• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 PEMBAHASAN

5.2.4 Raionalitas Obat Swamedikasi

Dari seluruh responden yang berada di Kabupaten Rembang tidak semuanya melakukan pengobatan swamedikasi obat antinyeri secara rasional dan tepat. Pada perilaku pengggunaan obat swamedikasi obat antinyeri dinilai dari beberapa sub indikator yaitu tepat indikasi, tepat obat, tepat rute, tepat dosis, tepat frekuensi, tepat pemakaian, tepat efek samping, tepat interaksi obat, dan tepat kontraindikasi.

Indikasi obat antinyeri untuk penanganan obat antinyeri penting diperhatikan secara cermat, karena apabila salah indikasi obat maka akan menimbulkan kesalahan obat yang akan digunakan, beberapa indikator yang digunakan untuk melihat ketepatan indikasi yaitu kebiasaan membaca informasi sebelum meminum obat, mengetahui obat yang akan diminum adalah obat mengurangi nyeri. Hasil dari kuesioner yang dibagikan menunjukkan hanya 24,7% responden melakukan ketepatan indikasi, banyak dari responden yang memiliki nilai buruk dan tidak memperhatikan indikasi obat sebelum meminum obat antinyeri yaitu sekitar 75,3%. Hal ini dikarenakan kebiasaan sebelumnya yang dilakukan responden meminum obat itu, sudah mengetahui informasi dari petugas apotek atau dari iklan di televisi, tidak tertulis informasinya di obat karena obat yang dibeli adalah berbentuk strip sehingga responden memiliki kebiasaan buruk tidak membaca informasi obat yang ada. Padahal kesalahan membaca informasi obat ini akan menimbulkan salah indikasi.

Selanjutnya yang dinilai dari ketepatan perilaku adalah tepat obat, hal ini perlu dilakukan karena terkait dengan keinginan sendiri atau keikutsertaan apoteker dalam menentukan pengobatan pasien di apotek. Pertanyaan yang diindikasikan sesuai dengan tepat obat adalah jumlah obat yang sesuai dengan yang diminta dan keikutsertaan apoteker dalam mempertimbangkan obat yang diinginkan oleh responden. Hasilnya adalah 45,4% tepat obat dengan mempertimbangkan saran

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta apoteker serta mendapatkan obat yang sesuai permintaan responden dan nilai 54,6% yang memiliki kekurangan dalam ketepatan penggunaan obat oleh responden. Ketepatan responden dalam melakukan perilaku tepat obat ini berkait dengan dikenal tidaknya Apoteker di kalangan masyarakat (U.Sushita, 2014)

Indikator lain yang dilihat tepat perilaku adalah tepat rute dan hasilnya 100% responden memberikan jawaban bahwa penggunaan obat antinyeri secara swamedikasi diberikan tepat rute, yaitu obat digunakan melalui oral dan jenis obatnya ditelan, karena memang obat swamedikasi yang diteliti adalah jenis obat tablet dan sirup saja, bukan jenis obat nonparenteral. Rute perlu diperhatikan dan menjadi tanggung jawab apoteker, karena obat memiliki cara kerja yang berbeda-beda dan rute akan bergantung kepada efektivitas obat di tubuh nantinya. Ada obat yang memang dijaga untuk hancur di usus dan dijaga agar tidak hancur di mulut atau lambung, namun ada juga obat yang harus hancur di mulut. Secara keseluruhan obat antinyeri harus hancur di usus sehingga pemberian rute obat ini melalui mulut dan ditelan. Hal lain kenapa rute harus diperhatikan dalam penggunaan obat adalah untuk menjamin kualitas obat dan ketersediaan hayati obat dalam tubuh sehingga efek yang ditimbulkan bukanlah efek samping namun efektivitas obat yang diinginkan (Godman dan Gilman, 2006)

Selain beberapa indikator diatas, ada indikator lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat antinyeri secara rasional. Hasil yang diperoleh melalui kuesioner menunjukkan terdapat 56,7% responden benar dan tepat dosis sebelum melakukan pengobatan nyeri secara swamedikasi dan bernilai 43,3% responden tidak tepat dalam melihat dosis sebelum penggunaan obat antinyeri secara swamedikasi. Alasan responden yang mengetahui dosis sebelum pemakaian obat karena terlebih dahulu membaca petunjuk pemakaian tentang pembagian dosis baik pada anak atau dewasa serta menanyakan itu ke apoteker yang berada di apotek saat itu. Dosis ini perlu diperhatikan untuk menjadikan obat itu sesuai takarannya dan mengantisipasi kelebihan dosis atau overdoses atau ketidakefektifan obat karena kekurangan dosis. Pertanyaan yang mencakup dosis ini meliputi empat pertanyaan yang diajukan untuk responden, yaitu selalu memperhatikan dosis, meminum dua tablet ketika lupa, meminum dua kali dengan jarak yang berdekatan ketika nyeri kambuh dan meminum obat satu tablet sekali minum. Hal-hal tersebut memang perlu ditanyakan kepada responden, karena hal inilah yang terjadi di masyarakat sesuai dengan penelitian yang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilakukan oleh Puji Pratiwi (2014) bahwa dari 100 responden di Surabaya hanya 80 orang yang melakukan cara minum dan jumlah minum obat yang tepat ketika ingin mempercepat penyembuhan, terdapat 20 responden menyatakan mereka meminum dua tablet ketika ingin menyembuhkan nyeri yang dialaminya, dan ini berkaitan dengan bioavaibilitas obat di tubuh serta akumulasi obat yang ditubuh sehingga perlu diperhatikan penggunaan dosis obat antinyeri yang dilakukan secara swamedikasi.

Indikator lainnya adalah ketepatan frekuensi (lama pemakaian) obat antinyeri secara swamedikasi, subindikator dalam penilaian ketepatan frekuensi adalah pertanyaan menghabiskan minum obat, meminum ketika muncul nyeri saja dan meminum obat tiga kali dalam sehari. Hasil yang diperoleh hanya terdapat 24,7% masyarakat menggunakan obat antinyeri tepat secara frekuensi dan ada 75,3% masyarakat yang tidak tepat frekuensi dalam penggunaannya. Ketepatan frekuensi ini dipantau untuk menjaga waktu paruh obat di tubuh, melihat bagaimana obat bisa tetap berefek di waktu yang telah ditentukan atau obat tidak berefek lagi. Kebanyakan masyarakat meminum obat nyeri ketika kambuh adalah dua kali dalam waktu yang berdekatan, hal ini bertujuan agar penyakit yang diderita oleh pasien tersebut cepat sembuh dengan berasumsi bahwa meminum obat penghilang nyeri dalam waktu yang berdekatan akan menghilangkan nyeri dan tidak memperhatikan dosis atau akumulasi obat yang ada.

Dilanjutkan indikator ketepatan perilaku responden yang menggunakan obat secara aman dan rasional dilihat dari ketepatan perilaku memperhatikan efek samping. Dari seluruh responden yang berada di Kabupaten Rembang melakukan penanganan obat secara tidak rasional di sub indikator tepat efek samping, hanya sekitar 12,4% masyarakat yang faham dan menjalankan kebiasaan memperhatikan efek samping dan selebihnya 87,6% masyarakat tidak memperhatikan efek samping yang muncul. Menurut MIMS (2008) efek samping obat antinyeri yang terjual bebas di masyarakat adalah munculnya gangguan pencernaan dan mengantuk. Efek samping yang ditimbulkan oleh suatu obat terkadang tidak perlu dilakukan tindakan medis untuk mengatasinya, namun beberapa obat perlu diperhatikan secara lebih penanganannya (BPOM, 2014). Efek samping tidak semua terjadi pada individu, terkadang ada individu yang bisa mentolelir efek samping obat. Untuk mencegah terjadinya efek samping yang lebih parah maka sebaiknya dilakukan penghentian obat dan segera dikonsultasikan dengan tenaga medis terkait. Beberapa hal yang ditanyakan untuk

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menilai ketepatan efek samping adalah penghentian minum obat ketika muncul efek lain, selalu melihat tanggal kadaluarsa obat dan memperhatikan bentuk dan warna sediaan obat untuk menghindari efek yang tidak diinginkan. Efek samping obat golongan AINS (obat antinyeri) menurut Goodman & Gilman (2006) secara umum memiliki efek samping perdarahan lambung, nefrotoksisitas, dan bronskopasme jika obat tidak tepat digunakan.

Nilai lainnya yang dilihat adalah ketepatan interaksi obat, beberapa hal yang menjadi penilaian ketepatan interaksi obat adalah obat lain yang dikonsumsi selain obat antinyeri, membolehkan meminum obat lain, meminum obat dengan teh, kopi dan buah. Interaksi obat terjadi antara obat dengan obat dan obat dengan makanan. Nilai yang muncul untuk ketepatan interaksi obat adalah 97,9% tepat interaksi dan hanya 2,1% tidak tepat interaksi obat. Ketidaktepatan interaksi obat ini dikarenakan cara minum obat masyarakat ada yang sebagian meminum obat dengan teh karena responden yang tidak biasa menelan obat dengan air putih. Interaksi obat ini perlu diperhatikan, karena interaksi obat dengan obat akan menjadikan sistem kompetitor satu sama lain antara satu obat dengan obat lain yang menjadikan salah satu obat menjadi tidak aktif (Stockley Drug Interaction, 2000).

Penilaian ketepatan perilaku yang terakhir adalah ketepatan kontraindikasi obat, nilai yang muncul terkait ketepatan kontraindikasi obat ini adalah 97,9% mengetahui tepat kontraindikasi dan 2,1% tidak mengetahui ketepatan kontraindikasi. Pertanyaan yang mendukung nilai ketepatan kontraindiaksi adalah pengetahuan tentang informasi obat untuk wanita hamil dan menyusui dan tidak diperbolehkannya meminum obat antinyeri untuk pasien penyakit asma. Banyak dari responden sudah mengetahui dan melakukan kebiasaan memperhatikan yang berkaitan dengan penyakit obat antinyeri. Hal ini karena sudah kebiasaan, bahwa pasien yang mengalami kehamilan dan menyusui serta penyakit asma memiliki keistimewaan dalam penggunaan obat antinyeri atau obat yang lainnya. Responden selalu bertanya untuk penggunaan pasien wanita hamil dan menyusui kepada petugas apotek. Pada pasien penyakit asma tidak diperbolehkan menggunakan obat antinyeri secara bebas karena efek samping dari nyeri yang menjadikan bronkospasme terutama pada pasien yang memiliki riwayat penyakit asma (Ioana Dana Alexa, 2014). Selain itu, kurangnya responden yang kurang memperhatikan informasi pada kemasan primer obat terkait kontraindikasi yang akan terjadi (ISO, 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Secara keseluruhan perilaku penggunaan obat tentang rasionalitas obat antinyeri secara swamedikasi di daerah Kabupaten Rembang memiliki kategori benar meskipun bedanya tipis dengan kategori salah yaitu hampir 6:4, benar: salah dan hal ini bisa terjadi karena kurang adanya penyuluhan informasi obat di kalangan masyarakat di Kabupaten Rembang serta ini juga menjadi tanggungjawab apoteker juga untuk memastikan penggunaan obat yang tepat pada pasien terutama obat swamedikasi.

Dokumen terkait