• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Usia anak balita berkisar antara 30-60 bulan. Sebagian besar berada pada rentang usia 30-41 bulan dan 42-53 bulan dengan persentase masing- masing sebesar 43.3% serta berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan presentase yang sama (50%). Hampir seluruh anak balita lahir dengan berat badan yang cukup (93.3%) dan diberikan ASI sewaktu bayi (96.7%). Namun hanya 33.3% ibu yang memberikan ASI hingga usia 24 bulan (dua tahun). Secara keseluruhan tidak satupun ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama. Meskipun begitu hanya 6.7% ibu yang memberikan susu formula kepada anaknya. Berdasarkan indeks TB/U sebesar 80.0% anak balita memiliki status gizi pendek atau stunted sedangkan 20.0% anak lainnya berstatus gizi sangat pendek atau severe stunted.

Persentase tertinggi tingkat pendidikan ayah (40.0%) dan ibu (50.0%) hanyalah tamat SD/sederajat. Sebagian besar ayah balita bermatapencaharian sebagai buruh bangunan/industri (40.0%) dan pedagang (33.3%), sedangkan hampir seluruh ibu (86.7%) tidak bekerja. Berdasarkan garis kemiskinan Propinsi Jawa Barat pada tahun 2010. maka pada keluarga balita diperoleh persentase keluarga miskin sebanyak 60.0%. Sebagian besar (70.0%) keluarga balita merupakan keluarga kecil dengan jumah anggota keluarga ≤4 orang dan lebih dari separuh ibu balita memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang (60%).

Lebih dari separuh anak balita pernah mengalami sakit dalam sebulan terakhir (63.3%) dengan jenis penyakit yang paling banyak diderita adalah batuk, pilek (20.0%), serta pilek/influenza dan panas/demam (16.7%). Persentase tertinggi frekuensi sakit anak balita dalam satu bulan terakhir adalah sebanyak satu kali (53.3%), sedangkan persentase tertinggi lama anak sakit dalam satu bulan terakhir adalah 4-7 hari (30.0%) dengan rata-rata 4.6 hari.

Sebanyak 60.0% keluarga balita menggunakan sumur terlindungi sebagai sumber air minum. Seluruh keluarga balita telah memiliki rumah dengan lantai yang sesuai dengan persyaratan rumah sehat dengan persentase tertinggi memiliki lantai plester/semen (50.0%). Dan sebanyak 70.0% keluarga balita telah mempunyai WC sendiri.

Berdasarkan praktek higiene, seluruh ibu balita telah membiasakan mencuci bahan makanan sebelum dimasak dan memasak air minum hingga

mendidih. Namun persentase terbesar ibu hanya kadang-kadang mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah makanan (40.0%). Sementara ibu yang selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum memberi makan anak mempunyai perbandingan yang tidak jauh berbeda dengan yang tidak pernah melakukannya (40.0% dan 36.7%). Pada praktek higiene anak, persentase tertinggi anak balita tidak pernah dibiasakan mencuci tangan sebelum makan (40.0%). Akan tetapi sebagian besar anak balita sudah terbiasa untuk selalu mencuci tangan setelah buang air kecil/besar (60.0%) dan menggunakan alas kaki di luar rumah (53%), serta digunting kukunya setiap seminggu sekali (53%).

Pada pola asuh makan anak balita sebanyak 70.0% anak balita hanya biasa diberikan makanan pokok dan lauk pauk atau sayur dalam menu sehari- harinya,dan hanya 63.3% anak balita yang memiliki jadwal makan yang teratur, serta 43.3% balita yang biasa memiliki frekuensi makan 3 kali sehari belum termasuk selingan. Separuh ibu membangun kebiasaan makan anaknya dalam situasi disiplin duduk di dalam rumah, baik sambil menonton televisi atau makan bersama anggota keluarga lainnya, sedangkan 46.7% ibu lainnya membiarkan anaknya makan di luar rumah sambil bermain. Sebanyak 50.0% ibu memilih untuk membuatkan makanan lain yang disukai anak dalam menghadapi anak yang susah makan dan sebagian besar ibu merayu anak untuk mengatasi penolakan makan oleh anak balita (76.7%). Sedangkan persentase terbesar ibu akan membiarkan ketika tiba-tiba anaknya berhenti makan sebelum makanannya habis (40%) dan hampir seluruh ibu memberikan pujian ketika anaknya makan dengan lahap (96.7%). Seluruh ibu balita memprioritaskan memberi makan anak dibandingkan kesibukan pekerjaannya dan selalu memantau sisa makanan anaknya.

Anak balita memperoleh protein hewani melalui berbagai sumber pangan dan olahannya, antara lain susu dengan frekuensi 8.5 kali/minggu dan berat

185.8 gram/hari, telur dengan frekuensi 4.4 kali/minggu dan berat 45.7 gram/hari, ikan teri dengan frekuensi 3.2 kali/minggu dan berat 5.7 gram/hari, sosis dengan frekuensi 3.1 kali/minggu dan berat 19.4 gram/hari,

sate ayam dengan frekuensi 2.2 kali/minggu dan berat 8.5 gram/hari, ikan tongkol dengan frekuensi 1.8 kali/minggu dan berat 9.0 gram/hari, ayam dengan frekuensi 1.4 kali/minggu dan berat 10.2 gram/hari, bakso dengan frekuensi 1.3 kali/minggu dan berat 6.6 gram/hari, nugget ayam dengan frekuensi

1.1 kali/minggu dan berat 7.3 gram/hari, serta otak-otak ikan dengan frekuensi 1.0 kali/minggu dan berat 4.8 gram/hari.

Pada keluarga balita tabu makanan sama sekali tidak dijalankan kepada satu anak balita pun, sementara sebagian besar orang tua telah menempatkan anak-anak sebagai prioritas utama dalam pemberian makan keluarga (63.3%) dan 33.3% lainnya tidak memberlakukan prioritas dalam distribusi makanan dalam keluarga.

Hasil wawancara kepada para ibu balita menunjukkan bahwa hanya 30.0% ibu yang merasa bahwa anak mereka memiliki tinggi yang kurang. Meski begitu, para ibu menganggap bahwa kependekan yang terjadi bukanlah suatu masalah pada tumbuh kembang anaknya. Beberapa ibu juga berpandangan bahwa tidak mengapa anaknya bertubuh pendek, karena yang terpenting mereka sehat atau tidak sakit-sakitan dan gesit atau lincah. Kependekan yang terjadi juga tidak mengganggu harapan mereka terhadap masa depan anaknya nanti, sebab para ibu percaya kelak anaknya akan tumbuh tinggi terutama ketika sudah masuk sekolah nanti. Tinggi badan merupakan hal yang tidak banyak mendapat perhatian dari para orang tua. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan para orang tua khususnya ibu sebagai pengasuh utama mengenai pertumbuhan linier anak serta tidak adanya sosialisasi maupun evaluasi mengenai makna hasil pengukuran tinggi badan dari Posyandu, sehingga mereka cenderung tidak mengetahui barapa tinggi badan seharusnya untuk tiap tahapan usia dan makna hasil pengukuran tinggi badan terhadap kondisi pertumbuhan anaknya.

Persentase tertinggi perkembangan bahasa anak termasuk pada kategori rendah (40.0%). Hasil uji korelasi Spearman antara status gizi anak balita dengan perkembangan bahasanya menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara kejadian stunting dengan perkembangan bahasa (p>0.05). Namun terdapat hubungan yang sangat signifikan dan negatif antara usia balita dan perkembangan bahasanya (p<0.01) dan perbedaan yang sangat signifikan antara perkembangan bahasa pada anak laki-laki dan perempuan. Sementara tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan orang tua dan status ekonomi keluarga dengan perkembangan bahasa (p>0.05).

Saran

Status gizi merupakan indikator penting kesehatan anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Baik buruknya status gizi seorang anak dapat

berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya yang pada akhirnya dapat berdampak pada kesehatan, prestasi, intelektualitas, dan produktivitas dimasa depan. Oleh karena itu, dibutuhkan optimalisasi peran Posyandu bukan hanya sebagai sarana penimbangan dan imunisasi anak, namun juga sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader dan ibu terkait pengasuhan, proses tumbuh kembang anak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti gizi anak dan ibu hamil serta bagaimana memenuhinya, pola asuh makan, pola asuh kesehatan, sanitasi dan higiene, stimulasi yang tepat dan lain sebagainya, agar tumbuh kembang anak dapat berjalan optimal. Penanganan masalah gizi yang terjadi di masyarakat terutama di pedesaan harus dimulai dengan peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang menyeluruh mengenai gizi, faktor yang mempengaruhi, dampak, serta cara untuk memenuhi kecukupannya dan menangani masalahnya. Dengan demikian dibutuhkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak, seperti Dinas Kesehatan, aparat desa khususnya PKK, Posyandu, swasta, LSM, maupun perguruan tinggi.

Apabila ingin melakukan penelitian lanjutan, disarankan meneliti mengenai hal-hal yang berpotensi menyebabkan kejadian stunting pada anak balita dan hubungannya dengan perkembangan bahasa atau perkembangan anak lainnya dengan jumlah contoh yang lebih banyak, menggunakan kelompok status gizi normal sebagai pembandingnya, dan mengikutsertakan variabel stimulasi psikosoial untuk diteliti.

Dokumen terkait