bagi
Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Di Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU ke 44
Medan, 20 November 2001, hal.4
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui
ratifikasi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Agreement in Establishing The World Trade Organization /WTO (Persetujuan
eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi
seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO, sementara konsekuensi internal
Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-perundangan
nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO. Keikutsertaan Indonesia dalam
perdagangan bebas mendorong industri dalam negeri untuk bersaing, baik di
dalam negeri sendiri maupun di pasar ekspor. Hal ini merupakan problem besar
bagi Indonesia karena kemampuan produk Indonesia dari segi kualitas maupun
kuantitas masih lemah2
Seiring dengan penyatuan ekonomi antar negara itu terjadi ketergantungan
dan integrasi ekonomi nasional kedalam ekonomi global dan menciptakan
mekanisme pasar yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan
antara pelaku usaha tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang,
baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price) . Dalam bentuk
harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal
dengan istilah dumping .
3
Dumping merupakan suatu hambatan perdagangan yang bersifat nontarif,
berupa diskriminasi harga. Masalah dumping merupakan substansi di bidang rules
making yang akan semakin penting bagi Negara berkembang yang akan
meningkatkan ekspor nonmigas terutama dibidang manufaktur. Praktik dumping .
2
Mohammad Sood, “Regulasi Anti Dumping Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap
Industri Dalam Negeri”,
November 2011.
3
dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair (unfair), karena bagi negara
pengimpor, perdagangan dengan motif dumping akan menimbulkan kerugian bagi
dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir
barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang
dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis akan kalah bersaing. Praktek
banting harga itu pun dapat berakibat kerugian bagi perusahaan domestik yang
menghasilkan produk sejenis. Tindakan tersebut mengharuskan pemerintah suatu
negara mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap berbagai praktik
bisnis. Pembatasan tersebut merupakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan
dapat dinyatakan juga sebagai suatu kejahatan.4
Istilah dumping didalam dunia bisnis sering dianggap sebagai praktek
yang wajar untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan industri, namun
pada kenyataannya dapar menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang
sejenis di negeri lain (Negara pengimpor). Dumping juga tidak terlepas dari
praktek subsidi, proteksi, dan aneka bentuk tata negara yang semuanya menjadi
satu yaitu perdagangan bebas. Fakta global menunjukkan bahwa praktek dumping
tidak menjadi hal yang baru, sekarang menjadi penting karena terjadi perdagangan
dunia. Daya saing dari industri negara-negara maju telah diimbangi oleh
produsen-produsen negara berkembang.5
Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN-China FTA juga
dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari
4
perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya
diekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam
negeri yang produknya dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya
saing yang relatif kurang kompetitif yang harus bersaing dengan produk China.
Para kepala negara anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November
2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast
Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari
Framework Agreement AC-FTA tersebut adalah:
a) Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan
investasi kedua pihak;
b) Meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan investasi;
c) Mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling
menguntungkan kedua pihak;
d) Memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota
baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak6
Selain itu kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan
kerjasama ekonomi melalui:
.
a. Penghapusan tarif dan hambatan non tariff dalam perdagangan barang;
b. Liberalisasi secara progresif perdagangan jasa;
c. Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka
ASEAN-China FTA7
6
Ardian, “Dampak Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) bagi Perdagangan
Indonesia”,
.
Dalam lima tahun terakhir peningkatan impor dari China pada umumnya
diatas 20 % pertahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China
berpotensi dan sudah menjadi ancaman terhadap pasar domestic untuk produk
yang sejenis. Pada bulan Januari 2010, produk China praktis menguasai setiap lini
di Indonesia. Dimana kualitas barangnya seadanya, tetapi haraganya yang murah
meriah membuat produk China laku keras. Data perdagangan akhir 2010, neraca
perdagangan Indonesia-China defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia
ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar
dollar AS.8
Pemberlakuan ACFTA telah menuai dampak negatif juga dimana sekitar
20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan, hal ini dapat
dicontohkan penyurutan manufaktur pada industri alas kaki. Dari sekitar 1,5 juta
tenaga kerja pada tahun 2000 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa
dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), jumlah pengangguran pun kian
bertambah.
9
Survey yang dilakukan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia
langsung ke Shanghai dan Guangzhou, China, menemukan adanya praktik banting
harga (dumping) untuk beberapa produk yang diekspor ke Indonesia. Dari 190
barang yang diekspor ke Indonesia, ditemukan 30 produk dengan harga lebih
7
Vanisterisa, “Polemik ACFTA” kali diakses tanggal 28 September 2011.
8
“Produk China di Setiap Lini”, Kompas, 12 April 2011 9
murah dibandingkan dengan harga di pasar lokal mereka. Artinya, China telah
menerapkan politik dumping.10
Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdaganagn multilateral,
Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilihing the WTO melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, sebagai konsekuensinya Indonesia kemudian
membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya
dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menyetujui GATT dan
WTO dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dimana ketentuan antidumping
sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 secara simultan telah
diadakan beberapa perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT,
dimana perjanjian tamabahan tersebut dikenal dengan code. Hal ini ditindaklanjuti
dengan disepakatinya Tokyo Round yang menghasilkan Antidumping Code 1979,
kemudian digantikan dengan Uruguay Round dengan nama Agreement on
Implementation of Article VI of GATT 1994 yang merupakan Multilateral Trade
Agreement (MTA) dimana instrumen hukum itu ditandatangi bersamaan dengan
penandatanganan Agreement Estabilishing the World Trade Organization di
Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Jadi dengan demikian
Antidumping Code tahun 1994 suatu paket yang inklusif atau integral dari
Agreement Estabilihing the WTO.
10
1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan diikuti
dengan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Ketentuan Antidumping ini hanya dikenakan pada produk yang
mengancam produk industri dalam negeri karena menimbulkan persaingan usaha
yang tidak sehat. Dalam menghadapi China dalam perdagangan bebas ini
seharusnya Indonesia sudah matang dalam pembelaan industri dalam negeri
karena China juga terkenal sering melakukan politik dumping.
Tentu dalam melaksanakan kebijakan ini tidaklah sembarangan, haruslah
digunakan dengan analisis dan indikator yang jelas. Bea masuk antidumping
hanya akan dikenakan apabila kriteria praktik dumping dapat dibuktikan dalam
penyelidikan antidumping, dimana kriterianya adalah adalah:
1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara;
2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang dibawah harga normal
atau dengan kata lain adanya dumping;
3. Adanya kerugian terhadap industri dalam negeri;
4. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor
yang di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap
industri dalam negeri.11
Jadi dengan adanya ACFTA ini banyak peristiwa tentang perdagangan
bilateral antara Indonesia dan China tidak seimbang dan berdampak pada kerugian
dan kelesuan permintaan terhadap produk industri dalam negeri terutama industri
kecil dan menengah. Industri dalam negeri dalam menghadapi pasar bebas dan
11
persaingan global masih sangat rentan dan lemah. Disinilah perlindungan dari
pemerintah sangat dibutuhkan melalui perangkat hukum internasional dan
nasional mengenai antidumping sebagai tindakan balasan terhadap politik
dumping yang dilakukan negara lain dalam hal ini khususnya China. Ditambah
lagi dalam keadaan yang menunjukkan indikasi kesulitan menghadapi produk
China terkait ACFTA ini. Menurut pendapat M.S. Hidayat dalam Koran Kompas
mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya tidak memiliki grand design industri
dalam peningkatan daya saing yang sangat dibutuhkan sejak awal penerapan
ACFTA ini.12
B. Rumusan Permasalahan
Bagaimanapun Indonesia harus dapat cakap dalam melindungi industri
dalam negeri dari praktik dumping dan juga cakap mengantisipasi upaya apa yang
akan digunakan untuk menghadapi tuduhan praktik dumping dari negara lain
dalam waktu yang tepat. Karena pengusaha terutama pengusaha kecil dan
menengah tidak sanggup menyelesaikan tugas dan peran pemerintah dalam
melindungi produk industri dalam negeri dari persaingan yang curang atau praktik
dumping tersebut.
Dengan paparan latar belakang dalam skripsi yang berjudul : “Hukum
Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam
Rangka ACFTA” diatas maka penulis mengangkat beberapa permasalahan
diantaranya adalah:
12
1. Bagaimanakah pengaturan antidumping dalam perdagangan
internasional?
2. Bagaimanakah ketentuan antidumping dalam kerangka hukum
nasional Indonesia?
3. Bagaimanakah penerapan hukum antidumping sebagai pelindung
industri dalam negeri dalam rangka ACFTA?
C. Kegunaan Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis
dan kegunaan praktis, sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Sebagai sumbangan pemikiran pengembangan bidang ilmu hukum pada
umumnya dan ilmu hukum internasional dibidang hukum privat khususnya
Hukum Perdagangan Internasional, mengenai perdagangan regional
dikawasan asia tenggara.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai sumbangan dan acuan bagi sistem hukum di Indonesia terutama
dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan perdagangan bebas
Asean-China sehingga dapat dijadikan pedoman dalam memberikan
perlindungan terhadap industri dalam negeri dalam pasar internasional,
khususnya dikawasan regional Asia tenggara.
D. Keaslian Penelitian
Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis
maka penulis menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Hukum
Antidumping sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka
ACFTA”.
Adapun judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah skripsi yang
lebih menekankan kepada tinjauan hukum dan implementasi hukum anti dumping
saja, namun dalam skripsi ini lebih mengutamakan peran ketentuan anti dumping
dalam melindungi industri dalam negeri dalam pasar bebas di kawasan regional
khusus ASEAN-China yang mulai diberlakukan pada tahun 2010.
Karena dalam pelaksanaan ketentuan antidumping diimplementasikan
dengan bijaksana, karena tidak semua kebijakan antidumping itu memberikan
keuntungan bagi produsen dalam negeri. Jadi dalam skripsi ini menekankan
bagaimana menggunakan ketentuan hukum antidumping tersebut sehingga dapat
memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri dan juga dalam menghadapi
tuduhan dumping dari negara lain sehingga industri dalam negeri Indonesia tidak
tergerus dalam perdagangan bebas ASEAN-China.
Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak
dicapai melaui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini
merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain,
dimana diperoleh melalui pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku,
bahan seminar, makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media
elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan kepada
merupakan implikasi dari proses penemuan kebenaran ilmiah, sehingga hasil
penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya secara ilmiah.
E. Tinjuan Pustaka
Dengan terintegrasinya perekonomian nasional menjadi internasional ini
menimbulkan adanya hubungan dengan perekonomian negara lain. Kondisi ini
juga akan memungkinkan pelaku usaha suatu negara akan bersaing dengan pelaku
usaha yang lainnya dimana mereka memiliki kondisi ekonomi dan system
ekonomi yang berbeda dan memiliki kebijakan ekonomi yang berbeda pula setiap
negara.
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Pendudukan yang dimaksud dapat berupa antar perorangan, antar
individu dengan pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.13
Dumping adalah suatu keadaan dimana barang yang diekspor oleh suatu
Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam
negerinya sendiri atau nilai normal dari nilai barang tersebut.14 Praktik dumping
disini adalah suatu praktik yang dapat menimbulkan kerugian bagi dunia usaha
karena eksportir menjual produknya dengan harga yang lebih murah di negara
pengimpor daripada di negara produsennya sendiri.15
13
Matias Djemana “Globalisasi Terhadap Perdagangan Internasional”, Dengan membanjirnya
barang-barang dari negara pegekspor yang harganya jauh lebih murah dari barang
2011. 14
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan
Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1998), hal 123
15
dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis dalam negeri akan kalah
bersaing. Pada saatnya hal ini akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri
dan produsen atau eksportir dapat merebut pangsa pasar dalam negeri importir.
Salah satu upaya untuk menyikapi dumping adalah dengan melakukan
upaya antidumping sebagai tindakan balasan seperti menetapkan Bea Masuk Anti
Dumping (BMAD). Bea Masuk Anti Dumping adalah pungutan yang dikenakan
terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian.16 Sedangkan Bea Masuk
Anti Dumping Sementara (BMADS) adalah bea masuk anti dumping yang
dikenakan untuk sementara waktu menunggu hasil final investigasi. Jika hasil
final investigasi menunjukkan praktek dumping telah terbukti dan praktek tersebut
telah merugikan industri dalam negeri, BMADS akan diteruskan dan ditetapkan
menjadi BMAD, tetapi jika tidak terbukti maka BMADS dicabut. Pihak-pihak
anggota GATT/WTO diberi wewenang untuk mengenakan pajak atau
perlindungan tariff sebagai jawaban atas kerugian yang ditimbulkan dari impor
barang yang disubsidi.17 Dalam hal ini terdapat tiga kemungkinan dimana subsidi
dapat mendistorsi perdagangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael J.
Trebilcock & Robert Howze18
16
Christoporus Barutu, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan
(Safeguard) Dalam GATT dan WTO, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hal 164.
17
Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal 27.
18
Michael J. Trebilcock dan Robert Howze, The Regulation of International Trade:
Antidumping Law, USA Rontlege, 1999 dalam Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di
1. Jika negara A mensubsidi ekspornya ke negara B, menyebabkan produsen
domestic di negara B kehilangan daya saing, Negara B dapa menjawab
dengan mengenakan tarif terhadap impor barang tersebut.
2. Jika negara A memberikan subsidi pada produksi domestik, menurunkan
daya saing ekspor negara B ke negara A, satu-satunya tindakan yang
dapat dilakukan oleh negara B adalah menjawabnya dengan subsidi setara
atau menyampaikan tentang pelanggaran kepada dewan resolusi sengketa
GATT.
3. Jika negara A mensubsidi ekspor ke negara C, sehingga terjadi penurunan
daya saing ekspor negara B ke negara C, kembali ada kemungkinan
negara B dapat melakukan secara sepihak dengan menjawab melalui
subsidi yang setara.
Masalah subsidi adalah dapat ditanggapi dengan alasan yang sama dengan
dumping karena merupakan suatu hubungan kausal dan menghasilkan harga
dibawah normal. Dalam paparan tersebut diatas memungkinkannya terjadi dua
kasus yang harus dipilah.19
Dengan adanya hukum antidumping ini memberikan sarana perlindungan
terhadap produk industri dalam negeri dari persaingan usaha yang tidak adil dalam
perdagangan internasional. Karena hukum antidumping ini sangat ketat
pengaturannya dan implementasinya perlu digunakan secara tepat karena dalam
masalah praktik dumping ini sangat sensitif terhadap waktu. Waktu yang tidak
efektif dalam pengajuan permohonan dan investigasi praktik dumping ini juga
19
seharusnya dapat dikontrol penerapannya sehingga waktu untuk diterapkannya
hukum antidumping ini tepat dan tidak terlambat untuk melindungi produk
industri dalam negeri sehingga hukum antidumping tersebut dapat berfungsi
sebagaimana mestinya bagi masyarakat.
Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu Negara
ke Negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor
pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari
dalam negeri untuk memasukkanya ke Negara lain.20
Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke
negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor
umumnya adalah tindakan memasukkan barang atau komoditas dari negara lain ke
dalam negeri.21
Industri dalam negeri (industri domestik) adalah keseluruhan produsen
dalam negeri yang menghasilkan barang sejenis dengan barang terselidik dan atau
barang yang secara langsung merupakan saingan barang terselidik, yang
produksinya secara kolektif merupakan bagian dari total produksi barang sejenis
dalam negeri.22
a. Keseluruhan produsen dalam negeri barang sejenis, atau
Yang dimaksud dengan industri dalam negeri dapat dilihat dari pasal 1
angka 8 PP No. 34 Tahun 1996 yakni industri dalam negeri adalah:
20
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan
Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1998), hal 147
21
Ibid, hal 148 22
b. Produsen dalam negeri barang sejenis yang produksinya mewakili
sebagian besar (lebih dari 50%) dari keseluruhan produksi barang
yang bersangkutan.
ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan
antara negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan
perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan
perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa,
peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama
ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.23
Namun dalam berjalannya ACFTA ini yang sebenarnya harapannya
Indonesia dapat sebuah peluang untuk mendapat keuntungan seperti yang
diharapkan namun hal itu tidak terjadi karena dalam beberapa penelitian ACFTA diawali pada tahun 2001 dalam pertemuan ASEAN dan China di
Bandar Sri Bengawan, Brunei Darussalam, dimana China menawarkan proposal
ACFTA untuk jangka waktu 10 tahun, dan ditandatangani tahun 2002 dan
kemudian Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden
Nomor 48 tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. Kemudian ACFTA aktif berlaku
tanggal 1 januari 2010 dan Indonesia harus membuka diri dalam pasar bebas
regional China dan ASEAN.
23
mengatakan neraca perdagangan Indonesia-China tidak seimbang dan Indonesia
mengalami defisit bahkan sebelum ACFTA diberlakukan.24
F. Metode Penelitian
Dalam skripsi ini untuk membahas masalah sangat membutuhkan adanya
data dan keterangan yang dapat dijadikan bahan analitis. Untuk mendapatkan dan
mengumpulkan data dan keterangan tersebut penulis menggunakan metode
sebagai berikut.
1. Spesifikasi Penelitian
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normative dengan
pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan
perundang-undangan antidumping baik dalam hukum internasional
maupun dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Maka tipe
penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif mengenai antidumping dalam
melindungi produk industri dalam negeri. Hal ini ditempuh dengan
melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang
digunakan adalah yuridis normative maka pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan
pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
Antidumping dan perannya dalam melindungi produk industri dalam
negeri terlebih dalam rangka ACFTA ini.
24
2. Bahan Penelitian
Materi dalam skripsi ini diambil dari data seperti dimaksud dibawah ini :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu :
Berbagai dokumen peraturan perundang-undangan yang tertulis yang
ada dalam dunia Internasional mengenai Antidumping dan Perjanjian
Internasional ACFTA. Mengenai antidumping yakni Pasal VI GATT
pada Tahun 1947, diikuti dengan adanya putaran Tokyo yang
melahirkan Antidumping Code (1979) dan digantikan dengan
Antidumping Code (1994) yang dilahirkan dalam Putaran Uruguay
yang merupakan bagian integral dari Agreement Establising the WTO
tanggal 15 April 1994.
Dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum
nasional Indonesia yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006
perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, dan diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk
Imbalan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu :
Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan
dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum
primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber
informasi mengenai Antidumping dan Perjanjian Internasional
majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki
kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu :
Mencakup kamus bahasa untuk pembbenahan tata Bahasa Indonesia
dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing.
3. Data dan Teknik Pengumpulan Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan
melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi
kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara
mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan
perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan
sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan
deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara
menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif
yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data
yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan
dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V Bab yang masing-masing
bab memiliki sub-babnya tersendiri, yang secara garis besarnya dapat diuraikan
sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini diuraikan secara umum mengenai keadaan-keadaan
yang berhubungan dengan objek penelitian seperti latar belakang
pemilihan judul, rumusan masalah, kegunaan penelitian, keaslian
penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II Hukum Antidumping dalam Perdagangan Internasional
Bab ini menguraikan konsep dumping dan antidumping secara
umumnya dan juga memaparkan dampak praktik dumping terhadap
negara importir dan eksportir, kemudian memaparkan sejarah
ketentuan mengenai hukum anti dumping ini dibentuk. Dalam bab
ini juga memaparkan ketentuan antidumping menurut GATT dan
WTO diantaranya ketentuan barang sejenis, ketentuan barang
dumping, penentuan kerugian, industri dalam negeri, serta
tindakan remedial sebagai tindakan terhadap praktik dumping.
BAB III Hukum Antidumping di Indonesia
Dalam bab ini menguraikan ketentuan antidumping di Indonesia
meliputi indikator dalam analisis dumping, lembaga administrasi
Antidumping tersebut di Indonesia. Dalam bab ini juga
memaparkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping yakni tindakan
balasan dari praktik dumping, pemberlakuan surut dalam hukum
anti dumping, tenggat waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian
Kasus Antidumping serta pelaksanaan pemungutan Bea Masuk
Anti Dumping tersebut.
BAB IV Implementasi Ketentuan Antidumping Indonesia dalam
Rangka ACFTA
Dalam bab ini dijelaskan ulasan mengenai ACFTA meliputi proses,
landasan, dan kesepakatan dan renegoisasi dan revisi dalam
ACFTA, memaparkan juga dampak ACFTA terhadap perdagangan
Indonesia yang meliputi neraca perdagangan Indonesia-China dan
langkah pemerintah terkait dampak ACFTA tersebut. Dalam bab
ini juga memaparkan antidumping sebagai salah satu bentuk
proteksi industri dalam negeri dalam menghadapi ACFTA yakni
penegakan hukum terhadap produk impor yang berindikasi
dumping dan kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktik dan
tuduhan dumping.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis
terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan yang
ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang penulis
BAB II
HUKUM ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
A. Tinjuan Umum Mengenai Antidumping
1. Konsep dan Pengertian Dumping
Dumping adalah istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional
yakni praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di
pasaran internasional dengan harga yang kurang dari nilai yang wajar atau lebih
rendah dari harga barang tersebut dinegerinya sendiri, atau dari harga jual kepada
negara lain pada umumnya, sehingga merusak pasaran dan merugikan produsen
pesaing negara pengimpor.25 Dalam ilmu ekonomi dumping diartikan sebagai
“traditionally defined as selling at a lower price in one national market than in
another”.26 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai system
penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang
rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak
diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasar luar negeri dan dapat
menguasai harga kembali).27
25
AF. Elly Erawaty dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, (Jakarta, Proyek ELIPS, 1996), hal.39.
26
John H Jackson and William J.Davey, Legal Problems of Economics Internasional
Cases, Materials and tax (2nd Edition), hlm. 654-655.
27
Dalam Black’s Law dictionary, Pengertian dumping dinyatakan sebagai
berikut, “The act of selling in quantity at a very low price or practically
regardless of the price; also, selling goods abroad at less than the market price
at home.28
Beberapa pengertian dumping sebagaimana dikemukakan oleh beberapa
sarjana dalam Sukarmi adalah sebagai berikut.
” Dimana dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebuah tindakan yang
menjual barang dalam kuantitas harga yang sangat rendah atau hampir
mengabaikan harga, juga menjual barang-barang luar negeri kurang dari harga
pasar di tempat asalnya.
Adapun menurut kamus hukum ekonomi, dumping adalah prakting dagang
yang dilakukan pengekspor dengan menjual komoditi di pasaran internasional
dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga
barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain,
pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan
merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. Dari defenisi tersebut diatas
menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering diekpresikan sebagai penjualan
produk-produk untuk ekspor pada harga yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai
normal dalam arti harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara
sendiri atau di pasar pengekspor.
29
1. Agus Brotosusilo: Dumping adalah bentuk diskriminasi harga
internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara
28
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul,Minn;West Publishing Co, 1990),Hal.347.
29
pengekspor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar
luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
2. Muhammad Ashari: Dumping adalah suatu persaingan curang dalam
bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu diskriminasi harga yaitu suatu
produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan
dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Dumping
adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau pengkspor yang
melaksanakan penjualan barang/ komoditi di luar negeri atau negara lain dengan
harga yang lebih rendah dari harga barang sejenis baik di dalam negeri
pengekspor maupun di negara pengimpor, sehingga mengakibatkan kerugian bagi
negara pengimpor. Dengan demikian bahwa pengertian dumping dalam konteks
hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga
internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor
yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri
dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh
keberuntungan atas produk tersebut.
Untuk mengantisipasi adanya praktik dumping diperlukan suatu tindakan
yang disebut antidumping adalah suatu tindakan balasan yang diberikan oleh
negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan
dumping. Pengenaan bea masuk antidumping adalah pungutan yang dikenakan
Barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor
yang lebih rendah dari nilai normalnya dinegara pengekspor. Berbeda dengan
subsidi yang terlihat sama namun berbeda, dimana subsidi adalah:30
a) Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan
pemerintah baik langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan,
industri, kelompok industri, atau eksportir.
b) Setiap bentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan
secara langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan import dari
atau kenegara yang bersangkutan.
Tujuan hukum diciptakannya pengaturan anti dumping adalah upaya
perlindungan bagi industri lokal atau nasional dalam suatu negara. Namun dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimiliki Indonesia, meskipun substansinya
memuat pengaturan larangan praktek persaingan tidak sehat baik dalam bentuk
harga maupun barang, tetapi undang-undang tersebut tidak menyinggung
mengenai perihal anti dumping. Hal ini membuat seolah-olah tidak ada
keterkaitan antara praktik dumping dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut Robert Willig, mantan kepala ahli ekonomi pada divisi Antitrust
Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping berdasarkan tujuan
dari eksportir, kekuatan pasar dan struktur pasar impor yaitu sebagai berikut.31
30
H.S. Kartajoemana, GATT, WTO dan hasil Uruguay Round (Jakarta ; UI Press, 1997) hal; 169.
31
1. Market Ekspansion Dumping
Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “Mark
up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas
permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical Dumping
Motivasi dumping jenis ini muncul dar adanya biaya marginal yang luar
biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai
kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan
produk terkait.
3. State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping
lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.
4. Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan
perusahaan saingan dinegara pengimpor melalui strategi keseluruhan dari
negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun
dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara
pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir
independen cukup besar dalam tolak ukur skala ekonomi, maka mereka
memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
5. Predatory Dumping
Istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan
mendepak pesaing dari pasaran, dalam rangka memperoleh kekuatan
monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis
ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang
sejenis di negara pengimpor.
Dumping merupakan praktik diskriminasi harga yang menjual produk
impor dengan harga yang lebih murah dari produk yang sama dinegara asal.
Selain itu, praktik diskriminasi harga yang menjual produk impor dengan harga
yang lebih rendah dari pada biaya produksinya juga dikategorikan sebagai
dumping. Berbagai negara telah mempunyai kebijakan dan prosedur
masing-masing untuk melindungi perusahaan nasionalnya dari praktek dumping. Secara
garis besar, dumping bisa dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :32
1. Dumping Spondaris, yaitu dumping yang dilakukan secara temporer
dengan tujuan utama mengatasi kelebihan kapasitas. Kelebihan
kapasitas dipasarkan ke luar negeri dengan harga berapa pun yang
penting dapat dijual. Dengan demikian, perusahan bisa mendapatkan
pemasukan dan terhindar dari perang harga dipasar nasionalnya.
2. Dumping Predatoris, yaitu praktek dumping dengan menjual produk
secara merugi dengan tujuan mendapat akses kesuatu pasar dan
menyingkirkan para pesaing. Begitu pesaing mulai berguguran dan
posisi perusahaan cukup kuat, baru harga dinaikkan.
32
Aprilia dan Fenita Adriani, “Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia”,
3. Dumping Persisten, yaitu jenis dumping yang paling permanent,
dimana perusahaan secara konsisten menjual produknya dengan harga
lebih rendah disatu pasar dibandingkan dipasar-pasar lainnya. Hal ini
dimungkinkan dengan penerapan metode penerapan harga marginal
untuk pasar luar negeri dan metode penerapan harga penuh untuk pasar
dalam negeri. Akibatnya, konsumen dalam negeri harus berkorban
dengan membayar harga yang lebih mahal dari pada konsumen negara
lain.
Bagaimanapun tidak seluruh dumping itu membahayakan hanya dumping
yang merugikan dan melanggar ketentuan Antidumping seperti yang diatur dalam
agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yang merupakan
Multilateral Trade Agreement (MTA). Dumping yang dipermasalahkan hanyalah
dumping yang dapat menimbulkan kerugian material pada industri dalam negeri
negara pengimpor.33
Dalam ketentuan Pasal VI ayat 1 GATT merumuskan definisi dumping
sebagai : “Product of one country are introduce into the commerce of another
country at less than normal value of the product is to be condemned if it causes or
threated material injury to an estabilished industry in the teritority of contracting
party or matrially rertard the estabilishment of a domestic industry”.34
Berdasarkan ketentuan diatas, maka artikel VI GATT 1994 ini
mengijinkan otoritas di suatu negara untuk mengenakan biaya tambahan dalam
bentuk bea masuk anti dumping terhadap produk-produk impor yang diduga dijual
33
Yulianto Syahyu, op.cit., hal 34 34
dibawah harga normal atau harga lebih murah dari harga pasar di pasar domestik
dari negara asal barang, sehingga praktik yang demikian menimbulkan kerugian
bagi industri dalam negeri.35
1. Harga ekspornya lebih rendah daripada harga perbandingan untuk barang
sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. Dumping juga memiliki dua arti yakni pertama, dumping adalah praktek
yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya pada
harga yang lebih rendah dari harga produk itu jika dijual di negara asalnya.
Definisi dumping ini dipakai dalam Putaran Kennedy dan Putaran Tokyo
mengenai Antidumping duties, sementara definisi dumping yang disepakati dalam
Putaran Uruguay adalah praktek yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang
menjual produk ekspornya dengan harga yang lebih rendah daripada harga normal
produk tersebut. Putaran Uruguay juga menentukan kriteria sebuah perusahaan
dianggap melakukan dumping, yaitu :
2. Bila tidak ada penjualan dipasar domestik, maka digunakan perbandingan
harga ekspor ke pasar negara ketiga.
3. Bila ukuran pertama dan kedua tidak ada, maka digunakan suatu ukuran
ketiga yakni dengan diadakan pembentukan harga yang didasarkan pada
biaya produksi ditambah dengan satu jumlah biaya untuk administrasi,
pemasaran dan biaya lainnya ditambah dengan suatu jumlah keuntungan
yang wajar.
35
Rita Erlina, Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional : Sinkronisasi Peraturan
Anti Dumping Indonesia Terhadap WTO Anti Dumping Agreement , Tesis, (Program Pasca
Dumping dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi harga hal ini
berarti menjual barang yang sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang
terpisah. Hal ini sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang
bersangkutan.36 Dapat juga diartikan sebagai penawaran di luar negeri dengan
harga di bawah biaya produksi negara pengekspor.37
Negara yang merasa dirugikan dengan adanya dumping itu bisa melakukan
tindakan balasan, sekarang biasanya diwujudkan dalam bentuk Bea Masuk Anti
Dumping. Kebijakan anti dumping menjadi hal yang kontroversial dan paling
sering digunakan oleh negara-negara maju untuk melindungi perusahaannya yang
kurang efisien. Kebijakan anti dumping itu diterapkan tidak boleh lebih lama
daripada 5 tahun sejak kebijakan antidumping diterapkan, namun pihak
pemerintah yang mengeluarkan kebijakan anti dumping di suatu negara bisa
menerapkan jangka waktu yang lama lagi jika melihat bahwa kelanjutan Kemudian yang dikatakan dengan anti-dumping adalah kebijakan yang
dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah
timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk
impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk.
Mekanisme anti-dumping ini selanjutnya menciptakan apa yang disebut sebagai
safeguard yaitu suatu upaya perlindungan dari pemerintah suatu negara untuk
melindungi produk dalam negeri yang dihasilkan pelaku usaha domestiknya.
36
Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia,(Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003),hlm. 32.
37
pengenaan kebijakan anti dumping itu mencegah timbulnya kembali atau
mengurangi kerugian yang terus berlanjut pada suatu industri domestiknya.
Di lain pihak penggunaan definisi barang dumping sebagai barang ekspor
yang dijual pada harga yang lebih rendah daripada harga normal merugikan
negara-negara yang memiliki industri yang efisien dan mempunyai keuntungan
komparatif dan kompetitif. Sudah sering terjadi negara-negara maju menerapkan
kebijakan anti dumping pada sebuah produk yang sebenarnya tidak didumping
sering terjadi, hanya karena melihat bahwa barang ekspor itu dijual dibawah harga
normal. Kriteria harga normal kebanyakan ditentukan oleh perhitungan mereka
sendiri atau karena melihat bahwa produk impor itu telah merusak harga produk
sendiri, merusak harga produk-produk sejenis yang dihasilkan oleh produsen
domestik dan dilakukan secara sepihak tanpa meminta keterangan terlebih dahulu
atau membentuk tim untuk melakukan investigasi. Pembentukan tim investigasi
baru dilaksanakan setelah ada keberatan dari pihak negara pengekspor, tetapi juga
merugikan pihak importir,distributor dan penjual eceran di negara pengimpor
serta tentu saja konsumen yang harus membayar lebih mahal.
Dasar hukum antidumping mungkin tidak sesuai dengan teori ekonomi.
Walaupun demikian, para negosiator perdagangan internasional tidak
mempermasalahkan apakah dumping dapat diperkarakan. Selama negoisasi WTO,
tidak ada delegasi yang menentang hak pemerintahan suatu negara untuk
menetapkan antidumping. Sampai pada akhirnya ketika Putaran Kennedy, para
Putaran Kennedy hanya ada satu kasus yang pada tahun 1955, Swedia dibebankan
bea antidumping oleh Italia atas produk Stoking Nilon.
Pada awalnya ketentuan GATT yang mengatur mengenai tata cara dan
prosedur pelaksanaan antidumping (Article VI) dirasakan masih bersifat tidak jelas
dan perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu penyempurnaan melalui
berbagai perundingann multilateral yang menghaslkan Agreement on
Implementation of article VI of GATT 1994 atau yang dikenal dengan
Antidumping Code (1994).
Article 2,1 dari Antidumping Code (1994) mengatur tentang determinasi
dumping yaitu38
Untuk mengkounter praktik dumping yang dilakukan produsen negara
pengekspor maka pemerintah negara pengimpor dapat melakukan pengenaan dan
penarikan bea masuk antidumping. Pengertian antidumping menurut konsep
GATT 1994 adalah bea masuk yang dikenakan kepada barang-barang yang :
“For the purpose of this Agreement, a product is to be considered as being
dumped, i.e. introduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade for the like product when destined for consumption in the exporting country.”
Dengan demikian konsep utama dalam GATT 1994 adalah menjual barang
dengan harga lebih murah di luar negeri daripada dalam negeri dengan dibawah
harga normal. Sehingga jika terdapat selisih antara harga jual ekspor dan harga
jual dalam negeri lebih rendah, maka eksportir dianggap sudah melakukan
dumping.
38
diketahui sebagai barang dumping dengan tujuan menghilangkan unsur dumping
pada barang tersebut, dan agar harga barang tersebut tidak terlalu tinggi
perbedaannya dengan harga barang sejenis di negara importer. Tindakan
antidumping sebagai upaya untuk mengkounter praktik dumping perlu dilakukan
secara adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan
masyarakat dan dunia usaha.
Dengan demikian apabila suatu perusahaan di luar negeri menjual
produknya ke negara lain dengan harga dumping dan menyebabkan kerugian
terhadap industri dalam negeri importir, maka negara importir tersebut
dibenarkan mengenakan bea masuk antidumpingsebesar margin dumpingnya.
2. Dampak Praktik Dumping Terhadap Negara Importir dan
Eksportir
Masyarakat dalam melakukan perdagangan bertujuan untuk memperoleh
keuntungan, untuk itu masyarakat harus mempunyai kemampuan atau kecakapan
serta berkeinginan untuk terus menerus mengikuti kegiatan perdagangan
internasional, serta berupaya memperdagangkan barang yang berkualitas dan
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat internasional. Maka untuk itu pelaku
perdagangan internasional perlu memiliki konsep keunggulan komperatif atau
yang sering disebut Comparative Advantages.39
Namun hal tersebut sering tidak dipahami dan dilakukan oleh pelaku
usaha, mereka pada umumnya lebih mengutamakan keuntungan dan terkadang
demi keuntungan melakukan praktik curang (Unfair) seperti melakukan praktik
39
dumping sementara praktik tersebut memiliki dampak bagi importir maupun
eksportir.
Konsep strategi dumping menimbulkan masalah bersama dari pasar ekspor
yang tidak elastis dalam hubungan dengan harga rendah dalam pasar impor.
Robert Willig menyatakan hal tersebut dikarenakan40
1. Tertutupnya pasar pengekspor,
:
2. Akibatnya terjadi pembatasan penjualan dalam negeri sehingga membatasi
untuk investasi pada penelitian dan pengembangan serta pengembangan
sumber daya manusia,
3. Kemungkinan memperkuat monopoli para eksportir jika supplier domestic
di negara impor tidak mampu dalam bersaing secara efektif, dan
4. Kemungkinan oligopoli antara produsen luar negeri dan domestik.
Dari sudut pandang pereknomian global, pengaruh negatif strategi dumping pada
negara importir lebih besar dari negara eksportir yang menikmati keuntungan.41
1. Dampak Dumping di Negara Importir
Dampak dumping dapat dilihat dari dua sisi yakni dari pihak Importir dan
pihak Eksportir.
Dampak dumping dapat dilihat dari beberapa tolak ukur yakni sebagai
berikut42
40
Gabrielle Marceau, Antidumping and Antitrust Issues in Free Trade Areas, (Oxford, Clareden Press, 1994), hal 15, dikutip oleh Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003), hal 47.
41
Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia,(Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003),Hlm. 47
42