• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Terhadap Produk Impor yang Berindikasi Dumping

IMPLEMENTASI KETENTUAN ANTIDUMPING DI INDONESIA DALAM RANGKA ACFTA

1. Penegakan Hukum Terhadap Produk Impor yang Berindikasi Dumping

Untuk melindungi produk industri dalam negeri terhadap produk dumping melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI) telah melakukan beberapa upaya penegakan hukum baik secara preventif maupun represif.

2. Upaya Prenventif adalah merupakan upaya pencegahan terhadap pelanggaran penjual barang atau produk impor di dalam negeri. Sehingga merugikan industri domestik yang memproduksi produk sejenis. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain:

a. Melakukan sosialisasi, pendidikan dan training kepada para pelaku ekonomi (eksportir dan importir) tentang regulasi dan kebijakan ekspor-impor, baik terkait dengan upaya peningkatan kualitas produk industri dalam negeri maupun dalam mengantisipasi terhadap produk impor yang berindikasi menimbulkan kerugian

terhadap produk industri domestik, sehingga diharapkan produk industri dalam negeri akan mampu bersaing di pasar bebas, baik domestik maupun internasional.

b. Melakukan pembinaan terhadap para aparatur pada lembaga- lembaga yang terkait dengan penyelesaian masalah perdagangan dan dumping.

c. Melakukan pengkajian terhadap mekanisme perizinan impor yang berindikasi menimbulkan kerugian terhadap industri sejenis di dalam negeri.

3. Upaya Represif adalah pengenaan sanksi balasan berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dengan “bea masuk anti dumping (BMAD)” sebagaimana dinyatakan dalam pasal VI ayat (2) GATT bahwa “Negara dapat menjatuhkan sanksi balasan apabila negara pengekspor terbukti melakukan penjualan produk dibawah harga normal (dumping) sehingga merugikan negara pengimpor”. Untuk menindaklanjuti ketentuan GATT tersebut, selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Kepabeanan No. 10 Tahun 1995 yang telah diubah menjadi Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006. Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal:

a. Harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya, dan

1. Menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;

2. Mengancam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; atau

3. Menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.

Bea Masuk Antidumping yang dikenakan terhadap barang impor tersebut adalah bea setinggi-tingginya sebesar selisih nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 (1) dan pasal 19 Undang- Undang Kepabeanan No. 10 Tahun 1995 yang telah diubah menjadi Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 di atas.

Ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan No. 10 Tahun 1995 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 mengatur mengenai Antidumping dan Anti Subsidi namun hanya bersifat sumir dan tidak mengatur masalah safeguards. Ketentuan yang didapat dari Undang-Undang Kepabeanan tersebut hanya menyebutkan kewenangan pemerintah untuk memungut Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, sedangkan bagaimana pengaturannya lebih lanjut tidak diatur. Selain tidak konsisten peraturan ini juga tidak begitu kuat oleh karena itu sebaiknya landasan hukum ini diperkuat dengan mengatur keseluruhan remedi perdagangan tersebut dalam bentuk Undang- Undang. Ketentuan WTO memberikan kebebasan negara anggotanya untuk

melakukan harmonisasi hukum dalam bentuk hukum apapun, selama syarat-syarat

Article X GATT 1994 dipenuhi. Syarat tersebut adalah:

1. Harmonisasi hukum dapat dilakukan melalui legislasi, regulasi putusan pengadilan dan prosedur-prosedur administrasi.

2. Ada kewajiban untuk mempublikasikan dengan segera instrumen harmonisasi agar segera diketahui oleh pemerintah negara-negara anggota WTO dan para pelaku perdagangan.

3. Sebelum dipublikasikan instrumen tersebut tidak boleh diterapkan.

4. Dalam mengadministrasikan instrumen-instrumen harmonisasi harus dilakukan secara wajar, seragam, dan tidak diskriminatif.

Memang dilihat dari pengaturan mengenai antidumping tidak menyalahi aturan tersebut, meskipun demikian semakin kuat bentuk hukum antidumping ini dan hukum remedi perdagangannya maka semakin baik. Undang-Undang adalah landasan hukum paling kuat di negeri ini jika dibandingkan dengan bentuk hukum lain. Landasan hukum yang kuat akan memberikan jaminan kepastian hukum yang kuat juga kepada masyarakat perdagangan internasional. Dalam kasus di India dalam hal Patent Protections merupakan salah satu contoh bentuk hukum yang lemah. Dimana dalam kasus ini panel WTO menganggap bahwa instrumen hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah India berupa Statement of

Administration Action (SAA) bukan merupakan Sound Legal Instrument

(instrumen hukum yang kuat) yang memberikan jaminan pelaksanaan Perjanjian tentang Hak-hak kekayaan Intelektual, khususnya yang berkaitan dengan paten produk farmasi.

Meskipun ketentuan substantif tentang Anti Dumping, Anti Subsidi, maupun tindakan Pengamanan (Safeguards) sudah mengacu kepada ketentuan- ketentuan WTO, namun masih ada beberapa hal yang belum sepenuhnya konsisten misalnya defenisi-defenisi barang dumping; kerugian; dan industri dalam negeri. Inkonsistensi juga terjadi dalam implementasi misalnya dalam hal penetapan pengenaan BMAD selalu melewati batas waktu yang diterapkan secara internasional. Dalam bidang safeguards penyelidikan yang telah diselesaikan dan tinggal diputusakan pengenaan bea masuknya menjadi tertunda-tunda penetapannya.

Dari segi budaya atau kultur hukumnya masih ada permasalahan yang cukup menentukan yaitu belum proaktifnya kalangan usahawan dalam mengantisipasi terjadinya penurunan kinerja akibat impor yang melonjak atau akibat dari produk dumping dan produk asing bersubsidi di Indonesia. demikian juga sikap proaktif belum begitu nampak dalam rangka mengantisipasi dan mencari solusi mana kala produk-produknya dituduh dumping atau bersubsidi di luar negeri atau manakala produknya dilakukan penyelidikan untuk dikenakan tindakan safeguards. Untuk itu perlu adanya penguatan budaya hukum dikalangan para pengusaha ini dengan cara sosialisasi agar mereka mengetahui dan menyadari serta menggunakan instrumen hukum remedi perdagangan ini untuk melindungi dirinya. Para pengusaha juga perlu diberikan bekal pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan instrumen hukum tersebut misalnya dengan melaksanakan kegiatan training yang dilakukan oleh badan terkain yakni Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan Komite Anti Dumping Indonesia di beberapa daerah. Selain itu

pemberian pendampingan dan jika perlu advokasi yang memadai, khususnya untuk pengusaha kecil dan menengah yang bersangkutan dengan masalah remedi perdagangan, perlu juga ada semacam Trade Remedy Assistance Office yang menyediakan informasi hukum dan bantuan teknis. Bantuan teknis meliputi nasihat dan bantuan informal termauk dukungan hukum dalam menentukan langkah-langkah yang tepat untuk menggunakan remedi perdagangan dalam hukum antidumping ini, menyiapkan petisi dan keluhan dan memperoleh remedi. Sangat penting pula bagi pemerintah untuk menganggarkan dalam pos APBN untuk pembentukan dana berjaga-jaga, untuk membantu pengusaha yang terkena tuduhan dumping, subsidi dan tindakan safeguards. Hal ini diperlukan mengingat banyaknya jumlah tuduhan yang dialamatkan ke Indonesia sementara kemampuan dalam negeri untuk melawan masih rendah antara lain masalah dana yang masih minim dan sumber daya manusia yang memahami dan mengusai hukum antidumping ini masih dalam kondisi minim.

2. Kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktek dan tuduhan