• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HAMBATAN – HAMBATAN DALAM PENYELESAIAN

B. Ketentuan-ketentuan Bidang Pertanahan yang Dapat

Peraturan untuk mencegah dan mengantisipasi konflik pertanahan yaitu : 1. Ketentuan Tata Cara Pendaftaran Tanah dan Peralihan Hak Atas Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 37 ayat (1) menyatakan :85

Bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pasal 37 ayat (2) undang-undang ini menyebutkan :86

Bahwa dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan diantara perorangan warganegara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan, sedangkan dalam keadaan tertentu yaitu untuk daerah-daerah yang terpencil dan belum ditunjuk PPAT Sementara sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 7 ayat (2) untuk memudahkan rakyat melaksanakan perbuatan hukum mengenai tanah.

Perbuatan akta yang dimaksudkan di dalam Pasal 37 ayat (1) di atas harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan

85

AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998),Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 133.

disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu sesuai Pasal 38 ayat (1).

Ketentuan Pasal 40 ayat (1), menyebutkan :87

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib segera menyampaikan akta yang dibuatnya kepada Kantor Pertanahan agar dapat dilaksanakan proses pendaftarannya oleh Kepala Kantor Pertanahan selambat-lambatnya dalam tempo 7 (tujuh) hari. Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya sebatas menyampaikan akta dan berkas-berkasnya dan menyampaikan kepada pihak yang bersangkutan secara tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2). 2. Ketentuan Peralihan Hak Karena Pewarisan

Pewarisan merupakan suatu peristiwa hukum yang terjadi karena meninggalnya pewaris (terjadi karena hukum) sejak pewaris meninggal dunia, oleh karena itu peralihan haknya tidak perlu dibuktikan dengan akta PPAT.

Untuk kepentingan pemeliharaan buku tanahnya agar data yang tersimpan di dalam Kantor Pertanahan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan guna mendapatkan perlindungan hukum kepada para ahli waris serta guna ketertiban pendaftaran agar data yang tersimpan dapat disajikan dan selalu menunjukkan data yang mutakhir maka para ahli waris berkewajiban untuk mendaftarkan tanah yang diwariskan jika tanah tersebut belum pernah terdaftar sesuai Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dengan melampirkan surat-surat yang ditetapkan di dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yaitu :88

1) Surat Keterangan Waris atau Surat Wasiat atau Surat Tanda Bukti sebagai ahli Waris yang berupa Akta Keterangan sebagai Hak Mewaris.

87Ibid,hal. 137.

88 Ap. Parlindungan, Berakhirnya Hak-hak Atas Tanah, Menurut Sistem UUPA, Mandar

2) Sertifikat Hak Atas Tanah

3) Surat Keterangan Kematian Pewaris

4) Bukti kewarganegaraan ahli waris, untuk orang asing 5) Surat-surat lainnya yang diperlukan untuk pewarisan.

Setelah peralihan hak tersebut dicatat dalam daftar tanah yang bersangkutan dan pada sertifikatnya, maka sertifikat itu dikembalikan kepada ahli waris setelah kepada Kepala Kantor Pertanahan Tanah disampaikan surat keterangan tentang pelunasan pajak tanah sampai saat meninggalnya pewaris. Sedangkan waktu pendaftaran dari peralihan hak tersebut adalah 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, namun Dirjen Agraria atau pejabat yang ditunjuk dapat memperpanjang waktu tersebut pada pertimbangan – pertimbangan khusus.

Sehubungan dengan belum adanya ketegasan dalam hal pengaturan tentang instansi mana yang berwenang mengeluarkan surat keterangan waris dan bukti kewarganegaraan ahli waris, maka persoalan ini harus kita rujuk kembali ketentuan pluralisme hukum di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 111 PMNA Nomor 3 Tahun 1997 :

(1) Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya dengan melampirkan : a. Sertifikat hak atas tanah atau sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

atas nama pewaris, atau, apabila mengenai tanah yang belum terdaftar, bukti pemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

b. Surat kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam sertifikat yang bersangkutan dari Kepala Desa/Lurah tempat tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan atau instansi lain yang berwenang.

c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa : 1) Wasiat dari pewaris, atau

2) Putusan pengadilan, atau

3) Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau

4) Bagi warganegara Indonesia penduduk asli; surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;

Bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa; akta keterangan hak mewaris dari Notaris.

Bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya : surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.

d. Surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihak hak bukan ahli waris yang bersangkutan;

e. Bukti identitas ahli waris;

(2) Apabila pada waktu permohonan pendaftaran peralihan sudah ada putusan pengadilan atau penetapan hakim/Ketua Pengadilan atau akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (4) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 tahun 1997, maka putusan/penetapan atau akta tersebut juga dilampirkan pada permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau dengan akta notaris.

(4) Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan belum ada pembagian warisan, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris sebagai pemilikan bersama, dan pembagian hak selanjutnya dapat dilakukan sesuai ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

(5) Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan pada waktu pendaftaran peralihan haknya disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tertentu jatuh kepada 1 (satu) orang penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan akta pembagian waris tersebut.

(6) Pencatatan pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud Pasal ini dalam daftar-daftar pendaftaran tanah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105.

Namun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) diberikan kesempatan kepada ahli waris dapat menerima hak terdahulu untuk pendaftaran boedel atau menolak warisan sesuai yang ditetapkan di dalam Pasal 1023 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Ketentuan Ganti Kerugian

Menurut Mariam Darus Ganti Rugi (schadevergoeding) adalah kerugian nyata (Feitelijknadee) yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi ingkar janji.89

Ediwarman berpendapat :

Pada hakekatnya mengenai ganti rugi di dalam hukum perdata selalu dikaitkan karena adanya ingkar janji di dalam suatu persetujuan yang dilakukan oleh salah satu pihak dan kerugian itu biasanya selalu berhubungan langsung dengan ingkar janji. Dalam perkataan lain ingkar janji dengan kerugian harus ada hubungan sebab akibat (kausal), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1248 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.

Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria ganti rugi tanah diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi :

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dan rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur di dalam undang-undang”.

Ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria ini “ ganti rugi tersebut hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat demikian juga kepentingan pembangunan”.

Berdasarkan pendapat pakar hukum dan ketentuan pasal 18 UUPA dapat dirumuskan bahwa ganti rugi adalah penggantian atas nilai berikut bangunan, 89 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata, Buku III, Hukum Perikatan, Dengan Penjelasan,Alumni, Bandung, 1993, hal. 28.

tanaman dan benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dengan tujuan agar kepentingan bersama yang berwujud kepentingan rakyat, bangsa dan pembangunan dapat terlaksana dengan semestinya.

Ediwarman lebih lanjut menyatakan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi ditentukan sebagai berikut :90

a. Besarnya jumlah ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh Udang-Undang, hal ini dapat dilihat dari pasal 1250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yo LN 1948 No. 22 yang menetapkan besarnya jumlah bunga 6% pertahun, karena bunga adalah merupakan apa yang harus dibayar siberhutang karena kelalaiannya.

b. Pihak-pihak sendiri menentukan bentuknya jumlah ganti rugi

c. Jika tidak ada ketentuan di dalam undang-undang dan para pihak sendiri juga tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti rugi ini harus ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi, atau dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan dari isi si berpiutang harus sama seperti seandainya si berhutang memenuhi kewajibannya.

Dasar penetapan ganti kerugian menurut Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan juga Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Indonesia Nomor 65 Tahun 2006, yakni sama-sama “ berdasarkan musyawarah”.

Penetapan ganti kerugian dalam keputusan presiden yang dimaksud di atas dapat dilihat pada pasal 16 yang menyatakan sebagai berikut : “bentuk dan besarnya ganti kerugian ditetapkan dalam musyawarah”.

Oloan Sitorus mengartikan musyawarah yang dimaksud di atas adalah “musyawarah antara pihak pemegang hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti – kerugian”.91

Oleh karena itu kehadiran atau ketertiban oleh orang-orang yang diluar kepanitiaan yang resmi tidak dibutuhkan, karena menurut Maria S.W Sumardjono, hal itu akan semakin mengaburkan arti musyawarah secara substansi.92

Untuk mencapai musyawarah dan mufakat yang dimaksudkan diatas perlu adanya suatu persetujuan antara kedua belah pihak yang bermufakat tersebut. Syarat- syarat sahnya suatu persetujuan menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : (a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (b) Cakap untuk membuat suatu perikatan, (c) Suatu hal tertentu dan (d) Suatu sebab yang halal. Bentuk ganti rugi yang diatur di dalam pelepasan hak atas tanah, mengatur Pasal 13 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 yakni : (a) berupa uang; (b) tanah pengganti; (c) pemukiman pengganti; (d) gabungan tanah dan uang; (e) gabungan

91

Oloan Sitorus, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan Tanah,

Dasamedia Utama, Jakarta, 1995, hal. 33.

92Maria SW. Soemardjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi,Kompas,

antara dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam hurut a, huruf b, dan huruf c, dan bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.93

Di dalam Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 dijelaskan bahwa ganti kerugian yang termaksud di atas diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Untuk tanah-tanah yang bersifat hak ulayat ganti kerugian diberikan dalam bentuk lain seperti dengan mendirikan pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain bagi masyarakat setempat, dengan dasar ganti kerugian dengan nilai jual yang ditaksir oleh pemerintah/instansi setempat yaitu instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab dibidang tersebut. Sedangkan untuk tanah harganya disesuaikan dengan nilai nyata dari tanah tersebut dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan yang terakhir. Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.94

Maria S.W. Soemardjono lebih lanjut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nilai nyata adalah “market value atau harga yang wajar”, yaitu harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli untuk sebidang tanah dalam keadaan yang wajar, tanpa adanya unsur paksaan untuk penjual atau pembeli.95

93Boedi Harsono,Op.cit,hal. 640-641. 94Ibid

4. Ketentuan Jual Beli

Menurut Subekti dalam Soimin Soedharyo,96 dinyatakan bahwa dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, persetujuan jual beli merupakan persetujuan kehendak antara penjual dan pembeli mengenai suatu barang dan harga. Karena tanpa barang yang akan dijual dan tanpa harga yang dapat disetujui antara dua belah pihak, maka tidak mungkin ada jual beli, atau jual beli tidak pernah terjadi, atau dengan perkataan lain jual beli yang dimuat di dalam hukum perdata belum memindahkan hak milik sebelum dilakukan penyerahan atau levering. Sedangkan di dalam hukum adat, jual beli sudah terjadi sejak pembayaran panjar diikuti dengan pencicilan (Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 3 Juni 1970 No. 457 K/Sip/1967).

Dalam jual beli sebidang tanah terbuka kemungkinan pihak ketiga (dengan atau tanpa tanda bukti hak yang dapat diterima atau ditolak) bahwa tanah tersebut adalah miliknya dan akan lebih merepotkan lagi jika tanah yang sudah dibeli telah ada bangunan yang sudah ditempati atau dibeli oleh pihak lain. Untuk menghindari hal ini perlu dipastikan bahwa transaksi jual beli harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 jo Nomor 24 Tahun 1997.

Berdasarkan pernyataan Pasal 19 tersebut diatas, bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk

96 Soimin Soedharyo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2001,

oleh Menteri Agraria. Hal ini sebagai bukti telah terjadi suatu jual beli sesuatu hak atas tanah dan PPAT yang ditunjuk oleh Menteri Agraria untuk membuat aktanya.

Konsepsi Hukum Adat Tanah Nasional terdapat syarat untuk sahnya jual beli yaitu terpenuhinya “tunai, riil, terang”. Yang dimaksud dengan “tunai” adalah bahwa penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah beralih. Harga yang dibayarkan itu tidak harus lunas, selisih harga dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual yang termasuk dalam lingkup hukum utang-piutang. “Riil” berarti bahwa kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata, misalnya dengan telah diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya perjanjian dihadapan kepala desa. Sedangkan “terang” dimaksudkan bahwa perbuatan hukum jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala desa untuk memastikan bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.97

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa tunai/kontan, riil dan terang tersebut dimaksudkan jika jual beli dilakukan tanpa dihadapan Kepala Desa/Camat atau tanpa akta autentik dari Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun dari Notaris jual beli tetap dianggap sah sepanjang syarat materialnya yang berupa uang dari harga jual beli tersebut dibayar lunas oleh pembeli sudah terpenuhi, hal ini sejalan dengan konsepsi hukum agraria yang berlandaskan kepada hukum Adat Undang-Undang

97 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta,

Pokok Agraria masih tetap diberlakukan dan hal tersebut sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 19 September 1971 Nomor 123/K/Sip/1971.98

Terhadap tanah warisan yang berhak menjualnya adalah salah seorang yang telah ditunjuk sebagai ahli waris, atau para ahli warisnya jika mereka ditunjuk bersama-sama sebagai ahli waris maka secara bersama-sama mereka bertindak sebagai penjual. Apabila salah seorang tidak turut menjual maka jual beli tersebut dianggap batal oleh hukum.

Untuk tanah adat yang belum bersertifikat jual beli dapat dilakukan dengan cara seperti yang diatur di dalam Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dengan melampirkan :99

1) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari KPT yang menyatakan antara lain, bahwa hak atas tanah itu belum mempunyai sertifikat.

2) Surat bukti hak atas tanah

3) Surat Keterangan Lurah yang dikuatkan oleh Camat yang membenarkan surat bukti hak atas tanah tersebut.

4) Surat tanda bukti biaya pendaftaran.

Untuk tanah yang masih merupakan boedel warisan maka harus ada surat keterangan ahli waris menurut ketentuannya masing-masing.

Agar tanah yang sudah dibeli mendapatkan kekuatan hukum dan kekuatan pembuktian jika konflik dikemudian hari maka jual beli harus dilakukan dihadapan Notaris PPAT, namun untuk tanah yang belum bersertifikat atau masih merupakan tanah adat, perbuatan jual beli ini belum dapat didaftarkan. Untuk memohonkan haknya agar dapat di daftarkan dilakukan dengan cara mengajukan permohonan

98Ibid.

kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk konversi hak dan sekaligus pembuatan sertifikat hak atas tanah tersebut.

5. Ketentuan Wanprestasi (Ingkar Janji)

Mariam Darus mengatakan bahwa wujud dari wanprestasi atau tidak terpenuhinya perikatan itu ada tiga macam yaitu :

1) Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan 2) Debitur terlambat memenuhi perikatan

3) Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan

Di dalam kenyataan sukar untuk menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena sering kali ketika mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan di dalam perikatan di mana waktu untuk melaksanakan prestasi itupun ditentukan, cidera janji tidak terjadi sendirinya, dan yang mudah untuk menentukan saat debitur tidak memenuhi perikatan ialah pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, hal ini pada umumnya karena lalai atau dilalaikan oleh debitur.

Untuk dinyatakan adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang- undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Lembaga “pernyataan lalai” ini merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” atau wanprestasi, hal ini

sejalan dengan pernyataan pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan :100

Bahwa penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya. Maksud “berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi, apabila saat yang telah ditentukan di dalam kesepakatan perjanjian dilampaui oleh debitur maka debitur ingkar janji. Pernyataan ini sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam pasal 1235 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa “debitur wajib memenuhi sesuatu di dalam tiap-tiap perikatan”. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi oleh debitur atau tidak mampu untuk menyerahkan benda yang telah menjadi perjanjian di dalam perikatan tersebut maka debitur wajib membayar biaya ganti rugi kepada kreditur (pasal 1236 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).101

Pernyataan lalai diperlukan dalam hal seseorang meminta ganti rugi atau saat meminta pemutusan perikatan dengan adanya ingkar janji (Pasal 1237 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata).102 Cara pemberitahuannya dengan surat perintah atau melalui akta yang menyatakan lalai (pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).103

100R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Paradnya Paramita, 1987, hal. 270.

101Ibid,

hal. 269

102Ibid 103Ibid

Mariam Darus dalam pandangannya berdasarkan Ilmu Hukum Perdata mengatakan :104

Bahwa kalau kreditur menuntut adanya pemenuhan, maka lembaga pernyataan lalai tidak diperlukan, sebab menurut pandangannya ini bahwa hak untuk mendapatkan pemenuhan itu sudah ada dalam perikatan itu sendiri, sedangkan hak untuk meminta ganti rugi atau pemutusan, dasarnya ialah sudah dilakukannya wanprestasi atau ingkar janji oleh debitur.

Mariam Darus lebih lanjut menegaskan bahwa lembaga “pernyataan lalai” tetap perlu dilakukan dalam hal kreditur menuntut ganti kerugian pada debitur, hal ini sejalan dengan kenyataannya di dalam praktek Pengadilan atau berdasarkan Yurisprudensi.105

Sebagai referensi pernyataan ini yurisprudensi penggantian kerugian karena wanprestasi atau ingkar janji dari Keputusan Mahkamah Agung Register Nomor 704K/Sip/1972, tanggal 21 Mei 1973.

a. Wanprestasi karena tidak membayar harga barang

Dalam hal pihak-pihak yang tunduk pada hukum perdata, jika terjadi wanprestasi dari satu pihak oleh sebab tidak membayar harga barang yang dibeli, maka yang dirugikan dapat menuntut pembatalan jual beli.

Keputusan Mahkamah Agung ini telah menerangkan bahwa salah satu hak kreditur yaitu pembatalan perikatan sebab debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan.

104Mariam Darus,Op.cit,hal. 24 105Ibid,hal. 25.

b. Wanprestasi dalam perjanjian suruhan membelikan barang hasil bumi.

Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi perjanjian (pada kasus tidak menyatakan kapok rando dan padi pada waktunya) pihak lain, tanpa secara khusus meminta lebih dahulu pembatalan tapi tidak secara langsung minta ganti kerugian berdasarkan atas terhentinya perjanjian karena wanprestasi.

Mariam Darus lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam keputusan ini Mahkamah Agung kemungkinan bagi kreditur untuk mendapat ganti rugi tanpa didahului penuntutan pembatalan perjanjian kepada yang ingkar janji.

Mariam Darus juga menyebutkan :106

Bahwa lembaga “pernyataan lalai” tidak diperlukan apabila debitur keliru dalam

Dokumen terkait