• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketentuan Hukum Baru Terhadap Perlindungan Anak Pasca Lahirnya UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

PERUBAHAN ATAS UU PERLINDUNGAN ANAK A.Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pedophilia

C. Ketentuan Hukum Baru Terhadap Perlindungan Anak Pasca Lahirnya UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Perlindungan Anak

72

mempengaruhi keadaan jiwa serta perilaku anak disaat anak tumbuh menjadi dewasa.

Kejahatan seksual terhadap anak merupakan salah satu kejahatan terhadap anak yang menjadi perhatian publik yang akhir-akhir ini banyak terjadi di sekeliling kita, bahkan terkadang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan sang anak yang selama ini kita tidak pernah sangka-sangka, seperti kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya (baik ayah kandung maupun ayah angkat), bahkan pada tahun 2014 ada kasus yang menggemparkan dunia pendidikan yakni adanya kejahatan seksual yang terjadi disalah satu sekolah yang konon kabarnya "bertaraf internasional" yang "diduga" dilakukan oleh oknum pendidik, serta masih banyak kasus kejahatan seksual lainnya yang terjadi diberbagai pelosok nusantara.73

Pelaku kejahatan seksual pada tahun 1996 yang terjadi di Jakarta yang dilakukan oleh Robot Gedek yang menyodomi 8 (delapan) orang anak dan selanjutnya membunuh anak-anak tersebut dan dari pengakuannya Robot Gedek mengaku puas dan merasa tak bersalah dan tidak takut masuk penjara apalagi Tindak pidana pedophilia awalnya dianggap tabu dan menjadi aib yang luar biasa, namun seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi,pedophilia sudah dianggap sesuatu hal yang tidak tabu lagi. Bahkan pelaku tindak pidana pedophilia, adalah pelaku-pelaku yang mempunyai trauma masa lalu.

73

PN Palopo, “Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak” Op.cit., (diakses 5 Maret 2016, pukul 2:43 WIB)

dosa. Semua itu dilakukan demi kepuasaan seksnya dan pelaku mengaku pusing kepala apabila dalam sebulan tidak melakukan perbuatan tersebut.74

“Robot telah hidup di jalanan semenjak dia umur empat tahun. Selama hidup di jalanan itulah dia berhadapan dengan kekerasan. Sewaktu usianya masih belia Robot Gedek seringkali menerima cacian, penghinaan, pukulan, tendangan dari orang tuanya dan dari orang dewasa lain yang berada di sekitarnya. Selain sering mendapat serangan fisik, pada masa kecilnya, Robot Gedek juga sering mendapat serangan seksual dari orang dewasa, diperkosa dan disodomi secara brutal.”75

Kasus lain yang tidak kalah hebohnya terjadi pada tahun 2014 dimana jumlah korban pedophiliadengan pelaku Andri Sobari alias Emon (24 tahun), telah mencapai 110 anak. Robot Gedek dan Emon mempunyai trauma masa lalu dalam hal pelecehan seksual. Keduanya menjadi korban tindak pidana pedophilia pada masa lalunya, yang mengakibatkan terbentuk dalam alam bawah sadar suatu sindrom libido yang menempatkan orang dewasa selain pemilik cinta dan kasih sayang, juga sebagai pemilik kekuasaan. Kekuasaan itulah yang dipahami oleh Emon dan Robot Gedek sebagai representasi kasih sayang seksual terhadap anak.76

Maraknya kasus-kasus kejahatan seksual tersebut menjadi perhatian publik, sehingga publik pun mendesak agar hukuman bagi pelaku kejahatan seksual khususnya tindak pidana pedophilia lebih diperberat dan ketentuan minimalnya dinaikkan.

74

Anonim, “Kasus Sodomi Robot Gedek.” Diterbitkan pada tahun 2009:

7:48 WIB) 75

Abdi Husairi Nasution, “Seks Yang Aneh.” Diterbitkan pada tahun 2010:

pukul 9:35 WIB) 76

Undang-undang Perlindungan Anak yang lama (UU No. 23 Tahun 2002) menetapkan ancaman pelaku tindak pidana pedophilia hanya diancam dengan pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Perlindungan Anak diubah dengan ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal sebanyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Yang lebih khusus dalam undang undang ini adalah jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Perlindungan Anak, yaitu:

“(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Pasal 76E UU Perlindungan Anak 2014, yang berbunyi sebagai berikut:

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

Pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak khususnya tindak pidana pedophilia dalam UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Perlindungan Anak bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Setiap orang memiliki hak yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh masyarakat, pemerintah dan negara. Demikian halnya dengan seorang anak, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.4

Kejahatan merupakan manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari beberapa segi antara lain; pathokogis yakni dengan mengadakan pendekatan secara penelitian atas simtom-simtom klinis tertentu pada pelaku dengan kemungkinan adanya sejenis penyakit jiwa atau kepribadian yang kacau; statistik yakni dengan mengadakan pendekatan secara grafis dan matematis mengenai masalah siapa yang disebut normal atau abnormal; dan dari segi kultural budaya, yakni dengan mengadakanpendekatan secara Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa, yang kelak akan menjadi generasi penerusbangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawabtersebut, maka sudah selayaknya anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial serta berhak mendapatkan perlindungan dalam segala hal, termasuk dari segala bentuk kejahatan.

4

lingkungan, sosial/atau kemasyarakatan dalam konteks yang berhubungan dengan lingkungan kebudayaan atau tempat tinggal seseorang.5

Pedophilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (usia 16 tahun keatas) ditandai dengan suatu daya tarikseksual terhadap anak-anak dibawah umur 13 tahun untuk memenuhi hasrat seksualnya.

Seiring dengan perkembangan jaman, jenis-jenis kejahatan terhadap anak semakin berkembang. Anak-anak seringkali menjadi korban dari perlakuan meyimpang yang dilakukan oleh orang dewasa. Peyimpangan perilaku yang biasanya dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak diantaranya adalah perdagangan, eksploitasi, dan bahkan kejahatan seksual.

Kejahatan seksual merupakan perilaku seksual menyimpang yang merugikan korban serta meresahkan masyarakat dan selalu saja berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Pelaku kejahatan seksual tidak lagi memandang siapa saja untuk menjadi korban, baik itu tua-muda atau bahkan anak-anak sekalipun untuk memenuhi hasrat seksualnya. Orang dewasa yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak-anak disebut dengan pedophilia.

6

Pelakupedophilia biasanya adalah laki-laki. Para pelakupedophilia tidak hanya mengincar anak-anak yang berbeda jenis kelamin dengannya untuk dijadikan korban (istilah biologis: heteroseksual)melainkan juga biasanya korban

5

Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, hlm. 32.

adalah anak yang berjenis kelamin sama dengan pelaku (istilah biologis: homoseksual).

Umumnya penderita pedophilia adalah orang yang takut gagal dalam berhubungan secara normal terutama meyangkut seks dengan wanita yang berpengalaman, sehingga ia mengalihkan pada anak-anak karena kepolosan anak tidak mengancam harga dirinya.7

Kekerasan jarang menjadi bagian dalam kejahatan seksual pedophilia, tetapi tidak benar apabila berasumsi bahwa pencabulan terhadap anak tersebut terjadi tanpa adanya paksaan atau ancaman. Para pedofil (sebutan untuk seorang pelakupedophilia) tidak melukai korbannya secara fisik, beberapa diantaranya sengaja menakut-nakuti korban dengan, misalnya, membunuh hewan peliharaan korban dan mengancam akan lebih menyakitinya jika korban melapor kepada orang tuanya. Pedofil biasanya senang membelai rambut korban, memain-mainkan alat kelamin korban, mendorong korban untuk memain-memain-mainkan alat kelamin pelaku dan tidak jarang juga seorang pedofil mencoba memasukkan alat kelaminnya ke alat kelamin korban. Pencabulan tersebut dapat terus berlangsung selama beberapa minggu, bulan atau tahun jika tidak diketahui oleh orang dewasa lain atau jika si anak (korban) tidak memprotesnya.8

Perbuatan cabul yang dialami seorang anak secara terus menerus, akan memberikan dampak yang buruk bagi perkembangan fisik maupun psikis anak, serta tidak menutup kemungkinan anak korban pedofil juga akan menjadi seorang

7

Tristiadi Ardi Ardani, Psikologi Abnormal, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm. 166. 8

Gerald C.Davison, dkk,Psikologi Abnormal, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 624.

pedofil di masa yang akan datang, sebab di tangan orang dewasa ini, anak-anak telah dirampok, dirampas, atau dijarah harkat martabat kemanusiaannya, atau diperlakukan tidak layak khususnya secara seksiologis.

Lambroso mengemukakan jenis penjahat itu ada penjahat kelahiran; penjahat karena hawa nafsu yakni orang-orang yang karena sifatnya bernafsu melaksanakan kemauan seenaknya saja; dan bentuk campuran antara penjahat kelahiran/bakat ditambah dengan kesempatan, dan penjahat yang melakukan kejahatan disebabkan karena keadaan yang kurang sempurna.9

Menurut teori psikologi, yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat adalah bahwa kejahatan terjadi melalui studi proses mental dalam hal ini penyakit kejiwaan, kehancuran dari pusat/kegugupan, neurasthenia ketidakmampuan (inadequete) seluruh kemampuan mental.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Lombroso tersebut, pelaku pedophilia merupakan penjahat yang melakukan perbuatannya akibat mengalami gangguan psikologis atau kejiwaan sehingga dapat melakukan perbuatan abnormal karena hawa nafsu dan keadaan yang kurang sempurna.

10

Kejahatan ditinjau dari segi psikologis jelas menitik beratkan, sejauh manakah pengaruh kejiwaan yang dapat menimbulkan tingkah keabnormalan individu dalam tingkah lakunya yang dapat digolongkan perbuatan jahat sesuai dengan penyimpangan terhadap norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.11

9

Chainur Arrasjid, Op.cit., hlm. 35. 10

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 44. 11

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia tidak ada yang menyebutkan secara khusus tindak pidana pedophilia, hanya saja peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 82 telah menjelaskan hukuman yang akan dijatuhkan bagi pelaku penyimpangan seksual yang menjadikan anak-anak sebagai korbannya, yang berbunyi sebagai berikut:12

Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar Peraturan Perundang-Undangan sektoral terkait dengan definisi anak, di sisi lain maraknya kejahatan terhadap anak ditengah-tengah masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual yang saat ini banyak dilakukan oleh orang dewasa terdekat sang anak. Berdasarkan paradigma tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang saat ini sudah berlaku kurang lebih 12 tahun akhirnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, ataumembujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling sedikit 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000 (enam puluh juta rupiah)”

Sehingga dapat dinilai bahwa pemerintah telah melakukan upaya untuk memberikan perlindungan serta payung hukum agar kehidupan seorang anak bisa berjalan dengan normal.

12

23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.13

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pembahasan mengenai kejahatan seksual terhadap anak khususnya pedophiliaadalah penting, mengingat anak merupakan generasi penerus suatu negara di masa yang akan datang. Keadaan negara dimasa yang akan datang sangat bergantung kepada kondisi anak di masa kini. Pembahasan mengenai Tindak Pidana pedophiliayang ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dikaitkan dengan Psikologi Kriminal, diharapkan dapat memberikan pemahaman

Menurut tinjauan psikologi kriminal, hal tersebut perlu dilakukan guna mengantisipasi anak sebagai korban pedophilia dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan seksual terhadap anak (pedophilia) diperiksa di persidangan, ternyata sang pelaku dulunya juga pernah mengalami kejahatan pedophilia sewaktu pelaku masih berusia anak, sehingga pelaku memiliki trauma masa lalu dalam hal kejahatan seksual sehingga terdapat gangguan psikis dalam dirinya yakni memiliki hasrat seksual terhadap anak-anak yang kemudian mendorongnya untuk melakukan tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak (pedophilia).

13

PN Palopo, “Paradigma Baru Hukum Perlindungan Anak”

anak.%2020%20Agustus%202015 (diakses 30 Januari 2016, Pukul 17.47 WIB).

mengenaibetapa pentingnya perlindungan terhadap seorang anak dan meningkatkan kesadaran akan penyebab dan dampak daripada tindak pidana pedophilia kepada semua elemen masyarakat, pemerintah, serta penegak hukum agar Tindak Pidana Kejahatan Seksual Terhadap Anak khususnya pedophiliayang sudah marak terjadi, tidak menjadi bumerang bagi keberlangsungan hidup masyarakat, pemerintah dan negara di masa yang akan datang.