• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keteraturan dalam Pengambilan Keputusan

Dalam dokumen ADMINISTRASI DAN PELAYANAN PUBLIK Antara (Halaman 76-81)

Tujuan Pembelajaran

F. Keteraturan dalam Pengambilan Keputusan

Kualitas seorang pemimpin tidak saja tergantung pada berbagai ciri yang sudah disebut diatas, tetapi secara esensial ditentukan oleh kualitas keputusan yang diambil dan bukannya pada kuantitas keputusan yang dibuat. Dan substansi yang harus tampak dalam pilihan yang diambil sebagai isi dari setiap putusanadalah pada berbagai alternatif yang terjadi dan yang ada

pada human relations yang dikendalikan, diarahkan, dibina, dikembangkan

kepemimpinan adalah pengambilan keputusan dalam berbagai proses dan dengan demikian pula esensi terdalam dari administrasi adalah pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa dalam pengkajian administrasi melalui organisasi dan manajemen, tersimpul dalam konsep human relations dan

untuk selanjutnya terfokus dalam ikatan kepemimpinan yang pada akhirnya dapat membentuk kerangka konsep yang melahirkan teori administrasi. Lahirnya teori administrasi dalam kerangka demikian itu, menempatkan administrasi dalam kajian filsafat adalah sebagai studi administrasi. Esensinya adalah pengambilan keputusan terdalam (Faried Ali, 2011).

Pengambilan keputusan, sebagai substansi kepemimpinan mencakup dua hal yang urgen, yaitu bentuk dan substansi. Pertanyaan yang perlu diajukan dalam kerangka urgensinya yang pertama adalah apakah bentuknya sepihak, terpaksa atau dipaksakan, bertendensi kesepakatan, berlatar belakang menguntungkan, dan setelah pengambilan keputusan dijamin tidak berisiko tinggi.

Lebih lanjut Faried Ali (2011), mengemukakan bahwa keputusan dalam bentuknya sepihak berakibat fungsi institusi kehilangan fungsinya atau tidak berfungsi dengan baik dan tidak bermanfaat. Dalam bentuknya terpaksa atau dipaksakan, berakibat dalam kelembagaannya dimana fungsi institusi mengalami tekanan, menghambat kekompakan, karier dan prestasi terhalang, pengawasan sulit dilaksanakan dan seterusnya. Final estimasinya terjadilah ambruknya kelembagaan. Bentuknya bertendensi kesepakatan akan memungkinkan mudah teratasinya aksi dan reaksi;

1. Kekompakan mungkin terus dibina mendukung kegairahan kerja dan tumbuh penuh semangat,

2. Keputusan yang ditempuh sebagai hasil pemikiran bersama,

3. Kematangan cara berpikir menghasilkan formula-formula baru, baik bersifat memajukan maupun bersifat pengembangan institusi,

4. Gejala, sumber penyebab dari sebab-sebab timbulnya maslah yang dipikirkan sebelum dan akan terjadi dapat diidentifikasi.

5. Ke dalam lembaga, jauh sebelumnya informasi tentang pengambilan keputusan dipahami masyarakat sehingga tidak terjadi gejolak.

Berlatar belakang menguntungkan ditandai oleh (Faried Ali) :

1. Ke dalam, institusi harus berusaha lebih menguntungkan efisiensi secara keseluruhan,

2. Ke luar, fungsi institusi harus berusaha mengutamakan efektivitas karena penilaian keberhasilan institusi ditentukan oleh persepsi dari masyarakat, peningkatan kesadaran diri dalam tanggung jawab, karena sasaran pengawasan lebih tajam datangnya dari masyarakat.

Bentuknya yang dijamin tidak berisiko tinggi ditandai oleh ciri-ciri sebgai berikut (Faried Ali, 2011) :

1. Dimungkinkan, jika sebelumnya dirancang suatu kompromitas efektif (dalam lingkungan institusi, juga dengan masyarakat),

2. Resiko eksesif akan terjadi bila informasi tentang latar belakang pengambilan keputusan tidak disampaikan ke dalam lingkungan institusi dan ke masyarakat;

3. Keputusan yang diambil bersifat menaungi dan terbuka untuk dikontrol, 4. Jelas dan tegas, objektif; serta diterima oleh semua pihak.

Faried Ali (2011) Substansi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan berlandaskan pada ide-ide, konsep dan argumen yang mencakup;

1. Keyposition (kedudukan terpenting) sang pemimpin/pimpinan bukan

menumbuhkan otoriter yang melahirkan tirani,

2. Kekuasaan penuh tak dapat diganggu gugat yang melahirkan absolutisme dalam kepemimpinan bukan penentu terhadap substansi, 3. Peran pemimpin/pimpinan bukan sekadar menunggu dan menerima

laporan di belakang meja,

4. Adanya substansi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan bukan semata-mata pemimpin/pimpinan yang menentukan segala-galanya, 5. Dialektika dalam substansi kepemimpinan di dalam pengambilan

keputusan bukan berasaskan tese, sintese, antitese,

6. Substansi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan bukan merupakan pertimbangan kekuatan antara yang setuju dengan yang tidak setuju,

7. Adanya substansi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan bukan suatu fenomena bersifat tendensius dilematis,

8. Substansi kepemimpinan dalam pengambilan keputusan bukan merupakan rekonstruksi dari akibat kompetisi, dendan, ambisi pribadi, menggunakan kesempatan di dalam kesempitan.

Pemimpin dalam mengambil keputusan harus bijaksana dan bersikap adil. Menurut Syafiie (2003), bahwa dalam filsafat administrasi negara,

munculnya antara logika, etika, dan estetika dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2 Filsafat Manusia

Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa aparat pemerintah baik dari kantor bupati, apakah yang bersangkutan adalah bupati sendiri, wakil bupati, sekwilda, para asisten sekwilda, para kepala bagian, para kepala subbagian dipihak eksekutif, ataupun di pihak legislatif yang bersangkutan adalah pimpinan dewan, para ketua komisi, para ketua fraksi, ataupun anggota biasa, maka mereka perlu mendialektikakan dirinya sebagaimana gambar tersebut di atas (Syafiie, 2003).

Ketika yang bersangkutan adalah hanya ilmuwan, maka dia hanya membedakan benar atau salah saja. Kendati dia juga seharusnya seorang moralis yang dapat membedakan baik dan buruk. Bahkan sekaligus ia harus mampu menjadi seniman pemerintahan, yaitu mampu membuat surat keputusan yang berpengaruh, berpidato secara cantik, memimpin secara manis sebagaimana seniman pemerintahan yang memiliki jiwa kepamongprajaan. Inilah administrasi negara yang handal (Syafiie, 2003).

Dengan demikian, akan lahirlah yang namanya manusia unggul dalam pemerintahan yang akan datang, bukan hanya sekadar memungut pajak

dan retribusi saja. Tetapi pemerintah harus memiliki rasa betapa miskinnya rakyat saat ini, jadi bukanlah mempecundangi rakyat, demi pendapatan asli

daerah. Sekarang yang hilang dari pimpinan pemerintahan ataupun aparat

wakil rakyat adalah perasaan yang berasal dari rasa seni pemerintahan itu sendiri. Kemudian yang hilang adalah moral yang berasal dari etika pemerintahan itu sendiri. Mereka hanya berlogika tetapi tidak beretika dan tidak berestetika, artinya para pemimpin pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif hanya pintar tetapi tidak bermoral dan tidak berseni. Itulah yang disebut benar tetapi tidak baik dan tidak indah kepemimpinannya. Jadi pemerintah daerah hendaknya menggali potensinya masing-masing dalam mengisi otonomi daerah dewasa ini. Kalau perlu belajar dari daerah lain yang sudah maju atau bahkan dari negara lain bila memungkinkan, terutama potensi pariwisata yang memang sudah diciptakan Tuhan Yang Mahakuasa menarik dengan keberadaannya masng-masing (Syafiie, 2003).

70

KONSEP DAN TEORI PELAYANAN

Dalam dokumen ADMINISTRASI DAN PELAYANAN PUBLIK Antara (Halaman 76-81)