• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN

D. Konflik Penguasaaan Tanah Masyarakat Desa Gunung

Tanah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kegiatan pembangunan yang ditujukan bagi kesejahteraan umum. Berkenaan dengan konsep tersebut, pembangunan harus dicapai dengan menitikberatkan pelaksanaan penguasaan tanah yang mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Untuk itu masalah penguasaan tanah membutuhkan penanganan yang amat serius, yang harus dikendalikan dan diawasi secara efektif demi tercapai tujuan tersebut, karena sampai pada masa sekarang konflik penguasaan tanah masih terus berlangsung, seperti halnya konflik kepemilikan di areal tanah garapan masyarakat yang berada di Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat.

Konflik penguasaan tanah di areal tanah garapan yang terjadi antara Masyarakat Desa Gunung Tinggi Kecamatan Sirapit Dengan PTPN II Tanjung Keliling ini berawal pada tahun 1942, dimana masyarakat telah menguasai lahan seluas kurang lebih 98 hektar, kemudian pada tahun 1951 lahan yang seluas 8 hektar yang merupakan pemukiman penduduk dan lahan pertanian di rampas oleh Pihak perkebunan, lahan tersebut adalah lahan masyarakat yang bernama Ngadinan dan kawan-kawan dengan alas hak karo Belasting yang pada saat itu dirampas atau

diserobot oleh seorang Centeng Kebun yang bernama Kriting atas suruhan dari SAMPE TUAH BANGUN selaku Kepala Distrik.

Kemudian pada tahun 1991 lahan kurang lebih 91,2 hektar, yang merupakan lahan pertanian dan persawahan penduduk juga dirampas oleh pihak PTPN-II, lahan tersebut adalah merupakan lahan dari beberapa warga masyarakat yang antara lain bernama Djuaken Sembiring, Mohamad Sembiring, Bena Sinuraya dan Raja Mentu Meliala serta beberapa warga masyarakat lain, lahan tersebut kemudian ditanami kelapa sawit dan sebagian tanah karet oleh pihak PTPN-II Tanjung Keliling dan dikuasainya hingga sekarang ini.

Berdasarkan kesaksian dari beberapa warga masyarakat yang merupakan warga yang telah berumur lanjut dan mengetahui histori atau sejarah dari kepemilikan lahan di areal tanah garapan Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, yang nama – namanya adalah Djumadi, Tabri dan Yadi ini bahwa sebahagian Kebun Tanjung Keliling di bagian barat dusun Gunung Tinggi – Paya rengo Kecamatan Selapian Kabupaten Langkat adalah tanah garapan milik dari kurang lebih 40 Kepala Keluarga sejak tahun 1942 hingga tahun 1951.

Kemudian pada tahun 1951 identitas tanah garapan berupa kartu belasting diambil oleh Rukimin alias Kriting yang merupakan centeng perkebunan atas suruhan Sampetuah Bangun (kepala distrik) dan tidak dikembalikan lagi.

Disebutkan pula bahwa pihak perkebunan Tanjung Keliling pada tahun 1951 melalui tuan Singerleden alias tuan botak telah merampas serta mentraktor dengan cara paksa atas tanah garapan Dusun Gunung Tinggi – Paya Rengo Desa Serapit,

bahkan oknum tersebut bertindak arogan dan kasar terhadap para warga penggarap yang menentang (kesaksian Bapak Ngadiman).

Serta bukti-bukti fisik dilapangan seperti rumpun tambu disamping perkebunan dan tunggal kayu raja yang dulu telah ditebang penggarap serta parit besar yang dibuat Belanda sebelum tahun 1942 dan jalan lama afdeling II pondok 45 masih ada sampai sekarang.

BAB III

PELAKSANAAN PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI AREAL TANAH GARAPAN KABUPATEN LANGKAT

A. Asas Musyawarah dan Mufakat Sebagai Budaya Bangsa Indonesia

Dalam rumusan Pasal 5 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dinyatakan bahwa hukum adat yang berlaku atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah :70

1. Pro kepada kepentingan nasional, atau adanya prinsip nasionalitas artinya hukum adat itu menyatakan dengan tegas bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang mempunyai hak sepenuhnya atas bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan dalam semua lembaga hak-hak atas agraria tersebut setiap hari akan menonjol, seperti siapa yang boleh mempunyai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha. Pasal 9 UUPA, jelas-jelas memantapkan statemen tersebut dengan kalimat “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960.

2. Pro kepada kepentingan negara, dalam pengertian keluar, negara tidak akan mengadakan suatu kompromi atau toleransi yang akan meniadakan hak-hak bangsa Indonesia, terutama prinsip nasionalitas tersebut ke dalam kepentingan

70AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju,

negara di atas segala-galanya sehingga kepentingan perorangan harus mengalah, jika kepentingan negara menghendakinya.

3. Pro kepada persatuan bangsa, artinya hukum adat menurut versi UUPA itu menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia dimanapun dia berada di wilayah tanah air, memiliki hak yang sama untuk memiliki hak-hak agraria. 4. Pro kepada sosialisme Indonesia, artinya disini bahwa pengertian sosialisme

Indonesia tersebut sebagai Pancasila (TAP MPRS XXXVIII/1968).

5. Bahwa seterusnya hak-hak adat itu tunduk kepada ketentuan umum yang diatur oleh UUPA maupun oleh peraturan sejenis yang lebih tinggi berarti UUPA atau peraturan lain yang diterbitkan akan merupakan hukum yang umum, sedangkan hak-hak adat itu akan tunduk kepada perubahan atau penetapan dari hak-hak agraria yang akan dituangkan dalam Undang-Undang atau Peraturan pemerintah lainnya, sehingga akan menyesuaikan kepada hukum umum yang diatur oleh pemerintah dan tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan hukum umum yang disengaja diadakan untuk itu.

6. Bahwa sebagai ciri khusus dari UUPA, lembaga hukum agama (Islam) sudah merupakan bagian dari hukum adat menurut versi UUPA tersebut, artinya sudah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.

Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu :71

1. Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Pasal 4 ayat (2) UUPA).

2. Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan, yaitu menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakan tanah hanya untuk kepentingan perusahaan dibidang pertanian, perikanan, peternakan atau perkebunan.

Pancasila dijadikan dasar peninjauan dalam politik hukum agraria karena ia merupakan asas kerohanian negara Indonesia. Asas kerohanian itu meliputi seluruh tertib negara, artinya seluruh tertib hukum sebagai kesatuan dan masyarakat bersangkutan serta harus hidup di dalam masyarakatnya.

71 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2005,

Asas kerohanian itu ditentukan pada waktu negara dibentuk, dan ia akan lenyap pada waktu dibentuk negara baru, sehingga jika keberadaan/sejarah negara itu tidak terputus oleh keadaan yang bagaimanapun juga, tidak ada pergantian negara baru, maka tidak mungkin asas kerohanian itu diubah.72

Pancasila basisnya Ketuhanan Yang Maha Esa, sesudah itu perikemanusiaan, sesudah itu lagi keadilan sosial, dan ini merupakan satu kesatuan. Ini berarti Ketuhanan itu juga Ketuhanan yang mengandung perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.73

Dengan demikian, Hukum Agraria/Hukum Tanah Nasional pada hakekatnya berdasarkan Pancasila, sehingga :

1. Berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa bagi masyarakat Indonesia, hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat kodrat, artinya tidak dapat dihilangkan oleh siapapun juga (termasuk oleh negara).

2. Sila kemanusiaan, memungkinkan didapatkannya pedoman, bahwa hubungan antara manusia Indonesia dengan tanah mempunyai sifat perorangan dan kolektif sebagai dwitunggal.

3. Sila Kebangsaan dapat dirumuskan pedoman bahwa :

a. Hanya orang Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah di daerah Indonesia.

72Alvi Syahrin,Beberapa Masalah Hukum,Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 33. 73Notonagoro,Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia,Bina Aksara, Jakarta,

b. Dengan menggabungkan sila kebangsaan dengan sila perikemanusiaan yang mempunyai unsur mahkluk sosial dan juga mengandung unsur hidup bersama internasional, maka orang asing dapat diberi kekuasaan terhadap tanah di Indonesia, seberapa dibutuhkan (oleh orang Indonesia terhadap orang asing itu). Jadi tidak sebaliknya, tidak diberikan hubungan dengan tanah karena berdasarkan kepentingan mereka.

4. Menurut sila kerakyatan, tiap-tiap orang Indonesia dalam hubungannya dengan tanah, mempunyai hak dan kesempatan yang sama, sehingga pedoman ini mengenai hubungan hak dan kekuasaan.

5. Berdasarkan sila keadilan sosial, tiap-tiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama menerima bagian dari manfaat tanah, menurut kepentingan hak hidupnya, bagi diri sendiri dan bagi keluarganya. Perhubungan hak hidup manusia itu ada dua macam yaitu :

a. Untuk mempertahankan jenis, agar manusia itu dapat berlanjut adanya; b. Untuk mempertahankan individu, jadi dirinya sendiri.

Pedoman yang didasarkan keadilan ini, tidak menurut kekuatan atau kekuasaan haknya, tetapi mengenai hak, tetapi mengenai hasil tanah.74

Menyimak uraian terdahulu yang mengharuskan Pancasila sebagai pedoman- pedoman yang menjadi pegangan dalam menyusun hukum agraria, maka :

1. Hubungan manusia Indonesia dengan tanah di wilayah Indonesia bersifat kodrat. 2. Hubungan dengan tanah itu mempunyai sifat privat dan kolektif.

3. Hanya orang Indonesialah yang mempunyai hubungan yang terkuat dengan tanah di Indonesia, dengan tetap memberi kesempatan pada orang asing untuk mempunyai hubungan dengan tanah di Indonesia asal hubungan itu tidak merugikan bangsa Indonesia.

4. Setiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mempunyai hubungan dengan tanah.

5. Setiap orang Indonesia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati hasil bumi Indonesia.75

Konflik dibidang pertanahan yang disampaikan ke Kantor Pertanahan Langkat untuk dimohonkan penyelesaian permasalahannya, apabila bisa dipertemukan pihak- pihak yang berkonflik, maka pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat lebih memprioritaskan penyelesaian konflik pertanahan melalui cara musyawarah dan mufakat. Kantor Pertanahan Langkat bertindak sebagai mediator di dalam menyelesaikan konflik pertanahan tersebut dengan lebih mengutamakan prinsipwin- win solution dan dilakukan dengan cara yang damai dan saling menghormati pihak- pihak yang berkonflik apakah terjadi penyelesaian secara musyawarah dan mufakat, maka para pihak yang berkonflik dan pihak kantor pertanahan Kabupaten Langkat membuat suatu bukti tertulis yang berisikan telah terjadi perdamaian atas permasalahan konflik pertanahan tersebut dan para pihak yang berkonflik telah menerima kesepakatan perdamaian yang ditawarkan dalam pelaksanaan musyawarah dan mufakat tersebut. Bukti tertulis telah terjadi kesepakatan para pihak yang

berkonflik untuk berdamai tersebut dituangkan dalam akta perdamaian yang pada umumnya dibuat oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dan ditandatangani oleh para pihak yang berkonflik dan juga pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat yang mematuhi pelaksanaan musyawarah dan mufakat tersebut. Apabila akta perdamaian tersebut telah ditandatangani oleh para pihak yang berkonflik dan disaksikan oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat, maka sejak saat penandatanganan tersebut maka para pihak yang berkonflik wajib mematuhi dan mentaati butir-butir kesepakatan yang telah dituangkan ke dalam akta perdamaian tersebut. Pelaksanaan akta perdamaian yang telah dicapai melalui jalan musyawarah dan mufakat tersebut, diawasi oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dalam pelaksanaan perdamaiannya di lapangan. Hal ini bertujuan agar para pihak yang berkonflik dapat melakukan kesepakatan perdamaian tersebut dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar hak-hak dan kewajibannya masing-masing.

Apabila pelaksanaan perdamaian tersebut dilanggar oleh salah satu pihak maka pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat akan memanggil pihak yang melanggar kesepakatan perdamaian tersebut mengingatkannya bahwa perbuatan tersebut telah melanggar kesepakatan perdamaian tersebut. Apabila penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat diantara para pihak yang berkonflik tidak tercapai, maka penyelesaiannya pada umumnya akan ditempuh oleh para pihak melalui jalur litigasi (pengadilan). Dengan demikian maka pihak Kantor Pertanahan Langkat yang menangani konflik pertanahan melalui jalur mediasi tidak bertentangan dengan PMNA Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 126, karena di dalam Pasal 126 tersebut yang

dimaksud dengan penghapusan atas hak yang telah dicatat dalam buku tanah adalah dalam konteks terjadi konflik di Pengadilan bukan dalam konteks penyelesaian konflik mediasi sebagaimana yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Langkat.

Dokumen terkait