• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 RENDEMEN DAN KOMPOSISI MINYAK LEMO DARI BEBERAPA TIPE HABITAT L cubeba

4.2 Metode Penelitian 1 Lokasi dan lama penelitian

4.2.3 Prosedur penelitian

4.3.1.2 Keterkaitan antara kandungan minyak atsiri dan tipe habitat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan populasi L. cubeba tumbuh pada areal-areal bekas gangguan yang bervariasi berdasarkan tipe gangguan. Berdasarkan indeks similaritas, tipe-tipe habitat tersebut berbeda satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing tipe habitat memiliki keunikan tersendiri bila ditinjau dari segi komposisi jenisnya. Selain itu, hasil pengujian minyak atsiri diperoleh rendemen minyak atsiri yang juga sangat bervariasi, bahkan nilai-nilai rendemen tinggi cenderung dijumpai pada tipe habitat tertentu. Berdasarkan kondisi tersebut diduga terdapat keterkaitan antara tipe-tipe habitat dengan hasil minyak atsiri tersebut.

Perbedaan tipe habitat dalam kaitannya dengan rendemen

Hasil uji menggunakan analysis of variance (anova) untuk melihat perbedaan secara bersama-sama nilai rata-rata rendemen minyak atsiri antar habitat diperoleh informasi bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar habitat dalam menghasilkan rendemen minyak atsiri dengan nilai P-value = 0.002 (P-value < α = 0.05), atau dengan kesimpulan Ho ditolak. Berdasarkan hasil uji ini dapat dinyatakan bahwa rendemen minyak atsiri bergantung pada tipe habitat. Selanjutnya untuk mengetahui tipe-tipe habitat mana saja yang berbeda, dilakukan uji independent t-test dua tipe habitat, dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 4.7.

Perbedaan tipe habitat dalam kaitannya dengan kandungan senyawa Dalam kaitannya dengan kandungan senyawa, hasil pengujian hubungan antara tipe-tipe habitat dan pengaruhnya terhadap kandungan senyawa minyak lemo diperoleh hasil secara umum tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar habitat dalam menghasilkan kandungan senyawa minyak atsiri (hipotesis H0 diterima) dengan nilai signifikansi P-value = 0.104 (P-value > α = 0.05). Hal ini berarti apapun tipe habitatnya tidak ada kaitannya dengan kandungan senyawa kimia

minyak atsiri. Berdasarkan hasil tersebut maka tidak diperlukan pengujian lanjut untuk melihat tingkat perbedaan antar habitat.

Tabel 4.7 Hasil uji beda (independent t-test) nilai rata-rata rendemen minyak lemo antar dua tipe habitat

No Tipe habitat yang

dibandingkan Nilai P-value Signifikansi

a 1 A – B 0.156 Tidak berbeda 2 A – C 0.003 Berbeda 3 A – D 0.193 Tidak berbeda 4 B – C 0.060 Tidak berbeda 5 B – D 0.031 Berbeda 6 C – D 0.001 Berbeda

asignifikansi pada taraf α = 0.05; A: rumpang; B: areal bekas perambahan; C: areal bekas

kebakaran; D: areal hutan mati

4.3.2 Pembahasan

Dalam kaitannya dengan minyak atsiri yang dihasilkan, keragaman tipe habitat menghasilkan karakteristik minyak atsiri yang bervariasi. Ditinjau dari segi rendemen minyak atsiri, terlihat bahwa antar bagian pohon memiliki rendemen yang berbeda secara mencolok dan daun merupakan sumber minyak atsiri tertinggi. Hasil penelitian lainnya juga menghasilkan variasi rendemen antar bagian pohon, hasil penelitian Si et al. (2012) pada delapan provinsi di Cina di peroleh rendemen minyak lemo dari bagian buah berkisar antara 3.04 % – 4.56 %, masih lebih rendah dibandingkan rendemen pada daun yang mencapai lebih dari 5 %. Demikian pula dengan hasil penelitian Widodo dan Widyastuti (2011) dan Zulnely et al. (2003) juga menunjukkan bahwa minyak atsiri dari bagian kulit batang menghasilkan rendemen yang paling rendah dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya, tetapi Zulnely et al. (2003) melaporkan rendemen minyak atsiri dari kulit batang lebih tinggi (yaitu sebesar 1.55 %) dibandingkan hasil penelitian ini.

Perbedaan kandungan minyak atsiri pada setiap bagian pohon telah dijelaskan sebelumnya oleh Guenther (2006), yaitu minyak atsiri yang terdapat pada tumbuhan dan biasanya diperoleh dari bagian tertentu, seperti bunga, buah, akar, daun, kulit kayu dan rimpang. Bahkan ada jenis tanaman yang seluruh bagiannya mengandung minyak atsiri. Kandungan minyak atsiri tidak selalu sama antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, seperti contoh kandungan minyak atsiri yang terdapat pada kuntum bunga berbeda dengan yang terdapat pada bagian daunnya.

Selain variasi pada bagian-bagian pohon, variasi rendemen juga terjadi antar tipe habitat, terdapat kecenderungan bahwa areal-areal bekas perambahan dan kebakaran menghasilkan rendemen yang tinggi. Berdasarkan hasil secara keseluruhan dapat diketahui bahwa nilai rendemen minyak lemo asal Gunung Papandayan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya. Hasil penelitian Zulnely et al.(2003) di Gunung Ciremai hanya mencapai 5.4 %, dan Si et al. (2012) di Cina yang hanya mencapai 4.56 %.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diduga bahwa pohon L. cubeba mampu menghasilkan minyak atsiri yang tinggi disebabkan oleh tingginya metabolisme sekunder yang dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan lingkungan yang tinggi pada areal-areal tersebut berkontribusi terhadap produksi minyak atsiri sebagai hasil metabolisme sekunder yang dilakukan L. cubeba pada habitatnya

(Barret 1981 dan Cesco et al. 2007). Guenther (2006) menjelaskan bahwa anggota famili lauraceae memiliki beragam senyawa metabolit sekunder selain yang terkandung dalam minyak atsiri, antara lain alkaloid, fenilpropanoid, flavanoid, turunan 2-piron, benzene-ester, dan turunan alkin-alken. Dijelaskan lebih lanjut bahwa minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang mudah menguap (volatil) dan bukan merupakan senyawa murni tetapi tersusun atas beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid.

Cesco et al. (2007) menjelaskan, senyawa hasil metabolisme sekunder (metabolit sekunder) diproduksi sebagai benteng pertahanan tumbuhan dari pengaruh buruk lingkungan atau serangan hama penyakit. Metabolit sekunder tidak memiliki fungsi khusus dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tetapi lebih dibutuhkan untuk eksistensi kelangsungan hidup tanaman itu di dalam habitatnya.

Hasil pengujian secara statistik memperkuat uraian di atas, yaitu terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen minyak atsiri antar tipe-tipe habitat. Hasil pengujian lebih lanjut untuk melihat habitat mana saja yang berbeda juga memberikan informasi tingkat perbedaan rata-rata rendemen antar dua sebagai berikut: (1) areal bekas perambahan memiliki perbedaan dengan hutan mati. Dengan pengertian lain terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen pada hutan bekas pRerambahan dengan nilai rata-rata rendemen pada hutan mati. Berdasarkan tabel group statistics diketahui bahwa nilai rata-rata rendemen areal bekas perambahan lebih tinggi daripada hutan mati (6.5 > 3.5); (2) areal bekas kebakaran memiliki perbedaan dengan rumpang dan hutan mati. Hal ini berarti nilai rata-rata rendemen pada areal bekas kebakaran berbeda dengan nilai rata-rata rendemen pada rumpang dan hutan mati. Nilai rata-rata rendemen areal bekas kebakaran lebih tinggi daripada rumpang dan hutan mati (7.7 > 5.3 > 3.5); (3) tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen antara areal bekas kebakaran dengan areal bekas perambahan; dan (4) tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata rendemen antara areal bekas perambahan dengan rumpang.

Dari uraian di atas dapat dibuktikan bahwa baik areal bekas perambahan maupun bekas kebakaran tidak memiliki perbedaan. Hal ini berarti nilai rendemen yang dihasilkan oleh kedua tipe habitat ini bukan disebabkan karena areal bekas terbakar atau bekas dirambah. Kondisi ini sesuai pula dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa kedua areal memiliki kondisi tutupan yang secara umum sama, yaitu semak belukar atau hutan sekunder muda. Hal yang paling membedakan keduanya adalah komposisi jenis-jenis pohon penyusunnya. Ditinjau dari segi faktor-faktor fisik juga cenderung berada pada kondisi yang secara umum sama.

Pada kasus lainnya diketahui bahwa areal berupa rumpang cenderung tidak berbeda secara signifikan dengan areal hutan mati dalam menghasilkan rendemen minyak atsiri. Ditinjau dari segi kondisi di lapangan, kedua areal sangat jelas perbedaannya, baik komposisi dan struktur tumbuhan penyusunnya maupun faktor- faktor lingkungannya. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa areal rumpang memiliki kondisi lingkungan yang relatif sama dengan hutan tidak terganggu, sehingga tingkat tekanan lingkungan relatif rendah yang berimplikasi terhadap rendahnya metabolisme sekunder yang dilakukan L. cubeba. Hutan mati secara umum berada pada kondisi stress lingkungan yang sangat tinggi, sehingga seharusnya proses metabolisme sekunder dilakukan oleh tumbuhan. Penjelasan

yang paling memungkinkan terhadap kasus ini adalah disebabkan karena pohon L. cubeba yang dijadikan sampel untuk pengujian minyak atsiri masih berumur muda, sehingga minyak atsiri yang dihasilkan belum maksimal.

Rendahnya rendemen pada areal hutan mati masih perlu diteliti lebih lanjut, khususnya terkait spesifikasi areal dan karakteristik individu pohonnya. Secara umum variasi rendemen minyak atsiri dari seluruh sampel yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan antara tipe dan faktor-faktor habitat dengan minyak atsiri yang dihasilkan. Di samping hal tersebut, variasi antar individu pohon seperti umur, dimensi pertumbuhan dan faktor genetik juga diduga berpengaruh terhadap rendemen minyak yang dihasilkan, sehingga studi lebih mendalam diperlukan untuk menjawab fenomena tersebut.

Ditinjau dari segi komposisi senyawa penyusun minyak atsiri diketahui bahwa pada senyawa-senyawa dominan terdapat perbedaan antar bagian pohon, tetapi pada berbagai habitat yang berbeda tidak dijumpai adanya komponen senyawa kimia dominan yang berbeda. Di samping itu juga ditemukan senyawa- senyawa yang secara spesifik hanya ada pada bagian tertentu. Secara umum diketahui bahwa senyawa-senyawa dominan yang ditemukan dari Gunung Papandayan ini juga memiliki kecenderungan yang berbeda dengan hasil penelitian dari daerah lain di Indonesia dan negara lain. Misalnya, di Cikole didominasi oleh sineol dan sitronelol (Heryati et al. 2009); di Gunung Ciremai adalah sineol, - pinen dan sitronelol (Sylviani dan Elvida 2010); di Thailand didominasi oleh sabinen, 1.8 sineol dan -pinen (Ubonnuch 2005); dan di Cina adalah monoterpenes (Si et al. 2012), sitral, eucalyptol, sitronelol, 6-oktenal, 3.7-dimethyl- (Zhao et al. 2010), sitral B (neral), -phellandrene, -terpinen (Wang dan Liu 2010).

Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa tipe-tipe habitat tidak memiliki hubungan dengan kandungan senyawa minyak atsiri. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil analisis laboratorium yang menunjukkan bahwa minyak atsiri dari suatu bagian pohon yang sama memiliki komposisi senyawa kimia yang secara umum relatif sama, perbedaan hanya terdapat pada kelimpahannya.

4.4 Simpulan

Rendemen minyak atsiri yang dihasilkan dari berbagai tipe habitat di Gunung Papandayan lebih tinggi dibandingkan lokasi-lokasi lainnya di Indonesia dan dunia terutama dari bagian daun dan buah. Areal bekas perambahan dan bekas kebakaran secara umum menghasilkan rendemen minyak atsiri tertinggi, yaitu masing-masing 9.33 % dan 9.25 % dari bagian daun, 5.7 % dan 6.6 % dari bagian buah. Nilai rendemen yang dihasilkan dari kulit batang secara umum rendah, demikian pula dengan hasil-hasil penelitian lainnya.

Komposisi senyawa dominan penyusun minyak atsiri berbeda antar bagian- bagian pohon. Hal ini ditunjukkan oleh hasil pengujian laboratorium, minyak atsiri yang dihasilkan dari bagian daun didominasi oleh tiga senyawa, yaitu eucalyptol (16.97–55.78 %), α-terpinenyl acetate (7.27–20.44 %) dan sabinen (14.45–68.05 %). Senyawa pada buah didominasi oleh sitral, yaitu e-sitral (37.23 %) dan z-sitral (30.83 %), sementara pada kulit batang lebih didominasi oleh sitronelal (39.38 %) dan eucalyptol (27.44 %). Bila ditinjau dari variasi tipe habitat, dalam satu bagian pohon yang sama, komposisi senyawanya relatif sama untuk seluruh lokasi. Hal

ini dibuktikan pula dari hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa tipe- tipe habitat tidak memiliki hubungan dengan kandungan senyawa minyak atsiri.

Dalam rangka pemanfaatan minyak atsiri untuk keperluan dunia kesehatan untuk memperoleh senyawa tertentu, perlu disesuaikan dengan kandungan yang ada pada masing-masing bagian pohon. Hal ini terkait dengan kandungan senyawa dominan yang dimiliki dan adanya senyawa-senyawa spesifik yang hanya dijumpai pada salah satu bagian pohon.

5 PREFERENSI EKOLOGIS L. cubeba TERHADAP