• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGHASILKAN MINYAK ATSIR

6 PEMBAHASAN UMUM

Penelitian ini telah menghasilkan sebuah informasi penting, yaitu ditemukannya pohon L. cubeba di Gunung Papandayan Kabupaten Garut. Penelitian-penelitian selama ini khususnya untuk wilayah Jawa Barat hanya merekam keberadaannya di Gunung Patuha Kabupaten Bandung Selatan dan Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan. Pohon L. cubeba merupakan salah satu sumber kekayaan hayati Indonesia yang terkenal dengan kontribusi sebagai penghasil minyak atsiri untuk mendukung industri-industri seperti kosmetika, sabun, minyak wangi dan farmasi yang sangat dibutuhkan dunia kesehatan. Hal ini didasarkan pada minyak atsiri yang dimiliki pohon ini mengadung banyak manfaat berupa zat-zat biokatif, seperti antioksidan, antimikroba, insektisida, dan lain-lain.

Pohon L. cubeba merupakan tumbuhan langka, sebarannya sangat terbatas di wilayah Asia termasuk Indonesia. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi tanaman L. cubeba yang cukup besar, tersebar di hutan- hutan pegunungan pada tempat-tempat terbuka yang terganggu. Di Indonesia tanaman ini belum dikembangkan dalam skala besar, pemanfaatannya baru bersifat tradisional untuk industri rumah tangga, seperti jamu, parem-pareman dan bahan pencampur masakan.

Indonesia belum menjadi negara produsen minyak lemo (may chang oil), padahal kebutuhan bahan baku untuk industri minyak atsiri di Cina mencapai 500– 600 ton per tahunnya (Heryati et al. 2009; Sylviani dan Elvida 2010). Widodo dan Widyastuti (2011) menjelaskan lebih lanjut bahwa Indonesia termasuk penghasil minyak lemo/krangean, namun dalam jumlah yang kecil. Selain itu, minyak yang dihasilkan berasal dari daun dengan kandungan sitral yang rendah, sehingga kurang sesuai untuk tujuan ekspor. China adalah negara penghasil minyak esensial yang besar (mencapai 1500 ton per tahun), selain digunakan untuk keperluan dalam negeri juga diekspor ke luar negeri. Negara pengimpor minyak krangean utama antara lain Amerika Serikat, negara-negra di Eropa Barat, dan Jepang.

Berdasarkan kondisi tersebut maka upaya-upaya yang mengarah pada pengembangan budi daya memiliki prospek yang tinggi bagi Indonesia dalam mendukung industri minyak lemo dunia yang sampai saat ini masih dikuasai oleh Cina dan Taiwan.

Hasil pengujian minyak atsiri dari Gunung Papandayan menunjukkan bahwa nilai rendemen lebih tinggi dari daerah-daerah lainnya, yaitu mencapai rata-rata 8 %, sementara minyak lemo yang berasal dari Gunung Ciremai lebih rendah sebesar 5.4 % , Ho et al. (2010) sebesar 4 % dan Si et al. (2012) di Cina sebesar 4.56 %. Informasi ini semakin membuat L. cubeba asal Gunung Papandayan memiliki prospek yang tinggi untuk dikembangkan.

Fenomena tingginya nilai rendemen minyak lemo Gunung Papandayan ini tidak terlepas dari kondisi habitat yang mempengaruhinya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan ada dua tipe preferensi yang dimiliki L. cubeba, yaitu preferensi umum dan preferensi khusus. Preferensi umum L. cubeba adalah kecocokannya untuk tumbuh pada areal-areal bekas gangguan yang terpusat pada zona montana terhadap areal-areal terbuka bekas gangguan dengan kisaran nilai tertentu dari faktor-faktor iklim, sehingga pada areal-areal semacam ini L. cubeba dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada sisi yang lain, pohon ini memiliki preferensi

khusus terhadap sembilan faktor fisik habitat, yaitu faktor-faktor tanah dan kemiringan lahan yang berperan menghasilkan minyak atsiri.

Hasil pengujian secara kuantitatif terhadap 32 faktor biofisik habitat (mencakup di dalamnya faktor-faktor iklim, topografi, ketinggian tempat dan faktor-faktor tanah, serta dimensi pertumbuhan pohon) dan hubungannya dengan minyak atsiri yang dihasilkan, diperoleh lima faktor yang berperan terhadap rendemen dan lima faktor lainnya berperan terhadap kandungan senyawa kimia minyak atsiri. Faktor-faktor yang berperan penting terhadap minyak atsiri tersebut, sembilan faktor diantaranya merupakan faktor-faktor tanah dan satu faktor lainnya adalah lereng (kemiringan lahan). Lima faktor yang berpengaruh nyata terhadap rendemen, yaitu: (1) rasio C/N; (2) kandungan Fe; (3) kelerengan; (4) porsi liat tanah; dan (5) air tersedia. Sedangkan faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kandungan senyawa minyak lemo adalah: (1) ruang pori total; (2) kandungan sulfur (S); (3) air tersedia; (4) kandungan nitrogen (N); dan (5) kandungan magnesium (Mg).

Implikasi dari hasil penelitian ini adalah rekomendasi pengembangan L. cubeba untuk tiga tujuan utama, mencakup aspek ekologi dan aspek ekonomi: (1) untuk tujuan ekologi, jenis ini dapat dikembangkan untuk tujuan restorasi ekosistem terganggu di wilayah dataran tinggi terutama areal-areal terbuka bekas perambahan dan kebakaran, jenis ini sudah terbukti secara empiris memiliki kemampuan okupasi yang tinggi pada areal-areal tersebut dan penelitian terkait ekologi populasi juga mengindikasikan kemampuan jenis pohon ini dalam mendominasi areal-areal bekas gangguan pada kisaran faktor-faktor pembatas tertentu; (2) rehabilitasi lahan- lahan kritis di luar kawasan hutan; dan (3) untuk tujuan ekonomi, jenis ini dapat dikembangkan melalui upaya budi daya di luar kawasan berdasarkan preferensi ekologis pada habitat alaminya, yaitu dengan mengelola faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap produksi minyak atsiri.

Dalam kaitannya dengan upaya-upaya pengembangan budi daya L. cubeba dalam rangka menghasilkan minyak atsiri dengan karakter khusus Gunung Papandayan, perlu mempertimbangkan karakteristik lokasi tempat sebaran tumbuh pohon, mencakup ketinggian tempat dan kisaran faktor-faktor iklim. Rancangan pola budi daya yang dibuat perlu mempertimbangkan dan merekayasa lingkungan agar peran sembilan faktor utama yang berpengaruh terhadap rendemen dan kandungan senyawa kimia dapat dikondisikan sesuai karakteristiknya di habitat alaminya.

Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah memanipulasi lingkungan agar sesuai untuk menghasilkan minyak atsiri sebagaimana hasil dari habitat alaminya. Perlakuan-perlakuan silvikultur diperlukan untuk menjawab persoalan ini, yaitu bagaimana memanipulasi lingkungan untuk memperoleh rendemen yang tinggi dan peningkatan kandungan senyawa kimianya.

Berdasarkan persamaan regresi diketahui bahwa faktor lereng, porsi liat dan air tersedia berbanding lurus dengan rendemen, sementara itu faktor lainnya berbanding terbalik, yaitu rasio C/N dan kandungan unsur Fe. Dengan demikian maka teknik-teknik silvikuktur yang perlu diterapkan adalah penanaman dilakukan pada areal-areal yang curam, karena semakin tinggi tingkat kecuraman lereng akan semakin meningkatkan rendemen minyak atsiri, di samping juga adanya perlakuan penambahan unsur Fe dalam tanah, misalnya melalui pemupukan. Selain itu juga

diperlukan pengelolaan air tersedia dalam tanah dan peningkatan fraksi liat, karena peningkatan jumlah kedua faktor tersebut dapat meningkatkan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan.

Berkaitan dengan kandungan senyawa kimia minyak lemo, tindakan-tindakan silvikultur diperlukan untuk mengelola faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kandungan senyawa tersebut. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti sulfur dan nitrogen memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan kandungan senyawa, sehingga penambahan pupuk S dan N pada konsentrasi tertentu akan meningkatkan kandungan senyawa kimia minyak atsiri yang dihasilkan. Pada sisi yang lain juga diperlukan pengelolaan ruang pori total, air tersedia dan kandungan Mg, karena peningkatan sejumlah tertentu faktor-faktor ini dapat menurunkan kandungan senyawa kimia minyak atsiri.

Untuk menguji besarnya pengaruh dan memperoleh nilai optimal dari faktor- faktor di atas, diperlukan penelitian jangka panjang dengan melakukan uji penanaman pada lokasi-lokasi yang sesuai dengan persyaratan tempat tumbuh tanaman L. cubeba, disertai dengan kombinasi berbagai perlakuan terhadap faktor- faktor di atas. Pada tahap lebih lanjut dilakukan dengan pengujian minyak atsirinya untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang memberikan hasil minyak atsiri tertinggi. Analisis trade-off diperlukan untuk menemukan kombinasi perlakuan yang optimal, sehingga minyak atsiri yang dihasilkan dapat mencapai rendemen yang tinggi dan memiliki komposisi senyawa kimia yang sesuai dengan persyaratan industri.

Inisiasi pengembangan budi daya tanaman ini sudah lebih dahulu dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI, diantaranya adalah upaya percobaan budi daya L. cubeba asal Gunung Patuha Jawa Barat di Hutan Penelitian Cikole Lembang (Heryati et al. 2009) dan upaya rehabilitasi lahan kritis menggunakan tanaman L. cubeba yang berasal dari sumber benih lokal di Aek Nauli Sumatera Utara (Ali dan Manik 2008), serta percobaan penanaman yang dilakukan Perum Perhutani di Gunung Patuha dan Gunung Gede Pangrango (Rostiwati et al. 2010). Berdasarkan hal tersebut maka pengembangan budi daya tanaman asal Gunung Papandayan akan menambah lengkapnya informasi dan sebagai dasar penelitian-penelitian lebih lanjut. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguji kandungan minyak atsiri.

Uraian di atas membuktikan bahwa apabila kegiatan budi daya dilakukan tanpa memperhatikan preferensi ekologis, tanaman L. cubeba yang dibudidayakan dengan teknik-teknik silvikultur sebagaimana biasa diterapkan pada tanaman secara umum, menghasilkan survivalitas yang rendah di lapangan. Hal ini diduga karena aktivitas metabolisme sekunder pada tanaman cenderung kurang. Bila melihat hasil penelitian di Gunung Papandayan, terlihat tanaman ini memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi tekanan lingkungan yang tinggi. Teknik-teknik silvikultur dikombinasikan dengan perlakuan-perlakuan terhadap faktor-faktor yang berperan menghasilkan minyak atsiri (sebagaimana diuraikan sebelumnya) diduga dapat menjadi solusi terhadap permasalahan ini. Aspek kunci dalam pengembangan tanaman L. cubeba adalah mengkondisikan areal penanaman agar memicu tanaman melakukan metabolisme sekunder, sehingga produksi minyak atsiri yang diharapkan dapat dicapai.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diduga bahwa hasil minyak atsiri dari areal terganggu (A) akan berbeda dengan areal dengan kondisi tanah subur (B). Perbedaan utama yang kemungkinan akan terjadi adalah: (1) rendemen dari areal A akan labih tinggi daripada B, mengingat produksi metabolit sekunder pada areal A lebih tinggi; (2) komposisi senyawa dominan kemungkinan akan sama, tetapi areal A akan menghasilkan komposisi senyawa yang lebih banyak variasinya, sedangkan pada areal B cenderung lebih sedikit. Berdasarkan dugaan tersebut, maka pengembangan uji budidaya tanaman perlu dilakukan dengan perlakuan silvikultur dan ekologi yang lebih intensif terhadap faktor - faktor habitat yang menjadi kunci, sehingga minyak atsiri yang dihasilkan dapat saling melengkapi baik kuantitas maupun kualitasnya.

Usaha budi daya pohon L. cubeba memiliki prospek yang tinggi ditinjau dari segi kebutuhan bibit untuk kegiatan rehabilitasi lahan kritis dan restorasi ekosistem di wilayah-wilayah dataran tinggi. Hal tersebut sangat cocok untuk wilayah Jawa Barat yang memiliki > 50 % wilayah merupakan areal pegunungan. Secara ekonomi, Berdasarkan karakteristik wilayah di atas, Jawa Barat dapat dijadikan salah satu sentra pembudidayaan tanaman L. cubeba dalam skala besar.

Sylviani dan Elvida (2010) melaporkan bahwa pohon L. cubeba sejak umur lima tahun sudah dapat dipanen daun dan buahnya untuk bahan baku minyak atsiri sebesar rata-rata 1 ton/ha/th, sedangkan pemanenan kulit batang dapat dilakukan satu kali pada akhir daur tanaman (umur 8–10 tahun) melalui penebangan pohon dengan hasil sekitar 8–9 ton/ha, dan diikuti dengan regenerasi tanaman baru. Dalam rangka mendukung pengembangan usaha budi daya ini, diperlukan studi kelayakan usaha dan analisis ekonomi. Hal ini perlu dilakukan mengingat belum ada data dan informasi secara jelas tentang perhitungan prospek ekonominya secara berkelanjutan.

Dalam rangka pengembangan budi daya khususnya di wilayah Jawa Barat, Gunung Papandayan dapat dijadikan pilihan sebagai sumber benih, di samping lokasi lainnya seperti Gunung Patuha dan Gunung Ciremai. Lokasi-lokasi yang dapat dijadikan sasaran adalah lahan-lahan kritis baik di dalam kawasan hutan maupun lahan-lahan masyarakat di dataran tinggi sebagaimana telah diinisiasi oleh Ali dan Manik (2008) di Sumatera Utara.

Di samping pengembangan secara ekonomi sebagaimana uraian di atas, strategi konservasi in-situ dan restorasi ekosistem terganggu juga perlu menjadi prioritas. Hal ini didasarkan pada kondisi pohon-pohon L. cubeba di dalam kawasan cagar alam yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat terutama pengambilan kulit batang, sehingga dapat mengancam populasi. Restorasi ekosistem dengan menggunakan jenis pohon ini dapat mengurangi tingkat tekanan areal oleh jenis-jenis tumbuhan pionir yang invasif seperti Chromolaena odorata, mengingat pohon L. cubeba sudah terbukti memiliki kemampuan tumbuh dan okupasi yang baik pada areal-areal yang diinvasi oleh jenis-jenis tumbuhan asing yang invasif.

Berdasarkan karakteristik populasi dan kemampuan tumbuh L. cubeba pada areal-areal terganggu yang mengindikasikan jenis pohon ini memiliki peran strategis dalam dinamika komunitas tumbuhan, diperlukan penelitian lebih intensif terkait aspek silvikultur dan pemuliaan pohon untuk restorasi ekosistem yang terganggu di wilayah dataran tinggi.

Selain restorasi ekosistem hutan, upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis di dataran tinggi dapat diterapkan dengan menggunakan pohon L. cubeba. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat diketahui bahwa di wilayah ini memiliki lahan-lahan kritis mencapai 480 000 ha. Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air Provinsi Jawa Barat juga melaporkan bahwa sampai tahun 2012, pada DAS Cimanuk bagian hulu (tepatnya di Kabupaten Garut) memiliki lahan kritis mencapai sekitar 31 000 ha tersebar di wilayah dataran tinggi di sekitar Gunung Papandayan. Penggunaan tanaman L. cubeba untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut akan tepat, mengingat pada wilayah-wilayah tersebut memiliki karakteristik lokasi yang relatif sesuai dengan tempat tumbuh L. cubeba.

L. cubeba sangat sesuai untuk rehabilitasi lahan-lahan kritis sekaligus sebagai bentuk usaha budi daya yang berkelanjutan, mengingat tanaman ini selain cepat menutupi areal dan bukan merupakan jenis asing yang invasif (invasive alien species), juga dapat dimanfaatkan untuk produksi daun dan buah secara terus menerus sebagai bahan baku industri minyak atsiri.

Alasan penting lainnya terkait pengembangan budi daya L. cubeba asal Gunung Papandayan ini adalah: (1) selain masyarakat sekitar, belum ada pihak- pihak baik pemerintah maupun praktisi yang mengetahui bahwa di wilayah ini terdapat potensi pohon L. cubeba sangat melimpah; (2) rendemen minyak atsiri yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan hasil-hasil penelitian sebelumnya di wilayah lainnya baik di Indonesia maupun Cina (Tiongkok).

Status silvikultur L. cubeba sampai saat ini masih berada pada tingkat mencari teknik-teknik perbenihan yang efektif. Hal ini didasarkan pada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan pengadaan benih L. cubeba menghadapi kendala tersendiri. Pohon ini memiliki biji yang rekalsitran dengan daya kecambah yang rendah (sekitar 30 %), penggunaan media kompos selama ini telah digunakan dan terbukti meningkatkan daya kecambah benih mencapai 50 % (Heryati 2009; Widodo dan Widyastuti 2011). Kendala lebih lanjut adalah sangat singkatnya waktu yang diperlukan dari pengambilan biji ke pengecambahan benih, yaitu paling lama tiga hari sejak biji dipanen (Rostiwati et al. 2010). Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini, penggunaan benih vegetatif selama ini menjadi solusi yang praktis dan efektif. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Heryati et al (2009) di Cikole Lembang dengan mengembangkan tanaman L. cubeba yang berasal dari stek batang dan cabutan.

Pengadaan bibit juga masih menghadapi permasalahan tersendiri sebagai akibat dari kendala perbenihan di atas, di samping pengambilan cabutan alam juga dapat mengganggu proses regenerasi di habitat alaminya. Penggunaan bibit yang berasal dari stek menjadi pilihan yang paling efektif selama ini, tetapi belum mampu menghasilkan bibit dalam skala besar. Setelah memasuki tahap penanaman, bibit L. cubeba juga memiliki daya tahan hidup yang rendah, terutama setelah memasuki umur 8 bulan penanaman dengan daya hidup hanya sekitar 15 % (Widodo dan Widyastuti 2011). Hal tersebut terlihat berbeda dengan kondisi permudaan L. cubeba yang sangat tinggi pada habitat alaminya yang secara umum berada pada kondisi areal-areal yang terganggu. Pada perkembangan saat ini, teknologi untuk meningkatkan daya tahan hidup tanaman L. cubeba telah

ditemukan melalui penyemprotan pada tanaman menggunakan sitokinin (Widodo dan Widyastuti 2011).

Berdasarkan kondisi di atas, penelitian-penelitian bidang silvikultur memiliki peran strategis untuk dapat mengembangkan budi daya tanaman L. cubeba dalam skala besar. Upaya perbanyakan bibit secara in-vitro diperlukan untuk mendukung penyediaan bibit, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Setelah tahap penyiapan bibit tanaman sudah dilakukan, upaya-upaya rekayasa faktor-faktor habitat yang berpengaruh terhadap produksi minyak lemo penting diterapkan untuk memperoleh minyak atsiri yang tinggi rendemenya dan memiliki kandungan senyawa sebagaimana dipersyaratkan oleh industri.

Dalam kaitannya dengan kandungan minyak atsiri yang dimiliki L. cubeba, studi-studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui tingkat perbedaan hasil rendemen dan komposisi minyak atsiri yang diperoleh dari tanaman pada areal dengan kondisi stres lingkungan tinggi dan areal-areal yang memiliki karakteristik tanah subur.

Areal hutan mati bekas terpaan abu vulkanik masih membutuhkan penelitian secara lebih fokus melalui dukungan penelitian dari berbagai aspek. Keberadaan L. cubeba pada areal ini belum dapat dijadikan tolok ukur bahwa jenis ini memiliki kecocokan untuk tumbuh dan menghasilkan minyak atsiri sebagaimana pada areal- areal lainnya, mengingat pohon L. cubeba hanya dijumpai dengan jumlah yang sangat terbatas dan berumur relatif masih muda. Penelitian secara khusus dan berkelanjutan terkait dengan pengaruh abu vulkanik dalam hubungannya dengan kemampuan tumbuh dan berkembangnya L. cubeba di areal ini diperlukan untuk menjawab rendahnya hasil minyak atsiri di atas.

Penelitian-penelitian mengenai dinamika komunitas tumbuhan, kondisi tanah dan organisme di dalamnya terutama dalam kaitannya dengan adanya gangguan masih diperlukan secara berkelanjutan dalam jangka panjang (long term research), sehingga proses pemulihan ekosistem secara alami dapat dipantau.