• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Pendidikan Perempuan Era Sebelum Kemer dekaan

Dalam dokumen buku MENJADI PEREMPUAN TERDIDIK (Halaman 70-75)

BAB III KONTEKS PENDIDIKAN DAN KESADARAN

3.1 Konteks Politik Pendidikan di Indonesia

3.1.1 Politik Pendidikan Perempuan Era Sebelum Kemer dekaan

Pada era kolonial gagasan mengenai pendidikan kaum pribumi, termasuk perempuan dilatarbelakangi oleh laporan yang dikemukakan oleh Mahlenfeld di harian de Locomotif bahwa pada awal abad XX di Pulau Jawa, dari rata-rata 1000 orang hanya ada 16 (15 orang laki-laki, seorang perempuan) yang dapat membaca dan menulis) (2007:11). Mahlenfeld (via Muljana, 2007:11)

menunjukkan data bahwa di Madiun, dari 1000 orang, hanya 24 orang yang tidak buta huruf, di Jakarta 9 orang, di Madura 6 orang, di Tangerang, Jatinegara, dan Karawang masing-masing satu orang. Apa yang dikemukakan oleh Mahlenfeld tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh C. Th. van Deventer—yang pernah tinggal di Hindia Belanda selama 1880— 1897—dalam sebuah artikelnya di majalah de Gids yang berjudul

Een eereschuld‖ (―Suatu Hutang Kehormatan‖) (Ricklefs, 1991:- 228). Dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang itu sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indonesia di dalam kebijakan kolonial. Dalam posisi van Deventer sebagai penasihat pemerintah pada waktu itu, usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam kebijakan politik etis yang meliputi educatie, emigratie, dan irrigatie (pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan) (Ricklefs, 1991:228).

Gambaran mengenai sekolah-sekolah untuk kaum pribumi yang ada pada masa kolonial Belanda oleh Ricklefs (1991:238—240) diuraikan sebagai berikut. Sejak tahun 1892 sebagai wujud dari kebijakan politik etis di bidang pendidikan (Ricklefs, 1991:238) pemerintah kolonial mulai menyelenggarakan sekolah-sekolah Kelas Satu untuk golongan atas, bangsawan dan sekolah-sekolah Kelas Dua untuk rakyat jelata. Pada tahun 1914 Sekolah-sekolah Kelas Satu diubah menjadi Hollandsch Inlandsche Scholen (HIS). Pada tahun 1914 didirikan sekolah

MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs: pendidikan rendah yang diperpanjang, setara SLTP) yang diperuntukkan orang Indonesia golongan atas, Cina, Eropa yang telah menyelesaikan sekolah dasar. Pada tahun 1919 AMS (Algemeene Middelbare School),

setara SMA didirikan untuk membawa murid memasuki tingkat perguruan tinggi. Hal itu karena hingga saat itu belum ada perguruan tinggi di Indonesia. Di samping AMS, diselenggarakan juga HBS (Hoogere Burger School: Sekolah Menengah Tingkat Atas) yang lulusannya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi di Belanda. Pada tahun 1905 hanya ada 36 orang Indonesia yang berhasil memasuki HBS. Ricklefs (1991:238) secara khusus mengemukakan bahwa salah seorang dari 36 orang itu adalah Hoesein Djajadiningrat, putra keluarga bupati Serang, Jawa Barat. Dia melanjutkan kuliah di Belanda dan menjadi orang

Indonesia pertama yang mendapatkan gelar doktor dari Universitas Leiden dengan disertasi Sejarah Banten. Perguruan tinggi di Indonesia baru dibuka pada tahun 1920 di Bandung, yaitu Technische Hoogeschool (Sekolah Teknik Bandung), disusul dengan Sekolah Tinggi Kedokteran di Batavia tahun 1927, yang semula merupakan Sekolah Dokter Jawa (STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang sudah ada sejak 1900—2 (Ricklefs, 1991:237—238).

Dari uraian di atas tampak bahwa walaupun pada masa kolonial Belanda telah diselenggarakan sekolah untuk orang- orang pribumi dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan perguruan tinggi, sekolah-sekolah tersebut hanya dapat dinikmati oleh orang-orang dari golongan atas, kaum bangsawan, dan anggota keluarga para bupati, terutama kaum laki-laki. Di samping Hoesein Djajadiningrat, yang berhasil mencapai doktor dari Universitas Leiden, kakak laki-laki Kartini, R.M. Kartono juga berhasil kuliah ke Belanda setelah lulus dari HBS. Berbeda dengan kakak laki-lakinya, yang dapat menempuh pendidikan sampai ke Belanda, sebagai seorang perempuan Kartini hanya sempat menempuh pendidikan di ELS karena ayahnya tidak mengizinkannya melanjutkan sekolah di HBS (Soeroto, 2001:66).

Pada masa kolonial Belanda, kaum perempuan juga dapat mengikuti sekolah di sejumlah sekolah tersebut. Namun, dibandingkan dengan jumlah laki-laki jumlah perempuannya tidaklah setara. Perbandingan jumlah perempuan dengan laki- laki yang telah menempuh pendidikan dasar pada masa kolonial Belanda disampaikan oleh Gouda (2007: 142—144) yang datanya diambil dari Groeneboer tampak pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.

Tabel 1

Murid Indonesia di Hollands Indische Scholen Negeri

Tahun Laki-laki Perempuan

1915 18.970 3.490

1925 28.722 10.195

1929—1930 29.984 11.917

1934—1935 31.231 15.492

Sumber data: Kees Groeneboer, Weg tot het Western. Het Nederlands voor Indie, 1600—1950 (Leiden: KITLV Press, 1993), Verhandelingen 158, Appendix XVIII, h. 498.

Tabel 2

Murid Indonesia di Hollands Indische Scholen Swasta

Tahun Laki-laki Perempuan

1915 1.195 1.049

1925 14.529 6.258

1929—1930 14.055 6.941

1934—1935 14.077 8.355

1939—1940 15.915 10.838

Sumber data: Groeneboer, Weg tot het Western, Appendix XVIII, h. 498.

Tabel 3

Murid Indonesia di Europa Lagere Scholen (Sekolah Dasar Eropa) Negeri

Tahun Laki-laki Perempuan

1900 1.327 218 1905 3.244 508 1910 2.915 548 1915 3.339 858 1920 4.029 1.358 1925 2.932 1.424 1929—1930 2.036 1.362 1934—1935 2.063 1.6998 1939—1940 2.080 1.954

Sumber: Groeneboer, Weg tot het Western, Appendix XVII, h. 497. Tabel 4

Murid Indonesia di Europa Lagere Scholen (Sekolah Dasar Eropa) Swasta

Tahun Laki-laki Perempuan

1900 50 20

1905 143 40

1910 189 58

1920 565 201

1925 586 235

1929—1930 375 340

1934—1935 537 529

1939—1940 542 574

Groeneboer, Weg tot het Western, Appendix XVII, h.497.

Berdasarkan data-data tersebut tampak adanya kesenjangan jumlah perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam pendidikan dasar masa kolonial Belanda. Kesenjangan yang paling sedikit tampak pada ELS swasta. Dalam hal ini Gouda (2007:453) menduga hal itu berhubungan dengan penyebarluasan gagasan-gagasan Yayasan Kartini dan Van Deventer mengenai pendidikan bagi perempuan.

Gambaran mengenai pendidikan kaum perempuan pada masa kolonial dan bagaimana perempuan diperlakukan oleh ma- syarakatnya juga tampak dari surat Kartini yang dikirimkan kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 25 Mai 1899 berikut.

Kebanyakan saudara sepupu saya dan semua kakak laki-laki saya tamat HBS –lembaga pendidikan tertinggi yang ada di Hindia sini. Dan yang paling muda dari tiga orang kakak laki-laki saya, sejak tiga tahun lebih berada di negeri Belanda untuk menyelesaikan pelajarannya, yang dua orang lainnya bekerja pada Pemerintah. Kami anak-anak perempuan setiap hari pergi meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah, sudah merupakan pelanggaran besar terhadap adat kebiasaan negeri kami. Ketahuilah, adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah. Pergi ke tempat lain kami tidak boleh. Dan satu-satunya lembaga pendidikan yang ada di kota kecil kami, hanyalah sekolah rendah umum biasa untuk orang-orang Eropa. Pada umur 12 tahun saya

harus tinggal di rumah. Saya harus masuk ―kotak‖, saya

dikurung di dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh kembali ke dunia itu lagi semasih belum berada di sisi suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali, yang dipilih orang tua kami bagi kami untuk

(Surat Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 25 Mai 1899, Sulastin-Sutrisno, 1979:2—3). Dari surat Kartini tersebut tampak bahwa kaum perempuan bangsawan, yang orang tuanya telah sadar pendidikan bagi perempuan, hanya sempat menikmati pendidikan dasar (ELS, Europa Lagere Scholen) sampai dengan umur 12 tahun, setelah itu harus menjalani pingitan sampai orang tuanya mendapatkan jodoh untuknya. Batasan tersebut tidak berlaku untuk kaum laki-laki karena mereka dapat melanjutkan sekolah ke HBS (Hoogere Burger School), bahkan sampai ke perguruan tinggi di Negeri Belanda. Kesenjangan gender tersebutlah yang mendorong sejumlah tokoh pribumi dan Belanda yang peduli terhadap nasib kaum perempuan melakukan aktivitas untuk mendukung partisipasi perempuan dalam pendidikan. Mengenai hal ini akan dipaparkan pada subbab berikutnya.

3.1.2 Politik Keterdidikan Perempuan Setelah Kemerdekaan

Dalam dokumen buku MENJADI PEREMPUAN TERDIDIK (Halaman 70-75)