• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN ATAS UU PERLINDUNGAN ANAK A.Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pedophilia

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana berasal dari istilah strafbaar feit yang ditemukandi dalam Hukum Pidana Belanda yang diterjemahkan oleh beberapa ahli hukum Indonesia ke dalam bahasa Indonesia. Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam menerjemahkan KUHP dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia menerjemahkan istilah strafbaar feit ini sebagai tindak pidana.14

Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti UU No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan peraturan perundang-undangan lainnya.15

14Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 55.

15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana : Edisi Kedua, USU Press, Medan, 2013, hlm.73

Sedangkan ahli hukum yang biasa menggunakan istilah Tindak Pidana ini, antara lain Prof. Dr. Wirjono

Prodjodikoro, S.H., sebagaimana yang tertulis dalam bukunya yang berjudul “Tinda k-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”.16 Wirjono Prodjodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.17

a. Perbuatan Pidana

Selain istilah Tindak Pidana, di dalam beberapa literatur hukum ditemukan beberapa istilah lain sebagai terjemahan dari istilah strafbaar Feit, yaitu antara lain:

18

Moeljatno memberi definisi Strafbaar Feit sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b. Peristiwa Pidana19

R. Tresna menyatakan pendapatnya bahwa, Peristiwa Pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan-peraturan lainnya.20

16Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana di Indonesia : Cetakan kedua, Eresco, Jakarta, 1974, hlm. i.

17

Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 85

18Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 54. 19

Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, PT Pradnya Pramita, Jakarta, 1983, hlm. 53.

20

R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 1959, hlm. 27

sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:21

1) Harus ada suatu perbuatan manusia;

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum;

3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;

4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam Undang-Undang.

Suatu peristiwa pidana itu dapat atau tidak dapat dipidana, ditentukan oleh pembuat undang-undang bukan ditentukan oleh pendapat umum.22

Menurut R. Tresna perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh undang-undang dijadikan sebagai peristiwa pidana, merupakan perbuatan-perbuatan yang (dapat) membahayakan kepentingan umum.23

c. Delik24

21

Ibid., hlm. 27-28. 22

J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda,Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 135.

23

R. Tresna, Op.cit., hlm. 28 24

Frans Maramis, Op.cit., hlm. 57. Disebutkan, delik berasal dari bahasa latin (kata benda): delictum, yang artinya pelanggaran, perbuatan yang salah, kejahatan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti Delik diberi pengertian sebagai berikut: “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”.25 d. Perbuatan yang dapat dihukum26

Istilah ini digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam UU No.12/Drt/1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3).27 Menurut Sudarto, perbuatan yang dapat dihukum atau disingkat perbuatan jahat yang merupakan objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk missdaadsbegrip), yang terwujud secara in-abstracto dalam peraturan-peraturan pidana.28

e. Perbuatan yang boleh dihukum29

Istilah ini digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau yang berjudul “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga dengan Schravendijk dalam bukunya yang berjudul “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia”.30

25

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001.

26

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 37. Disebutkan Undang-Undang Drt. No. 12 Tahun 1951 tentang perubahan

Ordonantie tijdelihk bezondere strafbepalingen menggunakan istilah perbuatan yang dapat dihukum tersebut.

27Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 74 28

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990, hlm. 38. 29

R. Tresna, Op.cit., hlm. 27 30

f. Pelanggaran pidana31

Pelanggaran pidana ialah perbuatan mana yang dilakukan bertentangan dengan Undang-Undang pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, dengan tidak adanya batasan yuridis tentang tindak pidana, dalam praktik selalu diartikan, bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan didalam Undang-undang.32

Pasal 1 KUHP menyebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah ada (asas legalitas). Kemudian asas legalitas inilah yang menjadi dasar dari perbuatan pidana.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui berbagai perbedaan dan persamaan pendapat para ahli mengenai terjemahan istilah strafbaar feit. Namun, pada intinya para ahli merumuskan bahwa pengertian istilah strafbaar feit ialah sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum yang bertentangan dengan undang-undang.

33

Hal ini didasarkan pada perumusan asas legalitas dalam pasal 1 KUHP yang mengandung asas “nullum delictum sine legs” dan sekaligus mengandung asas “sifat melawan hukum yang formal”.34

31

M.H. Tirtaatmidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Tiara, Jakarta, 1955, hlm. 18. 32

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 80.

33

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014, hlm. 90.

34

Menurut Konsep KUHP Baru, tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan yang melawan hukum, baik secara formal maupun secara materiil.35

1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarag dan diancam dengan pidana.

Pasal 11 konsep KUHP Baru menyebutkan:

2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum kecuali ada alasan pembenar.

Dalam penjelasan Pasal 11 Konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa hukum pidana Indonesia didasarkan pada perbuatan dan pembuat tindak pidananya (daad-dader-strafrecht) dan atas dasar inilah dibangun asas legalitas dan asas kesalahan.36

Oleh karena itu bukanlah berarti semua perbuatan yang melawan hukum yang sifatnya merugikan masyarakat dapat disebut perbuatan pidana atau tindak pidana. Melainkan dalam hal ini sesuatu perbuatan kejahatan atas pidana haruslah terlebih dahulu sudah ada aturan yang menetapkannya.37

35

Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 77. 36

Mohammad Ekaputra, Op.cit., hlm. 88 37

2. Tindak Pidana Pedophilia

Pedophilia berasal dari bahasa Yunani: paidophilia; pais (anak-anak) dan philia (cinta, persahabatan). Jadi pedophilia dapat diartikan sebagai cinta anak-anak.38 Dalam hal ini, rasa kecintaan pada anak-anak tersebut diartikan dengan rasa kecintaan orang dewasa atas hasrat seksual terhadap anak-anak dibawah umur. Istilah pedophilia diartikan sebagai suatu kelainan pada perkembangan psikoseksual seseorang dimana individu tersebut memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak-anak.39

Pedophilia adalah kelainan seks dengan melakukan seksual untuk memenuhi hasratnya dengan cara menyetubuhi (pencabulan) anak-anak dibawah umur. Hal ini dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak yang secara seksual belum matang (biasanya dibawah 13 tahun) yang mana hampir semua yang mengalami gangguan ini adalah pria.40

Dalam Penjelasan Pasal 289 KUHP menyebutkan bahwa, perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Persetubuhan termasuk dalam perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP

39

Sawitri Supardi Sadarjoen, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Refika Aditama, Jakarta, 2005, hlm. 71.

40

tidak hanya melarang memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul.41

Erich Fromm mengidentifikasikan pedophilia adalah penyakit penyimpangan seksual yang masuk dalam kategori sadisme. Fromm mengatakan, dengan perilaku sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap korbannya dan semakin korban merasa sakit ketika disodomi atau disetubuh maka semakin berkuasalah si pelaku.

Pedophilia merupakan kejahatan seksual yang bersifat khusus yang dilakukan orang dewasa terhadap anak-anak. Hal ini merupakan suatu perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang dewasa dan dapat dikatakan sebagai tindak pidana pedophilia karena telah melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan oleh Undang-Undang (melawan hukum), sebagaimana yang tertera didalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

42

Pornografi anak dianggap sebagai faktor penting yang memotivasi beberapa orang untuk melakukan pencabulan anak, namun sebuah studi yang belum lama berselang terhadap 11 orang pria pedofil mengindikasikan bahwa material semacam itu bahkan bisa tidak diperlukan.43

41Penjelasan Pasal 289 KUHPidana 42

Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2015, hlm. 44.

43

Gerald C.Davison, dkk, Op.cit.,hlm.625.

Banyak diantara pelaku tindak pidana pedophilia mengalami pelecehan seksual serupa di masa kanak-kanak. Sehingga para pedofil dinilai memiliki kematangan sosial, harga diri,

pengendalian impuls, dan keterampilan sosial yang rendah44

3. Pengertian Perlindungan Anak

,kemudian hal tersebut yang akhirnya mendorong menjadi pelaku pedophilia.

Tindak pidana pedophilia pada intinya merupakan bentuk kejahatan seksual terhadap anak dan harus dibedakan dari kejahatan nonseksual terhadap anak, meskipun kedua bentuk kejahatan terhadap anak tersebut (seksual dan nonseksual) sama-sama memberikan dampak yang buruk terhadap anak, namun kejahatan seksual terhadap anak (pedophilia) perlu ditangani serius berkaitan dengan kondisi fisik, psikis, sosial anak kedepannya.

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa, Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah membantu memberikan tafsir mengenai apa saja yang menjadi bagian hukum anak di Indonesia yang dimulai dari hak keperdataan anak di bidang pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak, juga mengatur masalah eksploitasi anak-anak dibidang ekonomi, sosial dan seksual.45

44

Ibid., Hlm. 625. 45

Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia Dilema dan Solusinya, PT. Sofmedia, Medan, 2012, Hlm.2.

Perlindungan Anak dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan mengatur juga bagaimana

penghukuman bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan pada anak-anak dan tanggung jawab orang tua, masyarakat serta negara dalam memberikan perlindungan terhadap anak.

Perlindungan Anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial melainkan perlindungan anak juga menyangkut aspek pembinaan terhadap anak sebagai generasi mudapenerus bangsa. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.46

4. Pengertian Anak

Anak adalah individu yang berada pada rentangaan usia 2 - 13 tahun. Masa 2 - 6 tahun disebut masa kanak-kanak awal dan usia 6 - 13 tahun disebut masa kanak-kanak akhir. Masa kanak-kanak akhir ini sering disebut masa sekolah karena diharapkan pada usia ini anak memperoleh pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan dimasa dewasa.47

Batas usia anak memberikan pengelompokkan usia maksimum terhadap seorang anak dapat dikatakan sebagai anak, hingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung

46

Pasal 3, Op.cit,.

47

jawab secara mandiri atas setiap perbuatan atau ditindakan hukum yang dilakukan.

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia sangat beragam menentukan batas usia seseorang disebut sebagai anak dalam beberapa pengertian anak, diantaranya adalah :

a. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin”48

b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Pasal 330 menyebutkan bahwa:

“yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.”49

c. Menurut Undang-UndangNo. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan pengertian tentang anak, disebutkan bahwa:

48

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 49

“Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”50

d. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tetang Perlindungan Anak

Dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”51

e. Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, membagi kategori batas usia anak kedalam tiga bagian yaitu, Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana dan Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana.

Dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa:

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa:

“Anak yang menjadi Korban Tidak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.” Dalam Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa:

“Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan

50Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 51

tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”52

5. Pengertian Psikologi Kriminal

Sebelum mengarah kepada pengertian Psikologi Kriminal, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian dari ilmu psikologi itu sendiri pada umumnya.

Psikologi menurut pendapat Drs. Bimo Walgito merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tentang sikap, tingkah laku atau aktivitas-aktivitas dimana tingkah laku atau aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan.53

Woodwoorth menyatakan juga bahwa Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas dari pada individu-individu di dalam hubungannya dengan lingkungan

Dengan demikian, ilmu kejiwaan atau psikologi adalah ilmu yang memepelajari perilaku manusia sekaligus memberi batasan adanya tingkah laku manusia yang normal dan abnormal berdasarkan kondisi kejiwaannya.

54

Seperti yang diketahui, masalah utama yang dikaji dalam ilmu psikologi ialah tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia itu meliputi pelajaran tentang pengamatan, perasaan dan kehendak. Psikologi Kriminal dalam hal ini juga merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku individu itu, khususnya mengenai sebab-sebab munculnya tingkah laku a-sosial yang bersifat kriminal dari dalam diri seseorang.

52

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 53

Bimo Walgito, Psikologi Umum : Cetakan Kedua, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1975, hlm. 6.

54

W.A. Bonger memberikan pengertian Psikologi Kriminal sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang kejahatan dipandang dari sudut kejiwaan. Penyelidikan mengenai jiwa dari penjahat dapat semata-mata ditujukan untuk kepribadian perseorangan (umpama jika dibutuhkan untuk memberikan keterangan pada hakim) tetapi dapat juga untuk menyusun tipologi atau golongan-golongan penjahat.55

“psikologi kriminal adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari psikologi si penjahat serta semua atau golongan yag berhubungan baik langsug maupun tidak langsung dengan perbuatan yang dilakukan dan keseluruhan akibat-akibatnya.”

Chainur Arrasjid dalam hal ini juga memberikan pendapatnya mengenai pengertian dari psikologi kriminal, sebagai berikut:

56