• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 PEMBAHASAN

5.2.1 Keterbatasan Penelitian

Data Primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner melalui sistem kuesioner, terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Alat ukur variabel selain menggunakan kuesioner, juga menggunakan observasi, tujuannya adalah untuk menyesuaikan dengan jawaban responden. Namun tidak memungkinkan untuk mengobservasi setiap responden yang terperinci, namun observasi secara umum.

2. Responden lebih nyaman mengisi angket dan memberikan informasi kepada peneliti setelah selesai pembelian obat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Peneliti harus dapat melihat situasi dan kondisi pada saat menggali informasi dari

responden, karena banyak responden yang emosionalnya kurang stabil.

4. Jumlah responden yang tidak bisa ditebak setiap harinya, sehingga membutuhkan waktu yang berbeda-beda untuk melengkapi data yang diinginkan.

5. Tidak ditelitinya perilaku responden terkait dengan keterjangkauan fasilitas kesehatan, lama penggunaan obat antinyeri, pendataan jumlah obat yang sedang digunakan dan dibeli jika lebih dari satu obat serta banyak pertanyaan tertutup sehingga kurang menggali informasi tambahan.

5.2.2. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah sifat atau keadaan biologis seseorang sejak lahir (KBBI, 2010). Jenis kelamin yang kita kenal ada laki-laki dan perempuan, sifat antara laki- laki dan perempuan memiliki perbedaan termasuk perbedaan dalam menerima informasi dan melakukan berbagai hal untuk kebaikan dirinya. Pada pengelompokan responden didapati bahwa responden perempuan lebih banyak memakai obat antinyeri secara swamedikasi dan datang ke apotek yaitu senilai 51,5% sedangkan laki-laki memiliki nilai 48,5%. Dari hasil ini bisa diketahui bahwa perempuan lebih peduli dengan kesehatan keluarga termasuk didalamnya tentang penanganan nyeri.

Hal ini diperkuat dengan hasil uji Chi Square (X2) yang memperlihatkan nilai p=0,02, membuktikan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan perilaku penggunaan obat antinyeri secara swamedikasi. Selain faktor itu, peneliti melakukan pembagian kuesioner saat pagi hingga sore yang memungkinkan kaum laki-laki sedang berada diluar rumah untuk bekerja. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Corin D. Syeima (2009), Habeeb dan Gearhart (1993), Worku dan Abebe (2003) yang menyatakan jenis kelamin memang berhubungan dengan perilaku swamedikasi. Alasan lain jumlah wanita yang banyak menggunakan obat antinyeri karena wanita lebih banyak menggunakan obat nyeri, hampir digunakan setiap bulannya untuk penanganan nyeri haid (Sohar Ali, et.al, 2010).

Jumlah data kependudukan di Kabupaten Rembang juga menunjukkan bahwa wanita lebih banyak proporsinya yaitu sejumlah 309.897 jiwa pada tahun 2014 sehingga memungkinkan wanita memiliki posisi terbanyak dalam menggunakan obat antinyeri di Kabupaten Rembang (BPS Kab Rembang, 2014). Pengobatan antinyeri

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menurut riskesdas tahun 2013 menunjukkan dalam bahwa nyeri banyak diderita oleh wanita daripada laki-laki (Riskesdas, 2013).

Namun, penelitian lain di Kanada juga menunjukkan bahwa lebih banyak responden laki-laki daripada perempuan yang menggunakan obat antinyeri yaitu sebesar 77% (CK Riley-Doucet, 2004).

Untuk nilai kerasionalan obat (tepat perilaku) menunjukkan bahwa responden perempuan lebih banyak melakukan pengobatan sendiri secara rasional yaitu senilai 66,0% perempuan melakukan pengobatan nyeri secara swamedikasi dan secara rasional. Selama penelitian, responden perempuan terlibat langsung dalam pengobatan anggota keluarga dibandingkan responden laki-laki sehingga hal ini mempengaruhi secara langsung atau tidak mengenai perilaku pengobatan yang rasional dan aman. Hal ini sesuai dengan Tse, et.al (1999) yang mengemukakan bahwa responden perempuan lebih banyak melakukan pengobatan sendiri secara rasional.

2. Usia

Usia adalah lama hidup responden yang dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir (Soetijaningsih, 2004). Semakin bertambahnya usia seseorang maka seseorang akan memahami dirinya sendiri dan dengan mudah menerima informasi untuk kebaikan dirinya baik dari berbagai hal dan berbagai sumber. Banyak penelitian yang mengaitkan antara karakteristik responden dengan variabel penelitian, salah satunya adalah faktor usia dengan pengetahuan dan perilaku. Hal ini untuk membuktikan bahwa dugaan bahwa umur dapat menjadi faktor dilakukannya perilaku swamedikasi secara rasional dan tepat.

Jika ditinjau dari segi usia, dapat dilihat perbedaan yang mencolok bahwa usia diatas 30 tahun lebih banyak menggunakan obat swamedikasi antinyeri yaitu sebesar 79 responden (81,4%) dan hanya 18 responden (18,6%) yang memiliki usia dibawah 30 tahun. Hal ini dikarenakan penyakit nyeri banyak diderita oleh usia diatas 30 tahun dan usia diatas 30 tahun memiliki kepedulian terhadap kesehatan dirinya atau anggota keluarganya, hal lain yang menjadi alasan adalah lebih banyaknya pengalaman responden tentang bagaimana cara penanganan nyeri pada anggota keluarga (Corin D Syeima, 2009).

Kelompok usia dibawah 30 tahun secara fisiologis juga masih memiliki badan yang sehat sehingga jarang yang mengeluhkan penyakit nyeri dan memiliki perilaku

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kurang baik dalam penanganan nyeri karena minimnya pengalaman dalam penggunaan obat-obatan.

Hal ini memberikan peluang terhadap terjadinya permasalahan yang berhubungan dengan obat (drug releated problem) yang kecil. Namun, kelompok usia diatas 30 tahun memiliki masalah secara fisiologis dan penyakit degeneratif berupa penyakit nyeri sehingga pengetahuan dan perilaku pengobatan cenderung lebih baik namun rawan menimbulkan drug releated problem juga serta mengkhawatirkan terjadinya ketidakrasionalan obat nantinya. Menurut riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi penyakit nyeri bertambah dengan seiring bertambahnya usia hingga pada usia ≥75 tahun (Riskesdas, 2013).

Hasil uji Chi Square (X2) memperlihatkan nilai p=0,046 membuktikan bahwa terdapat hubungan antara usia dengan perilaku penggunaan obat antinyeri secara swamedikasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Mubarak dkk (2007) bahwa dengan bertambahnya usia seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis (mental) taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. Selain itu, kapasitas kognitif orang dewasa tergolong masa operasional formal, bahkan kadang-kadang mencapai masa post operasi formal

dimana taraf ini menyebabkan orang dewasa mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional (Dariyo, 2003).

3. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kegiatan utama yang dilakukan responden sehari-hari untuk mendapat penghasilan. Pekerjaan yang menunjang banyaknya penggunaan obat nyeri adalah petani dan nelayan (Riskesdas, 2010).

Hasil uji Chi Square (X2) memperlihatkan nilai p=0,304 membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan perilaku penggunaan obat antinyeri secara swamedikasi. Hal ini terjadi karena pekerjaan tidak bisa dikategorikan menjadi pekerjaan tinggi atau rendah. Namun, pekerjaan memiliki hubungan dengan penghasilan dengan hasil nilai Chi Square (X2) yang memperlihatkan nilai p=0,000. Menunjukkan bahwa pekerjaan petani memiliki penghasilan yang kurang dan akan mempengaruhi petani untuk melakukan swamedikasi. Begitupun guru yang memiliki penghasilan yang sedang dan ini mempengaruhi perilaku guru dan jumlah guru yang melakukan swamedikasi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kelompok pekerjaan petani ini menduduki peringkat tertinggi yang menggunakan obat antinyeri dan ini sesuai dengan data dari Riskesdas (2013) yang menunjukkan prevalensi terbesar masyarakat yang terkena penyakit nyeri adalah masyarakat dengan pekerjaan petani. Hal ini juga dikuatkan oleh data dari BPS Kabupaten Rembang (2014) yang menunjukkan bahwa daerah terbesar di Kabupaten Rembang adalah tegalan dan persawahan yang dikelola oleh petani.

Dilihat dari berbagai macam pekerjaan, ternyata petani paling banyak melakukan swamedikasi antinyeri. Hal ini karena pekerjaan petani menduduki posisi pekerjaan tertinggi di Indonesia, yaitu data dari ILO Indonesia tahun 2014 yang menyebutkan pekerjaan bidang pertanian berada pada posisi tertinggi yaitu 39,99% (ILO Indonesia, 2014). Petani yang melakukan swamedikasi tidak hanya swamedikasi antinyeri, namun penelitian yang dilakukan di Moahudu, Gorontalo oleh Septiyani Novia (2014) menunjukkan bahwa untuk swamedikasi influenza juga diduduki oleh petani. Namun petani yang memiliki nilai perilaku yang baik dan tepat hanya delapan responden dari 21 responden yang bekerja sebagai petani.

Petani menduduki posisi pertama dibandingkan pekerjaan lain. Pekerjaan kedua yang banyak memakai swamedikasi adalah pekerjaan wiraswasta, hal ini terjadi karena usia responden dengan pekerjaan wiraswasta termasuk golongan usia diatas 30 tahun yang berisiko mengalami nyeri. Selain itu nelayan juga tidak menempati posisi tinggi, hal ini terjadi karena Apotek yang dijadikan target penelitian bukan tempat yang dekat dengan komunitas nelayan, meskipun pekerjaan disebutkan dalam riskesdas kelompok nelayan juga memiliki risiko tinggi memiliki penyakit nyeri. Selanjutnya pada guru dan PNS yang hanya sedikit melakukan swamedikasi, hal ini terjadi karena penghasilan yang diterima oleh guru atau PNS tergolong tinggi, dan jika dihubungkan dengan kebiasaan swamedikasi banyak dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (Septiyani Novia, 2014).

Tingkat pekerjaan responden ini mempengaruhi pengobatan sendiri yang aman, tepat, dan rasional. Semakin tinggi tingkat pekerjaan seseorang, semakin rasional dan berhati-hati pula dalam memilih obat untuk pengobatan sendiri. Responden yang bekerja dan sering berhubungan dengan dunia luar ini sering berinteraksi dengan rekan kerjanya dan dengan latar pendidikan yang cukup ini akan mempengaruhi pola pikir responden dan pada akhirnya mempengaruhi keputusan pengobatan sendiri yang diambil (Palilati Defriyanti, 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Pendidikan Terakhir

Pendidikan terakhir adalah pendidikan yang ditamatkan responden saat mengisi kuesioner. Dari hasil ini diketahui bahwa penggunaan obat swamedikasi antinyeri dilakukan oleh responden yang memiliki pendidikan menengah yaitu tertinggi dilakukan oleh responden dengan tamatan SLTP/MTs/Sederajat hal ini sesuai dengan penelitian Corin D. Syeima (2009) yang menunjukkan pendidikan responden rendahlah yang menjadi nilai tertinggi pengguna swamedikasi obat antinyeri. Alasan ini terjadi karena banyaknya informasi yang ada tentang obat baik di media massa berupa iklan TV, Radio, Baliho atau warung-warung yang mungkin mudah diterima oleh masyarakat yang memiliki pendidikan menengah.

Obat yang banyak digunakan dalam swamedikasi adalah jenis obat daftar obat keras. Hal ini bisa terjadi karena pasien yang membelinya adalah lulusan pendidikan SLTP dan sederajat yang kurang mendapatkan informasi mengenai obat secara kurang komprehensif. Jika dibandingkan dengan responden pendidikan tinggi yang hanya berjumlah sedikit melakukan swamedikasi, karena mereka mengetahui tentang informasi swamedikasi yang benar dan rasional.

Menurut Andersen (1975) menyatakan bahwa perbedaan kelompok pendidikan menyebabkan perbedaan penggunaan pelayanan kesehatan oleh individu yang berkaitan dengan perilaku kesehatannya. Pendidikan yang tinggi memungkinkan individu memperoleh informasi kesehatan yang akan mempengaruhi pemilihan dalam tindakan pengobatan. Hendrawan (2003) juga mengungkapkan semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin rendah angka kematian anak, karena dengan semakin tinggi pendidikan maka ia akan lebih berfikir dalam mengambil keputusan yang benar dalam pengobatan.

Hasil uji Chi Square (X2) memperlihatkan nilai p=0,047 membuktikan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan perilaku penggunaan obat antinyeri secara swamedikasi. Pendidikan sangat mempengaruhi perilaku seseorang seperti yang dinyatakan Notoadmodjo (2003) bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula intelektualnya. Seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Pendidikan memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas manusia, dimana semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin berkualitas hidupnya.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Penghasilan

Penghasilan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh responden dalam satu bulan. Penghasilan diindikasikan sebagai faktor yang mempengaruhi adanya penanganan obat secara rasional. Berdasarkan penelitian CK Riley-Doucet (2004) menunjukkan bahwa masyarakat yang menggunakan obat swamedikasi adalah masyarakat yang memiliki penghasilan rendah di Kanada yang banyak menggunakan swamedikasi yaitu sebesar 40%, sedangkan masyarakat Amerika yang banyak memanfaatkan obat swamedikasi adalah yang penghasilannya sedang yaitu sebesar 36,6%.

Dengan hasil diatas diketahui bahwa responden berpenghasilan rendah lebih menyukai pengobatan yang praktis tanpa harus datang ke dokter atau instalasi rumah sakit untuk penanganan sakit yang diderita. Selain itu kelompok berpenghasilan rendah juga merasa jika mereka atau anggota keluarga yang merasakan nyeri maka tidak dilakukan penanganan ke dokter atau instalasi rumah sakit karena biayanya lebih besar dibandingkan penggunaan obat secara bebas. Swamedikasi dapat membantu upaya penyembuhan penyakit ringan pada pasien dengan penghasilan rendah, karena biaya yang relatif murah. Selain itu praktek swamedikasi murah dan mudah sehingga hal ini menjadi alasan responden melakukan swamedikasi tanpa melihat biaya periksa ke dokter yang mahal (Woro Supadmi, 2013). Ditambahkan lagi menurut Djunarko (2011) faktor yang berhubungan dengan praktik perawatan sendiri dan swamedikasi adalah kondisi ekonomi.

Menurut Hendrawan (2003), penghasilan suatu keluarga berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Biaya pengobatan akan menjadi pertimbangan yang terpenting bagi masyarakat dengan penghasilan rendah sehingga mereka cenderung mencari pertolongan kesehatan disesuaikan dengan kemampuan keuangannya. Tingkat penghasilan ini berpengaruh pada upaya pencegahan, penanganan maupun dalam usaha meningkatkan kesehatan keluarga, termasuk swamedikasi (Hendrawan, 2003).

Hasil uji Chi Square (X2) memperlihatkan nilai p=0,228, membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penghasilan dengan perilaku penggunaan obat antinyeri secara swamedikasi. Hasil ini senada dengan penelitian yang dilakukan Sulcha Fithriya (2014) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara status ekonomi orang tua dengan pengetahuan dalam pemberian obat antibiotik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada anak secara swamedikasi. Namun, hasil ini berbeda dengan penelitian Panagakou (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara penghasilan dengan pengetahuan orangtua.

5.2.3. Perilaku Swamedikasi

Perilaku adalah hasil interaksi antara seseorang dengan lingkungan, maka dalam mempelajari perilaku maka perlu dipelajari juga hubungannya dengan lingkungan (Dr. Singgih D. Gunarsa, 2008). Lingkungan adalah segala sesuatu yang bisa merangsang seseorang sehingga menimbulkan suatu tingkah laku yang terdiri dari kumpulan respon. Lingkungan meliputi segala hal di luar diri seseorang maupun dalam diri seseorang baik bersifat fisik maupun ide yang berpengaruh dan menjadi sumber rangsangan dan bisa memunculkan suatu reaksi dan respon. (Dr. Singgih D. Gunarsa, 2008).

Hasil yang diperoleh berdasarkan pengambilan data yang diambil dari data primer berupa kuesioner menunjukkan bahwa 53 responden melakukan swamedikasi dengan tepat (54,6%) sedangkan 44 lainnya melakukan swamedikasi dengan tidak tepat.

Pengetahuan adalah kemampuan responden dalam mengetahui tentang penggunaan obat swamedikasi secara rasional. Hasil yang diperoleh berdasarkan pengambilan data melalui data primer berupa kuesioner terdapat 76 responden yang telah mengetahui istilah swamedikasi secara umum dari 97 responden yang menjadi target responden. 21 responden lainnya menyatakan belum mengetahui swamedikasi dan ini adalah kali pertama melakukan swamedikasi obat antinyeri.

Sumber pengetahuan swamedikasi yang dilakukan responden berasal dari media elektronik, yaitu iklan tv, radio, majalah, dan internet sebesar 33% dan menjadi rasio paling besar diantara sumber yang lainnya, berasal dari keluarga, tetangga, dan sahabat sebanyak 27,8%. Sedangkan informasi swamedikasi dari tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, apoteker, atau penyuluh kesehatan sebesar 13,4%, dari nenek moyang atau secara turun temurun sebanyak 4,1%. Sumber informasi tentang swamedikasi sebelumnya telah diteliti oleh U. Sushita (2012) dengan hasil sumber tertinggi berasal dari dokter, perawat, apoteker dan tenaga kesehatan lain yaitu sebesar 25,3%. Penelitian lain yang juga dilakukan di Indonesia oleh Puji Pratiwi (2014) menunjukkan nilai tertinggi sumber informasi berasal dari keluarga yaitu sebesar 37,4%. Dengan hasil ini, menunjukkan bahwa peran apoteker saat ini kalah oleh

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta media elektronik yang berisi informasi tentang obat swamedikasi, dengan alasan apoteker yang tidak berada tetap di apotek dan belum dikenalnya apoteker oleh masyarakat. Hal ini didukung dengan cara mudahnya masyarakat mengakses informasi apapun di media elektronik sehingga memudahkan masyarakat mendapatkan rujukan tentang obat termasuk tentang obat swamedikasi. Namun hal ini juga perlu dikhawatirkan karena informasi yang tersebar di media elektronik bukanlah informasi yang seluruhnya benar dan terpercaya, banyak industri obat yang menjajakan dagangan obatnya melalui media elektronik yang terkadang hanya untuk mendongkrak nilai penjualannya saja (WHO, 2000).

Perilaku lain tentang swamedikasi selanjutnya adalah tentang pertanyaan alasan dilakukannya swamedikasi, alasan sebelumnya yang banyak dilakukan masyarakat Kabupaten Rembang adalah karena pengalaman sebelumnya yang menunjukkan hasil baik menggunakan obat secara swamedikasi, nialinya sebesar 28,9% dan dilanjutkan adanya saran dari keluarga/ teman sebanyak 26,8% dan waktu yang tidak ada dari pasien untuk berobat ke dokter sebanyak 16,5% dan biaya periksa dokter yang dianggap mahal oleh masyarakat sebesar 6,2%. Penelitian yang dilakukan di UEA oleh Sulaeman Syarif (2015) menunjukkan alasan terbesar dilakukannya swamedikasi adalah penyakit yang diderita kurang serius dan sudah adanya pengetahuan tentang obat dan dosis obat yang akan digunakan, sehingga banyak masyarakat memutuskan memilih pengobatan sendiri. Saat dilihat hasil penelitian di Rembang menunjukkan bahwa pengalaman sebelumnya mendominasi nilai alasan dilakukannya swamedikasi, hal ini menjadi acuan bahwa kebiasaan swamedikasi sudah dilakukan oleh masyarakat sejak lama dan digunakan sebagai pengobatan oleh masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena swamedikasi sering dilakukan oleh kalangan petani yang sesuai dengan keadaan di Kabupaten Rembang (BPS Kab. Rembang, 2014).

Kebiasaan swamedikasi menurut Riskesdas (2013) dilihat dari tingginya nilai penyimpanan obat di rumah, dan hasil penelitian menunjukkan sebanyak 84,5% masyarakat menyimpan obat lain di rumah, obat ini termasuk obat resep dokter atau obat swamedikasi yang dibeli oleh masyarakat. Padahal sisa obat resep atau obat swamedikasi secara umum tidak boleh disimpan karena menyebabkan kesalahan penggunaan (misused) atau disalahgunakan atau rusak dan kadaluarsa (Riskesdas, 2013). Penyimpanan obat akan berpengaruh kepada potensi obat. Sebagai contoh

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sediaan oral seperti tablet, kapsul dan serbuk tidak boleh disimpan dalam tempat lembab, karena menimbulkan pertumbuhan bakteri dan jamur. Dalam penyimpanan obat harus diperhatikan juga tanggal kadaluarsa obat (BPOM, 2014). Informasi tambahan yang mengenai penyimpanan obat ini yaitu dilakukannya penyimpanan obat di dalam laci, lemari, kotak obat atau hanya diletakkan di meja saja. Jika hanya diletakkan di meja hal ini akan menimbulkan salah penggunaan terlebih jika ada anak kecil atau hewan peliharaan yang tidak mengetahui fungsi obat yang hanya disimpan di meja (Sohair E Ali, 2010).

Dokumen terkait