• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Barang Gadai 1. Kedudukan Barang Gadai 1.Kedudukan Barang Gadai

2.2 Gadai dalam Islam .1 Pengertian Gadai.1 Pengertian Gadai

2.2.5 Ketentuan Barang Gadai 1. Kedudukan Barang Gadai 1.Kedudukan Barang Gadai

Selama ada di tangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai (Basyir,1983:53).

Lebih lanjut Basyir (1983) menambahkan bahwa sebagai pemegang amanat, murtahin (penerima gadai) berkewajiban memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya, sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu baru

diadakan setelah perjanjian gadai terjadi. Namun akibatnya, ketika perjanjian gadai diadakan, barang gadai ada di tangan pihak ketiga, maka perjanjian gadai itu dipandang tidak sah; sebab diantara syarat sahnya perjanjian gadai ialah barang gadai diserahkan seketika kepada murtahin.

2. Pemanfaatan barang gadai

Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang tidak memilki barang secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum (barangnya sudah digadaikan). Misalnya, mewakafkan, menjual, dan sebagainya. Sedangkan hak penggadai tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi tidak pada guna pemanfaatannya/ pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi sebagai pemilik apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi miliknya.

3. Resiko atas Kerusakan Barang Gadai

Apabila murtahin sebagai pemegang amanat telah memelihara barang gadai dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang, kemudian tiba-tiba barang tersebut mengalami kerusakan atau hilang tanpa disengaja, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat mengenai siapa yang harus menanggung resikonya.

Ulama-ulama Mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa

murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko apapun. Namun ualam-ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa murtahin menanggng resiko sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan dimulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak dan hilangnya ( Basyir.1983:54).

Berbeda halnya jika barang gadai rusak atau hilang yang disebabkan oleh kelengahan murtahin. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat, semua ulama sepakat bahwa murtahin menanggung resiko, memperbaiki kerusakan atau mengganti yang hilang.

4. Pemeliharaan Barang Gadai

Dalam hal ini para ulama berbeeda pendapat, para ilama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat lain; biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi

tanggungan penerima gadai dalam kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat. Kepada penggadai hanya dibebankan perbelanjaan barang gadai agar tidak berkurang potensinya (Basyir, 1983 : 58).

5. Kategori barang gadai

Jenis barang yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut (A.Basyir, 1983:52):

a. Benda bernilai menurut hukum syara’

b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin. 6. Akad Gadai

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian dianggap sah apabila telah memenuhi tiga syarat. Pertama, berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan. Kedua , penerapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf. Imam Malik membolehkan penggadaian mushaf , tetapi penerima gadai dilarang membacanya. Ketiga, barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah tiba masa pelunasan utang gadai.

Imam Malik berpendapat bahwa menggadaikan apa yang tidak boleh dijual pada waktu pengadaian dibolehkan seperti buah-buahan yang belum nampak kebaikannya (Rusyd, 1995:352).

7. Hak Penerima Gadai atas Harta Peninggalan

Hak para kreditur atas harta peninggalan seseorang ada yang berasal dari utang lepas, yaitu utang tanpa gadai, dan ada yang berasal dari utang terkait, yaitu utang gadai.

Hak para kreditur atas utang yang berkait dipandang lebih kuat daripada hak para kreditur atas utang lepas, sebab murtahin berhak menahan barang gadai yang merupakan sebagian bagian dari atau bahkan seluruh harta peninggalan.

Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa hak murtahin untuk menerima pembayaran utang, lebih didahulukan daripada hak para kreditur atas utang lepas. Dengan demikian, apabila seseorang meninggal dalam keadaan menanggung dua macam utang, utang lepas dan utang berkait, maka yang berhak menerima pembayaran lebih dahulu adalah murtahin, kemudian baru kreditur utang lepas. Sebab apabila utang yang dibayarkan kepada murtahin meliputi harta peninggalan yang ada, maka para kreditur utang lepas baru akan menerima pembayaran setelah gadai diperoleh dari murtahin (Basyir,1983:63).

8. Pembayaran/Pelunasan Utang Gadai

Apabila sampai pada waktu yang telah ditentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh murhun untuk menjual barang gadaiannya dan kemudian digunakan untuk melunasi utangnya. Selanjutnya, apabila setelah diperintahkan hakim, rahin tidak mau membayar utangnya dan tidak pula mau menjual barang

gadaiannya, maka hakim dapat memutuskan untuk menjual barang tersebut guna melunasi utang-utangnya.

9. Prosedur Pelelangan Barang Gadai

Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan untuk menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya.

Jika terdapat persyaratan; menjual barang gadai pada saat jatuh tempo, maka menurut Basyir (1983), hal ini dibolehkan dengan ketentuan:

a.Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin (mencari tahu penyebab belum melunasinya utang).

b. Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran. c.Kalau murtahin benar-benar butuh uang dan rahin belum

melunasi hutangnya, maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan seijin rahin. d. Apabila ketentuan diatas tidak terpenuhi, maka murtahin

boleh menjual barang gadai dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada rahin.