• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri Dalam Negeri Dalam Rangka ACFTA (Asean Free Trade Area)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri Dalam Negeri Dalam Rangka ACFTA (Asean Free Trade Area)"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI PELINDUNG INDUSTRI

DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA

(Asean – China Free Trade Area)

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai

persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Romina Purnama M

NIM. 080200153

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Jesus Kristus, Tuhan Yang

Maha Esa, atas segala berkat dan rahmatNya yang memberikan kesempatan untuk

menjalani masa perkuliahan hingga tahapan penyelesaian skripsi seperti sekarang

ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberikan judul “HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI

PELINDUNG PRODUK INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA

ACFTA (Asean Free Trade Area)” sebagai salah satu unsur penting dalam

pemenuhan nilai-nilai tugas dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa penulis ingin

mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut dibawah

ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivator penulis dari

awal masa perkuliahan hingga sekarang. Penulis menghanturkan terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Kedua Orang Tua yang sangat penulis cintai dan hormati, Frans

Manurung dan Linda Hutagalung, serta kakak dan adik penulis

tersayang, Sventy, Kartika, Janri, Ria, Cristophel, Hesty, serta Jenny.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, S.Hum, selaku Pembantu Dekan

(3)

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M. Hoesni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Windha, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas ilmu dan saran yang

telah diberikan kepada Penulis.

7. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen

Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Bapak Prof. Bismar Nasution, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing

I, atas bimbingan dan pengetahuan yang diberikan sejak masa perkuliahan

hingga sekarang ini.

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II,

atas ilmu, pengajaran serta bimbingan dan saran yang telah banyak

diberikan kepada penulis, baik dalam masa penulisan skripsi maupun

dalam masa-masa perkuliahan.

10.Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing

Akademik penulis yang telah banyak memberikan masukan selama masa

perkuliahan.

11.Semua Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh administrasi

Fakultas Hukum, Program Ilmu Hukum dan Perpustakaan Pusat

(4)

12.Semua senior yang mendukung dan membantu dengan memberikan

masukan mulai saat perkuliahan sampai penulisan skripsi ini, Bang Indra,

Bg Jojo, SH., Fonger, SH., Yenny, SH.,Ivan, SH., dan lain-lain

13.Semua Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Bung

Hot Marudur, B’Howard, B’Marshias, B’Welson, SH.,, B’Roy, SH.,

B’Adrianto, SH., B’Rudi, B’Apul, B’Prinst, B’Hizkia B’Martin

Luther dan Sarinah Elyza, S’Andriana, S’Dorothy, S’Rina, S’Fenny,

S’Yola, S’Melda, S’Mika, S’Diandes, S’Maria dan lain-lain.

14.Semua teman-teman stambuk 2008, Siska Purba, Nodi, Wanelfi,

Lusiana, Lidia, Hasan Afif Muhammad, Harianto, Ranto, Erny

Suciaprianti, Fatiya Rochimah, Juni, Fiqi dan lain-lain.

15. Teruntuk adinda tersayang, Santi Nababan.

16.Teruntuk KK NEHEMIA, Ka’Corry Aruan., SH, Ka’ Delfi Aruan, SE.,

Desy Siringoringo, Bona, Juliana Hutasoit, Jhon Sipayung, Suspim

Gunawan Parlindungan Nainggolan, Dedy Sihombing, atas doa dan

semangat yang selalu diberikan.

17.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam

(5)

Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih

sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan segala

kritikan dan saran yang bersifat membangun, agar bisa lebih baik lagi di

kesempatan yang akan datang.

Medan, 1 Febuari 2012

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

ABSTRAK viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan Judul 1

B. Perumusan Masalah 8

C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan 9

D. Keaslian Penulisan 9

E. Tinjauan Pustaka 11

F. Metode Penelitian 16

G. Sistematika Penulisan 19

BAB II HUKUM ANTIDUMPING DALAM

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Tinjauan umum mengenai Antidumping 21

1. Konsep dan Pengertian Dumping 21

2. Dampak Praktik Dumping terhadap negara Importir dan Eksportir 32

3. Sejarah Ketentuan Antidumping 36

B. Ketentuan Antidumping menurut GATT dan WTO 40

1. Penentuan Harga 43

(7)

3. Penentuan Barang Dumping 47

4. Penentuan Kerugian 47

5. Hubungan Sebab-Akibat 50

6. Industri dalam Negeri 51

C. Tindakan Remedial 52

BAB III HUKUM ANTIDUMPING DI INDONESIA

A. Dasar dan Ketentuan Antidumping di Indonesia 58

1. Indikator yang Digunakan Dalam Analisis Dumping 59

a. Barang Sejenis 60

b. Margin antara Nilai Normal dan Harga Ekspor 61

c. Kerugian 70

d. Industri dalam negeri 72

2. Lembaga Administrasi dan Pelaksana Peraturan Antidumping 75

3. Proses Penyelidikan Antidumping 84

B. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 94

C. Pemberlakuan Surut 96

D. Tenggat Waktu Penyelesaian Kasus Antidumping 97

E. Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 99

BAB IV IMPLEMENTASI KETENTUAN ANTIDUMPING

DI INDONESIA DALAM RANGKA ACFTA

(Asean Free Trade Area)

A. Ulasan Mengenai ACFTA (Asean Free Trade Area) 103

(8)

2. Landasan ACFTA 105

3. Kesepakatan dalam ACFTA 107

4. Renegoisasi dan Revisi dalam ACFTA 110

B. Dampak ACFTA terhadap Perdagangan Indonesia 113

1. Neraca Perdagangan Indonesia-China 118

2. Langkah Pemerintah terkait dampak ACFTA 122

C. Antidumping Sebagai Salah Satu Bentuk Proteksi Produk Industri

Dalam Negeri Dalam Menghadapi ACFTA. 125

1. Penegakan hukum terhadap produk impor yang berindikasi

dumping 128

2. Kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktek dan

tuduhan dumping 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 139

B. Saran 142

(9)

HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI PELINDUNG PRODUK INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA

(ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA)

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M. Hum*) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum**)

Romina Purnama M***)

ABSTRAK

Penyatuan ekonomi antar negara baik regional maupun multinasional diantaranya adalah ACFTA (Asean-China Free Trade Area) menciptakan mekanisme pasar berdaya saing tinggi sehingga tidak jarang bila ada tindakan persaingan curang salah satunya dalam bentuk diskriminasi harga yaitu praktik Dumping. Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilishing The World Trade

Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, konsekuensinya

kemudian membuat ketentuan dasar tentang Antidumping yang hanya dikenakan kepada produk yang mengancam industri dalam negeri terutama Usaha Kecil Menengah. Daya saing industri dalam negeri yang masih rentan, penting peran pemerintah memberikan perlindungan dengan perangkat Hukum Antidumping sebagai tindakan balasan dari politik dumping. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Hukum Antidumping tersebut digunakan sebagai pelindung Industri Dalam Negeri dalam rangka ACFTA.

Metode penelitian yang dipakai penulis ialah metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang menggambarkan situasi atau peristiwa yang sedang diteliti dan kemudian menganalisanya berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisis yuridis normatif, yaitu dengan berusaha mengkaji dan menguji data yang berkaitan dengan permasalahan dalam Hukum Antidumping. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan,

literature / dokumen untuk memperoleh data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara tidak langsung Bea Masuk Antidumping (BMAD) dapat menjadi obat pemulihan bagi industri dalam negeri dan terlebih bila BMAD tersebut digunakan untuk research development sehingga industri tersebut dapat mengeksplorasi produknya tidak hanya mengurangi dampak injury namun juga meningkatkan daya saing industri tersebut. Hal ini dapat terjadi bila pemerintah dan pelaku pihak industri bisa bekerja sama dengan baik untuk memahami dan memandang bahwa Hukum Antidumping merupakan hal yang harus dikuasai dalam melakukan perdagangan bebas khususnya dalam ACFTA.

Kata kunci : ACFTA, Hukum Antidumping *) Dosen Pembimbing I

*) Dosen Pembimbing II

(10)

PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN

KREDIT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI

KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH

(Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

S K R I P S I

Disusun dan diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MAHRINA ADIBAH NASUTION

NIM : 080200122

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

berkat dan rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga peulis

dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat

pada waktunya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “PENERAPAN THE FIVE

C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN KREDIT SEBAGAI SALAH

SATU UPAYA MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA

KREDIT BERMASALAH (Studi PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang

Medan)” disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih

gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara, dimana hal tersebut

merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan

perkuliahannya

Skripsi ini membahas tentang penerapan PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang

Medan terhadap kaitannya dalam analisis pemberian kredit yakni the five c’s of

credit guna meminimalkan risiko kredit bermasalah seminimal mungkin. Penulis

telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan

skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih

banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini

(12)

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan

dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen

Hukum Perdata dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan

arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen

Hukum Perdata

5. Ibu Puspa Melati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan

arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan

membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

7. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda Djusman Nasution dan

Ibunda Erna Z. yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan

kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan

(13)

8. Kepada Kakaku Dini Meilani Nst dan Abangku Achmad Syukri Nst yang

telah memberikan motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.

9. Kepada sahabat-sahabat Penulis : Astri Grahita Putri SE, Novita Anggraini

S.Hut, Swanty Eka Putri SE, Deli Utari S.Kom.

10.Teman-teman seangkatan 2008 Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak

dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik

yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis

mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita

semua. Amin.

Medan, September 2011

Penulis

(14)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ...20

G. Sistematika Penulisan ...23

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian Perjanjian Kredit ...25

B. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Bank ...32

C. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank ...41

D. Jaminan Kredit Bank ...43

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PENILAIAN ANALISIS THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) & KREDIT BERMASALAH A. Penilaian Analisis The Five C’s Of Credit (5C) ...51

B. Pengertian Kredit Bermasalah ...55

C. Penyebab Kredit Bermasalah ...62

(15)

E. Tekhnik Menyelesaikan Kredit Bermasalah...72

BAB IV : PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) MENGURANGI

KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH

(Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

A. Gambaran Umum Mengenai PT. Bank BNI (Persero) Tbk ...77

B. Penerapan The Five C’s Of Credit (5C) dalam Analisis Pemberian

Kredit Untuk Mengurangi Risiko Kredit Bermasalah di PT. Bank

BNI (Persero) Tbk Cabang Medan ...81

C. Hambatan-Hambatan yang Menyebabkan The Five C’s Of Credit

(5C) Tidak Dapat Dilakukan Secara Optimal ...95

D. Cara Mengatasi Hambatan-Hambatan yang Terjadi dalam

Penerapan The Five C’s Of Credit (5C)...99

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ...

B. Saran... ...

DAFTAR PUSTAKA

(16)

ABSTRAK

Analisis kredit merupakan penilaian terhadap suatu permohonan kredit (baik permohonan kredit baru, perpanjangan/pembaharuan, maupun restrukturisasi) layak atau tidak untuk disalurkan kepada Debitur. Prinsip penilaian kredit yang yang menjadi standar minimal yang lazim digunakan dikalangan perbankan yaitu dengan analisis the five c’s of credit (5C) yaitu: Penilaian Watak (Character), Penilaian Kemampuan (Capacity), Penilaian terhadap modal (Capital), Penilaian terhadap agunan (Collateral), dan Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy). Dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut bermasalah pasti ada. Hanya saja dalam hal ini, bagaimana meminimalkan risiko tersebut seminimal mungkin.

Dengan alasan di atas, penulis mengadakan penelitian yang dilakukan di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan, dengan menggunakan metode analisis data kualitatif yakni menganalisis data didasarkan atas kualitas data selanjutnya dituangkan dalam bentuk deskriptif. Penelitian mulai dilakukan November 2011.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Penggunaan the five c’s of

credit (5C) dalam setiap permohonan kredit merupakan hal yang mutlak dan harus

dilakukan untuk menentukan keputusan diterima atau ditolaknya suatu kredit. Di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan penilaian terhadap permohonan kredit dimulai dengan meneliti proposal dan berkas permohonan kredit dari calon debitur, kemudian dilakukan penyelidikan terhadap berkas pinjaman, selanjutnya dilakukan penilaian kelayakan kredit yang menggunakan analisis the five c’s of

credit (5C), sebelum diputuskannya permohonan kredit diterima atau tidak, maka

setelah penilaian kelayakan kredit, kemudian melalui tahap wawancara pertama, peninjauan ke lokasi, hingga wawancara kedua. Setelah itu baru diputuskan permohonan kredit tersebut diterima atau tidak. Namun dalam pelaksanaanyan di lapangan ada beberapa kendala sehingga penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam analisis pemberian kredit tidak dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini karena kesengajaan pihak bank yang terlibat dalam proses kredit yang tidak profesional atau bankir kurang ahli dalam menganalisis atau kesalahan prosedur manejemen bank.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi perekonomian dunia sekarang ini sudah berubah dimana kondisi

perekonomian dunia semakin mendunia sehingga memberikan kesempatan bagi

negara yang satu dan negara yang lainnya untuk melakukan peredaran barang dan

jasa. Dengan menurunkan biaya transportasi, komunikasi, berkembangnya

teknologi dan informasi dan hilangnya hambatan bagi arus barang dan jasa antar

negara menghilangkan batas antar negara yang satu dan negara yang lain,

sehingga terbentuklah penyatuan ekonomi antar negara-negara. Indonesia juga

melakukan kegiatan perdagangan internasional mengikuti berbagai kerja sama

ekonomi khususnya di kawasan ASEAN baik regional maupun multilateral

contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan yang diterapkan pada Januari

2010 ini adalah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)

Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum pun tidak dapat

dihindarkan sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut

dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian melewati batas

negara.1

1

Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi Bagi

Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Di Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU ke 44

Medan, 20 November 2001, hal.4

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui

ratifikasi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan

Agreement in Establishing The World Trade Organization /WTO (Persetujuan

(18)

eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi

seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO, sementara konsekuensi internal

Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-perundangan

nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO. Keikutsertaan Indonesia dalam

perdagangan bebas mendorong industri dalam negeri untuk bersaing, baik di

dalam negeri sendiri maupun di pasar ekspor. Hal ini merupakan problem besar

bagi Indonesia karena kemampuan produk Indonesia dari segi kualitas maupun

kuantitas masih lemah2

Seiring dengan penyatuan ekonomi antar negara itu terjadi ketergantungan

dan integrasi ekonomi nasional kedalam ekonomi global dan menciptakan

mekanisme pasar yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan

antara pelaku usaha tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang,

baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price) . Dalam bentuk

harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal

dengan istilah dumping .

3

Dumping merupakan suatu hambatan perdagangan yang bersifat nontarif,

berupa diskriminasi harga. Masalah dumping merupakan substansi di bidang rules

making yang akan semakin penting bagi Negara berkembang yang akan

meningkatkan ekspor nonmigas terutama dibidang manufaktur. Praktik dumping .

2

Mohammad Sood, “Regulasi Anti Dumping Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap

Industri Dalam Negeri”,

November 2011.

3

(19)

dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair (unfair), karena bagi negara

pengimpor, perdagangan dengan motif dumping akan menimbulkan kerugian bagi

dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir

barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang

dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis akan kalah bersaing. Praktek

banting harga itu pun dapat berakibat kerugian bagi perusahaan domestik yang

menghasilkan produk sejenis. Tindakan tersebut mengharuskan pemerintah suatu

negara mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap berbagai praktik

bisnis. Pembatasan tersebut merupakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan

dapat dinyatakan juga sebagai suatu kejahatan.4

Istilah dumping didalam dunia bisnis sering dianggap sebagai praktek

yang wajar untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan industri, namun

pada kenyataannya dapar menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang

sejenis di negeri lain (Negara pengimpor). Dumping juga tidak terlepas dari

praktek subsidi, proteksi, dan aneka bentuk tata negara yang semuanya menjadi

satu yaitu perdagangan bebas. Fakta global menunjukkan bahwa praktek dumping

tidak menjadi hal yang baru, sekarang menjadi penting karena terjadi perdagangan

dunia. Daya saing dari industri negara-negara maju telah diimbangi oleh

produsen-produsen negara berkembang.5

Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN-China FTA juga

dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari

4

(20)

perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya

diekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam

negeri yang produknya dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya

saing yang relatif kurang kompetitif yang harus bersaing dengan produk China.

Para kepala negara anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November

2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani Framework Agreement on

Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast

Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari

Framework Agreement AC-FTA tersebut adalah:

a) Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan

investasi kedua pihak;

b) Meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan investasi;

c) Mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling

menguntungkan kedua pihak;

d) Memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota

baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak6

Selain itu kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan

kerjasama ekonomi melalui:

.

a. Penghapusan tarif dan hambatan non tariff dalam perdagangan barang;

b. Liberalisasi secara progresif perdagangan jasa;

c. Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka

ASEAN-China FTA7

6

Ardian, “Dampak Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) bagi Perdagangan

Indonesia”,

.

(21)

Dalam lima tahun terakhir peningkatan impor dari China pada umumnya

diatas 20 % pertahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China

berpotensi dan sudah menjadi ancaman terhadap pasar domestic untuk produk

yang sejenis. Pada bulan Januari 2010, produk China praktis menguasai setiap lini

di Indonesia. Dimana kualitas barangnya seadanya, tetapi haraganya yang murah

meriah membuat produk China laku keras. Data perdagangan akhir 2010, neraca

perdagangan Indonesia-China defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia

ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar

dollar AS.8

Pemberlakuan ACFTA telah menuai dampak negatif juga dimana sekitar

20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan, hal ini dapat

dicontohkan penyurutan manufaktur pada industri alas kaki. Dari sekitar 1,5 juta

tenaga kerja pada tahun 2000 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa

dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), jumlah pengangguran pun kian

bertambah.

9

Survey yang dilakukan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

langsung ke Shanghai dan Guangzhou, China, menemukan adanya praktik banting

harga (dumping) untuk beberapa produk yang diekspor ke Indonesia. Dari 190

barang yang diekspor ke Indonesia, ditemukan 30 produk dengan harga lebih

7

Vanisterisa, “Polemik ACFTA” kali diakses tanggal 28 September 2011.

8

“Produk China di Setiap Lini”, Kompas, 12 April 2011 9

(22)

murah dibandingkan dengan harga di pasar lokal mereka. Artinya, China telah

menerapkan politik dumping.10

Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdaganagn multilateral,

Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilihing the WTO melalui

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, sebagai konsekuensinya Indonesia kemudian

membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya

dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan

ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menyetujui GATT dan

WTO dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dimana ketentuan antidumping

sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 secara simultan telah

diadakan beberapa perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT,

dimana perjanjian tamabahan tersebut dikenal dengan code. Hal ini ditindaklanjuti

dengan disepakatinya Tokyo Round yang menghasilkan Antidumping Code 1979,

kemudian digantikan dengan Uruguay Round dengan nama Agreement on

Implementation of Article VI of GATT 1994 yang merupakan Multilateral Trade

Agreement (MTA) dimana instrumen hukum itu ditandatangi bersamaan dengan

penandatanganan Agreement Estabilishing the World Trade Organization di

Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Jadi dengan demikian

Antidumping Code tahun 1994 suatu paket yang inklusif atau integral dari

Agreement Estabilihing the WTO.

10

(23)

1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan diikuti

dengan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Ketentuan Antidumping ini hanya dikenakan pada produk yang

mengancam produk industri dalam negeri karena menimbulkan persaingan usaha

yang tidak sehat. Dalam menghadapi China dalam perdagangan bebas ini

seharusnya Indonesia sudah matang dalam pembelaan industri dalam negeri

karena China juga terkenal sering melakukan politik dumping.

Tentu dalam melaksanakan kebijakan ini tidaklah sembarangan, haruslah

digunakan dengan analisis dan indikator yang jelas. Bea masuk antidumping

hanya akan dikenakan apabila kriteria praktik dumping dapat dibuktikan dalam

penyelidikan antidumping, dimana kriterianya adalah adalah:

1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara;

2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang dibawah harga normal

atau dengan kata lain adanya dumping;

3. Adanya kerugian terhadap industri dalam negeri;

4. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor

yang di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap

industri dalam negeri.11

Jadi dengan adanya ACFTA ini banyak peristiwa tentang perdagangan

bilateral antara Indonesia dan China tidak seimbang dan berdampak pada kerugian

dan kelesuan permintaan terhadap produk industri dalam negeri terutama industri

kecil dan menengah. Industri dalam negeri dalam menghadapi pasar bebas dan

11

(24)

persaingan global masih sangat rentan dan lemah. Disinilah perlindungan dari

pemerintah sangat dibutuhkan melalui perangkat hukum internasional dan

nasional mengenai antidumping sebagai tindakan balasan terhadap politik

dumping yang dilakukan negara lain dalam hal ini khususnya China. Ditambah

lagi dalam keadaan yang menunjukkan indikasi kesulitan menghadapi produk

China terkait ACFTA ini. Menurut pendapat M.S. Hidayat dalam Koran Kompas

mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya tidak memiliki grand design industri

dalam peningkatan daya saing yang sangat dibutuhkan sejak awal penerapan

ACFTA ini.12

B. Rumusan Permasalahan

Bagaimanapun Indonesia harus dapat cakap dalam melindungi industri

dalam negeri dari praktik dumping dan juga cakap mengantisipasi upaya apa yang

akan digunakan untuk menghadapi tuduhan praktik dumping dari negara lain

dalam waktu yang tepat. Karena pengusaha terutama pengusaha kecil dan

menengah tidak sanggup menyelesaikan tugas dan peran pemerintah dalam

melindungi produk industri dalam negeri dari persaingan yang curang atau praktik

dumping tersebut.

Dengan paparan latar belakang dalam skripsi yang berjudul : “Hukum

Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam

Rangka ACFTA” diatas maka penulis mengangkat beberapa permasalahan

diantaranya adalah:

12

(25)

1. Bagaimanakah pengaturan antidumping dalam perdagangan

internasional?

2. Bagaimanakah ketentuan antidumping dalam kerangka hukum

nasional Indonesia?

3. Bagaimanakah penerapan hukum antidumping sebagai pelindung

industri dalam negeri dalam rangka ACFTA?

C. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis

dan kegunaan praktis, sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran pengembangan bidang ilmu hukum pada

umumnya dan ilmu hukum internasional dibidang hukum privat khususnya

Hukum Perdagangan Internasional, mengenai perdagangan regional

dikawasan asia tenggara.

2. Kegunaan Praktis

Sebagai sumbangan dan acuan bagi sistem hukum di Indonesia terutama

dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan perdagangan bebas

Asean-China sehingga dapat dijadikan pedoman dalam memberikan

perlindungan terhadap industri dalam negeri dalam pasar internasional,

khususnya dikawasan regional Asia tenggara.

D. Keaslian Penelitian

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis

(26)

maka penulis menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Hukum

Antidumping sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka

ACFTA”.

Adapun judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah skripsi yang

lebih menekankan kepada tinjauan hukum dan implementasi hukum anti dumping

saja, namun dalam skripsi ini lebih mengutamakan peran ketentuan anti dumping

dalam melindungi industri dalam negeri dalam pasar bebas di kawasan regional

khusus ASEAN-China yang mulai diberlakukan pada tahun 2010.

Karena dalam pelaksanaan ketentuan antidumping diimplementasikan

dengan bijaksana, karena tidak semua kebijakan antidumping itu memberikan

keuntungan bagi produsen dalam negeri. Jadi dalam skripsi ini menekankan

bagaimana menggunakan ketentuan hukum antidumping tersebut sehingga dapat

memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri dan juga dalam menghadapi

tuduhan dumping dari negara lain sehingga industri dalam negeri Indonesia tidak

tergerus dalam perdagangan bebas ASEAN-China.

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak

dicapai melaui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini

merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain,

dimana diperoleh melalui pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku,

bahan seminar, makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media

elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan kepada

(27)

merupakan implikasi dari proses penemuan kebenaran ilmiah, sehingga hasil

penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya secara ilmiah.

E. Tinjuan Pustaka

Dengan terintegrasinya perekonomian nasional menjadi internasional ini

menimbulkan adanya hubungan dengan perekonomian negara lain. Kondisi ini

juga akan memungkinkan pelaku usaha suatu negara akan bersaing dengan pelaku

usaha yang lainnya dimana mereka memiliki kondisi ekonomi dan system

ekonomi yang berbeda dan memiliki kebijakan ekonomi yang berbeda pula setiap

negara.

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh

penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan

bersama. Pendudukan yang dimaksud dapat berupa antar perorangan, antar

individu dengan pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.13

Dumping adalah suatu keadaan dimana barang yang diekspor oleh suatu

Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam

negerinya sendiri atau nilai normal dari nilai barang tersebut.14 Praktik dumping

disini adalah suatu praktik yang dapat menimbulkan kerugian bagi dunia usaha

karena eksportir menjual produknya dengan harga yang lebih murah di negara

pengimpor daripada di negara produsennya sendiri.15

13

Matias Djemana “Globalisasi Terhadap Perdagangan Internasional”, Dengan membanjirnya

barang-barang dari negara pegekspor yang harganya jauh lebih murah dari barang

2011. 14

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan

Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1998), hal 123

15

(28)

dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis dalam negeri akan kalah

bersaing. Pada saatnya hal ini akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri

dan produsen atau eksportir dapat merebut pangsa pasar dalam negeri importir.

Salah satu upaya untuk menyikapi dumping adalah dengan melakukan

upaya antidumping sebagai tindakan balasan seperti menetapkan Bea Masuk Anti

Dumping (BMAD). Bea Masuk Anti Dumping adalah pungutan yang dikenakan

terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian.16 Sedangkan Bea Masuk

Anti Dumping Sementara (BMADS) adalah bea masuk anti dumping yang

dikenakan untuk sementara waktu menunggu hasil final investigasi. Jika hasil

final investigasi menunjukkan praktek dumping telah terbukti dan praktek tersebut

telah merugikan industri dalam negeri, BMADS akan diteruskan dan ditetapkan

menjadi BMAD, tetapi jika tidak terbukti maka BMADS dicabut. Pihak-pihak

anggota GATT/WTO diberi wewenang untuk mengenakan pajak atau

perlindungan tariff sebagai jawaban atas kerugian yang ditimbulkan dari impor

barang yang disubsidi.17 Dalam hal ini terdapat tiga kemungkinan dimana subsidi

dapat mendistorsi perdagangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael J.

Trebilcock & Robert Howze18

16

Christoporus Barutu, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan

(Safeguard) Dalam GATT dan WTO, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hal 164.

17

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal 27.

18

Michael J. Trebilcock dan Robert Howze, The Regulation of International Trade:

Antidumping Law, USA Rontlege, 1999 dalam Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di

(29)

1. Jika negara A mensubsidi ekspornya ke negara B, menyebabkan produsen

domestic di negara B kehilangan daya saing, Negara B dapa menjawab

dengan mengenakan tarif terhadap impor barang tersebut.

2. Jika negara A memberikan subsidi pada produksi domestik, menurunkan

daya saing ekspor negara B ke negara A, satu-satunya tindakan yang

dapat dilakukan oleh negara B adalah menjawabnya dengan subsidi setara

atau menyampaikan tentang pelanggaran kepada dewan resolusi sengketa

GATT.

3. Jika negara A mensubsidi ekspor ke negara C, sehingga terjadi penurunan

daya saing ekspor negara B ke negara C, kembali ada kemungkinan

negara B dapat melakukan secara sepihak dengan menjawab melalui

subsidi yang setara.

Masalah subsidi adalah dapat ditanggapi dengan alasan yang sama dengan

dumping karena merupakan suatu hubungan kausal dan menghasilkan harga

dibawah normal. Dalam paparan tersebut diatas memungkinkannya terjadi dua

kasus yang harus dipilah.19

Dengan adanya hukum antidumping ini memberikan sarana perlindungan

terhadap produk industri dalam negeri dari persaingan usaha yang tidak adil dalam

perdagangan internasional. Karena hukum antidumping ini sangat ketat

pengaturannya dan implementasinya perlu digunakan secara tepat karena dalam

masalah praktik dumping ini sangat sensitif terhadap waktu. Waktu yang tidak

efektif dalam pengajuan permohonan dan investigasi praktik dumping ini juga

19

(30)

seharusnya dapat dikontrol penerapannya sehingga waktu untuk diterapkannya

hukum antidumping ini tepat dan tidak terlambat untuk melindungi produk

industri dalam negeri sehingga hukum antidumping tersebut dapat berfungsi

sebagaimana mestinya bagi masyarakat.

Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu Negara

ke Negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor

pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari

dalam negeri untuk memasukkanya ke Negara lain.20

Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke

negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor

umumnya adalah tindakan memasukkan barang atau komoditas dari negara lain ke

dalam negeri.21

Industri dalam negeri (industri domestik) adalah keseluruhan produsen

dalam negeri yang menghasilkan barang sejenis dengan barang terselidik dan atau

barang yang secara langsung merupakan saingan barang terselidik, yang

produksinya secara kolektif merupakan bagian dari total produksi barang sejenis

dalam negeri.22

a. Keseluruhan produsen dalam negeri barang sejenis, atau

Yang dimaksud dengan industri dalam negeri dapat dilihat dari pasal 1

angka 8 PP No. 34 Tahun 1996 yakni industri dalam negeri adalah:

20

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan

Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1998), hal 147

21

Ibid, hal 148 22

(31)

b. Produsen dalam negeri barang sejenis yang produksinya mewakili

sebagian besar (lebih dari 50%) dari keseluruhan produksi barang

yang bersangkutan.

ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan

antara negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan

perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan

perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa,

peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama

ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.23

Namun dalam berjalannya ACFTA ini yang sebenarnya harapannya

Indonesia dapat sebuah peluang untuk mendapat keuntungan seperti yang

diharapkan namun hal itu tidak terjadi karena dalam beberapa penelitian ACFTA diawali pada tahun 2001 dalam pertemuan ASEAN dan China di

Bandar Sri Bengawan, Brunei Darussalam, dimana China menawarkan proposal

ACFTA untuk jangka waktu 10 tahun, dan ditandatangani tahun 2002 dan

kemudian Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden

Nomor 48 tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. Kemudian ACFTA aktif berlaku

tanggal 1 januari 2010 dan Indonesia harus membuka diri dalam pasar bebas

regional China dan ASEAN.

23

(32)

mengatakan neraca perdagangan Indonesia-China tidak seimbang dan Indonesia

mengalami defisit bahkan sebelum ACFTA diberlakukan.24

F. Metode Penelitian

Dalam skripsi ini untuk membahas masalah sangat membutuhkan adanya

data dan keterangan yang dapat dijadikan bahan analitis. Untuk mendapatkan dan

mengumpulkan data dan keterangan tersebut penulis menggunakan metode

sebagai berikut.

1. Spesifikasi Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normative dengan

pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan

perundang-undangan antidumping baik dalam hukum internasional

maupun dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Maka tipe

penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni

penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau

norma-norma dalam hukum positif mengenai antidumping dalam

melindungi produk industri dalam negeri. Hal ini ditempuh dengan

melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang

digunakan adalah yuridis normative maka pendekatan yang digunakan

adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan

pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

Antidumping dan perannya dalam melindungi produk industri dalam

negeri terlebih dalam rangka ACFTA ini.

24

(33)

2. Bahan Penelitian

Materi dalam skripsi ini diambil dari data seperti dimaksud dibawah ini :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu :

Berbagai dokumen peraturan perundang-undangan yang tertulis yang

ada dalam dunia Internasional mengenai Antidumping dan Perjanjian

Internasional ACFTA. Mengenai antidumping yakni Pasal VI GATT

pada Tahun 1947, diikuti dengan adanya putaran Tokyo yang

melahirkan Antidumping Code (1979) dan digantikan dengan

Antidumping Code (1994) yang dilahirkan dalam Putaran Uruguay

yang merupakan bagian integral dari Agreement Establising the WTO

tanggal 15 April 1994.

Dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum

nasional Indonesia yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006

perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan, dan diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34

Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk

Imbalan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu :

Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan

dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum

primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber

informasi mengenai Antidumping dan Perjanjian Internasional

(34)

majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki

kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu :

Mencakup kamus bahasa untuk pembbenahan tata Bahasa Indonesia

dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing.

3. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan

melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi

kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara

mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan

perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan

sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan

deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara

menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif

yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data

yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan

dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga

(35)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V Bab yang masing-masing

bab memiliki sub-babnya tersendiri, yang secara garis besarnya dapat diuraikan

sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini diuraikan secara umum mengenai keadaan-keadaan

yang berhubungan dengan objek penelitian seperti latar belakang

pemilihan judul, rumusan masalah, kegunaan penelitian, keaslian

penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II Hukum Antidumping dalam Perdagangan Internasional

Bab ini menguraikan konsep dumping dan antidumping secara

umumnya dan juga memaparkan dampak praktik dumping terhadap

negara importir dan eksportir, kemudian memaparkan sejarah

ketentuan mengenai hukum anti dumping ini dibentuk. Dalam bab

ini juga memaparkan ketentuan antidumping menurut GATT dan

WTO diantaranya ketentuan barang sejenis, ketentuan barang

dumping, penentuan kerugian, industri dalam negeri, serta

tindakan remedial sebagai tindakan terhadap praktik dumping.

BAB III Hukum Antidumping di Indonesia

Dalam bab ini menguraikan ketentuan antidumping di Indonesia

meliputi indikator dalam analisis dumping, lembaga administrasi

(36)

Antidumping tersebut di Indonesia. Dalam bab ini juga

memaparkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping yakni tindakan

balasan dari praktik dumping, pemberlakuan surut dalam hukum

anti dumping, tenggat waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian

Kasus Antidumping serta pelaksanaan pemungutan Bea Masuk

Anti Dumping tersebut.

BAB IV Implementasi Ketentuan Antidumping Indonesia dalam

Rangka ACFTA

Dalam bab ini dijelaskan ulasan mengenai ACFTA meliputi proses,

landasan, dan kesepakatan dan renegoisasi dan revisi dalam

ACFTA, memaparkan juga dampak ACFTA terhadap perdagangan

Indonesia yang meliputi neraca perdagangan Indonesia-China dan

langkah pemerintah terkait dampak ACFTA tersebut. Dalam bab

ini juga memaparkan antidumping sebagai salah satu bentuk

proteksi industri dalam negeri dalam menghadapi ACFTA yakni

penegakan hukum terhadap produk impor yang berindikasi

dumping dan kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktik dan

tuduhan dumping.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis

terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan yang

ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang penulis

(37)

BAB II

HUKUM ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN

INTERNASIONAL

A. Tinjuan Umum Mengenai Antidumping

1. Konsep dan Pengertian Dumping

Dumping adalah istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional

yakni praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di

pasaran internasional dengan harga yang kurang dari nilai yang wajar atau lebih

rendah dari harga barang tersebut dinegerinya sendiri, atau dari harga jual kepada

negara lain pada umumnya, sehingga merusak pasaran dan merugikan produsen

pesaing negara pengimpor.25 Dalam ilmu ekonomi dumping diartikan sebagai

“traditionally defined as selling at a lower price in one national market than in

another”.26 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai system

penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang

rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak

diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasar luar negeri dan dapat

menguasai harga kembali).27

25

AF. Elly Erawaty dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, (Jakarta, Proyek ELIPS, 1996), hal.39.

26

John H Jackson and William J.Davey, Legal Problems of Economics Internasional

Cases, Materials and tax (2nd Edition), hlm. 654-655.

27

(38)

Dalam Black’s Law dictionary, Pengertian dumping dinyatakan sebagai

berikut, “The act of selling in quantity at a very low price or practically

regardless of the price; also, selling goods abroad at less than the market price

at home.28

Beberapa pengertian dumping sebagaimana dikemukakan oleh beberapa

sarjana dalam Sukarmi adalah sebagai berikut.

” Dimana dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebuah tindakan yang

menjual barang dalam kuantitas harga yang sangat rendah atau hampir

mengabaikan harga, juga menjual barang-barang luar negeri kurang dari harga

pasar di tempat asalnya.

Adapun menurut kamus hukum ekonomi, dumping adalah prakting dagang

yang dilakukan pengekspor dengan menjual komoditi di pasaran internasional

dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga

barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain,

pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan

merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. Dari defenisi tersebut diatas

menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering diekpresikan sebagai penjualan

produk-produk untuk ekspor pada harga yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai

normal dalam arti harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara

sendiri atau di pasar pengekspor.

29

1. Agus Brotosusilo: Dumping adalah bentuk diskriminasi harga

internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara

28

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul,Minn;West Publishing Co, 1990),Hal.347.

29

(39)

pengekspor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar

luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri dengan tujuan untuk

memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

2. Muhammad Ashari: Dumping adalah suatu persaingan curang dalam

bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu diskriminasi harga yaitu suatu

produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan

dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Dumping

adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau pengkspor yang

melaksanakan penjualan barang/ komoditi di luar negeri atau negara lain dengan

harga yang lebih rendah dari harga barang sejenis baik di dalam negeri

pengekspor maupun di negara pengimpor, sehingga mengakibatkan kerugian bagi

negara pengimpor. Dengan demikian bahwa pengertian dumping dalam konteks

hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga

internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor

yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri

dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh

keberuntungan atas produk tersebut.

Untuk mengantisipasi adanya praktik dumping diperlukan suatu tindakan

yang disebut antidumping adalah suatu tindakan balasan yang diberikan oleh

negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan

dumping. Pengenaan bea masuk antidumping adalah pungutan yang dikenakan

(40)

Barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor

yang lebih rendah dari nilai normalnya dinegara pengekspor. Berbeda dengan

subsidi yang terlihat sama namun berbeda, dimana subsidi adalah:30

a) Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan

pemerintah baik langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan,

industri, kelompok industri, atau eksportir.

b) Setiap bentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan

secara langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan import dari

atau kenegara yang bersangkutan.

Tujuan hukum diciptakannya pengaturan anti dumping adalah upaya

perlindungan bagi industri lokal atau nasional dalam suatu negara. Namun dalam

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimiliki Indonesia, meskipun substansinya

memuat pengaturan larangan praktek persaingan tidak sehat baik dalam bentuk

harga maupun barang, tetapi undang-undang tersebut tidak menyinggung

mengenai perihal anti dumping. Hal ini membuat seolah-olah tidak ada

keterkaitan antara praktik dumping dan persaingan usaha yang tidak sehat.

Menurut Robert Willig, mantan kepala ahli ekonomi pada divisi Antitrust

Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping berdasarkan tujuan

dari eksportir, kekuatan pasar dan struktur pasar impor yaitu sebagai berikut.31

30

H.S. Kartajoemana, GATT, WTO dan hasil Uruguay Round (Jakarta ; UI Press, 1997) hal; 169.

31

(41)

1. Market Ekspansion Dumping

Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “Mark

up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas

permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.

2. Cyclical Dumping

Motivasi dumping jenis ini muncul dar adanya biaya marginal yang luar

biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai

kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan

produk terkait.

3. State Trading Dumping

Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping

lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.

4. Strategic Dumping

Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan

perusahaan saingan dinegara pengimpor melalui strategi keseluruhan dari

negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun

dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara

pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir

independen cukup besar dalam tolak ukur skala ekonomi, maka mereka

memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh

(42)

5. Predatory Dumping

Istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan

mendepak pesaing dari pasaran, dalam rangka memperoleh kekuatan

monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis

ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang

sejenis di negara pengimpor.

Dumping merupakan praktik diskriminasi harga yang menjual produk

impor dengan harga yang lebih murah dari produk yang sama dinegara asal.

Selain itu, praktik diskriminasi harga yang menjual produk impor dengan harga

yang lebih rendah dari pada biaya produksinya juga dikategorikan sebagai

dumping. Berbagai negara telah mempunyai kebijakan dan prosedur

masing-masing untuk melindungi perusahaan nasionalnya dari praktek dumping. Secara

garis besar, dumping bisa dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :32

1. Dumping Spondaris, yaitu dumping yang dilakukan secara temporer

dengan tujuan utama mengatasi kelebihan kapasitas. Kelebihan

kapasitas dipasarkan ke luar negeri dengan harga berapa pun yang

penting dapat dijual. Dengan demikian, perusahan bisa mendapatkan

pemasukan dan terhindar dari perang harga dipasar nasionalnya.

2. Dumping Predatoris, yaitu praktek dumping dengan menjual produk

secara merugi dengan tujuan mendapat akses kesuatu pasar dan

menyingkirkan para pesaing. Begitu pesaing mulai berguguran dan

posisi perusahaan cukup kuat, baru harga dinaikkan.

32

Aprilia dan Fenita Adriani, “Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia”,

(43)

3. Dumping Persisten, yaitu jenis dumping yang paling permanent,

dimana perusahaan secara konsisten menjual produknya dengan harga

lebih rendah disatu pasar dibandingkan dipasar-pasar lainnya. Hal ini

dimungkinkan dengan penerapan metode penerapan harga marginal

untuk pasar luar negeri dan metode penerapan harga penuh untuk pasar

dalam negeri. Akibatnya, konsumen dalam negeri harus berkorban

dengan membayar harga yang lebih mahal dari pada konsumen negara

lain.

Bagaimanapun tidak seluruh dumping itu membahayakan hanya dumping

yang merugikan dan melanggar ketentuan Antidumping seperti yang diatur dalam

agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yang merupakan

Multilateral Trade Agreement (MTA). Dumping yang dipermasalahkan hanyalah

dumping yang dapat menimbulkan kerugian material pada industri dalam negeri

negara pengimpor.33

Dalam ketentuan Pasal VI ayat 1 GATT merumuskan definisi dumping

sebagai : “Product of one country are introduce into the commerce of another

country at less than normal value of the product is to be condemned if it causes or

threated material injury to an estabilished industry in the teritority of contracting

party or matrially rertard the estabilishment of a domestic industry”.34

Berdasarkan ketentuan diatas, maka artikel VI GATT 1994 ini

mengijinkan otoritas di suatu negara untuk mengenakan biaya tambahan dalam

bentuk bea masuk anti dumping terhadap produk-produk impor yang diduga dijual

33

Yulianto Syahyu, op.cit., hal 34 34

(44)

dibawah harga normal atau harga lebih murah dari harga pasar di pasar domestik

dari negara asal barang, sehingga praktik yang demikian menimbulkan kerugian

bagi industri dalam negeri.35

1. Harga ekspornya lebih rendah daripada harga perbandingan untuk barang

sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. Dumping juga memiliki dua arti yakni pertama, dumping adalah praktek

yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya pada

harga yang lebih rendah dari harga produk itu jika dijual di negara asalnya.

Definisi dumping ini dipakai dalam Putaran Kennedy dan Putaran Tokyo

mengenai Antidumping duties, sementara definisi dumping yang disepakati dalam

Putaran Uruguay adalah praktek yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang

menjual produk ekspornya dengan harga yang lebih rendah daripada harga normal

produk tersebut. Putaran Uruguay juga menentukan kriteria sebuah perusahaan

dianggap melakukan dumping, yaitu :

2. Bila tidak ada penjualan dipasar domestik, maka digunakan perbandingan

harga ekspor ke pasar negara ketiga.

3. Bila ukuran pertama dan kedua tidak ada, maka digunakan suatu ukuran

ketiga yakni dengan diadakan pembentukan harga yang didasarkan pada

biaya produksi ditambah dengan satu jumlah biaya untuk administrasi,

pemasaran dan biaya lainnya ditambah dengan suatu jumlah keuntungan

yang wajar.

35

Rita Erlina, Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional : Sinkronisasi Peraturan

Anti Dumping Indonesia Terhadap WTO Anti Dumping Agreement , Tesis, (Program Pasca

(45)

Dumping dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi harga hal ini

berarti menjual barang yang sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang

terpisah. Hal ini sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang

bersangkutan.36 Dapat juga diartikan sebagai penawaran di luar negeri dengan

harga di bawah biaya produksi negara pengekspor.37

Negara yang merasa dirugikan dengan adanya dumping itu bisa melakukan

tindakan balasan, sekarang biasanya diwujudkan dalam bentuk Bea Masuk Anti

Dumping. Kebijakan anti dumping menjadi hal yang kontroversial dan paling

sering digunakan oleh negara-negara maju untuk melindungi perusahaannya yang

kurang efisien. Kebijakan anti dumping itu diterapkan tidak boleh lebih lama

daripada 5 tahun sejak kebijakan antidumping diterapkan, namun pihak

pemerintah yang mengeluarkan kebijakan anti dumping di suatu negara bisa

menerapkan jangka waktu yang lama lagi jika melihat bahwa kelanjutan Kemudian yang dikatakan dengan anti-dumping adalah kebijakan yang

dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah

timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk

impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk.

Mekanisme anti-dumping ini selanjutnya menciptakan apa yang disebut sebagai

safeguard yaitu suatu upaya perlindungan dari pemerintah suatu negara untuk

melindungi produk dalam negeri yang dihasilkan pelaku usaha domestiknya.

36

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia,(Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003),hlm. 32.

37

(46)

pengenaan kebijakan anti dumping itu mencegah timbulnya kembali atau

mengurangi kerugian yang terus berlanjut pada suatu industri domestiknya.

Di lain pihak penggunaan definisi barang dumping sebagai barang ekspor

yang dijual pada harga yang lebih rendah daripada harga normal merugikan

negara-negara yang memiliki industri yang efisien dan mempunyai keuntungan

komparatif dan kompetitif. Sudah sering terjadi negara-negara maju menerapkan

kebijakan anti dumping pada sebuah produk yang sebenarnya tidak didumping

sering terjadi, hanya karena melihat bahwa barang ekspor itu dijual dibawah harga

normal. Kriteria harga normal kebanyakan ditentukan oleh perhitungan mereka

sendiri atau karena melihat bahwa produk impor itu telah merusak harga produk

sendiri, merusak harga produk-produk sejenis yang dihasilkan oleh produsen

domestik dan dilakukan secara sepihak tanpa meminta keterangan terlebih dahulu

atau membentuk tim untuk melakukan investigasi. Pembentukan tim investigasi

baru dilaksanakan setelah ada keberatan dari pihak negara pengekspor, tetapi juga

merugikan pihak importir,distributor dan penjual eceran di negara pengimpor

serta tentu saja konsumen yang harus membayar lebih mahal.

Dasar hukum antidumping mungkin tidak sesuai dengan teori ekonomi.

Walaupun demikian, para negosiator perdagangan internasional tidak

mempermasalahkan apakah dumping dapat diperkarakan. Selama negoisasi WTO,

tidak ada delegasi yang menentang hak pemerintahan suatu negara untuk

menetapkan antidumping. Sampai pada akhirnya ketika Putaran Kennedy, para

(47)

Putaran Kennedy hanya ada satu kasus yang pada tahun 1955, Swedia dibebankan

bea antidumping oleh Italia atas produk Stoking Nilon.

Pada awalnya ketentuan GATT yang mengatur mengenai tata cara dan

prosedur pelaksanaan antidumping (Article VI) dirasakan masih bersifat tidak jelas

dan perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu penyempurnaan melalui

berbagai perundingann multilateral yang menghaslkan Agreement on

Implementation of article VI of GATT 1994 atau yang dikenal dengan

Antidumping Code (1994).

Article 2,1 dari Antidumping Code (1994) mengatur tentang determinasi

dumping yaitu38

Untuk mengkounter praktik dumping yang dilakukan produsen negara

pengekspor maka pemerintah negara pengimpor dapat melakukan pengenaan dan

penarikan bea masuk antidumping. Pengertian antidumping menurut konsep

GATT 1994 adalah bea masuk yang dikenakan kepada barang-barang yang :

“For the purpose of this Agreement, a product is to be considered as being

dumped, i.e. introduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade for the like product when destined for consumption in the exporting country.”

Dengan demikian konsep utama dalam GATT 1994 adalah menjual barang

dengan harga lebih murah di luar negeri daripada dalam negeri dengan dibawah

harga normal. Sehingga jika terdapat selisih antara harga jual ekspor dan harga

jual dalam negeri lebih rendah, maka eksportir dianggap sudah melakukan

dumping.

38

(48)

diketahui sebagai barang dumping dengan tujuan menghilangkan unsur dumping

pada barang tersebut, dan agar harga barang tersebut tidak terlalu tinggi

perbedaannya dengan harga barang sejenis di negara importer. Tindakan

antidumping sebagai upaya untuk mengkounter praktik dumping perlu dilakukan

secara adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan

masyarakat dan dunia usaha.

Dengan demikian apabila suatu perusahaan di luar negeri menjual

produknya ke negara lain dengan harga dumping dan menyebabkan kerugian

terhadap industri dalam negeri importir, maka negara importir tersebut

dibenarkan mengenakan bea masuk antidumpingsebesar margin dumpingnya.

2. Dampak Praktik Dumping Terhadap Negara Importir dan

Eksportir

Masyarakat dalam melakukan perdagangan bertujuan untuk memperoleh

keuntungan, untuk itu masyarakat harus mempunyai kemampuan atau kecakapan

serta berkeinginan untuk terus menerus mengikuti kegiatan perdagangan

internasional, serta berupaya memperdagangkan barang yang berkualitas dan

mampu memenuhi kebutuhan masyarakat internasional. Maka untuk itu pelaku

perdagangan internasional perlu memiliki konsep keunggulan komperatif atau

yang sering disebut Comparative Advantages.39

Namun hal tersebut sering tidak dipahami dan dilakukan oleh pelaku

usaha, mereka pada umumnya lebih mengutamakan keuntungan dan terkadang

demi keuntungan melakukan praktik curang (Unfair) seperti melakukan praktik

39

(49)

dumping sementara praktik tersebut memiliki dampak bagi importir maupun

eksportir.

Konsep strategi dumping menimbulkan masalah bersama dari pasar ekspor

yang tidak elastis dalam hubungan dengan harga rendah dalam pasar impor.

Robert Willig menyatakan hal tersebut dikarenakan40

1. Tertutupnya pasar pengekspor,

:

2. Akibatnya terjadi pembatasan penjualan dalam negeri sehingga membatasi

untuk investasi pada penelitian dan pengembangan serta pengembangan

sumber daya manusia,

3. Kemungkinan memperkuat monopoli para eksportir jika supplier domestic

di negara impor tidak mampu dalam bersaing secara efektif, dan

4. Kemungkinan oligopoli antara produsen luar negeri dan domestik.

Dari sudut pandang pereknomian global, pengaruh negatif strategi dumping pada

negara importir lebih besar dari negara eksportir yang menikmati keuntungan.41

1. Dampak Dumping di Negara Importir

Dampak dumping dapat dilihat dari dua sisi yakni dari pihak Importir dan

pihak Eksportir.

Dampak dumping dapat dilihat dari beberapa tolak ukur yakni sebagai

berikut42

40

Gabrielle Marceau, Antidumping and Antitrust Issues in Free Trade Areas, (Oxford, Clareden Press, 1994), hal 15, dikutip oleh Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003), hal 47.

41

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia,(Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003),Hlm. 47

42

Referensi

Dokumen terkait

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when

Mahasiswa yang memiliki kemampuan general mood yang tinggi mampu merasa puas dan menikmati kehidupan dan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa serta mampu tetap berpikir

Alhamdulillah, tiada sanjungan dan pujian yang berhak diucapkan selain hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta kemudahan dan

Zero waste dalam produksi fasyen ini yang terinspirasi dari pembuatan kimono Jepang, dalam industri fesyen menjadi salah satu teknik yang dapat dikembangkan

For real-time GNSS positioning users, the broadcast navigation message including ephemeris data, are used to calculate the satellite orbits and clock corrections

Pemahaman Konsep Matematika dalam

Hasil penelitian Bahado et all (2006) dan Ramdath et al (2004) menunjukkan bahwa nilai indeks glikemik sukun rebus adalah 60 yang termasuk dalam kategori pangan

Pada pembelajaran ini kamu akan mempelajari cara membaca dan menafsirkan data yang disajikan dalam bentuk diagram garis, diagram batang, dan diagram lingkaran serta