TESIS
Oleh
NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI
077011051/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI
077011051/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI
Nomor Pokok : 077011051
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)
Pembimbing Pembimbing
(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : NATAL RIA ARGENTINA SURBAKTI
Nim : 077011051
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN
KONFLIK PERTANAHAN DI AREAL TANAH
GARAPAN (STUDI DI KANTOR PERTANAHAN
KABUPATEN LANGKAT)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
tempat tinggal, tempat usaha maupun sebagai sumber mata pencaharian. Karena begitu pentingnya tanah sebagai penunjang kebutuhan pokok setiap orang, maka dalam memperoleh tanah tersebut tak jarang terjadi sengketa antara para pihak dalam memperebutkan sengketa bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat tersebut menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang akhirnya menimbulkan ketegangan dalam masyarakat itu sendiri. Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dimana jumlah penduduknya mayoritas bermata pencaharian bertani, merupakan wilayah yang sering terjadi konflik dibidang pertanahan khususnya dalam diareal tanah garapan yang tak jarang menimbulkan konflik/ketegangan dan juga kekisruhan dalam masyarakat tersebut karena tidak adanya penyelesaian yang baik terhadap konflik tanah tersebut.
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang didasarkan pada penelitian lapangan (field research) dihubungkan dengan teori hukum yang bersifat khusus dibidang hukum pertanahan. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada di lapangan untuk kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan menyimpulkan data primer dan data sekunder yang selanjutnyaa dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan data lapangan dan peraturan perundang-undangan terkait bidang hukum pertanahan untuk memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.
Konflik pertanahan di Kabupaten Langkat terjadi karena faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum pada masyarakat serta perilaku yang kurang baik akibat tingginya ketergantungan atas tanah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada masyarakat di Kabupaten Langkat.
Penyelesaian terhadap konflik yang terjadi di Kabupaten Langkat tersebut dilakukan melalui jalur mediasi Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dan apabila jalur mediasi mengalami kegagalan maka pada umumnya konflik tersebut dilanjutkan melalui jalur litigasi (pengadilan).
many people to be their housing and business sites. Because the land is very important to support the basic need of each individual, in their effort to obtain the land, dispute always occurs between the parties in community that it results in extended conflict which eventually creates tensions whithin the community itself. Langkat District as one of the districts in Sumatera Utara Province where the occupation of the majority of its population is farming is an area with frequent land conflict especially in the area of illegally-cultivated land due to the absence of good settlement of the land dispute.
This is an analytical descriptive empirical juridical study to analyze the data obtained through field research related to the specific theory of law related to agrarian law. Through this study, the problems found in the field were explained and analyzed then a conclusion was drawn to be the solution to problems. The data analysis was conducted by concluding the primary and secondary data which then were evaluated and qualitatively analyzed to discuss the problems based on the data found in the field and the regulations of legislation related to the agrarian law to obtain new description or to strengthen the existing description in answering the problems and drawing a conclusion as well as beneficial suggestions.
Land conflict in Langkat District occured due to the factors of lack of knowledge and legal awareness and unfavorable behavior due to the high dependence on land in meeting the daily life necessities in the community in Langkat District.
The settlement of the conflict occured in Langkat District was done through mediation at the Langkat District Land Office and if this mediation failed the conflict settlement was usually continued to be sttled through litigation (court of law).
berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik
Adapun judul tesis ini “ANALISI YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN
KONFLIK PERTANAHAN DIAREAL TANAH GARAPAN (STUDI DI
KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN LANGKAT)"
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus di penuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
dorongan masukan dan saran yang sifatnya membangun. Untuk itu saya ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya Komisi Pembimbing Saya :
1. Dr. Pendasteran Tarigan, SH, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing
2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum sebagai anggota Komisi Pembimbing
3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH
Atas kesediaanya memberikan bimbingan dan masukan, serta nasehat demi
kesempurnaan tesis ini, dimana berkat bimbingan yang di berikan sehingga mendapat
hasil yang maksimal.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak/Ibu Dosen Penguji yang
terhormat dan amat terpelajar yaitu ;
1. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin. SH, MS, CN
2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
Atas kesediaanya untuk memberikan bimbingan dan arahan serta masukan
maupun saran terhadap penyempurnaan penyelesaian tesis ini.
Selanjutnya Penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
2. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, memberikan kesempatan pada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Studi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara
3. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin. SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara memberikan
kesempatan pada penulis sehingga dapat menyelesaikan Studi pada Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Pada Bapak dan Ibu dosen di Lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak member pengetahuan sehingga
dapat menyelesaikan studi ini
5. Para Pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati.
6. BapakPerwira Karo Sekalidan BapakIwan Sinaga, selaku pegawai di Kantor
Pertanahan Kabupaten Langkat yang telah banyak member bantuan dan data
dalam penulisan tesis ini.
7. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta pada Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara teristimewa buat.
Vina Verawaty Pasaribu, Okto Veri, Meliani, Maria Magdalena Barus dan
semuanya yang tak dapat saya sebutkan satu-satu terimakasih atas kerjasamanya
selama ini
Secara Khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud terimakasih yang tak
terhingga, kepada yang tercinta AyahandaPercaya Surbaktidan IbundaJuniarti br
Bangun yang selalu memberikan kasih sayang, doa, nasehat serta membimbing dan
memberikan segala kebutuhan sehingga dapat menyelesaikan pendidikan pada
pengertiannya, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Kila dan Bibi,Drs Siang
Ginting dan Riah br Surbakti atas dukungan dan doa restunya hingga saya dapat
menyelesaikan studi, serta terimakasih buat adik-adikku tersayang Pridara Suci
Surbakti SE dan Edy Tarigan, dr Pebrini Juita Surbakti dan Gorby Sanjaya
Surbaktijuga ponakannkuPedro Armada Wijaya Tarigan, biringku IbuH Pandia
juga bibi-bibiku yang banyak memberi masukan Ukurerlayas, Yulistina Sinulingga
yang tak henti –hentinya mengajari berbagai hal
Diatas semuanya saya ucapkan puji syukur dan terima kasih pada Yesus
Kristus yang telah memberikan KasihNya sehingga di berikan perlindungan,
kesehatan dan pemikiran sehingga dapat terselesaikan tesis ini
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari
sempurna karena penulis hanya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan, tetapi
penulis berharap semoga tesis ini berguna dab bermanfaat bagi pembaca, Terima
Kasih
Medan, Januari 2014 Penulis
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Natal Ria Argentina Br. Surbakti
Tempat/Tgl. Lahir : Binjai/13 Desember 1983
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Alamat : Jl. Ikan Arwana No. 39 Binjai
II. KELUARGA
Ayah : Percaya Surbakti
Ibu : Juniarti Br Bangun
Suami : Apriandi Asmaranta Ginting
Anak : Valeria Ernia Claudya Ginting
Alexander Berjaya Ginting
III. PENDIDIKAN
SD Methodist Binjai : Lulus Tahun 1996
SMP Methodist Binjai : Lulus Tahun 1999
SMA Negeri 2 Binjai : Lulus Tahun 2002
S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Lulus Tahun 2007
vii
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
1. Kerangka Teori ... 14
2. Konsepsi ... 29
G. Metode Penelitian ... 31
BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA KONFLIK PERTANAHAN PADA MASYARAKAT DI KABUPATEN LANGKAT ... 35
A. Konflik Pertanahan Sebagai Gejala Sosial ... 35
B. Jenis-jenis Konflik Pertanahan di Kabupaten Langkat ... 37
C. Faktor-Faktor Timbulnya Konflik Pertanahan di Kabupaten Langkat ... 41
viii
A. Asas Musyawarah dan Mufakat Sebagai Budaya Bangsa
Indonesia ... 47
B. Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Jalur Mediasi .... 54
C. Perbedaan Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Jalur Mediasi Dengan Litigasi ... 60
D. Mekanisme Mediasi Dalam Konflik Penguasaaan Tanah Masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit Dengan PTPN II Tanjung Keliling ... 62
E. Negosiasi Akhir dari Para Pihak ... 69
BAB IV HAMBATAN – HAMBATAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN DI AREAL TANAH GARAPAN KABUPATEN LANGKAT ... 74
A. Terbatasnya Pengetahuan dan Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Bidang Hukum Pertanahan ... 74
B. Ketentuan-ketentuan Bidang Pertanahan yang Dapat Mencegah dan Mengantisipasi Konflik Pertanahan... 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 103
tempat tinggal, tempat usaha maupun sebagai sumber mata pencaharian. Karena begitu pentingnya tanah sebagai penunjang kebutuhan pokok setiap orang, maka dalam memperoleh tanah tersebut tak jarang terjadi sengketa antara para pihak dalam memperebutkan sengketa bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat tersebut menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang akhirnya menimbulkan ketegangan dalam masyarakat itu sendiri. Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dimana jumlah penduduknya mayoritas bermata pencaharian bertani, merupakan wilayah yang sering terjadi konflik dibidang pertanahan khususnya dalam diareal tanah garapan yang tak jarang menimbulkan konflik/ketegangan dan juga kekisruhan dalam masyarakat tersebut karena tidak adanya penyelesaian yang baik terhadap konflik tanah tersebut.
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis. Maksudnya adalah suatu analisa data yang didasarkan pada penelitian lapangan (field research) dihubungkan dengan teori hukum yang bersifat khusus dibidang hukum pertanahan. Dari pendekatannya penelitian ini bersifat memaparkan dan menganalisa permasalahan yang ada di lapangan untuk kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan inti dari solusi permasalahan tersebut. Analisa data dilakukan dengan menyimpulkan data primer dan data sekunder yang selanjutnyaa dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan data lapangan dan peraturan perundang-undangan terkait bidang hukum pertanahan untuk memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dalam menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.
Konflik pertanahan di Kabupaten Langkat terjadi karena faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum pada masyarakat serta perilaku yang kurang baik akibat tingginya ketergantungan atas tanah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada masyarakat di Kabupaten Langkat.
Penyelesaian terhadap konflik yang terjadi di Kabupaten Langkat tersebut dilakukan melalui jalur mediasi Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat dan apabila jalur mediasi mengalami kegagalan maka pada umumnya konflik tersebut dilanjutkan melalui jalur litigasi (pengadilan).
many people to be their housing and business sites. Because the land is very important to support the basic need of each individual, in their effort to obtain the land, dispute always occurs between the parties in community that it results in extended conflict which eventually creates tensions whithin the community itself. Langkat District as one of the districts in Sumatera Utara Province where the occupation of the majority of its population is farming is an area with frequent land conflict especially in the area of illegally-cultivated land due to the absence of good settlement of the land dispute.
This is an analytical descriptive empirical juridical study to analyze the data obtained through field research related to the specific theory of law related to agrarian law. Through this study, the problems found in the field were explained and analyzed then a conclusion was drawn to be the solution to problems. The data analysis was conducted by concluding the primary and secondary data which then were evaluated and qualitatively analyzed to discuss the problems based on the data found in the field and the regulations of legislation related to the agrarian law to obtain new description or to strengthen the existing description in answering the problems and drawing a conclusion as well as beneficial suggestions.
Land conflict in Langkat District occured due to the factors of lack of knowledge and legal awareness and unfavorable behavior due to the high dependence on land in meeting the daily life necessities in the community in Langkat District.
The settlement of the conflict occured in Langkat District was done through mediation at the Langkat District Land Office and if this mediation failed the conflict settlement was usually continued to be sttled through litigation (court of law).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketergantungan manusia terhadap tanah sudah berlangsung lama yakni sejak
manusia memulai pola hidup bertani dan memanfaatkan tanah di sekitarnya baik
sejak hidup berpindah-pindah atau menetap. Sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan manusia yang semakin bertambah maka diperlukan tanah baik untuk
pertanian maupun untuk permukiman guna mencukupi kebutuhan hidup. Kenyataan
tersebut membuktikan sangat tingginya ketergantungan manusia terhadap tanah,
dimana sebagai kebutuhan yang sangat esensial di atas tanah tersebut manusia hidup
dan sekaligus untuk mempertahankan hidup.
Pesatnya pertambahan penduduk dan peningkatan pembangunan fisik yang
sedang dilaksanakan mengakibatkan permasalahan tanah pun semakin meningkat dan
bertambah kompleks. Tidak berlebihan jika disebutkan bahwa masalah pertanahan
yang terjadi di wilayah antara kota dan kabupaten merupakan suatu perspektif yang
harus dihadapi. Keadaan tersebut disebabkan bahwa kota sebagai suatu unit memiliki
ruang hidup yang terbatas dan mempunyai penduduk yang lebih padat, sehingga
gerakan penduduk untuk mencari tanah cenderung diarahkan pada areal yang terletak
dipinggiran kawasan kota. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya konflik dan
benturan kepentingan yang tidak dapat dihindarkan antara berbagai kepentingan yang
Tanah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kegiatan
pembangunan yang ditujukan bagi kesejahteraan umum. Berkenaan dengan konsep
tersebut, pembangunan harus dicapai dengan menitikberatkan pelaksanaan
penguasaan tanah yang mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan bagi
seluruh rakyat.
Hal ini terutama karena alasan bahwa Hukum Agraria Nasional yang dikenal
hari ini pada hakekatnya telah lahir, sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok
Agraria tanggal 24 September 1960 dalam Lembaran Negara nomor 104 tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) untuk menunjang tujuan tersebut.1 Adalah suatu hal
yang sia-sia jika suatu produk hukum diciptakan namun tidak dilaksanakan dengan
baik. Apalagi produk hukum tersebut secara substantif merupakan cerminan
kebutuhan masyarakat atau rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 2dan Pasal 2 ayat (2) UUPA3 mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan pengaturan dan pemanfaatan atas tanah. Mengenai pengaturan maksudnya terlaksananya kepastian hukum, kepastian kepemilikan atas tanah. Tegasnya secara juridis, pemerintah bertanggung-jawab untuk melaksanakan pendaftaran tanah sesuai ketentuan Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah.
1A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit
C.V. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 20.
2Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan: “bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kmakmuran rakyat. “
3
Pendaftaran tersebut akan menegaskan siapa yang memiliki hak atas tanah. Siapa subjek hukum yang akan diminta bertanggungjawab untuk memanfaatkan tanah sesuai tujuan pembangunan. Menggunakan tanah sesuai peruntukannya. Kemudian, tanah yang tidak berpemilik selayaknya dimanfaatkan pula untuk menunjang kesejahteraan tersebut. Jadi tidak dibiarkan begitu saja. Sehingga apa yang diatur oleh ketentuan Pasal 6, 7, 10, 11 dan Pasal 6 UUPA benar-benar terlaksana.4
Dengan pelaksanaan pasal-pasal UUPA tersebut di atas berarti pula
penguasaan tanah secara konsisten menyokong tercapainya pembangunan yang
berkemakmuran dan berkeadilan. Karena dengan adanya penguasaan tanah dalam
konteks kepemilikan yang tertib dan pasti dengan sendirinya tercapai penguasaan
tanah dalam konteks pemanfaatan. Terutama bila hal ini dititikberatkan pada proses
pertanggungjawaban. Tercapainya kedua bentuk penguasaan sedemikianlah yang
dimaksud menjadi bagian penting dari tujuan UUPA dalam rangka pencapaian
pembangunan tersebut.
Untuk itu masalah penguasaan tanah membutuhkan penanganan yang amat
serius, yang harus dikendalikan dan diawasi secara efektif demi tercapai tujuan
tersebut, karena sampai pada masa sekarang konflik penguasaan tanah masih terus
4 Pasal 6 UUPA berbunyi : semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Pasal 7
berlangsung, seperti halnya konflik kepemilikan di areal tanah garapan
masyarakat.
Penggarapan tanah oleh masyarakat di Indonesia diawali dengan penggarapan
tanah areal perkebunan yang sejak Perang Dunia ke II sudah terjadi, sebagai akibat
dari pada usaha pemerintah bala tentara Jepang untuk menambah hasil bahan pangan.
Kemudian keadaan tersebut juga diakibatkan dari perjuangan kemerdekaan yang
antara lain karena adanya blokade musuh yang telah menimbulkan keadaan darurat
dalam hal persediaan bahan pangan, menyebabkan banyak sekali rakyat yang
memakai tanah-tanah perkebunan. Dengan demikian sejak saat itu penggarapan atas
tanah khususnya areal perkebunan semakin berkembang.
Pada awal tahun 1948, pada masa pendudukan Belanda dikeluarkan
“ordonantie onrechtsmatige occupatie van gorden” (Stb. 1948 -110). Penerbitan
ordonantie ini dimaksudkan agar penggarap-penggarap tanah perkebunan dapat
segera meninggalkan tanah garapannya, setidaknya membatasi rakyat mengadakan
penggarapan baru. Namun, demikian menurut kenyataan kegiatan-kegiatan
penggarapan di atas tanah justru terus berkembang.
Kondisi tersebut semakin diperparah saat terjadinya kerawanan pangan
sebagai dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak awal tahun 1997. Era
reformasi yang bergulir menjadi momentum perjuangan rakyat untuk menguasai
areal-areal perkebunan terutama areal yang sedang kosong dan tidak ditanami oleh
pihak perkebunan, karena sedang penanaman kembali (replanting). Hal tersebut dapat
Muliyorejo, Desa Paya Bakung, Desa Helvetia, Desa Tunggu Rono dan Desa
Kelambir V. Keadaan itu ditambah lagi dengan adanya kebijakan Pemerintah untuk
memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami masyarakat dengan tanaman
palawija dan telah diartikan salah oleh masyarakat dengan memperluas lahan
garapannya serta menganggap kebijakan tersebut sebagai legalisasi untuk menguasai
areal perkebunan.5
Selain faktor yang dikemukakan di atas, ternyata permasalahan penguasaan
rakyat atas areal perkebunan semakin diperparah dengan adanya penerbitan
surat-surat kepemilikan atas tanah oleh aparat pemerintah di daerah kepada masyarakat.
Padahal areal perkebunan tersebut secara nyata dan sah dikuasai oleh perusahaan
dengan Hak Guna Usaha. Kecuali Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan
oleh Kepala Desa dan Camat setempat di atas areal tersebut juga kadang-kadang ada
yang diterbitkan sertifikat Hak Milik atas nama masyarakat.
Selanjutnya menurut Noer Fauzi, sengketa agraria yang terjadi pada masa
orde baru dapat dibedakan menjadi empat kategori:Pertama, perusahaan perkebunan
mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Investasi
perkebunan membutuhkan tanah sebagai modal utamanya. Fakta menunjukkan bahwa
tanah-tanah di Jawa, kecuali lahan hutan, hampir tidak ada lahan kosong yang
terlantar. Tanah-tanah eks perkebunan Belanda (hak erpacht) maupun tanah-tanah
negara tidak ada yang tersisa. Masalah-masalah utama yang muncul, antara lain
5Dayat Limbong, Konflik Pertanahan di Areal Perkebunan, Pustaka Bangsa Press,
adalah; (i) penolakan petani atas pencabutan hubungannya dengan tanah; (ii) ganti
rugi untuk petani yang tidak memadai; (iii) ploretarisasi petani karena hilangnya
hubungan dengan tanah; (iv) pemukiman kembali (resetlement) petani yang tergusur
dari tanahnya.6
Kedua, konflik tanah akibat eksploitasi hutan. Pemerintah memberikan
keleluasaan kepada swasta dan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk
mengeksploitasi hutan seraya meminggirkan masyarakat sekitarnya. Atas dasar peta
hutan yang berlaku di akhir kekuasaan kolonial Belanda, pemerintah membuat
batas-batas hutan dan pemukiman dari tanah penduduk setempat. Dalam kasus sengketa
tanah berbasis hutan, masalah utama yang sering muncul adalah; (i) penolakan petani
untuk keluar dari tanah yang diklaim; (ii) kehancuran sumber daya subsistensi
masyarakat adat; (iii) penyediaan sumber ekonomi dan pemukiman alternatif yang
memadai; (iv) kemunduran kualitas ekologis di tingkat lokal hingga global.7
Ketiga, terdapat sejumlah kasus di mana pemerintah melakukan
pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk program pembangunan, baik
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pembangunan jalan
tol, pembangkit listrik, real estate, mall, tempat wisata dan lain-lain membutuhkan
lahan yang tidak sedikit. Dalam hal ini, beberapa masalah yang mengemuka adalah;
(i) penolakan penduduk untuk menyerahkan tanah garapannya; (ii) ganti rugi yang
6 Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Nasiona,
Insist Press dan KPA, Yogyakarta, 1999, hal. 199.
tidak layak dibanding dengan harga tanah di pasar umum; (iii) pemukiman kembali
penduduk (resetlement) yang tidak memadai dan alternatif usaha ekonomi.8
Keempat, sengketa tanah yang melibatkan antar warga. Meskipun jenis
sengketa yang demikian tidak berdimensi luas, namun bila pihak yang bersengketa
cukup banyak dapat menjadi persoalan tersendiri. Masalah-masalah krusial yang
mengikuti jenis sengketa ini antara lain (i) menempati lahan tanpa hak; (ii) sengketa
wakaf dan lain-lain.9
Karakteristik sengketa konflik agraria terus berubah. Apa yang terjadi
sesungguhnya bukan sekedar kelangkaan sumber daya alam saja, tetapi terutama
adalah ekspansi modal besar-besaran yang difasilitasi hukum dan kebijakan
pemerintah. Kenyataan ini membantah asumsi mazhab klasik yang mengabaikan
bagaimana modal bekerja dan merusak hubungan sosial masyarakat yang lama.10
Penyebab sengketa agraria, menurut cara pandang Adam Smitt dan Ricardo, adalah
karena kepadatan penduduk di atas tanah yang paling subur terus meningkat, dan
organisasi sosial ekonomi tidak disesuaikan dengan tuntutan peningkatan kepadatan
penduduk tadi.11
Dengan demikian, menurut Simon, faktor konflik agraria di Indonesia
disebabkan beberapa hal:12
8Ibid.,hal. 200 9Ibid.,hal. 202. 10Ibid.,hal. 2. 11
Lihat, Sumitro Djojoadikusumo,Perkembangan Pemikiran Ekonomi,Buku I, Yayasan Obor, Jakarta, 1991, hal. 40-49.
12Simon, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro, “Gejala Konflik Pertanahan di
1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal (domestik maupun internasional) dalam bentuk investasi. Sebagai bagian dari pembangunan ekonomi, pemerintah umumnya memfasilitasi kehadiran investor untuk menanamkan modalnya dengan berbagai fasilitas kemudahan dan kepastian hukum. Di sisi lain, pemerintah cenderung melupakan nasib rakyatnya yang juga membutuhkan tanah untuk kehidupannya.
2. Watak otoritarianisme pemerintah yang sering menggunakan pendekatan represif dalam menyelesaikan sengketa tanah. Umumnya pemerintah lebih melindungi kepentingan pengusaha atau investor, dari pada rakyat.
3. Berubahnya strategi dan orientasi pengembangan sumber-sumber agraria dari populis (Orde Lama) menjadi kapitalistik (Orde Baru). Pengintegrasian Indonesia sebagai bagian dan komunitas kapitalisme Internasional (pasar bebas) akan mengarah pada pemenuhan tuntutan-tuntutan Internasional seraya mengenyampingkan kepentingan masyarakat lokal. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan Land Acquisition Program (LAP) dari World Bank yang pada intinya bertujuan agar semua tanah di indonesia memiliki kejelasan hak dan kepemilikan yang kemudian akan memudahkan pemindahtanganan sehingga mempermudah terciptanya pasar tanah (land market)
Peraturan hukum mengenai pencabutan, pembebasan, atau pelepasan hak-hak
atas tanah untuk keperluan pemerintah maupun swasta dalam praktiknya belum
berjalan sesuai dengan isi dan jiwa dan ketentuan-ketentuannya sehingga pada satu
pihak timbul kesan seakan-akan hak dan kepentingan rakyat pemilik tanah tidak
mendapat perlindungan hukum. Adapun pemerintah atau pihak yang memerlukan
tanah juga mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperoleh tanah untuk
membangun proyeknya. Secara faktual pelaksanaan pencabutan, pembebasan, dan
pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut
peraturan dan paradigma hukum yang berbeda antara masyarakat dengan penguasa/
positivis yang mengabaikan kaidah-kaidah sosial lainnya dan hukum yang hidup
(living law) serta moral dalam masyarakat.13
Konflik atas tanah mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan
bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan
alam lainnya atau sekedar untuksurvive(subsistem) sebagai tempat tinggal atau tanah
pertanian. Bagi petani, nelayan, masyarakat adat atau kaum miskin kota, penguasaan,
atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup.14
Pemerintah sigap mengamankan. dan memfasilitasi kehadiran investor
dengan berbagai instrumen hukum. Sedang orang-orang miskin berjuang sendirian
baik untuk mendapat sepetak tanah maupun saat mempertahankan haknya.
Perlindungan dan keberpihakan hukum dan politik secara nyata diberikan sepenuhnya
kepada investor. Sementara rakyat kecil tidak berdaya menghadapi alat berat dan
ratusan aparat yang siapa mendukung kebijakan pemerintah.15
Setiap kali sengketa tanah, umumnya tidak bisa diakhiri dengan win-win
solution. Penggusuran, intimidasi atau bahkan pengosongan paksa menjadi ending
yang terus berulang. Korbannya selalu rakyat kecil yang memiliki puluhan meter
tanah garapan dan harus merelakan bila sewaktu-waktu diambil paksa oleh
pemerintah demi kepentingan umum.16
13Ibid.,hal. 47. 14
Abu Rohmad, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo, Press, Semarang, 2008, hal. 71.
Akibat penyelesaian penggarapan yang dilakukan oleh Pemerintah dianggap
oleh kaum penggarap tidak berpihak kepadanya, maka masalah penggarapan
berpotensi untuk menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat, yang
terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia, demikian juga halnya yang terjadi di
Provinsi Sumatera Utara.
Daerah Sumatera Utara mempunyai permasalahan sangat kompleks dalam
masalah penggarapan rakyat atas tanah, karena sebagai daerah perkebunan wilayah
ini sangat potensial menimbulkan permasalahan penguasaan atau penggarapan di atas
tanah areal perkebunan tersebut.
Konflik pertanahan yang tergolong struktural itu melibatkan kelompok
masyarakat berhadapan dengan kekuasaan Negara, baik sebagai pelaku maupun
penjamin hak dan karenanya sengketa ini atau masalah pertanahan tidak mudah
diselesaikan dan bersifat berkepanjangan.
Sifat berkepanjangan konflik pertanahan struktural ini disebabkan beberapa
faktor, yaitu:17
1. Rumusan UUPA tentang status Hak-hak Adat Masyarakat Adat Lokal yang tidak jelas, sehingga membingungkan.
2. Ketidakpedulian masyarakat terhadap substansi undang-undang, dan lebih mempersoalkan buruknya prilaku dan sistem hukum yang menjadi pedoman aturan main bernegara.
3. Perumusan Undang-Undang yang tidak jelas membuka peluang terjadinya penafsiran sesuai kebutuhan dan kemauan politik penguasa dalam menanggapi persoalan hak masyarakat adat.
17Iman Jauhari, “Permasalahan Hukum Bidang Pertanahan Di Wilayah Pemerintahan
Akar konflik pertanahan struktural yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara
sudah sangat meluas dan kasus-kasus yang sudah terjadi banyak menelan korban jiwa
dan harta benda pada kasus-kasus tanah perkebunan yang berstatus Hak Guna Usaha
(HGU),18 akibat terjadinya perlawanan masyarakat lokal terhadap pihak-pihak
pemegang hak itu karena tidak adanya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat
lokal atas tanah dan sumber alam lainnya.
Selanjutnya tulisan ini difokuskan pada salah satu kabupaten di Provinsi
Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Langkat, karena pada saat ini sedang terjadi dan
masih berlangsung konflik pertanahan antara masyarakat dengan pihak pengusaha
atau perkebunan, yaitu konflik penguasaaan tanah masyarakat Desa Gunung Tinggi,
Kecamatan Sirapit dengan PTPN II Tanjung Keliling yang berawal pada tahun 1942,
dimana masyarakat telah menguasai lahan seluas kurang lebih 98 hektar, kemudian
pada tahun 1951 lahan yang seluas 8 hektar yang merupakan pemukiman penduduk
dan lahan pertanian di rampas oleh Pihak perkebunan, lahan tersebut adalah lahan
masyarakat yang bernama Ngadinan dan kawan – kawan dengan alas hak karo
Belasting yang pada saat itu dirampas atau diserobot oleh seorang Centeng Kebun
yang bernama Kriting atas suruhan dari SAMPE TUAH BANGUN selaku Kepala
Distrik.
Kemudian pada tahun 1991 lahan kurang lebih 91,2 hektar, yang merupakan
lahan pertanian dan persawahan penduduk juga dirampas oleh pihak PTPN-II, lahan
18Dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA disebutkan: Hak Guna Usaha adalah hak untuk
tersebut adalah merupakan lahan dari beberapa warga masyarakat yang antara lain
bernama Djuaken Sembiring, Mohamad Sembiring, Bena Sinuraya dan Raja Mentu
Meliala serta beberapa warga masyarakat lain, lahan tersebut kemudian ditanami
kelapa sawit dan sebagian tanah karet oleh pihak PTPN-II Tanjung Keliling dan
dikuasainya hingga sekarang ini.
Berdasarkan konflik penguasaaan tanah dalam hal ini tanah garapan antara
masyarakat Desa Gunung Tinggi, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat dengan
PTPN II Tanjung Keliling tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul
”Analisis Yuridis Terhadap Penyelesaian Konflik Pertanahan di Areal Tanah Garapan
(Studi Kasus di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat)”.
B. Permasalahan
Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan pada masyarakat
di Kabupaten Langkat?
2. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan
Kabupaten Langkat?
3. Apakah hambatan – hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan di areal
tanah garapan Kabupaten Langkat?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan faktor penyebab timbulnya konflik pertanahan pada
masyarakat di Kabupaten Langkat.
2. Untuk menjelaskan pelaksanaan penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah
garapan Kabupaten Langkat.
3. Untuk menjelaskan hambatan – hambatan dalam penyelesaian konflik pertanahan
di areal tanah garapan Kabupaten Langkat.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis,
yaitu:
1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum
terutama hukum pertanahan.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan
pertimbangan dalam menyelenggarakan kebijakan pertanahan bagi aparat
pemerintahan yang terkait, khususnya dalam hal konflik di areal tanah garapan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah
dilakukan di perpustakaan Ilmu Magister Hukum maupun pada perpustakaan
Magister Kenotariatan di lingkungan Universitas Sumetara Utara (USU) Medan
sejauh yang diketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini.
Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan masalah perjanjian adalah
sebagai berikut :
1. Tesis atas nama, Amran Simbolon, NIM : 067011018, dengan judul “Analisis
Yuridis Tanah Oleh Masyarakat di Kecamatan Medan Timur Pada Kantor
Pertanahan Kota Medan”.
2. Tesis atas nama, Sriyono, NIM : B4B005227/Mkn Undip, dengan judul “Peran
Kantor Pertanahan dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kab. Karanganyar”.
Substansi permasalahan yang dibahas didalam kedua penelitian tersebut di
atas adalah berbeda pembahasannya dengan pembahasan dalam penelitian ini. Oleh
karena itu penelitian ini adalah asli adanya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,19 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.20 Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis.21
Setidaknya ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melihat fakta
sosial konflik agraria dan resolusinya, diantaranya: Pertama, teori konsensus (salah
satunya adalah fungsionalisme struktural) yang memandang norma dan nilai sebagai
landasan masyarakat, memusatkan perhatian kepada keteraturan sosial (tertib hukum)
19
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,
Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203.
20Ibid.,hal. 16.
berdasarkan kesepakatan diam-diam dan memandang perubahan terjadi secara lambat
dan teratur. Kedua, teori konflik memandang masyarakat berada dalam proses
perubahan yang ditandai dengan pertentangan terus menerus antar kelompok. Teori
konflik melihat tertib hukum didasarkan atas manipulasi dan kontrol dari kelompok
dominan kepada kelompok dibawahnya.22
Kedua teori ini bertentangan secara diametral, karena teori yang terakhir
dibangun untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural.
Oleh karena itu, kedua teori itu dapat dipakai sekaligus untuk melihat masyarakat.
Teori konsensus akan menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teori konflik
harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasaan yang mengikat
masyarakat bersama dihadapan tekanan itu. Dahrendorf, mengakui bahwa masyarakat
takkan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain.23
Teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan (order) dan
mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Fungsionalis menyatakan
bahwa setiap elemen masyarakat dapat berperan dalam menjaga stabilitas.
Fungsionalis cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai
dan moral.24
22Goerge Rizer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, edisi VI, Kencana,
Jakarta, 2004, hal. 116.
23
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, penyunting Ali Mandan, Rajawali, Jakarta, hal. 25.
Oleh karena itu kedua teori di atas, akan digunakan sebagai pisau analisis
dalam tesis ini, yang membahas tentang analisis yuridis terhadap penyelesaian
konflik pertanahan di areal tanah garapan (studi di Kantor Pertanahan Kabupaten
Langkat).
Menurut Parsons, persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di
dalam sistem sosial adalah internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi yang
berhasil, norma dan nilai itu ‘dimasukkan’ (intenalized) dan menjadi bagian dari
‘kesadaran” aktor.25 Dengan kata lain, agar tercapai tertib hukum di masyarakat
dibutuhkan internalisasi dan sosialisasi hukum, norma atau nilai secara
berkesinambungan dan berkeseimbangan.
Penyelesaian sengketa tanah (atau sengketa perdata pada umumnya)
dimungkinkan untuk menggunakan dua macam cara penyelesaian tersebut. Meskipun
UUPA sama sekali tidak menyebut bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa
tanah.
Ada beberapa alasan mengapa penyelesaian alternatif sengketa tanah perlu
dikedepankan:26
1. Ketidakpuasan terhadap peran pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terlalu formal, lama, mahal dan tidak berkeadilan;
2. Perlu tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang lebih flesksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang sedang bersengketa; 3. Mendorong masyarakat untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah secara
partisipatif; keempat, memperluas akses untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat.
Oleh karena tanah merupakan persoalan yang unik dan kompleks, maka
mekanisme penyelesaian sengketanya tidak hanya berdasar logika hukum semata.
Logika keadilan sosial dan kemaslahatan bersama juga perlu disejajarkan bersama
untuk memperoleh penyelesaian yang substantif. Menurut Satjipto Rahardjo, tidak
ada standar tipe penegakan hukum yang absolut, yang ada merupakan semacam
standar struktur penegakan hukum modern. Oleh karena itu, dimungkinkan
modifikasi tipe-tipe penegakan hukum menurut karakteristik bangsa tertentu.27
Meminjam logika penegakan hukum di atas, karakteristik penyelesaian sengketa
tanah yang progresif adalah melampaui batas prosedur hukum (tidak anarkis dan tetap
dalam batas-batas hukum), cerdas dan bermakna, berkeadilan sosial dan bertumpu
pada masyarakat yang otonom.28
Situasi konflik, menurut Paul Conn, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
konflik menang-kalah (zero-sum conflict) dan konflik menang-menang (non zero-sum
conflict). Meskipun Conn berbicara pada konteks politik, namun terdapat substansi
yang dapat ditarik ke dalam skala konflik hukum juga atau konflik pada umumnya.
Konflik menang-kalah adalah situasi konflik yang bersifat antagonistik, tak mungkin
diadakan kerja sama, dan hasil dari konflik hanya akan dinikmati oleh pemenang saja.
Penyelesaianzero-sum conflict akan diselesaikan lewat pengadilan dengan instrumen
utamanya hukum dan perundang-undangan (adjudikatif). Sebagaimana ungkapan
Nader, cara give a little, get a little akan digantikan dengan cara yang lebih adil
menurut bunyi kaidah hukum negara yang positivis, yaitu yang berhak (menurut
hukum yang berlaku) akan memperoleh semua obyek tuntutannya: the winner will
take all.29
Konflik yang kedua (non zero-sum conflict) adalah konflik di mana kedua
belah pihak atau lebih masih mungkin bertemu, berdialog, mengadakan
kompromi-kompromi dan saling kerjasama untuk berbagi hal yang sedang diperebutkan.
Penyelesaian yang demikian bukan berarti bila ada pihak-pihak yang tanpa dasar jelas
mengklaim hak milik orang lain, lalu sekonyong-konyong pemilik yang sah berbagi
dengan mereka karena adanya tuntutan itu. Penyelesaian yang demikian tentu bersifat
anarkis, bertentangan dengan doktrin-doktrin hukum pada umumnya dan tentu tidak
berkeadilan. Dalam penyelesain alternatif sengketa, dasar-dasar tuntutan harus tetap
berdasar hukum dan tidak asal menuntut.30
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10 disebutkan, ”alternatif
penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Ketentuan itu diperkuat dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa “sengketa atau beda
pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi di Pengadilan Negeri.” Namun, tidak ditemukan penjelasan rinci apa
yang dimaksud dengan konsultasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli, kecuali
penjelasan mengenai arbitrase.
Tidak ada bentuk yang seragam bagaimana konflik harus diselesaikan. Pada
setiap budaya masyarakat memiliki metode, cara-cara dan mekanisme tersendiri
dalam memecahkan konflik yang mereka hadapi.
Meski tidak semua konflik dapat diselesaikan secara non-litigasi, namun
pendekatan ini merupakan cara lain yang dapat dipilih oleh masyarakat yang sedang
bersengketa. Landasan berpikirnya terletak pada asumsi bahwa masyarakat lebih suka
hidup damai daripada bersengketa. Jika terpaksa bersengketa, cara-cara musyawarah
mufakat lebih didahulukan dari pada berpekara di pengadilan. Setiap masyarakat
memiliki kearifan (local wisdom) sebagai cara untuk mengatasi sengketa di antara
mereka. Cara-cara penyelesaian alternatif lebih menggunakan teknik bagaimana
meyakinkan, mendidik atau memberdayakan potensi yang dimiliki masyarakat. Oleh
karena itu, cara non-litigasi menjanjikan win-win solution, tidak ada pihak yang
merasa dikalahkan. Di samping itu, cara ini sangat dipengaruhi oleh kenyataan
adanya kekecewaan terhadap peradilan yang tidak efisien, mahal dan terlalu lama.
Banyak perkara yang menumpuk di pengadilan karena terbatasnya sumber daya
Menurut Mas Ahmad Santoso, tipologi penanganan konflik menjadi beberapa
kategori, yaitu:31
1. Penghindaran konflik (conflictavoidance) yaitu jika pihak-pihak yang berkonflik berusaha saling menghindar untuk berinteraksi dalam mencari solusi penyelesaian;
2. Pencegahan konflik (conflict prevention) yakni upaya yang dilakukan untuk mencegah konflik sebelum terjadinya kondisi yang negatif dan destruktif; 3. Pengelolaan konflik (conflict management) adalah upaya untuk menangani
konflik dengan memfokuskan pada penanggulangan dampak negatif sebagai akibat dan konflik tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan konflik memfokuskan pada causa bella (dampak yang muncul) dan bukan causa prima(penyebab terjadinya konflik);
4. Resolusi konflik (conflict resolution) adalah upaya menyelesaikan konflik baik secara langsung (negosiasi) maupun melalui mediasi secara komprehensif. Dengan kata lain, kesepakatan yang dibangun bukan hanya berkaitan dengan dampak yang muncul tetapi juga berkaitan dengan sumber permasalahannya;
5. Penyelesaian konflik (conflict settlement) adalah upaya penyelesaian konflik yang memfokuskan pada hasil. Namun demikian hasil dimaksud belum tentu memenuhi kepentingan para pihak, tetapi diterima sebagai kesepakatan karena adanya tekanan dengan menggunakanpower;
6. Rekonsiliasi yakni upaya mencari solusi terhadap akar permasalahan dan berusaha memperbaiki hubungan diantara para pihak ke arah yang lebih baik.
Konflik pada dasarnya tidak mungkin dihindari dalam masyarakat yang
kompleks karena masing-masing harus berjuang untuk tetap hidup (survival of the
fittest). Oleh karena itu, diperlukan katub penyelamat (safety value) sebagai
mekanisme khusus yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik, membiarkan
luapan permusuhan tersalur tanpa mengancurkan seluruh struktur, atau agar tidak
terjadi konflikzero sum game di mana keuntungan salah satu pihak berarti kerugian
bagi pihak lain.32
31Mas Ahmad Santoso, Kumpulan Bahan tentang Arbitrase, Dispute Resolution, ICEL,
Yakarta, 2000, hal. 20.
Hukum dan peradilan dapat menjadi katub pengaman bagi pihak-pihak yang
sedang berkonflik. Begitu pula dengan cara-cara alternatif penyelesaian konflik dapat
memainkan peran sebagai lembaga yang otonom. Pola penyelesaian konflik melalui
pengadilan masih menjadi paradigma dominan masyarakat, tetapi pola non
pengadilan diharapkan semakin membesar perannya di masa datang kelak.
Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan seuruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. Pembangunan yang demikian mengandung pengertian tidak hanya
berusaha mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah, melainkan mengejar
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya.
Salah satu segi pembangunan nasional adalah berkaitan dengan kebijaksanaan
pertanahan. Masalah pertanahan adalah masalah yang terkait langsung dengan rakyat.
Sebab tanah merupakan kebutuhan dasar masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena
itu, diperlukan penanganan serta pengaturan yang ekstra hati-hati dan seksama.
Untuk mengarahkan kebijaksanaan pertanahan itu, pada tanggal 24 September
1960 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA).33 Pelaksanaan UUPA ini mempunyai arti ideologis
yang sangat penting. Sebab, undang-undang ini merupakan penjabaran langsung dari
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai basis atau landasan kekuatan demokrasi
ekonomi yang sedang dikembangkan dalam rangka menciptakan kemakmuran rakyat.
Untuk merealisasikan cita-cita sebelumnya, dapat melalui prinsip-prinsip
yang menjadi keinginan politik dari UUPA ketika diundangkan pada tahun 1960.
Prinsip-prinsip itu ialah kesatuan hukum agraria, penghapusan pernyataan dokumen
negara, fungsi sosial hak atas tanah, pengakuan hukum agraria nasional berdasarkan
hukum adat dan pengakuan hak ulayat, persamaan derajat warga Indonesia,
pelaksanaan performa hubungan antara manusia Indonesia di tanah atau bumi air dan
ruang angkasa, rencana umum penggunaan persediaan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa, prinsip rasionalitas.34
Semua itu bermuara dari demokrasi Pancasila, yang ingin mewujudkan
cita-cita negara hukum yang berkesejahteraan dan berkeadilan dengan dilandasi 3 (tiga)
aspek penting, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek politik. Hal ini didasari,
bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia merupakan insan
sosial, insan ekonomi, dan insan politik dalam kaitan itu persoalan tanah juga dilihat
dari tiga aspek tersebut.35
Dengan demikian, melaksanakan UUPA secara murni dan konsekuen berarti
melaksanakan salah satu kebijaksanaan terpenting dalam demokrasi ekonomi. Sebab,
hal tersebut merupakan aktualisasi dari salah satu segi penting dari demokrasi
Pancasila.
Sudargo Gautama, mengemukakan:
34A.P. Parlindungan, Dimensi Kerakyatan dalam UUPA Peraturan Pelaksanaan dan Pelaksanaannya Persoalan dan Rekomendasi Kebijaksanaan Tata Ruang Nasional dan Aspek Pertanahan dalam Perspektif Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta, cet. I, 1996, hal. 186-187.
UUPA dimaksudkan oleh pembuatnya untuk membawa lebih banyak kepastian-kepastian hukum. Hal ini telah ditegaskan berulang-ulang. Antara lain dapat disaksikan pertimbangan dalam konsiderans yang mengemukakan bahwa hukum agraria penjajahan bagi rakyat asli “tidak menjamin kepastian hukum”. Kata-kata ini diulangi lagi dengan lengkap dalam Memori Penjelasan.36
Hak-hak atas tanah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna
Bangunan (HGB) dan Hak Pakai yang ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam
UUPA serta hak-hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak
penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk
memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi
atau usahanya. Hak-hak atas tanah itu pokok-pokok ketentuannya ada dalam Pasal 4,
9, 16 dan BAB II UUPA.37
Dengan diberikannya hak atas tanah tersebut, maka antara orang atau badan
hukum itu telah terjalin suatu hubungan hukum. Dengan adanya hubungan hukum itu,
dapatlah dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah
kepada pihak lain. Untuk hal-hal tersebut umpamanya dapat melakukan perbuatan
hukum berupa jual beli, tukar menukar dan lain-lain.38
Yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah, dengan
kata lain yang dapat mempunyai hak atas tanah secara penuh dan luas (semua macam
hak) adalah Warga Negara Indonesia (WNI), baik laki-laki maupun perempuan, yakni
36Sudargo Gautama,Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,Bandung: Alumni, 1989,
hal. 13.
37
Boedi Harsono,Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,Jakarta: Universitas Trisakti, 2002, hal. 41.
untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
Sedangkan yang bukan WNI atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia sangat dibatasi sekali, hanyalah hak pakai dan hak sewa saja. Mengenai
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia dapat mempunyai semua macam hak atas tanah kecuali hak milik terbatas
pada badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan
perundangan saja.39
Mengenai lahirnya hak atas tanah, dimulai karena adanya hubungan dan
kedudukan orang dalam persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat (rechts
gemeenschappen). Artinya, orang yang bukan warga persekutuan tidak berhak
menjadi pemilik tanah atau melakukan hubungan hukum melepaskan hak tanah atau
menyerahkan tanah kepada orang asing. Orang asing atau mereka yang bukan
anggota warga persekutuan, hanya berhak mendapatkan hak mengolah tanah dan
menikmati hasil tanah persekutuan hukum, sesuai dengan ketentuan hukum adat
setempat.40
Anggota warga persekutuan hukum yang ingin memiliki tanah dengan hak
milik, terlebih dahulu memilih dan menetapkan bidang tanah yang akan diduduki dan
dikuasainya. Hak untuk memilih dan menetapkan pilihan bidang tanah dan pemberian
tanda-tanda larangan untuk dikuasai itu disebut “hak wenang pilih”. Hak ini adalah
39Ibid,hal. 17. 40
bukti awal pendudukan yang sama dengan occupare pada sistem hukum Romawi
atau bezit pada hukum civil Belanda. Dari hak wenang pilih ini orang harus
menunjukkan penguasaan nyata berupa pemberian tanda-tanda batas setelah tanah
dibersihkan menjadi lahan siap pakai. Pemberian tanda-tanda batas bidang tanah ini
menyebabkan orang tersebut mendapatkan pengakuan masyarakat dengan hak yang
lebih kuat lagi yaitu “hak terdahulu” (voorkeursrecht).41
Kemudian setelah tanah ditanami dan dibangun rumah tempat tinggal, maka
ia memperoleh “hak menikmati” (genoorsrecht). Hak menikmati ini sama dengan
“jus ad rem” pada hukum Romawi yaitu merupakan “hak mempunyai” yang
peralihan haknya tidak harus dilakukan dengan tata cara “mancipatie”. Setelah tanah
ditanami atau didiami cukup lama maka lahir “hak pakai” (gebruiksrecht). Hak pakai
inilah yang merupakan dasar bagi pertumbuhan menjadi hak milik. Maka hak pakai
adat ini dapat disamakan dengan “jus in re” dengan hak mempunyai yang sudah
berakibat hukum yang dalam sistem hukum Romawi disebut “jus possidendi”.42
Kemudian setelah tanah diwariskan kepada keturunannya, maka lahir hak
yang terkuat dan terpenuh yang disebut “milik” atau “hak milik”. Hak milik inilah
yang dapat disamakan dengan “dominium eminens”atau “domain” pada teori sistem
hukum Romawi. Hak milik ini disebut juga “hak milik adat”, yang dalam
kepustakaan hukum Adat disebut individuelle bezitsrecht. Disebut demikian karena
sistem hukum Hindia Belanda tidak mengakui keberadaan “hak milik adat”, sehingga
41Ibid.,hal. 17.
42Sopomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Jambatan, Jakarta,1982, dalam Herman
pemerintah Hindia Belanda pun tidak mengakuinya sebagai hak yang sama
kedudukan hukumnya denganeigendom.43
Konsep penguasaan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakan
milik komunal atau persekutuan hukum (beschikings recht). Setiap anggota
persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu
dan jika mereka mengerjakan secara terus menerus, maka tanah tersebut menjadi hak
milik secara individual.44
Seseorang akan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia
sudah membuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau mengubahnya dari
kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang.45 Selama dia masih mengerjakan
tanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanan
diberikan pada hasil produksi dan tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia tidak
lagi menggarapnya. Konsep penguasaan tanah menurut hukum adat dikenal dengan
istilah hak ulayat.46
Hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat merupakan hak pakai tanah oleh
individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik bersama seluruh anggota
masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisa mengalihkan atau melepaskan
haknya atas tanah yang dibuka ini kepada anggota dari masyarakat lain atau
43Ibid.,hal. 18.
44Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatra Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hal. 4
45
Ter Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, Prajnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 91.
pendatang dari luar masyarakat tersebut, kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang
disepakati bersama semua anggota komunal tersebut.47
Kenyataan kepemilikan komunal yang demikian ini, berakibat bahwa
pendaftaran tanah tidak menjadi bahagian penting dari padanya. Apalagi memang
saat itu kebutuhan tanah bagi perkembangan manusia masih tetap terpenuhi. Tetapi
dengan kenyataan yang berkembang di belahan dunia atau bahkan tidak terkecuali di
wilayah negara ini, kepemilikan tanah bersama terus menjadi kepemilikan yang
individual. Maka untuk menjaga keharmonisan atas kepemilikan yang makin lama
menjadi kecil luas dan penguasaannya ini.
Dengan kata lain akibat terindividualisasinya tanah-tanah di tengah
masyarakat maka pendaftaran tanah ini semakin menjadi tuntutan demi menjaga
kepemilikan rakyat tadi. Sekalipun memang diakui bahwa pendaftaran tanah tidak
menjadi ciri dalam kepemilikan bersama namun karena secara alamiah kepemilikan
bersama yang semakin runtuh, tuntutan mendaftarkan tanah ini menjadi hak atas
tanah yang dilindungi tentunya tidak lagi dapat dielakkan bahwa pendaftaran tanah
sudah menjadi keharusan. Sebab sebagai hak individu yang sifatnya keperdataan
diakui sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan dan konsekuensinya pada si
pemilik harus terjamin atas hak dan fungsinya.48
47Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Ada, Gunung Agung,
Jakarta, 1984, hal. 201-202.
48Muhammad Yamin, “Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas
Dari teori lahirnya hak kepemilikan tanah seperti diuraikan di atas, terbukti
bahwa semua sistem hukum menjadi kedudukan hukum para warganya sebagai
pemilik tanah. Hukum pertanahan Adat Indonesia pun menjamin kedudukan
warganya sebagai pemilik tanah. Kedudukan sebagai pemilik tanah itu, oleh warga
negara atau warga persekutuan masyarakat hukum adat, adalah pertama-tama
merupakan hak kepemilikan de facto yaitu hak milik yang diperoleh karena
kedudukan sebagai warga negara atau warga persekutuan masyarakat hukum. Hakde
facto itu, setelah diputuskan pengakuannya oleh negara/pemerintah, maka lahirlah
hak kepemilikan de jure. Artinya hak kepemilikan de jure adalah hak yang sudah
dilindungi negara dan diatur oleh hukum harta kekayaan, sehingga penyerahan tanah
atau peralihan haknya harus memenuhi tata cara khusus menurut ajaran hukum dan
sesuai ketetapan undang-undang. Ajaran hukum itulah yang disebut ajaran lamanya
waktu atau verjaring dengan ajaran penyerahan benda tetap yang disebut
levering.49
Kemudian berdasarkan UUD 1945 karena kedudukan hukumnya sebagai
warga negara Indonesia (WNI) secara otomatis menjadi pemilik tanah de facto.
Ketentuan umum kewarganegaraan yang diatur UUD 1945 itu kemudian dipertegas
tujuan penggunaan tanahnya dalam Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa tanah
harus ditujukan bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 9 ayat (1) UUPA, menyatakan:
(1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
(2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pasal 9 ayat (1) UUPA tersebut menegaskan bahwa WNI adalah pemilik
tanah, karena hanya WNI-lah yang berhak mempunyai hak yang terkuat dan terpenuh
atas tanah. Jadi baik UUD 1945 maupun UUPA, menetapkan bahwa WNI adalah
pemilik tanah de facto atas tanah dalam wilayah negara RI. Hak milik de facto itu
baru berubah menjadi hak milikde jure, setelah orang (WNI) tertentu menguasai dan
mempunyai tanah dan haknya didaftarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, maka WNI yang semula merupakan pemilik tanahde facto, berubah
menjadi pemilik tanahde jureyang dilindungi hukum Negara.50
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut denganoperational definition.51Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah yang dipakai.52 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa
50Ibid.,hal. 19-20.
51Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.
konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
a. Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang
yang berbatas.53
b. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan
satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya
bangunan atas bagian bangunan di atasnya.54
c. Data yuridis adalah keterangan mengenai status bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lain
yang membebaninya.55
d. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi: pengumpulan,
pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.56
e. Kantor Pertanahan adalah unit kerja badan pertanahan nasional di wilayah
kabupaten atau kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah pemeliharaan
daftar umum pendaftaran tanah.57
53
Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 54
Pasal 1 angka 6 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
55
Pasal 1 angka 7 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
f. Konflik adalah situasi atau keadaan di mana dua atau lebih pihak
memperjuangkan tujuan mereka masing-masing yang tidak dapat dipersatukan
dan dimana tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran
tujuannya masing-masing.58
g. Penggarap adalah orang yang bekerja pada sebuah lahan kebun atau sawah secara
terus menerus dan turun temurun.59
h. Ganti Kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan, tanaman
dan atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah.60
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk
teori maupun praktek pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,61 dalam hal ini
penyelesaian konflik di areal tanah garapan. Sifat penelitian ini adalah juridis
normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.62
58Ronny Hanitijo Soemitro, “Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik”, Majalah Masalah Hukum,Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1984, hal. 22.
59Dayat Limbong,Op. Cit.,hal. 23. 60
Pasal 1 angka 7 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mempergunakan
penelitian dengan menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan
dokumen-dokumen yang ada dibantu dengan data yang diperoleh di lapangan yang
berkaitan dengan objek penelitian ini
Sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa:
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan yaitu Pejabat
Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat,
b. Data Sekunder, yang terdiri dari:
1) Bahan hukum primer, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
b) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
d) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
e) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
f) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.2 Tahun 1999 tentang
g) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
h) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.
i) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1993
Tentang Uraian Tugas Sub Bagian Dan Seksi Pada Kantor Wilayah
Badan pertanahan Nasional di Propinsi Dan Uraian Tugas Sub Bagian,
Seksi Dan Urusan Serta Sub Seksi Pada Kantor Pertanahan.
j) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya
ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan
penelitian ini.
3) Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus Indonesia dan artikel-artikel
lainnya yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.
3. Alat Pengumpulan Data
Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka
dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran