• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterdidikan Perempuan sebagai Pendukung Peran sebagai Ibu Rumah Tangga

Dalam dokumen buku MENJADI PEREMPUAN TERDIDIK (Halaman 126-129)

BAB IV MENJADI ISTRI DAN IBU YANG TERDIDIK

4.2 Keterdidikan Perempuan sebagai Pendukung Peran sebagai Ibu Rumah Tangga

Dalam beberapa novel yang dikaji tampak adanya gambaran yang menunjukkan begitu kuatnya kuasa patriarkat yang menarik perempuan terdidik kembali ke rumah, menunggu waktu untuk mendapatkan jodohnya dan menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Di samping berlatar cerita sebelum kemerdekaan (era kolonial Belanda), sebagian besar novel tersebut juga terbit pertama kali sebelum kemerdekaan, era ketika pemikiran dan gerakan feminisme di Indonesia mulai berkembang. Seperti dikemukakan Arivia (2006:15-18) bahwa peta gerakan perempuan di Indonesia dapat dibagi dalam empat tahap. Tahap pertama memunculkan persoalan hak memilih dalam pemilihan pejabat publik, hak pendidikan yang dikemukakan pada zaman Belanda. Tahap kedua memunculkan persoalan politis yang berada pada basis massa dan perkumpulan untuk memajukan baik keterampilan perempuan maupun politik perempuan yang ditemui pada masa Orde Lama. Tahap ketiga pada masa Orde Baru dengan menampilkan wacana tugas-tugas domestikasi perempuan sebagaimana yang diinginkan negara. Tahap keempat, pada era reformasi, memunculkan pergerakan- pergerakan liberal yang bertemakan antikekerasan terhadap perempuan. Pada tahap ini timbul kesadaran mengenai pendidikan perempuan dengan tujuan menyiapkan tugas-tugas domestiknya sesuai dengan semangat gerakan perempuan tahap pertama sampai ketiga.

Beberapa tokoh perempuan dalam Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Widyawati, dan Para Priyayi, menunjukkan bahwa meskipun telah mendapatkan pendidikan, mereka tetap harus kembali ke rumah untuk belajar pekerjaan rumah sebagai persiapan menjadi ibu rumah tangga sebelum akhirnya menunjukkan dirinya sebagai ibu rumah tangga yang sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah novel tersebut masih melanggengkan peran perempuan di sektor domestik.

Dalam Azab dan Sengsara pandangan tersebut tampak dari kutipan berikut, yang merupakan suara sang narator, yang mewakili pandangan masyarakat zamannya.

Tentu anak-anak jangan dipaksa saja tinggal di rumah, akan tetapi haruslah diserahkan ke sekolah, akan belajar kepandaian yang berguna baginya pada hari kemudian akan membukakan pikirannya, supaya ia kelak menjadi ibu yang cakap dan pintar, lebih-lebih dalam hal memelihara rumah tangganya.

(Siregar,1996:35) Hal yang sama juga tampak pada novel Sitti Nurbaya yang disampaikan melalui dialog antara Nurbaya dengan saudara

sepupunya Alimah, sebagai berikut. ―Sebab itu, haruslah

perempuan itu terpelajar, supaya terjauh ia daripada bahaya, dan terpelihara anak suaminya dengan sepertinya‖ (Rusli, 2001:205).

Peran pendidikan untuk mempersiapkan tugas domestik sebagai ibu rumah tangga dalam novel Widyawati tampak pada tokoh Roosmiati dan Ruwinah. Roosmiati yang sudah dijodohkan dengan Pangeran Notonegoro diceritakan tengah mempersiapkan hari perkawinannya (Purbani, 1949:12-22), sementara Ruwinah belajar jahit-menjahit dan mendapat pelajaran main piano untuk mempersiapkannya menjadi ibu rumah tangga keluarga priyayi.

Pandangan bahwa perempuan harus kembali ke rumah setelah mendapatkan kesempatan menikmati pendidikannya juga terdapat dalam Para Priyayi, melalui suara tokoh ayah, Sastro- darsono.

Sepintar-pintarnya Soemini dia itu anak perempuan… Akan tetapi anak perempuan adalah anak perempuan. Pada akhirnya, dia akan harus kawin dan membangun keluarga, membesarkan anak, membuat suaminya dan keluarganya

bahagia….

(Kayam, 1991:67) Dari beberapa kutipan di atas tampak jelas bahwa keterdidikan perempuan masih diorientasikan untuk mempersiapkan perempuan menjadi ibu rumah tangga, belum sebagai orang yang diharapkan menyumbangkan tenaga dan

pikirannya dalam peran-peran publik. Dengan memberikan pendidikan kepada perempuan diharapkan perempuan tersebut akan lebih memiliki keterampilan dalam mengelola rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Di sini tampak ada dualisme pada para pemikir awal yang diwakili oleh ketiga penulis novel yang berjenis kelamin laki-laki (Armijn Pane, Marah Rusli, Umar Kayam) yang di satu sisi mendukung keterdidikan perempuan, tetapi di sisi lain mendukung domestikasi perempuan. Mereka berpandangan bahwa pendidikan yang dimiliki oleh para perempuan akan mendukungnya dalam menjalankan perannya sebagai pengelola rumah tangga, bahkan juga mendukung kerier suaminya di masyarakat.

Dari beberapa novel tersebut tampak adanya konstruksi yang menempatkan perempuan dalam sektor domestik. Domestikasi perempuan, terutama dalam konstruksi perempuan sebagai ibu rumah tangga, tampak sangat menonjol dalam novel- novel tersebut. Peran sebagai ibu rumah tangga tampak pada Mariamin dan ibunya, Sitti Nurbaya, Alimah, Roesmiati, dan Soemini. Setelah menikah mereka diposisikan sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak, menyiapkan makanan, patuh dan setia dalam melayani suami. Sebelum menikah perempuan harus dipingit, tinggal di rumah sampai mendapatkan jodohnya.

Sosok ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik misalnya tampak pada tokoh Suria (ibu Mariamin (Azab dan Sengsara) berikut ini.

Matahari masih tersembunyi di balik dolok (gunung) Sisipian yang permai itu, binatang- binatang yang mendiami rimba belantara masih tidur semuanya, akan tetapi ibu yang rajin dan setia itu telah sibuk di dapur menguruskan pekerjaan rumah tangga….

Sedang anak itu makan, maka ibunya meneruskan pekerjaannya, menganyam tikar. Meskipun ia dapat membeli tikar di pasar dengan uang rupiah, tiadalah suka ia mengeluarkan uangnya kalau tidak perlu. Benar uang dua rupiah itu tiada seberapa, bila dibandingkan dengan kekayaan mereka itu. Tetapi ia seorang perempuan

(Siregar, 1996: 79-80) Dari kutipan tersebut tampak bagaimana seorang ibu harus bangun pagi-pagi, menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya, dilanjutkan dengan pekerjaan rumah tangga, termasuk membuat peralatan rumah tangga agar dapat menekan pengeluaran belanja alat rumah tangga. Pernyataan bahwa sosok seperti itu dianggap sebagai seorang perempuan dan ibu sejati menunjukkan bahwa novel tersebut mengkonstruksi perempuan sebagai ibu rumah tangga ideal yang menjalankan tugas-tugas domestik dengan sempurna.

4.3 Keterdidikan Perempuan sebagai Pendukung Peran

Dalam dokumen buku MENJADI PEREMPUAN TERDIDIK (Halaman 126-129)