• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterdidikan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat: dari Domestik ke Publik

Dalam dokumen buku MENJADI PEREMPUAN TERDIDIK (Halaman 49-53)

DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

2.4 Keterdidikan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat: dari Domestik ke Publik

Pemahaman mengenai peran perempuan dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari persoalan perbedaan peran gender. Peran gender merupakan salah satu aspek gender sebagai identitas pembeda manusia yang bersifat budaya dan sosial (Fakih,2006:7). Fakih (2006:9) menjelaskan bahwa sejarah perbedaan gender dalam sebuah masyarakat terjadi melalui proses yang sangat panjang dan berhubungan dengan banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan dan negara. Menurut Fakih (2006:10) karena konstruksi gender tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan tersebut, maka pada akhirnya mepengaruhi masing-masing jenis kelamin. Misalnya, karena laki-laki dikonstruksi harus bersifat kuat dan agresif, sehingga kemudian mereka terlatih dan tersosialisasi, serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat gender yang ditemtukan masyarakat, yaitu secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya, karena kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak bayi mereka telah dibentuk dengan perkembangan emosi serta ideologi kaum perempuan.

Konsep gender dibedakan dengan seks. Seks ditentukan oleh ciri-ciri biologis, sementara gender bernuansa psikologis, sosiologis, dan budaya (Lorber dan Farrell, 1991:8; Humm, 2007:177-178, Mosse, 2007:2-3). Seks membedakan manusia laki-laki dengan perempuan secara biologis, sebagai kodrat Illahi. Gender membedakan manusia laki-laki (maskulin) dengan perempuan (feminin) secara sosial, mengacu pada unsur emosional, kejiwaan, bukan kodrat, tetapi sebagai proses belajar (Humm, 2007: 177-178; Andersen, 1983: 48; Fakih, 2006:8-9; Abdullah, 2000). Sebagai atribut gender, femininitas dan maskulinitas dialami dan dikenal seseorang melalui proses belajar. Keluarga, teman, guru, media merupakan sejumlah agen

yang mensosialisasikan peran dan relasi gender pada seseorang (Andersen, 1983:50).

Ideologi gender telah mempengaruhi manusia sejak berabad-abad yang lalu, sehingga membentuk struktur budaya patriarki. Patriarki adalah sistem hubungan antara jenis kelamin yang dilandasi hukum kebapakan. Walby (1989:213-220) menjelaskan bahwa patriarki adalah sebuah sistem dari struktur sosial, praktik yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Walby membuat sebuah teori tentang patriarki. Menurutnya, patriarki itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu patriarki privat dan patriarki publik. Inti dari teorinya itu adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan perempuan. Dari teori tersebut, dapat diketahui bahwa patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga ini dikatakan Walby (1989) sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara. Ekspansi wujud patriarki ini merubah baik pemegang "struktur kekuasaan" dan kondisi di masing-masing wilayah (baik publik atau privat). Dalam wilayah privat misalnya, dalam rumah tangga, yang memegang kekuasaan berada di tangan individu (laki-laki), tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada di tangan kolektif.

Peran dan relasi perempuan dalam masyarakat dalam hubungannya dengan laki-laki di Indonesia pada umumnya masih berada dalam subordinasi. Kondisi tersebut didukung oleh kultur patriarki yang memiliki kekuatan dominan dalam masyarakat, sehingga berpengaruh terhadap tata nilai sosial, budaya, politik, ekonomi, serta hukum di Indonesia. Data-data yang berhubungan dengan ketidakadilan gender yang menegaskan posisi perempuan yang berada dalam subordinasi laki-laki antara lain ditunjukkan oleh keberadaan organisasi Dharma Wanita di instansi pemerintah, lengkap dengan Panca Dharma Wanita, yang mengatur peran dan posisi perempuan dengan laki-laki baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam masyarakat. Dalam Panca Dharma Wanita dikemukakan

bahwa wanita sebagai (1) pendamping suami, (2) ibu, pendidik, dan pembina generasi muda, (3) pengatur ekonomi rumah tangga, (4) pencari nafkah tambahan, (5) anggota masyarakat terutama organisasi wanita, badan-badan sosial yang intinya menyumbangkan tenaga kepada masyarakat sebagai relawan. Dari sini tampak bahwa Panca Dharma Wanita menempatkan perempuan sebagai tersubordinasi oleh laki-laki. Dalam hubungannya dengan laki-laki, perempuan dianggap sebagai pendamping suami, pencari nafkah tambahan dan bukan sebagai perempuan karier. Panca Dharma Wanita ikut melahirkan sekaligus menjadi bidan munculnya ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki. Dilihat dari segi emansipasi, Panca Dharma Wanita tidak mengizinkan adanya kesetaraaan atau keseimbangan antara suami dan isteri.

Subordinasi perempuan dalam hubungannya dengan laki- laki juga tampak pada beberapa produk undang-undang di Indonesia. Dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) No.1 tahun 1974, terutama pasal 31 (3), misalnya dikemukakan bahwa peran suami adalah sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat 1), sedangkan kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat 2). Dengan pembagian peran yang demikian berarti peran perempuan yang resmi diakui adalah peran domestik yaitu peran mengatur urusan rumah tangga seperti membersihkan rumah, mencuci baju, memasak, merawat anak, dan kewajiban melayani suami (Arivia, 2006:437). Demikian juga dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata (KUH Perdata), terutama pasal 105, ayat 1, dinyatakan bahwa setiap suami adalah kepala keluarga dalam penyatuan suami dan istri; pasal 106, ayat 1, setiap istri harus mematuhi suaminya; pasal 106, ayat 2, sudah merupakan keharusan bagi istri untuk hidup bersama suaminya; pasal 124, ayat 1 dinyatakan bahwa suami mempunyai kekuasaan untuk bertindak atas aset-aset perkawinan dan kepemilikan, termasuk seluruh kepemilikan pribadi istri dan yang dimiliki saat menikah (Arivia, 2006:438).

Ketidakadilan gender juga tampak dalam aspek politik di Indonesia, misalnya dalam hubungannya dengan isu peran dan

keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik. Berdasarkan penelitian Arivia (2006:3), sampai dengan pertengahan tahun 2000-an, dari segi politik representasi perempuan di Indonesia termasuk yang paling rendah, yaitu berada dalam peringkat 74, rata-rata 8 persen (dari 500 anggota DPR hanya 40 orang perempuan). Bahkan, menurut Arivia (2006:3) representasi perempuan Indonesia di tingkat politik masih lebih rendah dari negara-negara Afrika, seperti Zimbabwe, Burkina Faso, Zambia, dan negara-negara Amerika Latin, seperti Venezuela dan El Salvador. Arivia (2006:3) mengemukakan data partisipasi perempuan dalam kabinet di Indonesia yang menunjukkan peningkatan yang lamban. Di era kabinet Abdurrahman Wahid (2000) tercatat hanya dua orang perempuan dari 32 keseluruhan jumlah menteri. Dalam kabinet Megawati Sukarnoputri (2001) tercatat dua orang (dari 37 jumlah menteri). Dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat empat orang dari 35 jumlah menteri.

Ketidakadilan gender tersebut telah mendorong berbagai pihak yang peduli terhadap nasib perempuan untuk memberikan perhatian khusus baik dalam gerakan sosial maupun konteks wacana akademik dalam upaya menuju kesetaraan gender dan upaya penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Terbitnya Peraturan Presiden RI nomor 65 Tahun 2005, tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Undang-undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-undang RI No 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Conventioan on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) menunjukkan adanya kepedulian terhadap perempuan dalam relasinya dengan laki-laki baik di ranah domestik maupun publik.

Sejak terbitnya Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional (Gender Mainstreaming), Indonesia menjadi salah satu negara yang secara yuridis formal menjadikan pengarusutamaan gender sebagai landasan kebijakan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Secara historis terbitnya Instruksi Presiden tersebut, merupakan tindak lanjut dari hasil Konferensi Internasional Perempuan III yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1985 di Nairobi, yang melahirkan konsep gender mainstreaming.

Konsep ini dibuat untuk keperluan mendukung perempuan dalam pembangunan dan bagaimana memasukkan nilai-nilai keperempuanan ke dalam pembangunan itu sendiri (Hidajati, 2001:14). Konsep tersebut selanjutnya dipertegas pada Konferensi Perempuan IV, pada tahun 1995 dengan menyatakan bahwa pemerintah dan para pengambil keputusan harus terlebih dahulu secara aktif mempromosikan rencana kebijakan dan program yang berperspektif gender (Hidajadi, 2001:14). Walaupun isu gender telah menjadi perhatian beberapa pihak, termasuk pemerintah yang telah menjadikan pengarusutamaan gender sebagai landasan untuk menjalankan kebijakan dan program- program pembangunan di Indonesia, kenyataan di lapangan menunjukkan masih adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.

2.5 Keterdidikan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat

Dalam dokumen buku MENJADI PEREMPUAN TERDIDIK (Halaman 49-53)