• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas 1 tahun atau lebih populer dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun. Berdasarkan tahapan perkembangan manusia menurut Elizabeth Hurlock (1980) masa balita dapat disebut sebagai masa kanak-kanak awal yaitu periode usia dua tahun sampai enam tahun. Sementara para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-kanak sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat anak dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental untuk menghadapi tugas-tugas pada saat mereka mengikuti pendidikan formal. Dengan demikian, awal masa kanak-kanak dimulai sebagai penutup masa bayi, usia dengan ketergantungan telah terlewati dan berganti dengan tumbuhnya kemandirian, dan berakhir disekitar usia masuk sekolah (Hurlock 1980).

Masa balita merupakan usia penting dalam tumbuh kembang anak secara fisik. Pada usia tersebut, pertumbuhan seorang anak sangatlah pesat sehingga memerlukan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhannya. Kondisi kecukupan gizi tersebut sangatlah berpengaruh dengan kondisi kesehatannya secara berkesinambungan pada masa mendatang (Muaris 2006). Masa balita merupakan masa yang penting karena masa ini merupakan pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya.

Pada akhir usia 3 tahun, seorang anak memiliki tinggi tiga kaki, dan 6 inchi lebih tinggi ketika ia berusia 5 tahun. Berat badannya kira-kira 15 kg dan diharapkan menjadi 20 kg saat ia berusia 5 tahun. Tentu ada perbedaan berat dan tinggi badan setiap anak, karena faktor keturunan, efek pemberian nutrisi dan faktor lain yang dimiliki anak dalam riwayat hidupnya. Pada usia ini otot-otot anak menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh menjadi besar dan keras (Hawadi & Akbar 2006).

Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan bagi perkembangan selanjutnya (Suriviana 2011). Menurut Havighurst dalam Hurlock (1980) tugas-tugas perkembangan yang harus dicapai setiap anak pada masa bayi dan masa awal kanak-kanak antara lain, belajar makan makanan padat, belajar berjalan, belajar berbicara, belajar mengendalikan pembuangan kotoran tubuh, mempelajari perbedaan seks dan

tata caranya, mempersiapkan diri untuk membaca dan belajar membedakan benar dan salah, dan mulai mengembangkan hati nurani.

Perkembangan Bahasa Anak

Bahasa adalah suatu bentuk komunikasi-lisan, tertulis atau isyarat-yang berdasarkan pada suatu sistem dari simbol-simbol. Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain Menurut Hurlock (1980) terdapat dua tugas utama dalam berkomunikasi, yaitu pemahaman akan perkataan orang lain dan belajar atau kemampuan berbicara. Sementara menurut Yusuf (2010) dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Pertama, pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Kedua, pengembangan perbendaharaan kata. Ketiga, penyusunan kata-kata menjadi kalimat dan terakhir adalah kemampuan mengucapkan kata-kata.

Belajar bicara merupakan tugas yang lama dan sulit sehingga banyak bayi selama tahun pertama dan kedua mencoba memberitahukan kebutuhan dan keinginannya melalui bentuk-bentuk prabicara, seperti menangis, berceloteh, isyarat, dan pengungkapan emosi (Hurlock 1980). Sebelum mereka mengucapkan kata-kata yang pertama, mereka telah berkomunikasi dengan orang tua mereka, umumnya menggunakan gerak tubuh dan dengan menggunakan suara-suara mereka sendiri yang khas (Gleason 2005 dalam Santrock 2007). Bayi mengetahui dan mengerti lebih banyak kata-kata dibandingkan apa yang mereka ucapkan.

Pada setiap tahapan usia, anak-anak lebih mengerti apa yang dikatakan orang lain daripada mengutarakan pemikiran dan perasaan-perasaan mereka sendiri dalam kata-kata. Ekspresi muka pembicara, nada suara, dan isyarat- isyarat tangan membantu bayi untuk mengerti apa yang dikatakan kepadanya sementara kemampuan mengerti pada masa kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh cara anak mendengarkan apa yang dikatakan padanya (Hurlock 1980).

Kata-kata pertama biasanya diucapkan sekitar ulang tahun pertama. (Mussen et al. 1984). Kata-kata tersebut pada umumnya berhubungan dengan benda yang penting bagi seorang anak, seperti nama-nama orang penting (pa-pa atau ma-ma), binatang yang lazim (pus-pus untuk kucing), kendaraan (gung- gung untuk mobil), mainan (bola), makanan (susu), bagian tubuh (mata), pakaian (topi), benda-benda dalam rumah (jam), dan istilah-istilah sapaan (da da)

(Santrock 2007). Kemampuan menyusun kata–kata menjadi kalimat umumnya berkembang sebelum usia 2 tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai gesture untuk melengkapi cara berpikirnya. Contohnya seorang anak menyebut “bola” sambil menunjuk bola dengan jarinya mungkin berarti “tolong ambilkan bola untuk saya” (Yusuf 2010).

Kosakata lisan bayi meningkat pesat semenjak kata pertama telah diucapkan (Camaioni 2004; Waxman & Lidz 2006 dalam Santrock 2007) Pada usia 18 bulan bayi dapat mengucapkan 50 kata, tetapi pada usia 2 tahun mereka telah dapat mengucapkan 200 kata. Peningkatan jumlah kosakata yang cepat ini dimulai pada usia kira-kira 18 bulan dan biasa disebut ledakan kosakata (vocabulary spurt) (Bloom, Lifter & Broughton 1985 dalam Santrock 2007). Perbendaharaan kata anak berkembang lambat mulai usia 2 tahun kemudian mengalami tempo yang cepat pada fase usia prasekolah dan terus meningkat setelah masuk sekolah (Yusuf 2010).

Jika perbendaharaan kata seorang anak mencapai 50 kata pada usia 18 bulan hingga 2 tahun, anak-anak mulai menggabungkan dua kata menjadi satu “lihat anjing”, “lempar bola”. Setelah gabungan dua kata ini muncul, gabungan kata-kata yang berbeda meningkat secara lambat, kemudian meningkat dengan cepat. Gabungan dua kata paling dini dari seorang anak tampaknya merupakan bentuk singkat orang dewasa yang terutama terdiri dari kata benda, kata kerja dan beberapa kata sifat, seperti halnya sebuah telegram yang hanya terdiri dari kata-kata yang perlu, sedangkan kata sambung, kata depan, dan lain-lain dihilangkan. Apabila diminta seorang anak yang berusia 2 dan 3 tahun untuk mengulang sebuah kalimat sederhana, misalnya “saya dapat melihat seekor sapi”, maka jawabannya seringkali berbentuk seperti sebuah telegram, yaitu “lihat sapi” atau “saya lihat sapi”. Walaupun beberapa kata dihilangkan namun dapat dibuktikan adanya keteraturan dan menuruti suatu peraturan tertentu. Kata-kata terpenting diulang dan urutan kata yang benar dipertahankan. Sejak semula anak-anak mengikuti peraturan tata bahasa yang sederhana. Mereka menunjukkan hubungan dasar tata bahasa antara subjek, kata kerja, dan objek dengan meletakkan bagian pembicaraan ini secara benar dalam kalimat-kalimat mereka yang pertama (Brown 1973 dalam Mussen et al. 1984).

Apabila kalimat sederhana yang panjangnya sekitar empat kata menjadi hal yang umum dan telah dikuasai pada usia antara 2 dan 3 tahun, kalimat yang kompleks mulai timbul dalam pembicaraan spontan seorang anak. Kemajuan

perkembangan bahasa juga terbayang dalam kemajuan secara bertahap namun teratur dalam penghasilan dan pengertian sebuah pertanyaan. Seorang anak berusia dua tahun mengerti “ya” dan “tidak”, seperti juga pertanyaan “di mana”, “siapa”, dan “apa”, dan secara umum menjawabnya dengan benar (Mussen et al. 1984). Pada usia 3 tahun anak-anak mulai menjawab “mengapa” dengan benar (Evin & Tripp 1977 dalam Mussen et al 1984). Frekuensi jawaban yang betul dari semua jenis pertanyaan “apa”, “mengapa” meningkat pada usia antara 3 dan 5 tahun (Tyrack 1966 dalam Mussen et al. 1984).

Pengertian kata-kata deiktik (kata-kata yang menunjukkan lokasi dari sisi pembicara) seperti “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu” menunjukkan bahwa anak kecil mampu mengambil titik pandang orang lain. Anak berusia 2 tahun jelas mengerti perspektif pembicara jika diinterpetasikan kata-kata “di sini” atau “di sana”. Semua anak telah siap membedakan antara “milik saya” dan “milik kamu”, tetapi anak usia 2 tahun mengalami kesulitan jika dibutuhkan perubahan perspektif, seperti untuk menerjemahkan “di bagian kiri meja” dari pandangan orang lain yang tidak berada pada sisi yang sama dengan dirinya. Anak usia 3 tahun telah mahir mengambil perspektif si pengamat yaitu menginterpretasikan “di sini”, “di sana”, “ini”, “itu”, “di depan”, dan “di belakang” dengan benar (de Villers & de Villers 1974 dalam Mussen et al. 1984).

Menurut Yusuf (2010) perkembangan bahasa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengeruhi perkembangan bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia dua tahun pertama, anak mengalami sakit terus menerus, maka anak cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya. Kedua, intelegensi. Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat intelegensinya. Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai intelegensi normal atau diatas normal. Namun begitu tidak semua anak yang mengalami kelambatan perkembangan bahasa pada usia awal dikategorikan sebagai anak yang bodoh. Hurlock mengemukakan hasil studi mengenai anak yang mengalami kelambatan mental, yaitu bahwa sepertiga di antara mereka dapat berbicara secara normal dan anak yang berada pada tingkat intelektual paling rendah, sangat miskin dalam berbahasanya. Ketiga, status sosial ekonomi keluarga. Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami

kelambatan dalam berbahasanya dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Keempat, jenis kelamin. Pada tahun pertama tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara laki-laki dan perempuan. Namun mulai usia dua tahun, anak perempuan menunjukkan perkembangan yang lebih cepat daripada anak laki-laki. Terakhir adalah hubungan keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang mengajar, melatih, dan memberikan contoh kepada anak. Hubungan yang sehat antara orangtua dan anak (penuh perhatian dan kasih sayang) memfasilitasi perkembangan bahasa anak, sedangkan hubungan yang tidak sehat mengakibatkan anak akan mengalami kesulitan atau kelambatan dalam perkembangan bahasanya.

Stunting

Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan serta terjadinya infeksi, trauma, dan faktor metabolik. Menurut Suhardjo (1986) status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan.

Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Indikator yang digunakan tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya.

Antropometri digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Riyadi (2004) menyatakan bahwa indeks antropometri memiliki beberapa kelebihan seperti dapat digunakan untuk mengindentifikasi keadaan gizi ringan, sedang, dan buruk serta untuk memperoleh informasi tentang riwayat gizi masa lampau yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain dan dapat digunakan untuk melakukan screening test dalam rangka mengidentifikasi individu yang beresiko terhadap malnutrisi. Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2002).

Tinggi badan menurut umur (TB/U) merupakan parameter yang menggambarkan pertumbuhan skeletal. Indikator TB/U berguna untuk

menggambarkan status gizi masa lalu. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Penilaian status gizi dengan indikator TB/U dilakukan berdasarkan standar WHO-NCHS untuk menyatakan apakah anak termasuk kedalam kategori status normal, pendek atau sangat pendek yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS

Indikator Status gizi Keterangan

Tinggi badan menurut umur (TB/U)

Sangat pendek (severe stunted) z-score < -3 SD

Pendek (stunted) -3 SD ≤ z-score < -2 SD

Normal -2 SD ≤ z-score≤ +2 SD

Tinggi z-score > +2 SD

Stunting pada anak balita berati kurangnya atau gagalnya pertumbuhan linear tubuh mencapai potensi genetik sebagai akibat asupan gizi yang kurang dan penyakit. Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang rendah dan efek kumulatif dari kurangnya atau ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Stunting merupakan keadaan kurang gizi menurut indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yang banyak terjadi pada anak balita terutama di negara-negara berkembang. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36.8% (18.8% sangat pendek dan 18.0% pendek) pada tahun 2007 dan 35.6% (18.5% sangat pendek dan 17.1% pendek) pada tahun 2010 atau lebih dari sepertiga balita di Indonesia. Meskipun secara nasional jumlah tersebut mengalami penurunan, tetapi di beberapa provinsi jumlahnya justru meningkat hingga 50% dibandingkan tahun 2007 lalu. Kejadian stunting merupakan indikator yang krusial untuk melihat keberhasilan pembangunan di suatu daerah dan di suatu negara.

Menurut Soekirman (2000) pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama sehingga kejadian stunting atau kependekan merupakan indikator kekurangan gizi kronik yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama dan dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan di masa lampau. Kejadian stunting muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena higiene dan

sanitasi yang kurang baik (Riskesdas 2007). WHO juga menginterpretasikan tingginya prevalensi stunting menunjukkan kekurangan asupan makanan bergizi, tingginya angka kesakitan akibat penyakit infeksi, atau kombinasi dari dua keadaan tersebut. Sementara itu berdasarkan penelitian di Cebu, Filiphina, faktor-faktor yang dapat menyebabkan stunting pada anak-anak yang juga dapat mengganggu perkembangan kecerdasan anak, antara lain berat badan lahir rendah (BBLR), tidak cukupnya pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (sampai usia 2 tahun) dan pengganti ASI (setelah usia 2 tahun), frekuensi mengalami diare dan infeksi pernafasan. Sawaya (2006) juga mengungkapkan bahwa beberapa penyebab terjadinya stuning antara lain kurang gizi pada ibu, kurang gizi intra-uterine, kurangnya menyusui sampai anak berusia enam bulan, pengenalan keterlambatan makanan pendamping, kuantitas dan kualitas makanan pendamping yang tidak mencukupi, serta penyerapan nutrisi dirugikan oleh infeksi dan penyakit parasit usus.

Faktor penyebab lainnya yang sama pentingnya adalah pola makan anak yang salah, pelayanan kesehatan yang kurang atau tidak terjangkau, dan sanitasi lingkungan yang tidak memadai. Selain hal-hal tersebut, hasil studi juga menunjukkan bahwa faktor yang paling utama adalah kurangnya pengetahuan mengenai manfaat ASI eksklusif, peranan gizi mikro, dan kurangnya waktu ibu yang tersedia untuk mengasuh anak dan merawat dirinya selama masa kehamilan. Hal ini sangat penting diperhatikan karena dampak terburuk dari kekurangan gizi yang dialami pada saat kehamilan maupun dua tahun pertama usia anak yang merupakan periode window of opportunity, akan mengakibatkan kerusakan pada tumbuh kembang otak yang bersifat permanen. Dampak terburuk kerusakan tersebut meliputi kerusakan pada pertumbuhan otak, kecerdasan, kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak (Syarief et al. 2007).

Penelitian Mendez dan Adair (1999) menunjukkan anak yang stunted mempunyai pencapaian skor test kognitif yang lebih rendah dibandingkan anak dengan tinggi normal. Mereka juga mempunyai nilai yang lebih rendah pada pengujian bahasa dan matematika. Penelitian Hizni et al. (2009) juga menemukan bahwa kejadian stunting pada anak usia dibawah lima tahun mempunyai hubungan yang nyata dengan perkembangan bahasanya. Penelitian Hall et al. (2001) membuktikan bahwa kejadian stunting berhubungan dengan

pencapaian pada tes matematika dan bahasa di Vietnam. Anak-anak yang stunted memiliki nilai tes yang lebih rendah daripada anak-anak yang normal.

Karakteristik Keluarga Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak (Rahmawati 2006). Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga sehari-hari, sehingga mempengaruhi pola pemberian makan anak yang pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Menurut Madanijah (2003) pendidikan ibu juga merupakan salah satu penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadaran terhadap kesehatan keluarga dan anak.

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak. Semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima informasi gizi. Widjaja (1986) dalam Syarief et al. (2007) menyatakan bahwa dalam mengasuh anak, ibu yang berpendidikan tinggi bersifat lebih terbuka terhadap hal-hal baru karena lebih sering mengikuti artikel-artikel, pemberitaan-pemberitaan melalui surat kabar, majalah maupun televisi mengenai anak sehingga mereka lebih mengerti perkembangan anak. Pada ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan dan perkembangan anak minimal hanya sekedar pengetahuan dan kebiasaan mengasuh yang diperolehnya dari orang tua dan tetangga yang mungkin memiliki taraf pendidikan dan pengalaman yang juga kurang, sehingga menjadi faktor yang menghambat ibu dalam melakukan pengasuhan anak yang maksimal.

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga

Faktor – faktor yang mendukung terjadinya kekurangan gizi diantaranya adalah aspek ekonomi dengan aspek pendapatan sebagai salah satu komponennya.

Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Daya beli yang rendah dari para keluarga yang kurang mampu merupakan salah satu penyebab kekurangan gizi di Indonesia (Winarno 1995).

Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Semakin baik pendapatan, maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik (Suhardjo 1989) sebab dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang-kadang perubahan utama yang justru terjadi dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal.

Sementara menurut Husaini et al. (2000), apabila pendapatan rendah, maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan dibandingkan dengan kebutuhan non pangan. Di negara-negara berkembang golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, yaitu umumnya dua per tiga dari pendapatannya (Suhardjo 1989). Namun sebaliknya, apabila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan sudah terpenuhi. Dengan kata lain, jika pendapatan meningkat akan terjadi pergeseran pola konsumsi. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil (Husaini et al. 2000)

Besar Keluarga

Definisi anggota rumah tangga menurut BPS (2002) adalah semua orang yang biasa bertempat tinggal di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang telah berpergian selama 6 bulan atau lebih dan anggota rumah tangga yang berpergian kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan pindah/akan meninggalkan rumah selam 6 bulan atau lebih, tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga.

Orang yang telah tinggal di suatu rumah tangga 6 bulan atau lebih atau yang telah tinggal di suatu rumah tangga kurang dari 6 bulan tetapi berniat menetap di rumah tangga tersebut dianggap sebagai anggota rumah tangga.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kecukupan konsumsi pangan pada suatu rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga. Bagi rumah tangga dengan anggota rumah tangga yang banyak, jumlah anggota rumah tangga biasanya adalah faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Biasanya pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga dapat tebagi secara merata (Djauhari & Friyanto 1993 dalam Fachrina 2005).

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin adalah yang paling rawan terhadap kurang gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh terhadap kekurangan pangan. Sebagian memang demikian, sebab seandainya besarnya keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian, anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan. Kurang energi protein berat akan sedikit dijumpai bila jumlah anggota keluarganya lebih kecil (Suhardjo 1986).

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang, serta bagaimana cara hidup sehat (Notoatmojo 1993). Secara tidak langsung, pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi status gizi balita, karena dengan pengetahuannya para ibu dapat mengasuh dan memenuhi gizi anak balitanya, yang pada gilirannya dapat menjamin asupan gizi anak.

Menurut Nasar (2010), banyak orang tua yang memberikan makan

Dokumen terkait