• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Ibu pada keluarga miskin pada umumnya mempunyai pendidikan yang rendah dan mempunyai pengetahuan, sikap dan praktek yang mendukung ASI eksklusif yang kurang. Konseling gizi pada ibu keluarga miskin dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek yang mendukung ASI eksklusif lebih baik.

Konseling gizi dapat meningkatkan pengetahuan gizi ibu. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan (p= 0,000) tingkat pengetahuan gizi antara kelompok perlakuan dan kontrol, dimana tingkat pengetahuan gizi ibu lebih baik pada ibu kelompok perlakuan. Persentase perubahan jawaban yang benar pada ibu kelompok perlakuan sebesar 60,3% , sedangkan pada ibu kelompok kontrol hanya sebesar 7,9%.

Konseling gizi diharapkan dapat menumbuhkan sikap gizi yang lebih baik pada ibu dalam mendukung pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Terdapat perbedaan sikap gizi ibu (p=0,000) antara ibu kelompok perlakuan dengan ibu kelompok kontrol. Ibu kelompok perlakuan mempunyai sikap gizi lebih baik dibandingkan ibu kelompok kontrol. Persentase perubahan jawaban sikap yang benar sebesar 24,8% pada kelompok ibu kelompok perlakuan dan 4,3% pada ibu kelompok kontrol.

Ibu kelompok perlakuan melakukan praktek gizi yang lebih baik (p=0,000) dibandingkan ibu kelompok kontrol. Ibu yang diberi konseling gizi melakukan pemberian ASI pada periode inisiasi cepat, sebaliknya pada ibu yang tidak diberi konseling gizi sebagian besar pada periode inisiasi lambat. Penundaan inisiasi ASI pada bayi akan mendorong ibu untuk memberikan makanan prelaktal, sehingga bayi kelompok kontrol sebagian besar menerima makanan prelaktal. Seluruh Ibu yang diberi konseling gizi memberikan kolostrum kepada bayinya, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar atau 89,7% yang memberikan kolostrum kepada bayinya. Rata-rata frekuensi pemberian ASI lebih tinggi pada bayi kelompok perlakuan yaitu 13,5 kali per

hari, dibandingkan bayi kelompok kontrol yaitu 11,9 kali per hari. Bayi pada kelompok perlakuan menyusu rata-rata selama 14 menit setiap kali menyusui, sedangkan bayi kelompok kontrol selama 13 menit. Pemberian MP-ASI dini sebelum bayi berusia 6 bulan dilakukan oleh ibu dari kedua kelompok, yaitu pada saat usia bayi 99,1±60,8 hari atau sekitar tiga bulan pada ibu yang diberi konseling gizi dan pada saat usia bayi 70,7±44,6 hari atau sekitar dua bulan pada ibu yang tidak diberi konseling gizi.

Keputusan dalam pemberian MP-ASI pada kedua kelompok merupakan keputusan ibu dengan dorongan berbagai pihak. Keputusan untuk pemberian MP-ASI dini, karena pengaruh pengalaman ibu akan anak sebelumnya, dorongan keluarga dalam hal ini suami atau orang tua, petugas kesehatan dengan memberikan susu formula secara gratis, ibu-ibu lain (tetangga) yang lebih menganjurkan untuk memberikan MP-ASI tertentu, pengaruh iklan yang terdapat dalam kemasan dan kekuatiran ibu terhadap ketidakcukupan kebutuhan bayi apabila hanya diberi ASI saja selama enam bulan. Hal ini menunjukkan lemahnya kesadaran petugas kesehatan dengan melakukan pelanggaran terhadap The International Code of Marketing of Breastmilk Substitutes bahwa petugas kesehatan tidak boleh memberikan sampel susu formula pada ibu bayi. Selain itu, pelanggaran terjadi karena peraturan yang sudah tidak dapat mengakomodasi tentang pemberian ASI eksklusif enam bulan.

Mutu gizi yang dikonsumsi ibu pada kedua kelompok pada umumnya termasuk mutu gizi sangat kurang. Mutu gizi yang sangat kurang disebabkan karena pangan yang dikonsumsi kurang bervariasi dan kurang mencukupi. Meskipun demikian, status gizi sebagian besar ibu pada kedua kelompok berada pada kategori normal.

Rata-rata konsumsi zat gizi bayi kelompok ibu yang diberi konseling gizi dan bayi kelompok ibu yang tidak diberi konseling gizi tidak jauh berbeda (p>0,05) tetapi pemenuhan konsumsi bayi dari ASI lebih tinggi persentasenya pada bayi kelompok ibu yang diberi konseling. Zat gizi dalam ASI merupakan zat gizi yang mudah diserap dan dimetabolisme, sehingga rata-rata pertambahan berat badan dan panjang badan bayi lebih besar pada bayi kelompok ibu yang diberi konseling gizi.

Frekuensi sakit yang diderita bayi lebih sering terjadi pada bayi kelompok kontrol dibandingkan bayi kelompok perlakuan. Pada bayi kelompok kontrol tiga anak berulang 2 kali sakit dan dua anak berulang 3 kali sakit, sedangkan pada bayi kelompok perlakuan tiga anak berulang 2 kali sakit. Meskipun demikian, status gizi bayi mulai usia 0-6 bulan pada kedua kelompok berdasarkan indikator BB/U, P/U dan BB/PB sebagian besar berada pada kategori normal.

Persentase pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dengan metoda prosfektif lebih tinggi pada bayi kelompok perlakuan (25,8%) dibandingkan bayi kelompok kontrol (3,4%). Konseling gizi mempengaruhi pemberian ASI eksklusif (p = 0,038) dan nilai Odd Ratio (OR) sebesar 9,7 (95%;CI.1,134- 83,674). Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang diberi konseling gizi mempunyai peluang memberikan ASI eksklusif 10 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak diberi konseling gizi. Persentase pemberian ASI eksklusif enam bulan dengan metode cross-sectional lebih tinggi pada bayi kelompok ibu yang diberi konseling gizi yaitu 70,9%, dibandingkan bayi pada kelompok ibu yang tidak diberi konseling gizi yaitu sebanyak 10%.

Ibu sebagai penentu pemberian ASI eksklusif atau tidak eksklusif kepada bayi, pada umumnya belum siap untuk melakukan perubahan perilaku yang baru yaitu memberikan ASI secara eksklusif enam bulan. Faktor yang mendukung untuk memberikan ASI secara eksklusif adalah pengetahuan gizi, sikap gizi dan praktek gizi, sedangkan faktor yang kurang mendukung adalah sikap keluarga, petugas kesehatan, tetangga dan iklan.

Saran

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menandatangani Deklarasi Innocenti pada tahun 1990 dan sesuai dengan anjuran WHO tahun 2001 yang menentukan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, terus mengupayakan cakupan ASI eksklusif. Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian bahwa pemberian ASI eksklusif 6 bulan sebesar 25,8% pada ibu yang diberi konseling gizi, oleh karena itu disarankan untuk terus

mengupayakan pemberian ASI eksklusif melalui menegakkan peraturan yang telah dibuat. Selain itu diberikan sangsi yang tegas kepada petugas kesehatan dan fasilitas kesehatan (falkes) yang melanggar International Code of

Marketing of Breastmilk Subtitutes dan industri yang menggunakan sarana

falkes dan bidan untuk promosi serta pelanggaran pemasangan iklan pangan untuk bayi. Perlunya memperbaharui peraturan yang sudah tidak dapat mengakomodasi ketentuan baru tentang ASI eksklusif enam bulan.

Perlunya peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang ASI eksklusif pada bidan atau tenaga kesehatan sebagai orang yang dianggap paling berkompeten di masyarakat tentang ASI eksklusif, sehingga konseling gizi untuk meningkatkan ASI eksklusif 6 bulan dapat diterapkan di masyarakat. Konseling gizi tentang ASI eksklusif dapat dilakukan melalui Pos Kesehatan Desa (POSKESDES) yang kewenangannya pada petugas kesehatan dan kegiatannya sehari-hari oleh kader. Oleh karena itu peningkatan pengetahuan gizi tentang ASI eksklusif dilakukan juga pada Kader dengan melakukan pelatihan sebagai ujung tombak di masyarakat atau menggunakan Kader yang telah berhasil mempraktekkan ASI eksklusif dan mempunyai anak yang sehat sebagai contoh..

Dokumen terkait