• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan mengenai zat gizi dan pangan sumber zat giz

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. Pengetahuan mengenai zat gizi dan pangan sumber zat giz

11 Contoh bahan makanan yang mengandung protein hewani adalah

telur (Benar) 24 80.0

12 Zat gizi untuk mendukung pertumbuhan anak adalah protein (Benar) 29 96.7 13 Rabun/buta senja pada mata disebabkan kekurangan vitamin C (Salah) 17 56.7

14 Nasi adalah makanan sumber karbohidrat (Benar) 28 93.3

15 Garam beryodium dapat mencegah anemia (Salah) 16 53.3

16 Bahan makanan sumber zat besi adalah hati (Benar) 22 73.3

17 Vitamin D dan kalsium dibutuhkan dalam pertumbuhan karena

sehat untuk mata (Salah) 18 60.0

18 Makanan yang banyak mengandung kalsium adalah susu (Benar) 27 90.0

19 Asam lemak jenuh omega-3. DHA dan EPA yang banyak ditambahkan pada susu berfungsi untuk energi bagi tubuh (Salah) 16 53.3

20 Vitamin A banyak didapat dari sayuran berwarna hijau (Benar) 23 76.7

Rendahnya persentase ibu yang menjawab benar item pertanyaan mengenai penyebab kejadian anemia atau kurang darah menandakan bahwa pengetahuan ibu mengenai kejadian anemia yang banyak terjadi pada ibu hamil sangat rendah dan sangat beresiko bagi kehamilan yang tidak sehat. Pemeriksaan rutin kehamilan kepada bidan desa merupakan cara penjagaan

kesehatan kehamilan yang umumnya dilakukan para ibu meskipun mereka tidak cukup memahami pengetahuan penting seputar kehamilan.

Pertanyaan mengenai tumbuh kembang balita telah dapat dijawab dengan baik oleh sebagian besar ibu (83.3% dan 80.0%). Sementara lebih dari separuh ibu menjawab salah mengenai usia minimal pemberian ASI (53.3%). Para ibu banyak yang beranggapan bahwa memberikan ASI cukup hanya sampai anak berusia 18 bulan atau 1.5 tahun.

Sebagian besar ibu mampu menjawab dengan benar contoh bahan pangan sumber protein hewani (80.0%), zat gizi untuk mendukung pertumbuhan (96.7%), zat gizi yang kaya terkandung dalam nasi (93.3%), dan bahan makanan yang banyak mengandung kalsium (90.0%). Meskipun demikian pengetahuan yang baik juga harus didukung oleh sikap dan keterampilan yang baik sehingga dapat dipraktekkan dengan baik dan tepat sesuai kebutuhan.

Secara keseluruhan lebih dari separuh ibu balita memiliki tingkat pengetahuan gizi yang sedang (skor 60-80) (60%), sebanyak 30% ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi yang tinggi (skor >80), dan hanya 10% ibu yang memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah (skor <60). Sebaran tingkat pengetahuan gizi ibu disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran tingkat pengetahuan gizi ibu balita Tingkat pengetahuan gizi ibu n %

Rendah (>60) 3 10

Sedang (60-80) 18 60

Tinggi (<80) 9 30

Total 30 100

Rata-rata ± SD 74.2 ± 12.46

Pengetahuan gizi ibu yang sebagian besar berada pada kategori sedang (60%) dengan rata-rata skor 74.2, dapat disebabkan oleh tingkat pendidikan ibu yang masih didominasi tamatan SD/sederajat (50%) dan SMP/sederajat (30%), serta kurangnya akses terhadap informasi gizi dan pelayanan kesehatan.

Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal serta melalui media massa. Hasil penelitian Ariefani (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan gizi ibu tersebut. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi

seperti membaca surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi, atau melalui penyuluhan. Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan ditentukan oleh pendidikan ibu serta motivasi ibu untuk mendapatkan layanan gizi dan kesehatan (Engle, Menon & Haddad 1997).

Karakteristik Anak Balita

Usia

Usia anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 30-41 bulan, 42-53 bulan, dan 54-60 bulan, sesuai dengan instrumen perkembangan bahasa yang digunakan. Usia anak balita pada penelitian ini sebagian besar berada pada rentang usia 30-41 bulan dan 42-53 bulan dengan persentase masing- masing sebesar 43.3% dan rata-rata 44.2 bulan. Sisanya berada pada rentang usia 54-60 bulan sebanyak 13.3%. Sebaran usia balita dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran anak balita menurut kelompok usia

Usia (bulan) n % 30-41 13 43.3 42-53 13 43.3 54-60 4 13.3 Total 30 100.0 Rata-rata ± SD 44.2 ± 7.64 Jenis Kelamin

Kekurangan gizi dapat terjadi pada setiap orang baik karena kurangnya asupan maupun karena faktor penyakit infeksi yang diderita. Anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai peluang yang sama mengalami kurang gizi kronik yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya stunting. Persentase jenis kelamin anak balita pada penelitian ini tersebar merata, yaitu 50.0% laki-laki dan 50.0% perempuan yang disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran anak balita menurut jenis kelamin

Jenis kelamin n %

Laki-laki 15 50.0

Perempuan 15 50.0

Berat Badan Lahir

Berat badan lahir merupakan salah satu indikator penting bagi kesehatan bayi, sebab bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah (<2500 gram) beresiko tinggi mengalami kurang gizi dan gangguan dalam tahapan perkembangannya.

Tabel 16 menunjukkan bahwa hampir seluruh anak balita lahir dengan berat badan yang cukup atau normal (93.3%) dan hanya sebagian kecil yang lahir dengan berat badan yang kurang atau rendah (6.7%). Hasil ini menunjukkan bahwa kurang gizi kronik yang dialami balita stunted diduga tidak terjadi sejak dalam kandungan, namun terjadi karena kuantitas dan kualitas makanan pendamping (sampai usia 2 tahun) maupun pengganti ASI (setelah usia 2 tahun) yang tidak mencukupi.

Tabel 16 Sebaran berat badan lahir anak balita Berat badan lahir n %

< 2500 gram 2 6.7

≥ 2500 gram 28 93.3

Total 30 100.0

Riwayat Pemberian ASI

ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan pertama dan utama bagi bayi. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Pemberian ASI dengan tepat kepada bayi akan memberikan banyak dampak positif bagi kesehatan dan proses tumbuh kembangnya. ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi seimbang dan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI juga mengandung zat-zat penting yang akan memberi perlindungan kepada bayi dari serangan penyakit dan alergi, serta membantu pengembangan kecerdasan bayi secara optimal. Pemberian ASI juga akan menunjang perkembangan kepribadian, kecerdasan emosional, kematangan spiritual, dan perkembangan sosialisasi yang baik bagi bayi (Roesli 2000).

Tabel 17 menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu balita memberikan ASI kepada anaknya (96.7%) dan hanya seorang ibu yang tidak memberikan (3.3%) dikarenakan alasan ASI tidak keluar.

Tabel 17 Sebaran riwayat pemberian ASI Pemberian ASI n %

Ya 29 96.7

Tidak 1 3.3

Total 30 100.0

WHO dan UNICEF menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan dan pemberiannya tetap diteruskan hingga usia 2 tahun atau lebih dengan didampingi makanan padat yang benar dan tepat. Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi, lemak, dan vitamin A (Roesli 2000).

Tabel 18 menunjukkan persentase usia penyapihan anak balita tersebar hampir cukup merata pada setiap rentang usia, secara berturut-turut, yaitu pada usia 12-18 bulan sebanyak 23.3%, pada usia 19-23 bulan sebanyak 26.7%, persentase terbesar yaitu pada usia 24 bulan sebanyak 33.3%, dan sebagian kecil pada usia lebih dari 24 bulan sebesar 13.3%.

Tabel 18 Sebaran usia penyapihan anak balita Usia penyapihan n % 12 – 18 bulan 7 23.3 19 – 23 bulan 8 26.7 24 bulan 10 33.3 > 24 bulan 4 13.3 Total 29 96.7

Tindakan penyapihan yang dilakukan ibu pada berbagai rentang usia tertentu pada umumnya dilatarbelakangi oleh alasan tertentu. Ibu yang menyapih pada usia 12-18 bulan sebagian besar mengaku memang merencanakan untuk menghentikan pemberian ASI pada usia tersebut (10%). Begitu pula pada sebagian besar ibu yang menyapih pada usia 19-23 bulan (10%). Para ibu umumnya sengaja menghentikan pemberian ASI karena percaya dengan menghentikan pemberian ASI, anak mereka akan banyak makan sehingga bisa tumbuh dengan baik. Sementara ibu yang menyapih pada usia 24 bulan kebanyakan telah mengetahui bahwa ASI memang sebaiknya diberikan hingga anak usia 2 tahun (16.7%). Para ibu yang menyapih anaknya pada usia lebih dari 24 bulan kebanyakan disebabkan anaknya susah untuk berhenti menyusu (6.7%). Sebaran alasan usia penyapihan anak disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran alasan usia penyapihan anak Alasan usia penyapihan n % 12 – 18 bulan

Dibantu dengan susu 1 3.3

Budaya/kepercayaan 1 3.3

Sengaja diberhentikan 3 10.0

Putting susu lecet 1 3.3

Bayi tidak lagi mau menyusu 1 3.3

19 – 23 bulan

Dibantu dengan susu 1 3.3

Sengaja diberhentikan 3 10.0

Ibu tidak sehat 1 3.3

Putting susu lecet 1 3.3

Bayi tidak lagi mau menyusu 1 3.3

Sulit diberhentikan 1 3.3

24 bulan

Sesuai yang dianjurkan 5 16.7

Budaya 2 6.7

Sengaja diberhentikan 1 3.3

Sulit diberhentikan 1 3.3

Untuk menaikkan berat badan anak 1 3.3

> 24 bulan

Sulit diberhentikan 2 6.7

Sengaja diberhentikan 1 3.3

Untuk menaikkan berat badan anak 1 3.3

Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dianjurkan dengan berdasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan zat gizi yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif juga akan mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit (Linkages 2002). Berbagai penelitian membuktikan bahwa ternyata bayi yang diberikan ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih jarang sakit serta memiliki IQ yang lebih tinggi dibandingkan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. ASI eksklusif berarti memberikan ASI saja tanpa tambahan cairan lainnya, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, atau air putih, serta tanpa tambahan makanan padat, seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim (Roesli 2000).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek pemberian ASI eksklusif tidak dilakukan oleh seorang ibu balita pun. Para ibu telah memberikan beberapa makanan/minuman selain ASI sebelum usia 6 bulan seperti, air putih (86.7%), madu (40.0%), bubur saring (6.7%), biskuit (3.3%), bubur tepung (13.3%), pisang (6.7%), dan susu (6.7%). Para ibu yang menginginkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama menganggap bahwa yang dilarang untuk diberikan sebelum 6 bulan hanyalah pemberian makanan padat seperti pisang atau bubur, karena akan berbahaya bagi bayi, sedangkan pemberian cairan terutama air putih tidak akan berdampak apapun dan dapat dijadikan sebagai pendamping ASI selama 6 bulan pertama. Tabel 20 menyajikan sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama usia balita.

Tabel 20 Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama

ASI eksklusif n %

Ya 0 0.0

Tidak 30 100.0

Total 30 100.0

Makanan/minuman yang diberikan sebelum 6 bulan n %

air putih 26 86.7 madu 12 40.0 bubur saring 2 6.7 biskuit 1 3.3 bubur tepung 4 13.3 pisang 3 10.0 susu 2 6.7

Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang memberikan air putih sebagai pendamping ASI pada 6 bulan pertama usia bayi (60.0%) menyatakan khawatir bayi akan haus. Mereka menganggap bahwa ASI adalah makanan bukan minuman sehingga air putih dibutuhkan untuk menghilangkan rasa seret setelah pemberian ASI, serta untuk menghilangkan rasa haus bayi. Air putih mulai diberikan setelah bayi lahir. Para ibu yang memberikan madu, sebagian besar (40.0%) dilatarbelakangi oleh alasan budaya dikarenakan ASI belum keluar sebelum hari ketiga setelah melahirkan sehingga madu akan diberikan sebagai pengganti setelah lahir sampai ASI keluar. Sementara persentase tertinggi ibu yang memberikan makanan padat, seperti bubur saring, biskuit, bubur tepung, pisang, serta susu disebabkan anggapan bahwa bayi lapar karena hanya sedikit ASI yang keluar (20.0%). Makanan padat seperti

bubur saring, biskuit, bubur tepung, dan pisang hampir seluruhnya diberikan mulai usia 4 bulan (30.0%), sedangkan susu diberikan mulai setelah lahir (6.7%). Tabel 21 Sebaran alasan pemberian makanan/minuman sebelum usia 6 bulan Alasan memberikan makanan/minuman sebelum 6 bulan n %

air putih

takut bayi haus 18 60.0

supaya bayi sehat 1 3.3

gantian dengan ASI 5 16.7

untuk diperjalanan 1 3.3

menurunkan demam 1 3.3

madu

budaya 12 40.0

mengobati sariawan 1 3.3

bubur saring. bubur tepung. pisang dan susu

ingin mencoba memberikan 1 3.3

tambahan ASI 4 13.3

bayi lapar,ASI sedikit atau kurang 6 20.0

ASI tidak keluar 1 3.3

Usia pemberian n %

air putih

0 bulan 26 86.7

madu

0 bulan 12 40.0

bubur saring, biskuit, bubur tepung, dan pisang

<4 bulan 1 3.3

≥4bulan 9 30.0

susu

0 bulan 2 6.7

Menurut Linkages (2002) pemberian cairan sebelum bayi berusia 6 bulan berisiko membahayakan kesehatan bayi. Tambahan cairan sebelum waktunya akan meningkatkan resiko kekurangan gizi dan resiko terkena penyakit. ASI telah mengandung air sebagai komponen utama, yaitu sebanyak 88% ASI mengandung semua yang diperlukan untuk menghilangkan rasa haus dan membuat bayi merasa kenyang. ASI adalah makanan dan minuman terbaik bagi bayi agar tumbuh kuat dan sehat. Konsumsi air putih atau cairan lain meskipun dalam jumlah yang sedikit, akan membuat bayi merasa kenyang sehingga tidak mau menyusu, padahal ASI kaya dengan gizi yang sempurna untuk bayi.

Meskipun madu tampaknya seperti makanan sehat dan alami untuk bagi bayi, pemberian madu sebelum 1 tahun banyak tidak direkomendasikan. Hal ini

disebabkan madu beresiko mengandung bakteri Clostridium botulinumyang bisa menghasilkan racun pada saluran cerna bayi yang belum sempurna dan dikenal sebagai toksin botulinum (infant botulism) yang berbahaya bagi sistem saraf bayi. Begitu pula bagi pemberian makanan padat yang terlalu dini. Apabila bayi diberikan makanan tambahan di bawah usia 6 bulan, maka ada kemungkinan bayi dapat mengalami gangguan pencernaan maupun alergi. Hal ini disebabkan sistem pencernaan dan sistem kekebalan tubuh bayi yang masih belum sempurna. Pemberian makanan padat yang terlalu dini juga dapat menyebabkan beban yang berlebihan bagi ginjal bayi dan terjadi hyperosmolalitas (Krisnatuti & Yenrina 2000). Pemberian cairan dan makanan sebelum 6 bulan juga dapat menjadi sarana masuknya bakteri patogen, sementara bayi merupakan tahapan usia yang sangat rentan.

Susu formula adalah produk berupa tepung (umumnya susu sapi) yang telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga komposisinya mendekati air susu ibu (Muchtadi 2002). Menurut Arisman (2004) susu formula merupakan susu selain ASI yang diberikan kepada bayi sampai usia satu tahun. Pada penelitian ini juga dilihat persentase riwayat pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan pada bayi. Tabel 22 menunjukkan bahwa sebanyak 6.7% ibu memberikan susu formula. Alasan pemberian adalah karena ASI tidak keluar dan sebagai tambahan makanan bagi bayi karena ASI hanya keluar sedikit. Sebagian besar ibu telah menyadari pentingnya pemberian ASI saja dibandingkan susu formula (90.0%).

Tabel 22 Sebaran pemberian susu formula sebelum usia 6 bulan

Susu formula n %

Ya 2 6.7

Tidak 28 93.3

Total 30 100.0

Alasan pemberian susu formula n % Ya

ASI sedikit atau kurang 1 3.3

ASI tidak keluar 1 3.3

Tidak

tidak mau memberikan/cukup dengan ASI 26 86.7

rawan diare 1 3.3

Pemberian susu formula tidaklah lebih menguntungkan daripada pemberian ASI. ASI merupakan makanan bayi yang paling sempurna. kandungan gizi sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak. ASI juga mengandung zat untuk perkembangan kecerdasan, zat kekebalan (mencegah dari berbagai penyakit) dan dapat menjalin hubungan cinta kasih antara bayi dengan ibu (Judarwanto 2008). Menurut Khasanah (2011) kandungan susu formula tidak bisa menyamai kandungan gizi lengkap ASI meskipun dilakukan usaha fortifikasi. Disisi lain banyak temuan bahwa anak yang diberikan susu formula lebih rentan terkena infeksi, seperti diare atau jatuh sakit karena kurangnya higienitas, serta beresiko menyebabkan alergi. Selain itu harga dari susu formula yang relatif mahal menyebabkan pada beberapa kejadian terdapat kecenderungan untuk mengencerkan susu formula, sehingga kandungan gizinya yang tidak lagi memenuhi kebutuhan bayi (Muchtadi 2002).

Status Gizi Anak Balita

Status gizi adalah salah satu aspek status kesehatan yang dihasilkan dari asupan, penyerapan, dan penggunaan pangan, serta terjadinya infeksi, trauma, dan faktor metabolik. Menurut Suhardjo (1986) status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan makanan. Berdasarkan pemantauan status gizi balita dengan indeks TB/U menggunakan baku antropometri WHO 2005, sebesar 80.0% anak balita memiliki status gizi pendek atau stunted, sedangkan 20.0% anak lainnya berstatus gizi sangat pendek atau severe stunted, dengan rata-rata nilai Z-skor sebesar -2.69. Indikator TB/U berguna untuk menggambarkan status gizi masa lalu sehingga kejadian stunting atau kependekan menggambarkan riwayat kurang gizi kronik atau dalam jangka waktu yang lama. Sebaran status gizi balita dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan indeks TB/U

Status gizi n %

Pendek (stunted) 24 80.0

Sangat pendek (severe stunted) 6 20.0

Total 30 100.0

Status Kesehatan Anak Balita

Status kesehatan anak balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi status gizi. Tabel 24 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak balita pernah mengalami sakit dalam sebulan terakhir (63.3%).

Tabel 24 Sebaran status kesehatan anak balita dalam satu bulan terakhir Status kesehatan anak balita n %

Sakit 19 63.3

Tidak sakit 11 36.7

Total 30 100.0

Tabel 25 menunjukkan bahwa jenis penyakit yang paling banyak diderita anak balita dalam satu bulan terakhir adalah batuk, pilek (20.0%) serta pilek/influenza dan panas/demam (16.7%).

Tabel 25 Sebaran jenis penyakit yang diderita anak balita dalam satu bulan terakhir Jenis penyakit n % Pilek 5 16.7 Batuk biasa 2 6.7 Batuk,pilek 6 20.0 Panas/demam 5 16.7

Panas, pilek, batuk (ISPA) 4 13.3

Diare 3 10.0

Sementara Tabel 26 menunjukkan bahwa persentase tertinggi frekuensi sakit anak balita dalam satu bulan terakhir adalah sebanyak satu kali (53.3%). Adapun persentase tertinggi lama anak sakit dalam satu bulan terakhir adalah 4-7 hari (30.0%) dengan rata-rata 4.6 hari.

Tabel 26 Sebaran frekuensi dan lama sakit anak balita dalam satu bulan terakhir

Frekuensi sakit n % 1 kali 16 53.3 > 1 kali 3 10.0 Total 19 63.3 Rata-rata ± SD 1.0 ± 0.20 Lama sakit n % 1-3 hari 8 26.7 4-7 hari 9 30.0 8-14 hari 2 6.7 Total 19 63.3 Rata-rata ± SD 4.6 ± 3.28

Sanitasi Lingkungan Pemukiman

Menurut Syarief (1992) status gizi juga dipengaruhi oleh sanitasi termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Pemukiman yang sanitasi lingkungannya tidak baik memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang dapat menyebabkan seseorang dapat menjadi kurang gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kejadian kurang gizi dan sanitasi lingkungan yang buruk (Yulia 2008). Kondisi sanitasi dilihat dari penyediaan air bersih, jenis lantai rumah, dan kepemilikan kamar mandi.

Sarana Air Bersih

Tersedianya sarana air bersih merupakan salah satu syarat rumah sederhana sehat. Kualitas dari air bersih yang akan digunakan sebagai air minum diantaranya, yaitu jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak mengandung bibit penyakit. Sebaran sarana air bersih keluarga balita disajikan pada Tabel 27.

Lebih dari separuh keluarga balita menggunakan sumur dengan kedalaman rata-rata 8-12m (60%) sebagai sumber air minum. Sebanyak 16.7% menggunakan ledeng/PAM, sedangkan sebanyak 20.0% keluarga masih menggunakan mata air tak terlindungi, dan 3.3% keluarga menggunakan sungai. Sebanyak 53.3% dari pengguna sumur memakai pompa mesin untuk mengalirkan air, sementara 6.7% lainnya masih timba.

Tabel 27 Sebaran sarana air bersih keluarga balita Sarana penyediaan air bersih n %

Mata air tidak terlindungi 6 20.0

PAM 5 16,7

Sumur terlindungi 18 60.0

Sungai 1 3.3

Total 30 100

Menurut Subandriyo et al (1997) dalam Sukandar (2007), sumber minum air yang bersih dan sehat dapat diperoleh dari air pompa, air ledeng, sumur yang terlindungi, dan mata air yang terlindungi. Berdasarkan sarana penyediaan air bersih yang digunakan keluarga balita, hanya keluarga yang menggunakan PAM (air ledeng) dan sumur yang dapat memberikan air yang bersih dan sehat bagi anggota keluarga selama kebersihan sumur terus dapat terlindungi dengan baik dari segala macam pencemaran yang dapat merusak kualitas air.

Jenis Lantai Rumah

Lantai merupakan bagian dari rumah yang paling banyak berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga, tidak terkecuali anak balita. Jenis lantai rumah dapat mempengaruhi tingkat kesakitan anak balita, sebab lantai dapat menjadi sumber penyakit seperti cacingan dan penyakit penyebab sakit perut (Latifah et al. 2002). Sebaran jenis lantai rumah keluarga balita disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 Sebaran jenis lantai rumah keluarga balita

Lantai rumah n % Keramik 14 46.7 Plester/semen 15 50.0 Bambu 1 3.3 Total 30 100

Seluruh keluarga balita telah memiliki rumah dengan lantai yang sesuai dengan persyaratan rumah sehat, dengan persentase tertinggi menggunakan lantai plester/semen (50.0%). Menurut Latifah et al. (2002) rumah dikatakan sehat apabila memenuhi persyaratan, yaitu lantai rumah harus mudah dibersihkan seperti keramik, teraso, tegel atau semen, dan kayu atau bambu.

Kepemilikan Kamar Mandi

Pengelolaan pembuangan limbah kotoran manusia merupakan hal penting yang harus diperhatikan, dikarenakan banyak penyakit yang dapat disebabkan melalui pembuangan manusia. Penyakit-penyakit tersebut disebarkan melalui air (water borne disease), seperti penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, dan disentri (Yulia 2008). Menurut Entjang (2000) pembuangan kotoran yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water borne disease.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70.0% keluarga balita telah mempunyai WC sendiri, 20.0% menggunakan WC umum, sedangkan sebanyak 10.0% membuang hajat di sungai. Sebaran kepemilikan kamar mandi keluarga balita dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29 Sebaran kepemilikan kamar mandi keluarga balita

Kamar Mandi n %

Sungai 3 10.0

WC sendiri 21 70.0

WC umum 6 20.0

Perilaku Higiene

Higiene merupakan usaha kesehatan untuk mencegah penyakit. Menurut Fewtrell et al. (2007), sanitasi dan higiene dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi, seperti diare dan ISPA, yang kemudian dapat menjadi penyebab terjadinya kekurangan gizi.

Perilaku Higiene Ibu

Perilaku higiene ibu yang dilihat pada penelitian ini adalah mencuci bahan makanan sebelum dimasak, memasak air (minum) hingga mendidih, mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah makanan, dan mencuci tangan dengan sabun sebelum memberi makan anak balita. Tabel 30 menunjukkan sebaran perilaku higiene ibu balita.

Tabel 30 Sebaran perilaku higiene ibu balita Perilaku higiene ibu Selalu

Kadang- kadang

Tidak

pernah Total n % n % n % n %

Mencuci bahan makanan

sebelum dimasak 30 100.0 0 0.0 0 0.0 30 100.0

Memasak air (minum) hingga

mendidih 30 100.0 0 0.0 0 0.0 30 100.0

Mencuci tangan dengan sabun

sebelum mengolah makanan 8 26.7 12 40.0 10 33.3 30 100.0

Mencuci tangan dengan sabun sebelum memberi makan anak balita

12 40.0 7 23.3 11 36.7 30 100.0

Mencuci atau membersihkan bahan makanan sebelum dimasak merupakan hal yang tidak boleh dianggap remeh. Bahan makanan yang berasal dari pasar, warung, atau kebun biasanya masih kotor dan mengandung berbagai macam kotoran atau telah terkontaminasi oleh lalat maupun debu. Pencucian bahan-bahan makanan sampai bersih terutama sayuran dapat menghilangkan telur-telur cacing yang menempel di sayuran tersebut. Pencucian bahan makanan sebelum dimasak dapat mencegah terjadinya infeksi cacing ke dalam tubuh (cacingan).

Penyediaan air minum yang bersih dan bebas penyakit bagi anggota keluarga terutama balita yang masih sangat rentan terhadap penyakit dapat dilakukan dengan merebus air hingga mendidih. Harianto (2004) dalam Yulia (2008) mengemukakan bahwa penyakit diare bisa berasal dari air minum yang tidak direbus sampai mendidih.

Penyakit cacingan dan diare merupakan penyakit infeksi yang cukup banyak berhubungan dengan kejadian kurang gizi. Hasil penelitian ini

Dokumen terkait