• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Dan Perkembangan Bahasa Anak Balita Stunted Di Desa Sukawening, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Dan Perkembangan Bahasa Anak Balita Stunted Di Desa Sukawening, Kabupaten Bogor"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN BAHASA

ANAK BALITA

STUNTED

DI DESA SUKAWENING,

KABUPATEN BOGOR

NURUL DIASMARANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRACT

NURUL DIASMARANI. Characteristic and Language Development of StuntedChildren in Sukawening Village, Bogor Regency. Supervised by ALI KHOMSAN.

(3)

RINGKASAN

NURUL DIASMARANI.

Karakteristik dan Perkembangan Bahasa Anak Balita Stunted di Desa Sukawening, Kabupaten Bogor

.

Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui karakteristik pada anak balita stunted dan dampak kejadian stunting tersebut terhadap perkembangan bahasanya. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi karakteristik anak balita pendek (stunted) dan karakteristik keluarganya; (2) mengidentifikasi status kesehatan, sanitasi lingkungan pemukiman, serta perilaku higiene ibu dan perilaku higiene anak balita pendek (stunted); (3) mengidentifikasi pola asuh makan dan frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani anak balita pendek (stunted); (4) mengidentifikasi faktor budaya pada kebiasaan makan anak balita pendek (stunted) dan persepsi ibu mengenai tinggi badan anaknya; (5) mengidentifikasi perkembangan bahasa anak balita pendek (stunted); (6) menganalisis hubungan antara kejadian stunting dengan perkembangan bahasa anak balita dan; (7) menganalisis hubungan karakteristik anak balita dan karakteristik keluargadengan perkembangan bahasa

Penelitian ini didesain dengan metode cross-sectionalstudy. Penelitian dilakukan di Desa Sukawening, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari-Maret 2011. Contoh dalam penelitian ini adalah 30 anak balita berusia 30-60 bulan yang mempunyai status gizi pendek atau sangat pendek berdasarkan indeks TB/U (WHO Child Growth 2005). Contoh merupakan populasi dari seluruh balita stunted di wilayah Posyandu yang telah didata, yang kemudian disaring kembali menggunakan kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini, adalah (a) tidak diasuh oleh keluarga kandung, (b) tidak bersedia diukur perkembangan bahasanya, serta (c) faktor ibu atau pengasuh yang tidak mengetahui berat badan lahir dan riwayat pemberian ASI balita, dan (d) tidak bersedia diwawancara.

Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 30-41 bulan, 42-53 bulan, dan 54-60 bulan sesuai dengan instrumen perkembangan bahasa yang digunakan. Sebagian besar anak balita berada pada rentang usia 30-41 bulan dan 42-53 bulan dengan persentase masing-masing sebesar 43.3%, serta berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan perbandingan yang sama (50.0%). Hampir seluruh anak balita lahir dengan berat badan yang cukup (93.3%) dan sebanyak 96.7% balita diberikan ASI sewaktu bayi. Namun hanya 33.3% ibu yang memberikan ASI hingga usia 24 bulan (dua tahun). Secara keseluruhan tidak satupun ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama. Meskipun begitu hanya 6.7% ibu yang memberikan susu formula. Berdasarkan indeks TB/U sebesar 80.0% anak balita memiliki status gizi pendek atau stunted sedangkan 20.0% anak lainnya berstatus gizi sangat pendek atau severe stunted dengan rata-rata nilai Z-skor sebesar -2.69.

(4)

keluarga ≤4 orang dan 60.0% ibu balita memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang dengan rata-rata skor 74.2.

Pada pola asuh makan anak balita, sebanyak 70.0% anak balita hanya biasa diberikan makanan pokok dan lauk pauk/sayur dalam menu sehari-harinya. Hanya63.3%anak balita yang memiliki jadwal makan yang teratur dan 43.3% balita yang biasa memiliki frekuensi makan 3 kali sehari. Separuh ibu membangun kebiasaan makan anaknya dalam situasi disiplin duduk di dalam rumah baik sambil menonton televisi atau makan bersama anggota keluarga lainnya. Sebanyak 50.0% ibu memilih untuk membuat makanan lain yang biasa disukai anak dalam menghadapi anak yang susah makan. Para ibu balita kurang dapat memvariasikan menu dengan berbagai cara pengolahan ataupun cara penghidangan, sehingga anak cenderung bisa menjadi bosan. Sebagian besar ibu merayu anak untuk mengatasi penolakan makan oleh anak balita(76.7%) dan persentase terbesar ibu akan membiarkan ketika tiba-tiba anaknya berhenti makan sebelum makanannya habis (40%). Pada umumnya mereka beranggapan anak sudah kenyang sehingga tidak menghabiskan makannya. Hampir seluruh ibu memberikan pujian ketika anaknya makan dengan lahap (96.7%), sementara seluruh ibu balita memprioritaskan memberi makan anak dibandingkan kesibukan pekerjaannya dan selalu memantau sisa makanan anaknya.

Anak balita memperoleh protein hewani melalui berbagai sumber pangan dan olahannya, antara lain susu dengan frekuensi 8.5 kali/minggu dan berat 185.8 gram/hari, telur dengan frekuensi 4.4 kali/minggu dan berat 45.7 gram/hari, ikan teri dengan frekuensi 3.2 kali/minggu dan berat 5.7 gram/hari, sosis dengan frekuensi 3.1 kali/minggu dan berat 19.4 gram/hari, sate ayam dengan frekuensi

2.2 kali/minggu dan berat 8.5 gram/hari, ikan tongkol dengan frekuensi 1.8 kali/minggu dan berat 9.0 gram/hari, ayam dengan frekuensi 1.4 kali/minggu

dan berat 10.2 gram/hari, bakso dengan frekuensi 1.3 kali/minggu dan berat 6.6 gram/hari, nugget ayam dengan frekuensi 1.1 kali/minggu dan berat 7.3 gram/hari, serta otak-otak ikan dengan frekuensi 1.0 kali/minggu dan berat 4.8 gram/hari.

Tabu makanan sama sekali tidak dijalankan kepada satu anak balita pun, sementara sebagian besar orang tua telah menempatkan anak-anak sebagai prioritas utama dalam pemberian makan di keluarga (63.3%). Hasil wawancara kepada para ibu balita menunjukkan bahwa hanya 30.0% ibu yang merasa bahwa anak mereka memiliki tinggi yang kurang. Meski begitu, para ibu menganggap bahwa kependekan yang terjadi bukanlah suatu masalah pada tumbuh kembang anaknya. Tinggi badan merupakan hal yang tidak banyak mendapat perhatian dari para orang tua. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan para orang tua khususnya ibu sebagai pengasuh utama mengenai pertumbuhan linier anak serta tidak adanya sosialisasi maupun evaluasi mengenai makna hasil pengukuran tinggi badan dari Posyandu.

(5)

KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGAN BAHASA

ANAK BALITA

STUNTED

DI DESA SUKAWENING,

KABUPATEN BOGOR

NURUL DIASMARANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Karakteristik dan Perkembangan Bahasa Anak Balita Stunted di Desa Sukawening, Kabupaten Bogor

Nama : Nurul Diasmarani NIM : I14062680

Disetujui,

Diketahui,

Tanggal Disetujui :

Dosen Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Ali Khomsan NIP. 19600202 198403 1 001

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

(7)

PRAKATA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan cinta-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Karakteristik dan Perkembangan Bahasa Anak Balita Stunted di Desa Sukawening, Kabupaten Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, kritik, dan saran, serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku Dosen Pemandu Seminar Skripsi dan Dosen Penguji Skripsi atas segala masukan yang telah diberikan.

3. Bapak dan Ibu tercinta serta Kakak, Ian, dan Fikri atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang tak pernah berhenti diberikan kepada penulis dalam setiap perjalanan kehidupan.

4. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penelitian, Dianita Yuliani, Puspasari, Sri Wahyuningsih, Ulfa Maesaroh, Oktarina, Anne Puspitasari, Miftakhurahmah, Rahmi Damayanti, Indra Kurniawati, Trisna Demiyati, Siti Khalimah, Fitriyanto, Mba Dwi Catur, dan Mas Arga atas setiap waktu dan kesabaran yang telah diberikan dalam membantu pengambilan data dan penyusunan skripsi.

5. Kepala Desa, Sekretaris Desa, Bidan dan kader Posyandu Desa Sukawening, serta teman-teman pemuda di Cimoboran beserta keluarga, atas begitu banyak bantuan, dukungan, dan kehangatan yang tidak kenal pamrih.

6. Keluarga Wisma Ayu (Maria Ulfa, Henti Sylvia N, Hardiyanti Samad, Sarah Amalia,

Istiqomah V, Nunu Ainul Q, Tri Sundari, Siti Khalimah, Trisna

Demiyati, Eka Kurniawati, Indra Kurniawati, Rahmi Damayanti, Meyta D. Ariyani, Puspasari, dan Endang Wijayanti, serta “Keluarga Kecilku” atas setiap kehangatan, kenangan, keceriaan, serta dukungan di setiap waktu. 7. Keluargaku Gizi Masyarakat 43, BEM KM Generasi Inspirasi, Kementerian
(8)

dan teman-teman di IPB yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas setiap semangat, kehangatan, keceriaan, dan kenangan yang diberikan. 8. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak

langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan pahala dan kebaikan yang lebih besar dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Juni 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 1 Agustus 1988 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara Bapak Syaiful Marsyi dan Ibu Dhyaniwati.

Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Yaspen Tugu Ibu Depok dan melanjutkan ke jenjang menengah pertama di SLTPN 3 Depok hingga tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan ke SMAN 49 Jakarta dan tamat di tahun 2006.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) angkatan 43 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Setelah satu tahun menjalani Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia.

Selama masa kuliah penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, antara lain sebagai Sekretaris Komisi B DPM TPB IPB tahun 2007, Bendahara DPM FEMA IPB tahun 2008 dan Ketua Komisi Administrasi dan Keuangan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) FEMA IPB tahun 2009, Anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (Himagizi) dan Forum Syiar Islam FEMA (Forsia) tahun 2008, dan Sekretaris Menteri Pendidikan BEM KM (Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa) IPB tahun 2010. Penulis juga ikut aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti Open House 44 tahun 2007, MPKMB (Masa Perkenalan Mahasiswa Baru) 44 tahun 2007, MPF (Masa Perkenalan Fakultas) FEMA dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) Gizi “Otag” 44 tahun 2008 dan Funny Fair tahun 2008.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan... 3

Kegunaan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Anak Balita ... 5

Perkembangan Bahasa Anak ... 6

Stunting ……. ... 9

Karakteristik Keluarga ... 12

Pendidikan Orang Tua ... 12

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga ... 12

Besar Keluarga ... 13

Pengetahuan Gizi Ibu ... 14

Faktor Budaya ... 15

Tabu Makanan ... 15

Distribusi Makanan dalam Keluarga ... 16

Status Kesehatan ... 16

Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Higiene ... 17

Berat Badan Lahir Rendah ………. . 18

Riwayat Pemberian ASI ……. ... 18

Pola Asuh Makan ... 19

Protein Hewani ... 21

KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

METODE PENELITIAN ... 26

Desain, Tempat dan Waktu ... 26

Cara Penarikan Contoh ………. ... 26

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 26

Pengolahan dan Analisis Data ... 30

Definisi Operasional ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 36

Karakteristik Keluarga ... 37

Pendidikan Orang Tua ... 37

(11)

Besar Keluarga ... 40

Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu ... 41

Karakteristik Anak Balita ... 44

Usia ... 44

Jenis Kelamin ... 44

Berat Badan Lahir ... 45

Riwayat Pemberian ASI ... 45

Status Gizi Anak Balita ... 51

Status Kesehatan Anak Balita ... 52

Sanitasi Lingkungan Pemukiman ... 53

Sarana Air Bersih ... 53

Jenis Lantai Rumah ... 54

Kepemilikan Kamar Mandi ... 54

Perilaku Higiene ... 55

Perilaku Higiene Ibu ... 55

Perilaku Higiene Anak Balita ... 56

Pola Asuh Makan Anak Balita ... 57

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani ... 62

Faktor Budaya ... 63

Tabu Makanan ... 63

Distribusi Makanan dalam Keluarga ... 63

Persepsi Ibu terhadap Tinggi Badan Anak ... 64

Perkembangan Bahasa Anak Balita ... 66

Hubungan Kejadian Stunting dengan Perkembangan Bahasa ... 68

Hubungan Karakteristik Anak Balita dan Karakteristik Keluarga dengan Perkembangan Bahasa ... 69

KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

Kesimpulan ... 73

Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS ... 10

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data ... 29

Tabel 3 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS... 31

Tabel 4 Cara pengkategorian variabel penelitian ... 31

Tabel 5 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia ... 36

Tabel 6 Sebaran mata pencaharian penduduk ... 37

Tabel 7 Sebaran tingkat pendidikan orang tua balita ... 38

Tabel 8 Sebaran pekerjaan orang tua balita ... 39

Tabel 9 Sebaran keluarga balita berdasarkan garis kemiskinan Jawa Barat tahun 2010 …. …. ... 40

Tabel 10 Sebaran jumlah anggota keluarga balita ... 40

Tabel 11 Sebaran jumlah keluarga yang tinggal dalam satu atap ... 41

Tabel 12 Sebaran item pertanyaan yang dijawab benar oleh ibu balita ... 42

Tabel 13 Sebaran tingkat pengetahuan gizi ibu balita ... 43

Tabel 14 Sebaran anak balita menurut kelompok usia ... 44

Tabel 15 Sebaran anak balita menurut jenis kelamin ... 44

Tabel 16 Sebaran berat badan lahir anak balita ... 45

Tabel 17 Sebaran riwayat pemberian ASI ... 46

Tabel 18 Sebaran usia penyapihan anak balita ... 46

Tabel 19 Sebaran alasan usia penyapihan anak ... 47

Tabel 20 Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama ... 48

Tabel 21 Sebaran alasan pemberian makanan/minuman sebelum usia 6 bulan ... 49

Tabel 22 Sebaran pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan ... 50

Tabel 23 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan indeks TB/U ... 51

Tabel 24 Sebaran status kesehatan anak balita dalam satu bulan terakhir .. 52

Tabel 25 Sebaran jenis penyakit yang diderita anak balita dalam satu bulan terakhir ………… ... 52

Tabel 26 Sebaran frekuensi dan lama sakit anak balita dalam satu bulan terakhir ... 52

Tabel 27 Sebaran sarana air bersih keluarga balita ... 53

Tabel 28 Sebaran jenis lantai rumah keluarga balita ... 54

Tabel 29 Sebaran kepemilikan kamar mandi keluarga balita ... 54

Tabel 30 Sebaran perilaku higiene ibu balita ... 55

Tabel 31 Sebaran perilaku higiene anak balita ... 57

Tabel 32 Sebaran praktek pemberian makan anak dalam ... 58

Tabel 33 Sebaran perilaku ibu dalam pemberian makan anak ... 61

Tabel 34 Sebaran frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani anak balita ... 62

Tabel 35 Sebaran tabu makanan pada anak balita ... 63

Tabel 36 Sebaran prioritas pemberian makan dalam keluarga balita ... 64

(13)

Tabel 38 Sebaran penguasaan tugas perkembangan bahasa

masing-masing kelompok usia balita ... 67 Tabel 39 Perbandingan rata-rata skor perkembangan bahasa berdasarkan

status gizi anak balita ... 69 Tabel 40 Perbandingan rata-rata skor perkembangan bahasa berdasarkan

karakteristik anak balita ... 70 Tabel 41 Perbandingan rata-rata skor perkembangan bahasa berdasarkan

(14)

DAFTAR GAMBAR

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Berbagai kecenderungan di masa depan menuntut kita untuk membangun sumberdaya manusia yang berkualitas. Sumberdaya manusia yang diharapkan adalah yang mempunyai daya tembus dan daya tangkal yang kuat karena kemampuan IPTEK yang andal, keimanan dan ketaqwaan yang kukuh, etos kerja dan daya juang yang tinggi (Syarief 1996 dalam Muchtadi 1996). Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa yang hanya mengandalkan kekayaan sumberdaya alam tanpa meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya, tidak akan pernah menjadi bangsa yang besar. Sebaliknya negara yang sumberdaya alamnya terbatas tetapi mempunyai sumberdaya manusia yang berkualitas, dapat menjadi bangsa yang maju dan mandiri (Muchtadi 1996).

Gambaran masalah gizi menjadi penting atau mempunyai arti bila ada relevansinya dengan derajat mutu sumberdaya manusia dan luas besarnya masalah, terutama meliputi generasi muda dan golongan produktif penduduk (Karyadi 1983). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang menggambarkan kesejahteraan dan mengukur kemajuan rata-rata suatu negara dalam kerangka pembangunan manusia masih menempatkan Indonesia pada peringkat bawah diantara negara-negara di seluruh dunia. Bahkan pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat 111 dari 182 negara. Fakta ini menunjukkan bahwa perbaikan kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih harus terus dilakukan melalui investasi di berbagai bidang, yang salah satunya adalah bidang gizi dan kesehatan.

(17)

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan prevalensi nasional balita pendek dan balita sangat pendek (stunted) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 35.6% (18.5% sangat pendek dan 17.1% pendek) atau lebih dari sepertiga balita di Indonesia. Angka ini mengkhawatirkan karena jauh di atas batas toleransi Badan Kesehatan Dunia (WHO), yang hanya 20%. Sementara hasil Pemantauan Status Gizi Dinkes Kabupaten Bogor tahun 2009 menunjukkan balita sangat pendek di Kabupaten Bogor mencapai 19.3%, sedangkan 17.9% adalah balita pendek

.

Perkembangan otak terutama sejak masa janin sampai usia dua tahun pertama merupakan periode window of opportunity yang membutuhkan dukungan gizi yang cukup sehingga dapat berkembang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit diperbaiki. Kurangnya gizi pada masa-masa penting tersebut dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan otak yang juga dapat berdampak pada rendahnya kecerdasan, kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2007).

Penelitian Mendez dan Adair (1999) menunjukkan anak yang stunted mempunyai pencapaian skor test kognitif yang lebih rendah dibandingkan anak dengan tinggi normal. Mereka juga mempunyai nilai yang lebih rendah pada pengujian bahasa dan matematika. Penelitian Hizni et al. (2009) juga menemukan bahwa kejadian stunting pada anak usia di bawah lima tahun mempunyai hubungan yang nyata dengan perkembangan bahasanya. Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena mengancam kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang apabila tidak ditangani secara serius dan dapat mengakibatkan bangsa Indonesia pada akhirnya mengalami lost generation.

(18)

usia dan jenis kelamin balita, akan tetapi berhubungan dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan kepala keluarga. Prevalensi stunting juga cenderung lebih rendah seiring dengan meningkatnya tingkat pengeluaran keluarga per kapita per bulan.

Kejadian kurang gizi termasuk stunting pada balita disebabkan oleh berbagai faktor yang lebih kompleks dibandingkan pada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan balita merupakan salah satu kelompok rawan gizi yang kecukupan gizinya sangat penting bagi tumbuh kembang dan kesehatannya di masa depan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui karakteristik pada anak balita stunted dan dampaknya terhadap perkembangan bahasanya, yang menjadi salah satu gambaran kualitas tunas-tunas bangsa.

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui karakteristik pada anak balita stunted dan dampak kejadian stunting tersebut terhadap perkembangan bahasanya.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik anak balita pendek (stunted) dan karakteristik keluarganya.

2. Mengidentifikasi status kesehatan, sanitasi lingkungan pemukiman, serta perilaku higiene ibu dan perilaku higiene anak balita pendek (stunted). 3. Mengidentifikasi pola asuh makan dan frekuensi konsumsi pangan

sumber protein hewani anak balita pendek (stunted).

4. Mengidentifikasi faktor budaya pada kebiasaan makan anak balita pendek (stunted) dan persepsi ibu mengenai tinggi badan anaknya.

5. Mengidentifikasi perkembangan bahasa anak balita pendek (stunted). 6. Menganalisis hubungan antara kejadian stunting dengan perkembangan

bahasa.

(19)

Kegunaan

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas 1 tahun atau lebih populer dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun. Berdasarkan tahapan perkembangan manusia menurut Elizabeth Hurlock (1980) masa balita dapat disebut sebagai masa kanak-kanak awal yaitu periode usia dua tahun sampai enam tahun. Sementara para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-kanak sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat anak dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental untuk menghadapi tugas-tugas pada saat mereka mengikuti pendidikan formal. Dengan demikian, awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi, usia dengan ketergantungan telah terlewati dan berganti dengan tumbuhnya kemandirian, dan berakhir disekitar usia masuk sekolah (Hurlock 1980).

Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak secara fisik. Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi kecukupan gizi tersebut sangatlah berpengaruh dengan kondisi kesehatannya secara berkesinambungan pada masa mendatang (Muaris 2006). Masa balita merupakan masa yang penting karena masa ini merupakan pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.

Pada akhir usia 3 tahun, seorang anak memiliki tinggi tiga kaki, dan 6 inchi lebih tinggi ketika ia berusia 5 tahun. Berat badannya kira-kira 15 kg dan diharapkan menjadi 20 kg saat ia berusia 5 tahun. Tentu ada perbedaan berat dan tinggi badan setiap anak, karena faktor keturunan, efek pemberian nutrisi dan faktor lain yang dimiliki anak dalam riwayat hidupnya. Pada usia ini otot-otot anak menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh menjadi besar dan keras (Hawadi & Akbar 2006).

(21)

tata caranya, mempersiapkan diri untuk membaca dan belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan hati nurani.

Perkembangan Bahasa Anak

Bahasa adalah suatu bentuk komunikasi-lisan, tertulis atau isyarat-yang berdasarkan pada suatu sistem dari simbol-simbol. Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain Menurut Hurlock (1980) terdapat dua tugas utama dalam berkomunikasi, yaitu pemahaman akan perkataan orang lain dan belajar atau kemampuan berbicara. Sementara menurut Yusuf (2010) dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Pertama, pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Kedua, pengembangan perbendaharaan kata. Ketiga, penyusunan kata-kata menjadi kalimat dan terakhir adalah kemampuan mengucapkan kata-kata.

Belajar bicara merupakan tugas yang lama dan sulit sehingga banyak bayi selama tahun pertama dan kedua mencoba memberitahukan kebutuhan dan keinginannya melalui bentuk-bentuk prabicara, seperti menangis, berceloteh, isyarat, dan pengungkapan emosi (Hurlock 1980). Sebelum mereka mengucapkan kata-kata yang pertama, mereka telah berkomunikasi dengan orang tua mereka, umumnya menggunakan gerak tubuh dan dengan menggunakan suara-suara mereka sendiri yang khas (Gleason 2005 dalam Santrock 2007). Bayi mengetahui dan mengerti lebih banyak kata-kata dibandingkan apa yang mereka ucapkan.

Pada setiap tahapan usia, anak-anak lebih mengerti apa yang dikatakan orang lain daripada mengutarakan pemikiran dan perasaan-perasaan mereka sendiri dalam kata-kata. Ekspresi muka pembicara, nada suara, dan isyarat-isyarat tangan membantu bayi untuk mengerti apa yang dikatakan kepadanya sementara kemampuan mengerti pada masa kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh cara anak mendengarkan apa yang dikatakan padanya (Hurlock 1980).

(22)

(Santrock 2007). Kemampuan menyusun kata–kata menjadi kalimat umumnya berkembang sebelum usia 2 tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture untuk melengkapi cara berpikirnya. Contohnya seorang anak menyebut “bola” sambil menunjuk bola dengan jarinya mungkin berarti “tolong ambilkan bola untuk saya” (Yusuf 2010).

Kosakata lisan bayi meningkat pesat semenjak kata pertama telah diucapkan (Camaioni 2004; Waxman & Lidz 2006 dalam Santrock 2007) Pada usia 18 bulan bayi dapat mengucapkan 50 kata, tetapi pada usia 2 tahun mereka telah dapat mengucapkan 200 kata. Peningkatan jumlah kosakata yang cepat ini dimulai pada usia kira-kira 18 bulan dan biasa disebut ledakan kosakata (vocabulary spurt) (Bloom, Lifter & Broughton 1985 dalam Santrock 2007). Perbendaharaan kata anak berkembang lambat mulai usia 2 tahun kemudian mengalami tempo yang cepat pada fase usia prasekolah dan terus meningkat setelah masuk sekolah (Yusuf 2010).

Jika perbendaharaan kata seorang anak mencapai 50 kata pada usia 18 bulan hingga 2 tahun, anak-anak mulai menggabungkan dua kata menjadi satu “lihat anjing”, “lempar bola”. Setelah gabungan dua kata ini muncul, gabungan kata-kata yang berbeda meningkat secara lambat, kemudian meningkat dengan cepat. Gabungan dua kata paling dini dari seorang anak tampaknya merupakan bentuk singkat orang dewasa yang terutama terdiri dari kata benda, kata kerja dan beberapa kata sifat, seperti halnya sebuah telegram yang hanya terdiri dari kata-kata yang perlu, sedangkan kata sambung, kata depan, dan lain-lain dihilangkan. Apabila diminta seorang anak yang berusia 2 dan 3 tahun untuk mengulang sebuah kalimat sederhana, misalnya “saya dapat melihat seekor sapi”, maka jawabannya seringkali berbentuk seperti sebuah telegram, yaitu “lihat sapi” atau “saya lihat sapi”. Walaupun beberapa kata dihilangkan namun dapat dibuktikan adanya keteraturan dan menuruti suatu peraturan tertentu. Kata-kata terpenting diulang dan urutan kata yang benar dipertahankan. Sejak semula anak-anak mengikuti peraturan tata bahasa yang sederhana. Mereka menunjukkan hubungan dasar tata bahasa antara subjek, kata kerja, dan objek dengan meletakkan bagian pembicaraan ini secara benar dalam kalimat-kalimat mereka yang pertama (Brown 1973 dalam Mussen et al. 1984).

(23)

perkembangan bahasa juga terbayang dalam kemajuan secara bertahap namun teratur dalam penghasilan dan pengertian sebuah pertanyaan. Seorang anak berusia dua tahun mengerti “ya” dan “tidak”, seperti juga pertanyaan “di mana”, “siapa”, dan “apa”, dan secara umum menjawabnya dengan benar (Mussen et al. 1984). Pada usia 3 tahun anak-anak mulai menjawab “mengapa” dengan benar (Evin & Tripp 1977 dalam Mussen et al 1984). Frekuensi jawaban yang betul dari semua jenis pertanyaan “apa”, “mengapa” meningkat pada usia antara 3 dan 5 tahun (Tyrack 1966 dalam Mussen et al. 1984).

Pengertian kata-kata deiktik (kata-kata yang menunjukkan lokasi dari sisi pembicara) seperti “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu” menunjukkan bahwa anak kecil mampu mengambil titik pandang orang lain. Anak berusia 2 tahun jelas mengerti perspektif pembicara jika diinterpetasikan kata-kata “di sini” atau “di sana”. Semua anak telah siap membedakan antara “milik saya” dan “milik kamu”, tetapi anak usia 2 tahun mengalami kesulitan jika dibutuhkan perubahan perspektif, seperti untuk menerjemahkan “di bagian kiri meja” dari pandangan orang lain yang tidak berada pada sisi yang sama dengan dirinya. Anak usia 3 tahun telah mahir mengambil perspektif si pengamat yaitu menginterpretasikan “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu”, “di depan”, dan “di belakang” dengan benar (de Villers & de Villers 1974 dalam Mussen et al. 1984).

(24)

kelambatan dalam berbahasanya dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Keempat, jenis kelamin. Pada tahun pertama tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara laki-laki dan perempuan. Namun mulai usia dua tahun, anak perempuan menunjukkan perkembangan yang lebih cepat daripada anak laki-laki. Terakhir adalah hubungan keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang mengajar, melatih, dan memberikan contoh kepada anak. Hubungan yang sehat antara orangtua dan anak (penuh perhatian dan kasih sayang) memfasilitasi perkembangan bahasa anak, sedangkan hubungan yang tidak sehat mengakibatkan anak akan mengalami kesulitan atau kelambatan dalam perkembangan bahasanya.

Stunting

Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan serta terjadinya infeksi, trauma, dan faktor metabolik. Menurut Suhardjo (1986) status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan.

Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya.

Antropometri digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Riyadi (2004) menyatakan bahwa indeks antropometri memiliki beberapa kelebihan seperti dapat digunakan untuk mengindentifikasi keadaan gizi ringan, sedang, dan buruk serta untuk memperoleh informasi tentang riwayat gizi masa lampau yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain dan dapat digunakan untuk melakukan screening test dalam rangka mengidentifikasi individu yang beresiko terhadap malnutrisi. Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2002).

(25)

menggambarkan status gizi masa lalu. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Penilaian status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar WHO-NCHS untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal, pendek atau sangat pendek yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS

Indikator Status gizi Keterangan

Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Sangat pendek (severe stunted) z-score < -3 SD

Pendek (stunted) -3 SD ≤ z-score < -2 SD

Normal -2 SD ≤ z-score≤ +2 SD

Tinggi z-score > +2 SD

Stunting pada anak balita berati kurangnya atau gagalnya pertumbuhan linear tubuh mencapai potensi genetik sebagai akibat asupan gizi yang kurang dan penyakit. Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang rendah dan efek kumulatif dari kurangnya atau ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Stunting merupakan keadaan kurang gizi menurut indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yang banyak terjadi pada anak balita terutama di negara-negara berkembang. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8% (18.8% sangat pendek dan 18.0% pendek) pada tahun 2007 dan 35.6% (18.5% sangat pendek dan 17.1% pendek) pada tahun 2010 atau lebih dari sepertiga balita di Indonesia. Meskipun secara nasional jumlah tersebut mengalami penurunan, tetapi di beberapa provinsi jumlahnya justru meningkat hingga 50% dibandingkan tahun 2007 lalu. Kejadian stunting merupakan indikator yang krusial untuk melihat keberhasilan pembangunan di suatu daerah dan di suatu negara.

(26)

sanitasi yang kurang baik (Riskesdas 2007). WHO juga menginterpretasikan tingginya prevalensi stunting menunjukkan kekurangan asupan makanan bergizi, tingginya angka kesakitan akibat penyakit infeksi, atau kombinasi dari dua keadaan tersebut. Sementara itu berdasarkan penelitian di Cebu, Filiphina, faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting pada anak-anak yang juga dapat mengganggu perkembangan kecerdasan anak, antara lain berat badan lahir rendah (BBLR), tidak cukupnya pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (sampai usia 2 tahun) dan pengganti ASI (setelah usia 2 tahun), frekuensi mengalami diare dan infeksi pernafasan. Sawaya (2006) juga mengungkapkan bahwa beberapa penyebab terjadinya stuning antara lain kurang gizi pada ibu, kurang gizi intra-uterine, kurangnya menyusui sampai anak berusia enam bulan, pengenalan keterlambatan makanan pendamping, kuantitas dan kualitas makanan pendamping yang tidak mencukupi, serta penyerapan nutrisi dirugikan oleh infeksi dan penyakit parasit usus.

Faktor penyebab lainnya yang sama pentingnya adalah pola makan anak yang salah, pelayanan kesehatan yang kurang atau tidak terjangkau, dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai. Selain hal-hal tersebut, hasil studi juga menunjukkan bahwa faktor yang paling utama adalah kurangnya pengetahuan mengenai manfaat ASI eksklusif, peranan gizi mikro, dan kurangnya waktu ibu yang tersedia untuk mengasuh anak dan merawat dirinya selama masa kehamilan. Hal ini sangat penting diperhatikan karena dampak terburuk dari kekurangan gizi yang dialami pada saat kehamilan maupun dua tahun pertama usia anak yang merupakan periode window of opportunity, akan mengakibatkan kerusakan pada tumbuh kembang otak yang bersifat permanen. Dampak terburuk kerusakan tersebut meliputi kerusakan pada pertumbuhan otak, kecerdasan, kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2007).

(27)

pencapaian pada tes matematika dan bahasa di Vietnam. Anak-anak yang stunted memiliki nilai tes yang lebih rendah daripada anak-anak yang normal.

Karakteristik Keluarga Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak (Rahmawati 2006). Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga sehari-hari, sehingga mempengaruhi pola pemberian makan anak yang pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Menurut Madanijah (2003) pendidikan ibu juga merupakan salah satu penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadaran terhadap kesehatan keluarga dan anak.

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak. Semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi gizi. Widjaja (1986) dalam Syarief et al. (2007) menyatakan bahwa dalam mengasuh anak, ibu yang berpendidikan tinggi bersifat lebih terbuka terhadap hal-hal baru karena lebih sering mengikuti artikel-artikel, pemberitaan-pemberitaan melalui surat kabar, majalah maupun televisi mengenai anak sehingga mereka lebih mengerti perkembangan anak. Pada ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan dan perkembangan anak minimal hanya sekedar pengetahuan dan kebiasaan mengasuh yang diperolehnya dari orang tua dan tetangga yang mungkin memiliki taraf pendidikan dan pengalaman yang juga kurang, sehingga menjadi faktor yang menghambat ibu dalam melakukan pengasuhan anak yang maksimal.

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga

(28)

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Daya beli yang rendah dari para keluarga yang kurang mampu merupakan salah satu penyebab kekurangan gizi di Indonesia (Winarno 1995).

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Semakin baik pendapatan, maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik (Suhardjo 1989) sebab dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang-kadang perubahan utama yang justru terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal.

Sementara menurut Husaini et al. (2000), apabila pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Di negara-negara berkembang golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu umumnya dua per tiga dari pendapatannya (Suhardjo 1989). Namun sebaliknya, apabila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah terpenuhi. Dengan kata lain, jika pendapatan meningkat akan terjadi pergeseran pola konsumsi. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil (Husaini et al. 2000)

Besar Keluarga

(29)

Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6 bulan atau lebih atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut dianggap sebagai anggota rumah tangga.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Bagi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang banyak, jumlah anggota rumah tangga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat tebagi secara merata (Djauhari & Friyanto 1993 dalam Fachrina 2005).

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah yang paling rawan terhadap kurang gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh terhadap kekurangan pangan. Sebagian memang demikian, sebab seandainya besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian, anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan. Kurang energi protein berat akan sedikit dijumpai bila jumlah anggota keluarganya lebih kecil (Suhardjo 1986).

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang, serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmojo 1993). Secara tidak langsung, pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi status gizi balita, karena dengan pengetahuannya para ibu dapat mengasuh dan memenuhi gizi anak balitanya, yang pada gilirannya dapat menjamin asupan gizi anak.

(30)

anak akan sangat merugikan dan menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan gizi yang cukup. Oleh karena itu, pendidikan dan pengetahuan gizi sangat diperlukan untuk mengubah sikap dan perilaku sehat tentang berbagai jenis pangan. Pendidikan dan pengetahuan gizi sangat penting bagi ibu rumah tangga yang turut bertanggung jawab akan keadaan gizi setiap anggota keluarga.

Sebab penting lain dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo 2005). Menurut Sanjur (1982), pengaruh pengetahuan gizi terhadap makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu, belum tentu konsumsi makan menjadi baik. Konsumsi jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan.

Faktor Budaya

Kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebudayaan tidak hanya menentukan pangan apa, tetapi untuk apa, dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan (Suhardjo 1986).

Banyak sekali penemuan para peneliti yang menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi (Suhardjo 2005).

Menurut Winarno (1995), besarnya masalah gizi di Indonesia, diantaranya juga disebabkan oleh hal yang sederhana saja, yaitu karena ketidaktahuan serta karena begitu lekatnya tradisi dan kebiasaan yang mengakar di masyarakat khususnya di bidang makanan, cara penyajian, serta menu masyarakat dengan segala tabu-tabunya.

Tabu Makanan

(31)

alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan (Suhardjo 2005).

Pantangan atau tabu makanan adalah suatu larangan, untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap barang siapa yang melanggarnya (Suhardjo 1989). Banyak faktor yang mendasari tabu makanan, misalnya karena magis, kepercayaan, takut berkomunikasi, kesehatan dan lain-lain.

Distribusi Makanan dalam Keluarga

Menurut Suhardjo (2005) dalam hal pangan ada budaya yang memprioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan, yaitu umumnya kepala keluarga. Anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya. Pada beberapa kasus, wanita dan anak kecil hanya memperoleh pangan yang disisakan setelah anggota keluarga pria makan (Suhardjo 1986). Apabila hal tersebut masih dianut kuat oleh sesuatu budaya, sedangkan di sisi lain pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak baik (maldistribution) diantara anggota keluarga. Dan apabila keadaan tersebut berlangsung lama, dapat lebih mendukung terjadinya masalah gizi kurang bagi balita yang termasuk kelompok rawan gizi (Suhardjo 2005).

Status Kesehatan

(32)

kebiasaan hidup sehat, konsumsi dan kebiasaan makan, serta status gizi sebelumnya (Hastuti 2006).

Sanitasi Lingkungan Pemukiman dan Perilaku Higiene

Sanitasi adalah usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyawati & Yuliarsih 2002 dalam Sukandar 2007). Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat seseorang berada.

Sanitasi lingkungan sangat mempengaruhi kesehatan dan kebersihan lingkungan. Sementara lingkungan yang bersih dan sehat menjadi indikator kesehatan seseorang. Kesehatan seseorang akan terlihat dari daya tahan tubuh seseorang terhadap suatu penyakit sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. Selain itu lingkungan yang bersih dan sehat juga mencegah penularan penyakit (Sukandar 2007).

Sanitasi lingkungan juga erat kaitannya dengan status gizi. Syarief (1992) menyatakan status gizi juga dipengaruhi oleh sanitasi termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Pemukiman yang sanitasi lingkungannya tidak baik, seperti tidak tersedianya air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang dapat menyebabkan seseorang dapat menjadi kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare dan cacingan.

(33)

pembuangan air limbah dan sampah serta kandang ternak harus terpisah cukup jauh rumah.

Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Menurut Depkes RI (1997), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini, antara lain memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi dua kali sehari, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci rambut (keramas), mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar, menggunakan alas kaki saat berada di luar rumah, dan sebagainya.

Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan lahir rendah (<2500 gram) dapat merusak fungsi kekebalan tubuh anak, perkembangan kognitif, dan meningkatkan resiko terhadap penyakit diare, pneumonia, dan penyakit infeksi lainnya. Penelitian Adair dan Guilkey (1997) di Filiphina menunjukkan bahwa kejadian kecil stunting berhubungan dengan berat badan lahir yang rendah. Bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah juga memiliki kemungkinan yang kecil untuk memulai menyusui dan lebih mungkin untuk disapih lebih awal.

Sementara balita dengan berat badan lahir yang rendah pada umumnya akan mempunyai risiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang kehidupannya jika dibandingkan dengan balita dengan berat badan lahir normal. Apabila tidak meninggal pada awal kelahiran, bayi dengan berat badan lahir rendah akan tumbuh dan berkembang lebih lambat, terlebih lagi apabila mendapat ASI ekslusif yang kurang dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup (Herry 2009). Selain itu, bayi dengan berat lahir rendah juga mempunyai kemampuan menyusu (ASI) yang lebih rendah dibandingkan bayi dengan berat badan lahir normal (Khasanah 2011). Oleh karena itu, bayi dengan berat badan lahir yang rendah cenderung besar menjadi balita dengan status gizi yang rendah.

Riwayat Pemberian ASI

(34)

kembangnya. ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi seimbang dan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI juga mengandung zat-zat penting yang akan memberi perlindungan kepada bayi dari serangan penyakit dan alergi, serta membantu pengembangan kecerdasan bayi secara optimal. Pemberian ASI juga akan menunjang perkembangan kepribadian, kecerdasan emosional, kematangan spiritual, dan perkembangan sosialisasi yang baik bagi bayi (Roesli 2000).

Hasil berbagai studi menyimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif secara tepat merupakan intervensi utama dalam mengatasi berat badan lahir rendah dan sekaligus meningkatkan IQ. Bayi yang tidak menyusui eksklusif dari lahir hingga usia enam bulan tidak saja dirugikan untuk tidak tumbuh optimal akan tetapi juga tidak mendapat stimulasi optimal untuk perkembangan otak. Melalui menyusui eksklusif hubungan kasih sayang akan terbentuk antara ibu dan anak, karena pada saat menyusui ibu akan berkomunikasi dengan bayinya (Syarief et al. 2007).

WHO dan UNICEF menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan dan pemberiannya tetap diteruskan hingga usia 2 tahun atau lebih dengan didampingi makanan padat yang benar dan tepat. Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A. Para ahli menemukan bahwa manfaat ASI akan terus meningkat sesuai dengan lama pemberian ASI tetap dilakukan (Roesli 2000).

Pola Asuh Makan

Pola asuh makan anak mengacu pada apa dan bagaimana anak makan, serta situasi yang terjadi saat makan (Hastuti 2006). Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak. Begitu pula menurut hasil penelitian Karyadi (1985), para ibu yang mempunyai praktek pemberian makan yang baik, anak mereka mempunyai berat dan tinggi badan yang lebih baik.

(35)

Selanjutnya pada periode 6-9 bulan pola asuh makan bayi dengan pemberian makanan lumat seperti bubur saring, bubur tepung beras, sari buah manis, buah-buahan yang dijuice dan lain-lain sebagai peralihan bentuk makanan cair ke makanan padat. Pada usia 9-12 bulan bayi mulai diberikan bentuk lembek, seperti nasi tim, bubur dan sari buah, sedangkan pada usia 1 tahun keatas bayi dianjurkan untuk makan makanan seperti orang dewasa atau semi padat berupa nasi tim dan bubur nasi.

Kebiasaan makan yang sehat dan bergizi harus dimulai pada usia dini. Anak harus dibiasakan untuk makan makanan yang bergizi seimbang, seperti lauk-pauk hewani dan nabati, sayur, minum susu, dan makan buah. Pemberian makan yang baik akan membentuk kebiasaan makan yang baik pula pada anak. Makanan seperti permen, makanan produk ekstrusi, makanan tinggi lemak dan protein seperti makanan siap saji tidak boleh dibiasakan pada anak karena cenderung memicu anak menjadi kelebihan berat badan bahkan kegemukan (Hastuti 2006).

Akan tetapi pola asuh makan yang baik bukan hanya mengenai bagaimana memberi makan dengan pola gizi yang baik dan sesuai dengan usia anak, namun juga melibatkan adanya interaksi antara ibu dan anak. Menurut Zeitlin et al. (1990) pengasuhan makan yang melibatkan interaksi psikis antar ibu dan anak seperti tatapan mata, bujukan untuk makan atau strategi yang dilakukan ibu atau pengasuh agar anak mau dan bersedia makan, merupakan cara yang tepat bagi anak untuk dapat meningkatkan selera dan nafsu makan anak. Menurut Engle et al. (1997), praktek pengasuhan makan terdiri dari pemberian makan yang sesuai umur dan kemampuan anak, kepekaan ibu atau pengasuh mengetahui waktu makan anak dan menumbuhkan nafsu makan anak, serta menciptakan situasi makan yang baik, seperti memberi rasa nyaman saat makan.

(36)

mempengaruhi konsumsi makan anak yang kurang memenuhi anjuran dengan tingkatan umur anak bahkan seringkali dibawah standar yang berlaku (Karyadi 1985).

Protein Hewani

Protein merupakan bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh setelah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi, dan darah, matriks intraseluler, dan sebagainya adalah protein. Disamping itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekuk-molekul yang esensial untuk kehidupan (Almatsier 2001).

Protein mempunyai banyak fungsi, diantaranya membentuk jaringan tubuh baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memelihara jaringan tubuh, memperbaiki serta mengganti jaringan yang aus, rusak atau mati, menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolisme, antibodi yg diperlukan, mengatur keseimbangan air yang terdapat dalam tiga kompartemen intraselular, ektraselular/intraselular, dan intravaskular, serta mempertahankan kenetralan asam basa tubuh (Karsin 2004). Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2001). Protein juga bisa menjadi bahan untuk energi bila keperluan tubuh akan hidrat arang dan lemak tidak terpenuhi.

Jenis dan proporsi asam amino dalam pangan sangat menentukan mutu protein. Protein yang mengandung semua asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk memberikan pertumbuhan secara optimal disebut protein lengkap atau protein bermutu baik atau protein bernilai biologi tinggi. Pada umumnya, protein lengkap terususun dari 1/3 asam amino esensial dan 2/3 asam

(37)

Pangan hewani merupakan pangan bermutu tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, kaya akan vitamin B12 dan vitamin A,

mengandung zat besi heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi (Khomsan 2002) sehingga sangat penting peranannya untuk untuk memberikan pertumbuhan secara optimal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa nilai cerna protein hewani selalu lebih tinggi dari protein nabati. Sementara dari segi pemanfaatannya (utilisasi), protein hewani juga jauh lebih baik dari protein nabati. Vitamin B12 yang terkandung dalam protein hewani menjadi sebuah

keunggulan tersendiri. Selain manfaat vitamin B12 dalam optimalisasi fungsi

syaraf, ternyata vitamin B12 juga tidak ditemui dalam protein nabati (Jaelani

2010).

(38)

KERANGKA PEMIKIRAN

Masa di bawah usia lima tahun (balita) merupakan salah satu periode yang paling kritis dalam menentukan kualitas sumber daya manusia atau disebut masa emas yang tidak akan terulang lagi. Anak balita merupakan kelompok anggota rumah tangga yang paling rentan terhadap kemungkinan kurang gizi. Kondisi anak balita sangat peka terhadap jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga pola konsumsi pangan anak balita dan tingkat kecukupan gizinya merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap masa tumbuh kembangnya.

Pola konsumsi pangan anak balita dapat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Karakteristik keluarga meliputi pekerjaan orang tua, pendapatan per kapita keluarga, pendidikan orang tua, besar keluarga, dan pengetahuan gizi ibu. Pekerjaan orang tua akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan di rumah tangga. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah. Namun hal tersebut juga ditentukan oleh tingkat pendidikan orang tua dan tingkat pengetahuan gizi ibu. Rendahnya pendidikan seringkali juga disertai dengan rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu, sehingga kejadian kurang gizi juga dapat terjadi karena pemilihan kombinasi makanan yang kurang tepat, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi balita. Besar keluarga juga dapat menjadi penyebab ketidakcukupan gizi pada balita. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit.

(39)

eksklusif yang kurang. Oleh karena itu bayi dengan berat badan lahir rendah cenderung besar menjadi balita dengan status gizi yang rendah (Herry 2009). Pemberian ASI dengan tepat kepada bayi juga akan memberikan banyak dampak positif bagi kesehatan dan proses tumbuh kembangnya, sebab ASI mengandung zat gizi yang dibutuhkan bayi, zat-zat antibodi yang memberi perlindungan dari serangan penyakit dan alergi, serta membantu pengembangan kecerdasan bayi secara optimal (Roesli 2000).

Pemberian makan (feeding) pada tahap usia dini melibatkan interaksi antara ibu atau pengasuh dengan anak yang bersangkutan. Oleh karena itu praktek pemberian makan yang tepat dan pola asuh dalam pemberian makan yang baik akan mengakibatkan anak tidak mengalami kesulitan makan dan dapat tercukupi kebutuhan gizinya.

Faktor budaya juga dapat mempengaruhi kecukupan gizi anak balita. Kebiasaan dan kepercayaan yang keliru, seperti adanya tabu makanan dan distribusi makanan yang tidak baik di keluarga dapat menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan gizi yang cukup.

Kejadian stunting merupakan indikator yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama, yang berpotensi mengganggu perkembangan anak di masa-masa pentingnya. Salah satunya adalah perkembangan bahasa anak. Penelitian Hizni et al. (2009) menemukan bahwa kejadian stunting pada anak usia di bawah lima tahun mempunyai hubungan yang nyata dengan perkembangan bahasa yang rendah.

(40)
[image:40.595.72.572.99.523.2]

Gambar 1 Kerangka pemikiran kejadian stunting pada anak balita dan dampaknya terhadap perkembangan bahasa anak.

Karakteristik anak balita

- Usia

- Jenis Kelamin - Berat badan lahir - Riwayat pemberian

ASI Perkembangan bahasa

anak balita Pola konsumsi

pangan anak balita Faktor budaya - Tabu makanan - Distribusi makanan

dalam keluarga

Karakteristik keluarga - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan per kapita

rumah tangga - Besar keluarga - Tingkat pengetahuan

gizi ibu

Pola asuh makan anak balita

Status kesehatan : - Penyakit infeksi yang

diderita - Lama sakit - Frekuensi sakit

Status gizi anak balita (TB/U)

- Sanitasi lingkungan - Perilaku higiene ibu

(41)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study atau metode survai. Penelitian dilakukan di Desa Sukawening, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan cukup banyaknya kejadian gizi kurang dan gizi buruk di daerah tersebut pada tahun 2009. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari-Maret 2011.

Cara Pemilihan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah anak balita berusia 30-60 bulan yang mempunyai status gizi pendek (stunted) atau sangat pendek (severe stunted) berdasarkan indeks TB/U (WHO Child Growth 2005) dengan respondennya adalah ibu atau pengasuh sehari-hari. Penentuan usia balita disesuaikan dengan instrumen perkembangan bahasa yang digunakan. Kerangka sampling disajikan pada Gambar 2. Contoh diambil berdasarkan data Posyandu yang dapat dikunjungi dan dilakukan pengukuran tinggi badan anak balita. Contoh merupakan populasi dari seluruh balita stunted di wilayah Posyandu yang telah didata, yang kemudian disaring kembali menggunakan kriteria eksklusi. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

a. tidak tinggal dan diasuh dengan keluarga kandung, b. tidak bersedia diukur perkembangan bahasanya,

c. responden tidak mengetahui berat badan lahir dan riwayat pemberian ASI balita,

d. responden tidak bersedia diwawancarai.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(42)

atau penanggung jawab utama dalam pengasuhan anak balita, serta pengukuran langsung kepada anak balita yang stunted. Data sekunder adalah data mengenai kondisi umum geografis, karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh dari kantor desa setempat.

Karakteristik keluarga terdiri atas pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan per kapita keluarga, besar keluarga, dan tingkat pengetahuan gizi ibu. Karakteristik anak balita meliputi usia, jenis kelamin balita, berat badan saat lahir, dan riwayat pemberian ASI.

Status kesehatan balita meliputi ada tidaknya penyakit infeksi yang dialami balita dalam satu bulan terakhir, serta lama dan frekuensi sakitnya. Adapun sanitasi lingkungan pemukiman meliputi penyediaan sarana air bersih, tempat buang air besar (BAB), dan kondisi lantai rumah.

Perilaku higiene ibu meliputi kebiasaan mencuci bahan makanan sebelum dimasak, kebiasaan memasak air (minum) hingga mendidih, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah makanan dan sebelum memberi makan anak balita. Perilaku anak balita meliputi kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air kecil/besar, kebiasaan menggunakan alas kaki jika bermain di luar rumah, dan kebiasaan menggunting kuku.

Data tabu makanan akan diperoleh dengan melakukan wawancara terkait makanan yang pantang diberikan kepada anak balita beserta alasannya, sementara data distribusi makanan dalam keluarga diperoleh dengan melakukan wawancara mengenai urutan prioritas dalam pembagian konsumsi pangan di keluarga.

Data pola asuh makan anak balita meliputi praktek pemberian makan anak yang menggambarkan apa dan bagaimana anak makan serta perilaku ibu dalam pemberian makan anak. Sedangkan frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani menggambarkan kebiasaan konsumsi pangan sumber protein hewani, yang merupakan sumber asam amino esensial yang sangat baik bagi tumbuh kembang anak, dalam satu minggu.

(43)
[image:43.595.152.408.123.738.2]

Gambar 2 Kerangka sampling. 10 Posyandu

Ada data akurat tinggi badan anak balita

5 Posyandu

n=43

Penyaringan kriteria eksklusi

(44)
[image:44.595.73.512.106.757.2]

Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data

Data Variabel Jenis

Data Cara Pengumpulan Data Karakteristik keluarga

 Pendidikan orang tua

 Pekerjaan orang tua

 Pendapatan per kapita keluarga

 Besar keluarga

 Tingkat pengetahuan gizi ibu

Primer Wawancara

Karakteristik anak balita

 Usia

 Jenis kelamin

 Berat badan lahir

 Riwayat pemberian ASI

Primer Wawancara

Status kesehatan anak balita

 Penyakit infeksi yang dialami anak balita dalam 1 bulan terakhir

 Lama sakit

 Frekuensi sakit

Primer Wawancara

Sanitasi lingkungan pemukiman

 Penyediaan sarana air bersih

 Kondisi lantai rumah

 Tempat buang air besar (BAB)

Primer

Wawancara dan pengamatan

Perilaku higiene ibu  Kebiasaan mencuci bahan

makanan sebelum dimasak

 Kebiasaan memasak air

(minum) hingga mendidih

 Kebiasaan mencuci tangan

dengan sabun sebelum mengolah makanan

 Kebiasaan makan mencuci

tangan sebelum dengan sabun memberi makan anak balita

Primer Wawancara

Perilaku higiene anak balita

 Kebiasaan mencuci tangan

dengan sabun sebelum makan

 Kebiasaan mencuci tangan

dengan sabun setelah buang air kecil/besar

 Kebiasaan menggunakan alas

kaki jika bermain di luar rumah

 Kebiasaan menggunting kuku

setiap minggu

Primer Wawancara

Faktor budaya  Tabu makanan

 Distribusi makanan dalam keluarga

Primer Wawancara

Pola asuh makan

anak balita Primer Wawancara

Frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani

 Kebiasaan konsumsi pangan

sumber protein hewani dalam satu minggu

(45)

Data Variabel Jenis Data

Cara Pengumpulan

Data

Status gizi anak balita

 TB/U

Primer

Antropometri (standard

WHO Child Growth2005) Perkembangan

bahasa anak balita

 Perkembangan bahasa anak

2,5-5 tahun

Primer

Instrumen pengukuran perkembangan

bahasa Depdiknas

2004

Persepsi Ibu  Persepsi ibu tentang tinggi

badan anak Primer Wawancara

Kondisi umum lokasi

penelitian Sekunder Kantor desa

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Program komputer yang digunakan adalah Microsoft Excel 2007 dan SPSS versi 16,0 for windows.Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry, dan analisis hasil.

Pengukuran tingkat pengetahuan gizi ibu diperoleh melalui total skor dari 20 pertanyaan berbentuk multiple choice. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 untuk jawaban yang benar dan 0 untuk jawaban yang salah. Skor pengetahuan ibu merupakan total penjumlahan skor dibandingkan skor maksimal. Klasifikasi pengetahuan gizi adalah baik bila skor>80, sedang bila skor 60-80 dan kurang bila skor <60 (Khomsan 2000).Data frekuensi diperoleh dengan menanyakan kebiasaan konsumsi masing-masing jenis pangan sumber protein hewan dalam satu minggu dan berat perkiraannya dalam ukuran rumah tangga (URT) yang kemudian dikonversi kedalam bentuk gram/hari.

Penilaian status gizi anak balita diperoleh dengan pendekatan antropometri berdasarkan pada simpangan baku (Z-skor) menurut indeks TB/U dengan rumus sebagai berikut :

Z-skor = nilai individu subyek - nilai median baku rujukan nilai simpangan baku rujukan

(46)
[image:46.595.77.512.449.743.2]

Tabel 3 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS

Indikator Status gizi Keterangan

Tinggi badan

menurut umur

(TB/U)

Sangat pendek (severe stunted) z-score< -3 SD

Pendek (stunted) -3 SD ≤ z-score< -2 SD

Normal -2 SD ≤ z-score ≤ +2 SD

Tinggi z-score> +2 SD

Penilaian perkembangan bahasa anak balita dilakukan dengan menggunakan instrumen pengukuran perkembangan bahasa Depdiknas tahun 2004. Instrumen yang digunakan terdiri atas tiga versi yaitu untuk anak usia 2.5-3.4 tahun (30-41 bulan), 3.5-4.4 tahun (42-53 bulan), dan usia 4.5-5.4 tahun (54-65 bulan). Klasifikasi perkembangan bahasa adalah baik bila skor>80, sedang bila skor 60-80 dan kurang bila skor <60.

Analisis statistik yang digunakan yaitu analisis deskriptif untuk mengetahui gambaran karakteristik anak balita stunted, uji korelasi Rank Spearman untuk menganalisis hubungan antara kejadian stunting pada anak balita dengan perkembangan bahasanya, serta hubungan antara usia balita dan karakteristik keluarga balita dengan perkembangan bahasa, sedangkan uji Mann-whitneyuntuk membandingkan perkembangan bahasa berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4Cara pengkategorian variabel penelitian No Variabel Kategori Pengukuran I. Karakteristik keluarga

1 Pendidikan orang tua

 Tidak sekolah

 Tidak tamat SD/sederajat

 SD/sederajat

 SMP/sederajat

 SMA/sederajat

 Perguruan tinggi

2 Pekerjaan orang tua

 Petani,

 Buruh tani,

 Buruh bangunan/industri,

 Supir, tukang ojek

 Guru,

 Wirausaha,

 Pedagang,

 Perangkat desa,

 Karyawan swasta,

 Pegawai negeri sipil (PNS), ABRI/Polri

 Pembantu rumah tangga (PRT),

 Tidak bekerja

(47)

No Variabel Kategori Pengukuran

3 Pendapatan per kapita keluarga

Berdasarkan garis kemiskinan Propinsi Jawa Barat pada tahun 2010

 Miskin (<Rp 201.138)

 Tidak miskin (> Rp 201.138)

4 Besar keluarga

Berdasarkan kategori BKKBN

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran kejadian stunting pada anak balita
Gambar 2 Kerangka  sampling.
Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 3 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS
+7

Referensi

Dokumen terkait

Wawancara merupakan suatu bentuk komunikasi semacam tanya jawab secara langsung antara penyelidik dengan subjek berupa percakapan yang bertujuan untuk memperoleh informasi

(c) keterlibatan yang dilakukan siswa dalam pembelajaran kooperatif tipe ‘Think -Pair- Square’ meliputi siswa memperhatikan dan menanggapi penjelasan guru

Dalam Sejarah Banten disebutkan bahwa orang-orang yang akan menyerang Pakuan, ibukota kerajaan Pajajaran, berangkat dari Banten pada hari Minggu, 1 Muharam, tahun Alip, 1501

Untuk mengatur letak duduk masing-masing pemain ditentukan oleh nomor urut yang diperoleh dengan cara undian yang disebut ningkop , yaitu secara bergiliran setiap

It means the writer providing explanations taken from the 300 movie, in which the researcher identifies striving for superiority on the character of Leonidas in Zack Snyder’s 300

Bapak Taufik, M.Si, P.hD selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah berkenan memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk

Jenis perusahaan kami adalah perusahaan yang berusaha untuk menjaga produk atau jasa yang stabil dan dalam jenis yang terbatas, namun sementara itu juga melakukan gerakan

Language is a symbol of existence of a nation. The distinction of a language could represent the vanished of specific nation or tribe. Government of every nation