• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

DAN HUBUNGANNYA DENGAN KANDUNGAN MINYAK ATSIRI

ICHSAN SUWANDHI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Preferensi Ekologis

Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri”, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

(4)
(5)

ICHSAN SUWANDHI. Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, ANI SURYANI dan TATANG TIRYANA.

Areal-areal bekas gangguan di Gunung Papandayan telah mengalami perubahan komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan, sejak terjadinya gangguan pada 5–7 tahun yang lalu. Kondisinya sudah sangat berbeda dengan hutan-hutan yang tidak terganggu. Areal-areal bekas perambahan dan bekas kebakaran cenderung mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan hadirnya jenis-jenis pohon pionir yang mendominasi areal, diantaranya adalah Paraserianthes lophantha, Litsea cubeba, Vaccinium varingifolum, Homalanthus populneus, dan Schima wallichii. Kondisi struktur tegakan juga terlihat jelas mengalami perubahan dari pohon-pohon besar dan multistrata ke pohon-pohon berukuran kecil yang terpusat pada strata C (T = 4–10 m) dan D (T = 10–20 m). Keanekaragaman jenis pohon mengalami penurunan dari H’ lebih

dari 2 pada hutan tidak terganggu, menjadi rendah (H’ < 2).

Hal lainnya dari perubahan komunitas tumbuhan pada areal-areal bekas gangguan adalah hadirnya Litsea cubeba (Ki lemo: Sunda; Kranggean: Jawa; Attarasa: Sumatera) yang merupakan salah satu jenis pionir dengan kemampuan okupasi tinggi dan secara visual mampu berkompetisi dengan jenis-jenis invasif. Kehadiran pohon ini menjadi penting untuk diteliti, selain karena peran pentingnya sebagai bagian dari dinamika komunitas tumbuhan, juga karena pohon ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dengan kontribusi minyak atsirinya (minyak lemo atau minyak kranggean atau may chang oil) yang sangat dikenal secara internasional untuk industri farmasi dan kosmetika.

Penelitian ini merupakan kombinasi studi ekologi dan studi kandungan minyak atsiri. Hasil penelitian bermanfaat untuk pertimbangan budi daya dalam rangka mendukung industri biofarmaka di Indonesia. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat sampai saat ini Indonesia sebagai salah satu pemilik potensi bahan baku L. cubeba yang cukup besar, belum berperan banyak pada sektor industri minyak atsiri dunia. Di Jawa Barat, sedikitnya terdapat empat wilayah sebaran alami pohon L. cubeba tepatnya di daerah pegunungan, yaitu Gunung Ciremai, Patuha dan Papandayan. Sebaran lainnya di Indonesia dijumpai di Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (Steenis 2006; Heryati et al. 2009). Hasil studi ekologi menunjukkan bahwa L. cubeba dijumpai mendominasi areal-areal bekas gangguan yang tersebar di zona montana (1500–2500 mdpl) dan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap faktor-faktor iklim (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya). Kecocokan pohon ini terhadap areal tersebut terlihat dari berbagai karakteristik, yaitu memiliki kelimpahan dan okupasi yang tinggi, serta berasosiasi secara positif dengan jenis-jenis pohon lainnya.

(6)

penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Zulnely et al.(2003) di Gunung Ciremai Jawa Barat sebesar 5.4 % , Ho et al. (2010) sebesar 4 % dan Si et al. (2012) di Cina sebesar 4.56 %.

Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa komposisi senyawa minyak atsiri L. cubeba cenderung berbeda antar bagian pohon, sehingga masing-masing bagian memiliki kekhasan senyawa tertentu. Pada bagian daun dijumpai senyawa kimia dominan berupa sineol, sabinen dan α-terpinenyl asetat. Pada buah didominasi oleh sitral, dan pada kulit batang lebih banyak didominasi oleh sitronelal. Secara umum komposisi senyawa ini relatif sama dengan hasil penelitian lainnya, tetapi dari segi senyawa dominan cenderung berbeda. Hal tersebut menjadikan minyak lemo asal Gunung Papandayan memiliki kekhasan tertentu dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Hasil pengujian hubungan antara tipe-tipe habitat dan kandungan minyak atsiri diperoleh informasi bahwa variasi tipe habitat memiliki kaitan yang erat dengan rendemen minyak lemo, tetapi tidak demikian terhadap kandungan senyawa kimianya. Hasil ini membuktikan bahwa bervariasinya nilai rendemen sangat bergantung pada tipe habitat L. cubeba. Hasil pengujian lebih lanjut menggunakan stepwise regression terhadap 32 faktor biofisik habitat (mencakup iklim, topografi, ketinggian tempat dan faktor-faktor tanah, serta dimensi pertumbuhan pohon) dalam kaitannya dengan minyak atsiri yang dihasilkan, diperoleh lima faktor yang berperan terhadap rendemen dan lima faktor lainnya berperan terhadap kandungan senyawa kimia minyak atsiri.

Dari sepuluh faktor yang berperan penting terhadap minyak atsiri tersebut, sembilan faktor diantaranya merupakan faktor-faktor tanah dan satu faktor lainnya adalah lereng (kemiringan lahan). Lima faktor habitat berpengaruh nyata terhadap rendemen, sebagaimana persamaan regresi: Yrendemen = 8,2667 – 0,199 X1 (rasio C/N)

– 0,984 X2 (kandungan Fe) + 0,042 X3 (lereng) + 0,091 X4 (porsi liat tanah) + 0,102 X5 (air tersedia dalam tanah). Lima faktor lainnya secara signifikan berpengaruh terhadap kandungan senyawa minyak lemo disajikan dengan persamaan regresi: Ykandungan_senyawa =

67,687 – 0,232 X1 (ruang pori total) + 12,263 X2 (kandungan S dalam tanah) - 0,297 X3 (air tersedia) + 14,804 X4 (kandungan N dalam tanah) - 2,381 X5 (kandungan Mg dalam tanah).

(7)

ICHSAN SUWANDHI. Ecological Preference of Litsea cubeba Lour Persoon in Papandayan Mountain, West Java and Its Relationship with The Essential Oils Content. Supervised by CECEP KUSMANA, ANI SURYANI, TATANG TIRYANA.

The disturbed areas in the Mt. Papandayan have experienced changes in species composition and structure of plant communities, after experiencing various forms of interference on a few years ago. The plant communities condition is very different from the undisturbed forests. Only hiatus areas which generally have relatively similar conditions with undisturbed forest. On the other hand, ex-encroachment areas and burnt areas tend to experience significant changes. It is characterized by the presence of pioneer tree species that dominate the area, including Paraserianthes lophantha, Litsea cubeba, Homalanthus populneus, and Schima wallichii. The condition is also seen clearly on stand structure changes from large trees and multistory into small trees, centered on strata C (T = 4–10 m) and D (T = 10–20 m). Tree species diversity was decreased from high diversity ( (H' Shanon Wiener index more than 2 in the forest undisturbed, into low diversity (H' < 2) in disturbed areas.

Other term of changes in plant communities in the disturbed areas is the presence of Litsea cubeba (ki lemo: Sundanese; kranggean: Javanese; attarasa: Sumatranese) which is one of the pioneers with high occupational capabilities and visually be able to compete with others . The presence of this tree becomes important to study, in addition to its critical role as part of the dynamics of plant communities, as well as a high economic value of the tree due to essential oil (may chang oil) that is internationally well known for pharmaceuticals and cosmetics industry. It is characterized by its bioactive compound, that have such as anti-oxidant, anti-microbial, insecticidal, and even anti-cancer.

In addition to studies on the essential oil content, this study explores in more depth about the ecological aspects of L. cubeba in their natural habitat. Combination studies of essential oil content and ecological studies will provide an important role as a consideration in the cultivation development to support the medicinal industry, primarily in Indonesia. This is very important as indonesia is a

source of raw materials of essential oils that play a key role in the worl’d essential

oils industry.

In relation to the dynamics of plant communities, the results showed that L. cubeba was found to dominate the disturbed area at montane zone (1500–2500 meters above sea level) and has a range of specific tolerance to climatic factors (temperature, humidity and light intensity) . Compatibility of this tree to the area, seemed to be visible from a variety of characteristics, which were abundance and positively associated with other tree species.

(8)

One-way anova testing showed that the habitat type has a close connection with essential oil yield, but not with the content of their chemical compounds as well. These results proved that the variation of the value of the yield is depend on the type of habitat where L. cubeba grown very much. Of the four groups of existing habitat types is known that former areas of encroachment and burnt areas contributes the highest essential oil yield than other types of disturbed areas. The uniformity of the composition of the essential oil compounds in each habitat is indicative of the type of habitat, but the differences in the composition of the dominant compounds with other regions leads to the expectation of the influence of biophysical factors in the habitat of L. cubeba .

From the next statistical testing using stepwise regression of the 32 habitat biophysical factors (including climate, topography, altitude and soil factors, as well as the dimensions of tree growth) in relation to the yield and composition compound of essential oil, that was obtained that five factors contribute to the yield and the five other factors, also contribute to essential oil content of chemical compounds as well. There are nine factors, including the factors of land and one other factor is the slope. Five factors that significantly affect to the essential oil yield, namely: 1) C/N ratio; 2) Fe content; 3) slope; 4) the portion of clay of soil; and 5) soil water availability. Regression equation of this relationship is Yyield = 8,2667 – 0,199 X1

– 0,984 X2 + 0,042 X3 + 0,091 X4 + 0,102 X5. Five factors that significantly affect the chemical compound, namely 1) total pore space of soil; 2) sulfur content; 3) soil water availability; 4) nitrogen content; and 5) magnesium content in the soil.

Based on a whole series of this research, resulted a recommendation that the cultivation of L. cubeba (in order the special character of the Mt. Papandayan),to support essential oil production, need to consider the characteristics of the location, covering the range of altitude and climatic factors. The design pattern of cultivation need to consider and manipulate the environment to the role of 10 major habitat factors that affect to the yield and chemical composition to be conditioned as characteristics in their natural habitat.

(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2014

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

DAN HUBUNGANNYA DENGAN KANDUNGAN MINYAK ATSIRI

ICHSAN SUWANDHI

Disertasi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor

pada

Mayor Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada ujian tertutup : 1. Dr. Devi Nandita Choesin, M.Sc 2. Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc

(13)

Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri

Nama Ichsan Suwandhi

NIM E461100021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc.

Anggota Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Silvikultur Tropika

Prof. Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulis telah melakukan seri penelitian bidang ekologi hutan sejak April 2012 sampai Agustus

2013 dengan judul “Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di

Gunung Papandayan dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri”.

Selain menghasilkan disertasi, hasil penelitian telah menghasilkan artikel yang diterima untuk dipublikasikan di ITB Journal of Mathematics and Fundamental Science Vol. 46 (2) 2014 (jurnal bereputasi internasional terindeks Scopus) dan Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 24 tahun 2014 (jurnal nasional terakreditasi Dikti). Hasil dari penelitian ini juga telah diseminarkan pada forum ilmiah internasional dan nasional, diantaranya adalah: 1) International Conference on Tropical Biodiversity di IICC Bogor; 2) International Seminar on Tropical Bio-resources for Sustainable Bio-industry di ITB Bandung; 3) 6th International Symposium of IWoRS di Balikpapan; 4) International Seminar on SUSTEP Asia Meeting di Shanghai, Tiongkok; 5) Konferensi Nasional Minyak Atsiri di Padang dan 6) Seminar Nasional Eko-kehati di Makassar.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku ketua komisi beserta anggota komisi, yaitu Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Dr. Tatang Tiryana, M.Sc., yang telah dengan ikhlas dan sabar memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan bantuan biaya studi melalui BPPS sejak tahun 2010; Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Progran Studi Silvikultur Tropika atas segala bentuk pelayanan akademik yang diberikan; Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar pada Program Doktor, SPs IPB; Dekan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB yang selalu memberikan dukungan penuh selama penulis menjalani studi di IPB; Resort Konservasi Gn. Papandayan, BBKSDA Jawa Barat atas dukungan penggunaan lokasi penelitian; Badan Penelitian Tanah Kementerian Pertanian atas dukungan pengujian sifat-sifat tanah; Laboratorium Politeknik Kesehatan Bandung, Kementerian Kesehatan atas dukungan pengujian minyak atsiri; keluarga besar penulis, Bapak Mansyur Aliatmodjo dan Ibu Indiyah Purwoningsih, Istri Sofiatin, S.Hut., M.Si dan anak-anak tercinta Gita Ayu Ramadhani dan Ardisia Fichsandari; mertua Bapak H. Slamet Mulyadi dan Ibu Hj. Wardah Mufrichah; serta semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini.

Akhirnya penulis persembahkan karya ilmiah ini kepada Bangsa Indonesia, semoga bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Oktober 2014

(16)
(17)

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Kerangka Teoritis 3

1.4 Tujuan Penelitian 5

1.5 Hipotesis 5

1.6 Manfaat Penelitian 5

1.7 Ruang Lingkup Penelitian 6

1.8 Kebaruan 6

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Letak dan Luas 8

2.2 Aksesibilitas 8

2.3 Kondisi Fisik 9

2.4 Kondisi Flora dan Fauna 10

2.5 Kondisi Penutupan Lahan 11

2.6 Kondisi Areal Bekas Gangguan 12

3 STRUKTUR KOMUNITAS DAN KOMPOSISI JENIS POHON PADA

AREAL BEKAS GANGGUAN DAN KAITANNYA DENGAN KEBERADAAN POPULASI L. cubeba

3.1 Pendahuluan 14

3.2 Metode Penelitian 15

3.3 Hasil dan Pembahasan 21

3.3.1 Hasil 21

Struktur dan Komposisi Jenis Pohon 21 Keberadaan populasi Litsea cubeba pada areal

bekas gangguan

26

3.3.2 Pembahasan 30

4.4 Simpulan 34

4 RENDEMEN DAN KOMPOSISI MINYAK LEMO DARI BEBERAPA

TIPE HABITAT L.cubeba

4.1 Pendahuluan 36

4.2 Metode Penelitian 37

4.3 Hasil dan Pembahasan 43

4.3.1 Hasil 43

Produksi minyak atsiri 43

Keterkaitan antara kandungan minyak atsiri dan tipe habitat 51

4.3.2 Pembahasan 52

(18)

5 PREFERENSI EKOLOGIS L.cubeba TERHADAP FAKTOR-FAKTOR BIOFISIK YANG BERPERAN MENGHASILKAN MINYAK ATSIRI

5.1 Pendahuluan 56

5.2 Metode Penelitian 58

5.3 Hasil dan Pembahasan 59

5.3.1 Hasil 59

Deskripsi faktor-faktor habitat Ki lemo (L. cubeba) 59 Faktor-faktor biofisik yang berperan menghasilkan rendemen dan kandungan senyawa minyak lemo

70

5.3.2 Pembahasan 71

5.4 Simpulan 77

6 PEMBAHASAN UMUM 78

7 SIMPULAN UMUM 84

8 DAFTAR PUSTAKA 86

LAMPIRAN 92

RIWAYAT HIDUP 113

(19)

2.1 Karakteristik faktor-faktor iklim di lokasi penelitian 9 2.2 Kondisi sifat-sifat tanah pada lokasi penelitian 11 3.1 Karakteristik fisiografi lokasi peneltian berdasarkan hasil penelitian

pendahuluan dan pembagiannya berdasarkan tipe gangguan

17

3.2 Jenis-jenis pohon dominan dan kodominan di lokasi penelitian 22

3.3 Indeks similaritas antar tipe habitat 24

3.4 Kondisi struktur horizontal areal penelitian 24

3.5 Diameter dan tinggi pohon L. cubeba pada setiap lokasi pengamatan 28 4.1 Pembagian lokasi tempat tumbuh L. cubeba berdasarkan tipe habitat 38 4.2 Rendemen minyak atsiri L.cubeba diambil dari tiga bagian pohon pada

tipe habitat berbeda

44

4.3 Hasil distilasi minyak atsiri L.cubeba dari 17 lokasi 44 4.4 Komposisi senyawa minyak atsiri dari daun L.cubeba 45 4.5 Komposisi senyawa minyak atsiri dari buah L. cubeba 47 4.6 Komposisi senyawa minyak atsiri dari kulit batang L. cubeba 49 4.7 Hasil uji beda (independent t-test) nilai rata-rata rendemen minyak

lemo antar dua tipe habitat

52

(20)

1.1 Bagan ruang lingkup penelitian 7

2.1 Peta kawasan Gunung Papandayan dan sekitarnya 8

2.2 Peta keadaan fisiografi Gunung Papandayan 10

2.3 Peta kondisi penutupan lahan di Gunung Papandayan 11 2.4 Kondisi saat ini areal penelitian dari berbagai tipe gangguan 13

2.5 Kondisi hutan tidak terganggu 13

3.1 Desain plot berupa kombinasi jalur dan petak 18

3.2 Jumlah jenis pohon berdasarkan stadium pertumbuhan di lokasi penelitian

21

3.3 Kondisi keanekaragaman jenis pohon di lokasi penelitian 23 3.4 Kondisi sebaran jumlah pohon berdasarkan kelas diameter pada areal

hutan tidak terganggu

25

3.5 Kondisi sebaran kelas diameter pohon pada areal bekas gangguan 25 3.6 Kondisi struktur vertikal komunitas pohon di lokasi penelitian 26

3.7 Profil pohon L.cubeba di Gunung Papandayan 27

3.8 Sebaran titik-titik lokasi tempat tumbuh L.cubeba 27 3.9 Pola sebaran Morisita L.cubeba di Gunung Papandayan 28 3.10 Kelimpahan L.cubeba pada berbagai tingkat pertumbuhan 28 3.11 Hamparan tegakan L.cubeba di Gunung Papandayan 29 3.12 Tingkat okupasi dan dominasi L.cubeba di lokasi penelitian 29 3.13 Proporsi dominasi L.cubeba berdasarkan tingkat pertumbuhan 36

4.1 Tahapan proses penentuan kadar air sampel 39

4.2 Alur proses distilasi menggunakan sistim distilasi uap 40 4.3 Alat GC-MS agilent technology GC type 7890 MS: type 5975 40

4.4 Contoh hasil distilasi minyak atsiri L.cubeba 43

4.5 Kromatogram komposisi senyawa minyak lemo dari bagian daun yang diambil pada empat tipe habitat

46

4.6 Kromatogram komposisi senyawa minyak lemo dari bagian buah yang diambil pada empat tipe habitat

48

4.7 Kromatogram komposisi senyawa minyak lemo dari bagian kulit yang diambil dari beberapa tipe habitat

50

5.1 Kondisi topografi pada setiap lokasi pengamatan 60 5.2 Kondisi sebaran lokasi berdasarkan ketinggian tempat 61

5.3 Kondisi tekstur tanah di lokasi penelitian 62

5.4 Kondisi air tersedia di lokasi penelitian 62

(21)
(22)

1 Daftar jenis-jenis pohon di lokasi penelitian 92 2 Kondisi komposisi jenis pohon di lokasi penelitian 94 3 Rekapitulasi indeks nilai penting (INP) jenis-jenis pohon berdasarkan

tingkatan pertumbuhan

100

4a Rekapitulasi data rendemen minyak lemo hasil dua kali destilasi 102

4b Kromatogram komposisi senyawa minyak lemo 103

5 Rekapitulasi data faktor-faktor habitat L. cubeba di lokasi penelitian 106 6a Rangkuman hasil analisis stepwise regression uji hubungan antara

faktor-faktor habitat dan rendemen minyak atsiri

108

6b Rangkuman hasil analisis stepwise regression uji hubungan antara faktor-faktor habitat dan kandungan senyawa minyak atsiri

110

(23)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gunung Papandayan adalah salah satu gunung berapi di Jawa Barat yang memiliki tipe ekosistem hutan hujan pegunungan. Hutan-hutan di kawasan Gunung Papandayan ini sebagian telah mengalami perubahan akibat berbagai gangguan, baik berupa gangguan alami maupun gangguan antropogenik. Akibat dari gangguan-gangguan tersebut, banyak dijumpai areal-areal terbuka dan hutan-hutan sekunder muda. Hal ini berimplikasi pada perubahan komposisi dan struktur komunitas tumbuhan.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang berhasil dihimpun, diketahui bahwa pada areal-areal bekas gangguan tersebut banyak dijumpai pohon ki lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon). Hal ini ditunjukkan pada hasil penelitian Rahayu (2006), pada beberapa plot pengamatan dijumpai adanya jenis pohon ini. Hasil orientasi lapangan juga menunjukkan kondisi serupa. Dukungan informasi lainnya diperoleh dari masyarakat sekitar, pohon ini diketahui telah ada sejak jaman dahulu dan umum dijumpai secara berkelompok di areal-areal terbuka bekas gangguan. Hasil analisis vegetasi yang dilakukan Rahayu (2006) pada areal bekas letusan menunjukkan bahwa secara umum pohon L. cubeba bukan merupakan spesies yang tergolong dominan di wilayah Gunung Papandayan. Hal ini mengindikasikan bahwa pohon ini lebih melimpah pada areal terbuka bekas gangguan lainnya, yaitu areal-areal bekas perambahan dan kebakaran. Keberadaan L. cubeba di Gunung Papandayan ini belum diteliti secara khusus dibandingkan wilayah-wilayah hutan pegunungan lainnya di Jawa Barat seperti Gunung Ciremai dan Gunung Patuha.

L. cubeba (ki lemo/lemo, Sunda; attarasa, Sumatera; kranggean, Jawa/Indonesia; chinese spice/may chang, Internasional) merupakan jenis pohon kecil sampai sedang yang tumbuh berkelompok di daerah pegunungan pada ketinggian 700–2300 m di atas permukaan laut (Heyne 1987; Steenis 2006). Penyebaran alami pohon ini adalah di wilayah Asia, yaitu China (Tiongkok), Taiwan dan Indonesia serta sekitar Asia Tenggara lainnya (Heryati et al. 2009). Jenis ini dikenal sebagai pohon yang memiliki kegunaan sangat penting bagi dunia farmasi dan kosmetika. Secara tradisioal L. cubeba dikenal masyarakat Jawa Tengah sebagai bahan baku parem-pareman dan jamu, sedangkan di Jawa Barat telah dikenal selain berkhasiat obat, batangnya juga dipercaya sebagai pengusir binatang berbisa terutama ular (Heyne 1987; Sylviani dan Elvida 2010).

Pohon ini memiliki manfaat yang multiguna (Herawati et al. 2005 dan Heryati et al. 2009), semua bagian pohon ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, mulai dari kayu, kulit batang, cabang, daun, buah, bunga, sampai akarnya. Jenis ini sangat terkenal sebagai penghasil minyak atsiri potensial (dikenal dengan istilah may chang oil atau cubeba oil) untuk keperluan industri, seperti bahan kosmetik (aromaterapi), sabun, minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat serta diyakini memiliki potensi sebagai sumber karsinostatic (senyawa anti kanker) (Zulnely et al. 2003; Heryati et al. 2009; Sylviani dan Elvida 2010).

(24)

berbagai wilayah di Asia menunjukkan bahwa semua bagian dari tumbuhan ini mengandung minyak atsiri dengan kandungan dan komposisi senyawa yang cenderung berbeda (Choudury 2002: Hamzah et al. 2003; Luo et al. 2005; Zhao et al. 2010; Wang dan Liu 2010). Di samping itu, minyak atsiri yang dihasilkan diketahui mengandung senyawa-senyawa yang sangat penting bagi dunia kesehatan, antara lain antikanker (Ho et al. 2010), insektisida botani, anti rayap dan mosquito repellent (Jiang et al. 2009; Seo et al. 2009; Noosidum et al. 2008), antimikroba (Feng et al. 2009), antibakteri (Luo et al. 2005; Wang dan Liu 2010) dan antioksidan (Hwang et al. 2005). Selama kurun waktu lima tahun terakhir kegiatan penelitian kandungan senyawa minyak atsiri L. cubeba di Cina dan Korea telah berkembang pada aspek genetika dan molekuler (Chang dan Chu 2011, Wang et al. 2009).

Pesatnya penelitian L. cubeba di bidang biofarmaka ternyata belum diimbangi dengan penelitian ekologi jenis ini di ekosistem alam terutama terkait dengan kondisi habitat dan preferensi ekologis jenis tersebut terhadap faktor-faktor habitat. Penelitian ekologi L. cubeba di Indonesia baru pada tingkat eksplorasi sebaran alami dan potensi tegakan sebagaimana telah dilakukan oleh Zulnely et al. (2003) di Gunung Ciremai dan Heryati et al. (2009) di Gunung Patuha Bandung Selatan. Penelitian serupa dengan cakupan lebih luas juga telah dilakukan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Sylviani dan Elvida 2010), dan Sumatera Utara (Ali dan Manik 2008). Secara umum dapat dinyatakan bahwa baik di Indonesia maupun negara lain, penelitian-penelitian lebih terfokus pada aspek biofarmaka minyak atsiri daripada penelitian ekologi L. cubeba di ekosistem alam.

Status pemanfaatan pohon L. cubeba dalam skala besar di Indonesia berupa pengolahan bagian-bagian pohon menjadi minyak atsiri masih belum diketahui secara jelas. Pengolahan yang sudah dilakukan baru pada skala laboraturium oleh lembaga-lembaga riset yang terkait namun hasil penelitiannya kurang disosialisasikan ke masyarakat luas (Sylviani dan Elvida 2010). Hal tersebut berimplikasi kurang dikenalnya manfaat dari pohon ini di lapisan masyarakat, kecuali masyarakat generasi sebelumnya yang sudah memiliki pengetahuan tradisional.

Permasalahan lainnya adalah belum adanya budi daya pohon L. cubeba dalam skala besar. Keberadaannya hanya ditemukan di hutan alam terutama hutan lindung dan hutan konservasi di daerah pegunungan. Populasi pohon ini cenderung semakin langka di habitat alaminya, Di samping karena sebarannya yang terbatas, juga mulai terancam oleh aktivitas yang dilakukan masyarakat, misalnya penebangan pohon atau pengambilan cabang, ranting dan bagian kulit batangnya (Sylviani dan Elvida 2010).

Penelitian-penelitian untuk menunjang budi daya pohon L.cubeba belum banyak dilakukan dan masih tahap awal terutama dari aspek silvikulturnya. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan menitikberatkan pada uji pembibitan dan penanaman yang didasarkan pada lingkungan tempat tumbuh secara makro dan belum dihubungkan dengan faktor kondisi habitat yang memberi kontribusi terhadap kandungan minyak atsiri beserta senyawa kimia (Heryati et al. 2009; Heryati dan Kurniaty 2007; Herawati et al. 2009; Ali dan Manik 2008).

(25)

ekologis L. cubeba terhadap faktor-faktor habitat di ekosistem alaminya dan hubungannya dengan kandungan minyak atsiri yang dihasilkan. Hal tersebut diperlukan untuk menjembatani penelitian-penelitian mengenai ekologi, budi daya dan biofarmaka. Secara prinsip penelitian ini penting dilakukan untuk menemukan faktor-faktor habitat yang memiliki peran terhadap kandungan senyawa minyak atsiri (minyak lemo) yang dihasilkan pohon L. cubeba.

1.2 Perumusan Masalah

Adanya kecenderungan masih terbatasnya dukungan penelitian bidang ekologi terhadap L. cubeba, menjadikan penelitian ini penting untuk menjawab kesenjangan antara penelitian bidang ekologi dan biofarmaka. Penelitian-penelitian sebelumnya lebih terfokus pada identifikasi rendemen dan komposisi minyak atsiri, tetapi masih belum banyak menghubungkan dengan karaktersistik ekologis habitat L. cubeba (misalnya Zulnely et al. 2003; Luo et al. 2005; Heryati et al. 2009; Zhao et al. 2010; Wang dan Liu 2010; Si et al. 2012). Berdasarkan alasan tersebut maka kedua informasi hasil penelitian baik ekologi maupun biofarmaka akan saling melengkapi untuk mendukung strategi budi dayanya.

Sebagai pohon yang memiliki sebaran terbatas dan tumbuh pada areal-areal terbuka bekas gangguan, secara ekologis L.cubeba memiliki kemampuan tumbuh yang baik pada kondisi tekanan lingkungan yang tinggi. Sebagaimana dijelaskan oleh Cesco et al. (2007), terjadinya tekanan (stress) terhadap tempat tumbuh (ditandai dengan terbatasnya nutrisi pada tanah) akan memicu produksi metabolit sekunder (senyawa-senyawa hasil metabolisme sekunder). Hal tersebut akan memicu meningkatnya kandungan metabolit sekunder pada tumbuhan, termasuk diantaranya adalah kandungan minyak atsiri.

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah bentuk perubahan struktur komunitas dan komposisi jenis

pohon sebagai akibat dari gangguan?

b. Bagaimanakah karaktersistik ekologis L. cubeba dalam komunitas tumbuhan pada areal-areal bekas gangguan ?

c. Bagaimanakah hubungan antara tipe-tipe habitat dan kandungan minyak atsiri yang dihasilkan?

d. Faktor-faktor biofisik apa saja yang memiliki peran penting dalam menghasilkan rendemen dan komposisi senyawa minyak atsiri ?

1.3 Kerangka Teoritis

Hutan pegunungan merupakan salah satu tipe ekosistem dengan komposisi floristik yang berbeda dengan wilayah-wilayah di bawahnya, yang memungkinkan dijumpainya jenis-jenis tumbuhan yang spesifik hidup di dataran tinggi. Iklim dan ketinggian tempat merupakan faktor-faktor yang diketahui berperan penting membentuk komposisi jenis-jenis tumbuhan tersebut. Richter (2008) menjelaskan, hutan pegunungan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, hal ini disebabkan oleh skala-skala yang berbeda.

(26)

kontribusi terhadap diversifikasi. Pada skala gunung, berbagai karakteristik iklim sangat berperan, heterogenitas orografis dan kondisi geologi dan edafis juga memiliki peranan penting terhadap komunitas tumbuhan di dalamnya. Akhirnya, pada skala patch terdapat keanekaragaman mikro-habitat yang dicontohkan oleh berbagai niche dan pola suksesi.

Whitmore (1998) dan Steenis (2006) menjelaskan, faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap entitas dan keberadaan berbagai jenis tumbuhan yang menyusun hutan pegunungan sangat kompleks. Hal ini ditandai oleh berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa faktor iklim seperti suhu dan kelembaban, ketinggian tempat dan topografi, merupakan faktor-faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap kehadiran suatu spesies dan sebaran tumbuhan. Menurut UNEP (2003), kawasan tropika pegunungan memiliki karakteristik struktur dan komposisi yang berubah sesuai perubahan ketinggian tempat, semakin mengarah ke puncak maka faktor-faktor lingkungan semakin tidak kondusif untuk kehidupan tumbuhan dan hewan, hal ini ditandai dengan semakin berkurangnya jumlah spesies dan ukurannya semakin kecil.

Kehadiran L. cubeba di wilayah pegunungan Asia merupakan fenomena yang spesifik. Menurut Steenis (2006), sebaran L. cubeba di dunia dijumpai pada daerah pegunungan di Pulau Jawa, Sumatera, Malaya, Borneo, India di sebelah Timur Himalaya dan Taiwan. Jenis tumbuhan ini tumbuh subur di hutan tropis, hutan di punggung gunung, tetapi paling banyak pada areal semak belukar, cepat menginvansi tempat terbuka, dan mudah mendominasi daerah terbakar. Penjelasan tersebut selaras dengan informasi hasil-hasil penelitian sebelumnya (Ali dan Manik 2008, Heryati et al 2009 dan Si et al. 2012) yang menunjukkan jenis ini secara spesifik tumbuh pada tempat-tempat terbuka di wilayah pegunungan.

Litsea cubeba termasuk ke dalam famili Lauraceae dengan nama daerah ki lemo atau lemo (Jawa Barat), krangean (Jawa Tengah) dan attarasa (Sumatera Utara), sedangkan di Cina dikenal dengan nama may chang (Heyne, 1987). Dalam konteks taksonomi tumbuhan, L. cubeba memiliki sistematika sebagai berikut (USDA NRCS 2014):

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta

(27)

sari bulat, hijau kehitaman. Buah: bulat, keras, hitam. Biji: bulat, putih kotor. Akar: tunggang, coklat kehitaman (Herawati et al. 2005).

Kemampuan tumbuh jenis pohon ini adalah pada daerah terbuka,yang secara umum cenderung memiliki cekaman lingkungan tinggi, menunjukkan bahwa jenis ini memiliki daya tahan hidup tinggi. Hal tersebut terkait erat dengan metabolisme sekunder yang dilakukan sebagai bentuk adaptasi dan pertahanan diri. Respon suatu populasi tumbuhan terhadap stres dan gangguan telah diungkap sebelumnya oleh Grime (1977), yaitu bahwa suatu populasi akan memilih strategi untuk berkembang pada areal terganggu berdasarkan tingkat stres dan gangguan menjadi tiga tipe, yaitu: (1) competitive plants, merupakan bentuk strategi pada kondisi low stress dan low disturbance; (2) ruderal plants, pada kondisi low stress dan high disturbance; dan (3) stress tolerant plants, pada kondisi high stress dan low disturbance. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada kondisi high stress dan high disturbance suatu spesies tidak memiliki strategi tertentu untuk merespon.

Barret (1981) dan Cesco et al. (2007) menjelaskan, organisme yang hidup pada suatu lingkungan dengan stres tinggi akan beradaptasi dan meningkatkan pertahanan dirinya dengan melakukan metabolisme sekunder. Hasil metabolisme sekunder paling jelas diketahui dari pohon ini adalah kandungan minyak atsiri pada seluruh bagian pohon. Berdasarkan uraian tersebut dapat diduga bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara faktor-faktor habitat dengan minyak atsiri yang dihasilkannya.

Preferensi ekologis atau preferensi habitat menunjukkan suatu bentuk kecocokan suatu spesies organisme terhadap tempat hidupnya. Suatu spesies pasti memiliki kecocokan tertentu terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu, sehingga spesies tersebut dapat hidup dan berkembang dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa suatu spesies akan memilih atau menggunakan faktor-faktor lingkungan tertentu untuk menghasilkan informasi tertentu pula pada tumbuhan tersebut, termasuk dalam menghasilkan minyak atsiri sebagai hasil metabolisme sekunder (Kusmana C 15 April 2012, komunikasi pribadi). Yamada et al. (2007) memberikan penjelasan, preferensi habitat yang kuat suatu spesies pohon di hutan tropika tidak ada kaitannya dengan dinamika populasi, tetapi lebih kepada kemampuan untuk tumbuh. Pada hasil penelitian terdahulu, Auerbach (1981) menyatakan bahwa selain respon yang dilakukan oleh organisme, suatu ekosistem juga memiliki respon terhadap stres, yang kemudian memungkinkan bagi jenis tumbuhan atau hewan tertentu menjadi cocok untuk tumbuh dan berkembang biak. Hal ini dapat dinyatakan bahwa akibat respon suatu ekosistem terhadap stres dapat menjadi pemicu munculnya preferensi spesies tertentu.

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Memperoleh informasi mengenai karakteristik ekologi populasi L. cubeba pada lokasi tempat tumbuh alaminya, mencakup kelimpahan, pola sebaran, kondisi fisik fisiologis dan karakteristik morfologis pada berbagai variasi tapak/habitat, serta posisinya dalam komunitas tumbuhan dan asosiasi dengan spesies lainnya.

(28)

3. Memperoleh informasi mengenai preferensi ekologis L. cubeba terhadap faktor-faktor biofisik habitat yang berperan terhadap rendemen dan komposisi kimia minyak atsiri.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan hasil penelaahan teoritis dan hasil-hasil penelitian bidang ekologi, dapat ditarik hipotesis dari penelitian ini sebagai berikut:

1. L. cubeba memiliki preferensi ekologis tertentu terhadap faktor-faktor habitat pada ekosistem alami, artinya terdapat kecocokan tertentu bagi L. Cubeba untuk tumbuh baik pada tipe habitat tertentu.

2. Terdapat hubungan antara tipe-tipe habitat dengan minyak atsiri yang dihasilkan, semakin tinggi intensitas gangguan habitatnya akan menghasilkan produksi minyak atsiri yang semakin tinggi.

3. Terdapat faktor-faktor tertentu dari habitat, seperti iklim, tanah, ketinggian tempat, dan topografi yang secara spesifik berperan penting dalam menghasilkan minyak atsiri.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memberikan kontribusi yang nyata dalam rangka pengembangan budi daya tanaman L. cubeba berdasarkan preferensi ekologi yang dimiliki dalam menghasilkan minyak atsiri. Bagi pengembangan ipteks bidang kehutanan, hasil penelitian akan memberikan pertimbangan penting dalam rangka penelitian lebih lanjut terkait aspek silvikultur, restorasi ekosistem dan konservasi. Bagi pengambil keputusan/pemerintah, memberikan pertimbangan penting dalam konservasi jenis dan habitatnya, serta strategi restorasi areal-areal bekas gangguan. Bagi praktisi, memberikan pertimbangan penting dalam upaya-upaya pengembangan budi daya jenis ini agar diperoleh minyak atsiri yang diinginkan, baik kuantitas maupun kualitasnya.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi, penelitian pendahuluan mengenai keadaan struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada areal-areal bekas gangguan; penelitian utama mencakup: (1) karakteristik ekologi populasi L. cubeba pada berbagai tipe areal bekas gangguan, (2) hubungan antara produksi minyak atsiri dan tipe-tipe habitat, dan (3) preferensi ekologis L. cubeba terhadap faktor-faktor habitat yang berperan dalam menghasilkan minyak atsiri. Ruang lingkup penelitian secara lebih jelas disajikan pada Gambar 1.1.

1.8 Kebaruan (Novelty)

(29)

informasi mengenai faktor-faktor habitat yang secara ekologis berperan terhadap kandungan minyak atsiri di habitat alami L. cubeba.

Dalam rangka menjembatani kesenjangan tersebut, sebagai bentuk kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah menemukan preferensi ekologis pohon L. cubeba terhadap faktor-faktor habitat yang berpengaruh terhadap rendemen dan komposisi senyawa minyak atsiri pada ekosistem alaminya. Dengan memasukkan unsur preferensi ekologis dalam pengembangan budi daya maka akan ditemukan kandungan minyak atsiri yang terbaik.

Gambar 1.1 Bagan ruang lingkup penelitian

Tahap awal: Penelitian Pendahuluan

Kondisi struktur dan komposisi jenis pada areal-areal bekas gangguan - Identifikasi tipe-tipe gangguan

- Karakterisasi kondisi areal

- Komposisi dan struktur komunitas tumbuhan

Penelitian Tahap 1:

Studi Karakteristik ekologis L. cubeba pada berbagai tipe habitat - Pengukuran faktor-faktor habitat (iklim, tanah, topografi dan

elevasi)

- Analisis populasi (kelimpahan, dominasi, pola sebaran dan asosiasi interspesifik)

Penelitian Tahap 2:

Hubungan antara tipe habitat dan kandungan minyak atsiri - Pengambilan simplisia bagian daun, buah dan kulit batang - Penyulingan minyak atsiri menggunakan metode destilasi uap - Pengukuran rendemen minyak atsiri

- Identifikasi komposisi senyawa melalui analisis GC-MS (gas chromatography – mass spectrometry)

- Pengujian keterkaitan antara perbedaan tipe habitat dengan minyak atsiri yang dihasilkan menggunakan Uji Anova dan uji parsial perbedaan antar habitat menggunakan uji t

Penelitian Tahap 3:

Preferensi ekologis L.cubeba terhadap faktor-faktor biofisik yang berperan dalam menghasilkan minyak atsiri

- Penentuan faktor-faktor biofisik yang berpengaruh nyata terhadap produksi rendemen dan komposisi senyawa minyak atsiri menggunakan stepwise regression, dan uji signifikansi masing-masing faktor menggunakan uji t.

Faktor-faktor habitat penentu

(30)

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Letak dan Luas

Gunung Papandayan merupakan salah satu gunung berapi yang secara administratif terletak di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung Jawa Barat. Kawasan ini berupa cagar alam (CA) dan taman wisata alam (TWA) yang dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat. Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 226 / Kpts – II / 1990 tgl. 8 Mei 1990 seluas ; 7.032 Ha, terdiri dari Cagar Alam seluas : 6.807 ha dan TWA seluas : 225 ha. Letak geografis kawasan berada

pada 7º30’ Lintang Selatan dan 107º31’–180º Bujur Timur. Gambar 2.1

menunjukkan peta kawasan Gunung Papandayan dan sekitarnya (Zuhri dan Sulistyawati 2007).

Gambar 2.1 Peta kawasan Gunung Papandayan dan sekitarnya (sumber: Zuhri dan Sulistyawati 2007)

2.2 Aksesibilitas

(31)

dengan kualitas sedang sepanjang ± 9 km hingga tiba di kawasan parkir. Untuk mengakses kawasan CA dan TWA dilakukan perjalanan dengan berjalan kaki.

Kawasan Gunung Papandayan juga dapat diakses dari wilayah Kabupaten Bandung, tepatnya dari Kecamatan Pangalengan. Dari Kota Bandung perjalanan dilakukan menuju Kota Soreang (ibu kota kabupaten) sepanjang 45 km, dilanjutkan ke Kota Pangalengan sepanjang 30 km dengan kondisi jalan aspal baik. Dari Kota Kecamatan Pangalengan perjalanan dilanjutkan menuju Desa Cileuleuy dengan jarak sekitar 30 km melintasi kawasan perkebunan teh dengan kondisi jalan sebagian beraspal dan sebagian lagi jalan berbatu. Kondisi jalan yang sebagian berbatu mengakibatkan perjalanan menuju Desa Cileuleuy membutuhkan waktu cukup lama (sekitar 3 jam). Berbeda dengan akses masuk kawasan melalui Garut, dari Pos di Desa Cileuleuy masih membutuhkan waktu 2–3 jam untuk dapat mengakses kawasan dengan menggunakan kendaraan roda dua melintasi jalan di kawasan perkebunan rakyat, hingga batas hutan. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua jam. (BBKSDA Jawa Barat 2011).

2.3 Kondisi Fisik

Gunung Papandayan merupakan jenis gunung berapi yang memiliki beberapa kawah aktif, diantaranya terdapat tiga kawah yang meletus pada tahun 2002 yaitu Kawah Baru, Kawah Nagklat dan Kawah Emas (BBKSDA Jawa Barat 2011).

Kawasan Gunung Papandayan memiliki konfigurasi lapangan bergelombang dengan topografi curam, berbukit dan bergunung-gunung serta tebing yang terjal dengan ketinggian berkisar antara 2170–2662 mdpl. Wilayah ini termasuk tipe hujan B dengan curah hujan rata-rata tahunan 2550 – 3500 mm/th, kelembaban udara 70–90 % dan suhu harian 17–25 ºC (BBKSDA Jawa Barat 2011). Hasil pengukuran faktor-faktor iklim secara mikro pada lokasi penelitian diperoleh informasi suhu rata-rata 19.28 oC ± 2.93, kelembaban rata-rata 78.5 % ± 10.33 dan intensitas cahaya rata-rata 16 713 lx ± 23 843.

Di dalam Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Papandayan terdapat sumber air, baik air panas maupun air dingin. Sungai yang mengalir di dalam kawasan antara lain adalah Ciparugpug, Cibeureum, Cisaladah, Cigebog dan Cingenah. Sebagian dari sungai bereaksi asam karena melewati daerah belerang, tetapi juga dijumpai sungai yang airnya tawar dan dapat digunakan untuk mandi dan memasak (Gambar 2.2).

Ditinjau dari aspek geologi dan tanah, Gunung Papandayan mempunyai jenis batuan yang terdiri dari batuan vulkanik, pigosol, andosol, dan batuan intermediet gelombang bergunung dengan ketebalan solum tanah berkisar antara 30–60 cm. Jenis tanah yang dijumpai di sekitar Gunung Papandayan didominasi oleh tanah andosol yang memberikan peluang terhadap potensi usaha komoditi sayuran (BPT 1994).

(32)

breksi, lava, lahar dan tufa yang mengandung kuarsa dan terakumulasi pada dataran antar gunung di Garut.

Batuan tertua yang tersingkap di lembah Sungai Cimanuk diantaranya adalah breksi volkanik bersifat basaltik yang kompak, menunjukkan kemas terbuka dengan komponen berukuran kerakal sampai bongkah. Secara umum, batuan penyusun dataran antar gunung Garut didominasi oleh material vulkanik klasik berupa alluvium, pasir, kerakal, kerikil, dan lumpur.

Gambar 2.2 Peta keadaan fisiografi Gunung Papandayan

Sebagai gunung berapi, Papandayan juga memiliki potensi bahan-bahan alam, antara lain adalah: (1) batuan beku, bahan ini cukup melimpah berupa lava berkomposisi andesit dan andesitbasaltik; (2) belerang (sulfur), sangat berlimpah di Kawah Emas; dan (3) kaolin, terutama terdapat di sekitar Walirang (salah satu puncak di Gunung Papandayan) dan Kawah Emas.

2.4 Kondisi Flora dan Fauna

Secara umum vegetasi di TWA/CA Gunung Papandayan diantaranya adalah pohon cantigi (Vacinium lucidum) dan edelweiss (Anaphalis javanica), dan vegetasi hutan campuran terdiri dari perdu, pohon dan semak belukar dengan tajuk saling menutupi diantaranya adalah puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), jamuju (Podocarpus imbricatus), pasang (Quercus sp.), dan lame (Alstonia angustifolia). Di kawasan ini jenis pohon L. cubeba tersebar secara berkelompok pada areal-areal terbuka.

(33)

di kawasan TWA/CA Papandayan ini, antara lain adalah lutung (Presbytitis cristata (Trachypitecus auratus), musang (Paradoxurus hermaproditus), babi hutan (Sus sp.), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Histrix sp.), trenggiling (Manis javanica) dan lain-lain.

2.5 Kondisi Penutupan Lahan

Gunung Papandayan merupakan kawasan yang memiliki intensitas gangguan yang tinggi, baik akibat gangguan alam maupun antropogenik. Gangguan alami yang sering terjadi adalah letusan sebagaimana dilaporkan oleh BBKSDA Jawa Barat bahwa areal telah mengalami beberapa kali letusan diantaranya pada tahun 1773, 1923, 1942, 1993, dan 2002. Bentuk-bentuk gangguan antropogenik yang paling tinggi intensitasnya adalah perambahan dan kebakaran hutan.

Akibat gangguan-gangguan tersebut, areal telah mengalami banyak perubahan penutupan lahan. Zuhri dan Sulistyawati (2007) menyatakan bahwa pada kawasan ini terdapat tiga tipe penutupan vegetasi utama, yaitu vegetasi kawah, hutan campuran, dan padang rumput. Berdasarkan peta penggunaan lahan Gunung Papandayan skala 1 : 45000, diketahui pula bahwa selain tipe-tipe yang disebutkan di atas terdapat areal-areal semak belukar dan tanah kosong yang diduga merupakan bekas gangguan perambahan dan kebakaran (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Peta kondisi penutupan lahan di Gunung Papandayan

(34)

sekitar kawasan juga secara umum dikelilingi oleh tegalan/ladang masyarakat dan perkebunan teh. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dinyatakan bahwa kawasan ini mengalami gangguan dengan intensitas tinggi.

2.6 Kondisi Areal Bekas Gangguan

Areal-areal bekas gangguan secara umum sedang dalam proses suksesi. Semakin berat taraf gangguan menyebabkan semakin lambatnya proses suksesi berlangsung yang ditandai dengan kondisi tutupan vegetasinya (Gambar 2.4). Gambaran kondisi areal-areal bekas gangguan hasil observasi secara langsung di lapangan diuraikan sebagai berikut:

1) Areal bekas perambahan

Areal yang umum dijumpai di dalam kawasan adalah bekas perambahan yang telah ditinggalkan sejak tahun 2007 yang kemudian berkembang secara alami terjadi suksesi sekunder. Perambahan kerap dilakukan masyarakat penggarap terhadap areal hutan yang berbatasan dengan lahan kebun masyarakat, umumnya ditanami tanaman sayuran atau tembakau.

Ditinjau dari segi penutupan vegetasinya diketahui pada areal penelitian masih dijumpai pohon-pohon asli hutan alam dengan kerapatan jarang (jarak antar pohon sekitar 15–20 m). Berdasarkan kondisi tersebut diketahui bahwa pada saat masyarakat melakukan pembukaan areal, tidak semua pohon ditebang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selain dijumpainya pohon-pohon asli, areal bekas perambahan telah ditumbuhi oleh permudaan dari jenis-jenis pohon pionir bersama-sama dengan semak belukar.

2) Areal bekas kebakaran

Bentuk penutupan vegetasi pada areal bekas kebakaran tahun 2008 secara umum merupakan hamparan semak belukar didominasi oleh Kirinyuh (Chromolaena odorata) atau berupa tegakan pohon pionir seperti Paraserianthes lophantha, Litsea cubeba dan Homalanthus populneus. Kebakaran yang terjadi menimbulkan dampak kerusakan areal secara total, terdapat beberapa batang pohon yang masih mampu bertahan hidup. Areal bekas gangguan cenderung cepat melakukan pemulihan melalui proses suksesi. Hal ini ditandai oleh sebagian besar areal yang telah diisi oleh pohon-pohon pionir.

3) Areal bekas terpaan abu vulkanik letusan

Hutan mati bekas terpaan abu vulkanik letusan secara umum hanya didominasi semak berupa paku-pakuan dan sedikit anakan pohon. Kondisi areal bekas terpaan abu vulkanik cenderung mengalami kerusakan tinggi bila dibandingkan dengan bekas terpaan lahar. Hal ini didasarkan pada penelitian Rahayu (2006) bahwa areal bekas terpaan lahar pada saat penelitian dilakukan telah mengalami suksesi sekunder ditandai hadirnya anakan-anakan alam sebanyak 6 jenis permudaan tingkat semai, 10 jenis tingkat pancang, 7 jenis tingkat tiang dan 12 jenis pada tingkat pohon.

(35)

sebagaimana aliran lahar, tetapi sampai beberapa waktu yang lama terjadi terpaan abu vulkanik yang konsentrasinya sangat tinggi selama beberapa hari. Gambar 2.4 mengilustrasikan contoh kondisi pada saat ini areal-areal bekas terkena gangguan sekitar 5–7 tahun yang lalu. Areal-areal bekas gangguan ini secara-berangsur-angsur mulai terisi oleh berbagai jenis tumbuhan pionir, kecuali pada areal hutan mati yang masih belum banyak mengalami perubahan yang berarti.

Gambar 2.4 Kondisi saat ini di areal penelitian di berbagai tipe gangguan

(A: rumpang/gap; B: areal bekas perambahan tahun 2007; C: areal bekas kebakaran tahun 2008; D: areal hutan mati pasca letusan tahun 2003)

Selain areal-areal bekas gangguan, di Gunung Papandayan masih terdapat areal hutan yang tidak terganggu, yang diduga merupakan hutan sekunder tua. Hal ini ditandai dengan dijumpainya pohon-pohon asli hutan alam setempat, diantaranya adalah Castanopsis, Litsea, Engelhardtia, Quercus dan Schima, serta jenis-jenis Vaccinium pada areal di sekitar kawah. Hutan-hutan alami yang tidak terganggu ini terdapat pada dua blok utama, yaitu blok Supa Beureum dan blok Puntang (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Kondisi hutan tidak terganggu (A: hutan yang terdapat di blok Supa Beureum; B: Hutan di blok Puntang)

(A) (B)

(C) (D)

(36)

3 STRUKTUR KOMUNITAS DAN KOMPOSISI JENIS POHON

PADA AREAL BEKAS GANGGUAN DAN KAITANNYA

DENGAN KEBERADAAN POPULASI

L. cubeba

3.1 Pendahuluan

Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki gunung-gunung berapi, di wilayah ini umum dijumpai ekosistem hutan hujan pegunungan. Hutan hujan pegunungan tersebut dikenal dengan kekayaan kenekaragaman hayati yang cukup tinggi (Steenis 2006; BBKSDA Jawa Barat 2011). Hal ini sesuai pula dengan penjelasan Richter (2008), hutan hujan tropika pegunungan memiliki kekayaan spesies lebih tinggi daripada hutan-hutan tropika kering lainnya. Kapelle (2004) menjelaskan, hutan tropis pegunungan umum ditemukan pada ketinggian 500–4000 m dpl. dan sebagian besar terletak pada kisaran ketinggian 1500–2800 m dpl. Berbeda halnya dengan daerah kepulauan, misalnya Kepulauan Karibia, hutan tropis pegunungan dapat dijumpai pada ketinggian 300 m dpl. Menurut UNEP (2003), sekitar 3.4 % dari permukaan bumi di wilayah tropika adalah kawasan pegunungan dengan komposisi floristik yang khas.

Kekhasan komposisi floristik yang dimiliki hutan pegunungan cenderung mengalami perubahan yang diakibatkan oleh munculnya berbagai gangguan terhadap ekosistem, baik gangguan yang bersifat alami maupun antropogenik. Hal ini ditunjukkan oleh perubahan komunitas tumbuhan dari hutan primer menjadi berbagai bentuk penutupan vegetasi, mulai dari semak belukar sampai hutan sekunder. Hasil-hasil penelitian di hutan-hutan pegunungan Jawa Barat menunjukkan kondisi perubahan tersebut, penelitian Wiharto et al. (2008) dan Wiharto (2009) di Gunung Salak menunjukkan bahwa gangguan-ganguan baik alami maupun antropogenik telah mengubah kondisi ekosistem hutan, perubahan terjadi pada distribusi, komposisi dan struktur dari berbagai tipe vegetasi. Hasil penelitian serupa di Gunung Gede Pangrango (Arrijani et al. 2006; Utomo et al. 2007 ) menunjukkan bahwa gangguan-gangguan telah mengakibatkan perubahan struktur dan komposisi jenis tumbuhan pada sebagian zona montana, terutma hadirnya spesies-spesies asing yang invasif mengisi areal-areal terbuka dan semakin meluas menginvasi areal di sekitarnya.

Hasil penelitian di wilayah tropika lainnya sebagaimana dilakukan oleh Bellingham dan Sparrow (2009) pada plot permanen di hutan tropika pegunungan Jamaika menunjukkan bahwa gangguan dan kadar nutrisi pada tanah berhubungan erat dengan struktur pohon-pohonnya. Contoh hasil penelitian lainnya, dilakukan di hutan hujan pegunungan Chiapas Meksiko, Ramirez-Marcial et al. (2001) menemukan bentuk kecenderungan bahwa semakin tinggi intensitas gangguan akan semakin menurunkan jumlah pohon, kepadatan absolut dan luas bidang dasar.

(37)

tersebut sangat dikenal dengan sebutan “hutan mati”. Pada kondisi saat ini areal

telah berkembang mengalami regenerasi ditandai dengan hadirnya semai dan pancang yang didominasi jenis-jenis Vaccinium (Rahayu 2006).

Bentuk-bentuk gangguan antropogenik cenderung memiliki frekuensi yang lebih tinggi ditandai dengan kebakaran dan perambahan yang terjadi hampir setiap tahun. Hal tersebut berdampak pada berubahnya kondisi hutan menjadi semak belukar atau hutan sekunder muda dengan sisa-sisa pohon primer. Zuhri dan Sulistyawati (2007) menyatakan bahwa kegiatan perambahan paling sering terjadi di Gunung Papandayan hingga mencapai 340 ha, namun berdasarkan informasi dari BBKSDA sejak tahun 2008 secara bertahap areal-areal perambahan mulai ditinggalkan penggarap dan pada saat ini areal-areal tersebut sedang dalam proses pemulihan.

Kehadiran L. cubeba pada areal-areal terbuka bekas gangguan, terutama areal bekas perambahan dan bekas kebakaran, penting untuk diketahui lebih lanjut karakteristik ekologi populasi pohon ini pada berbagai variasi lokasi. Hal ini diduga berhubungan dengan kelimpahan dan pola regenerasinya, di samping posisinya di dalam komunitas tumbuhan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Komposisi jenis dan struktur komunitas pohon pada areal hutan setelah mengalami berbagai tipe gangguan, (2) karakteristik habitat dan populasi L. cubeba. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting tentang perkembangan komunitas tumbuhan pada areal bekas gangguan dan kaitannya dengan kehadiran L. cubeba. Hal ini diperlukan untuk memberikan pertimbangan terhadap penelitian lebih lanjut.

3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Waktu dan lokasi

Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai November 2012 di wilayah Gunung Papandayan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Lokasi yang dijadikan sasaran penelitian berupa areal-areal bekas gangguan baik gangguan alami maupun antropogenik. Selanjutnya berdasarkan kondisi penutupan lahan, ketinggian tempat dan fisiografi bentang lahan, penelitian pendahuluan telah dilakukan dan ditetapkan secara purposif terhadap areal-areal bekas gangguan yang mewakili setiap tipe gangguan (Tabel 3.1).

.

3.2.2 Bahan dan peralatan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra landsat kawasan Gunung Papandayan tahun 2012 untuk mengetahui sebaran areal bekas gangguan. Peralatan yang digunakan meliputi: (1) GPS untuk menentukan koordinat plot-plot pengamatan; (2) Altimeter untuk mengukur ketinggian tempat dari permukaan laut; (3) Clinometer untuk mengukur lereng; (4) alat-alat ukur dimensi pohon; (5) perlengkapan plot penelitian dan (6) peralatan tulis menulis dan dokumentasi. 3.2.3 Metode pengambilan Data

3.2.3.1 Penelitian pendahuluan

(38)

visual lokasi-lokasi tempat tumbuh L. cubeba dan pengambilan data sekunder pada sumber-sumber data. Pada tahap ini sekaligus dilanjutkan dengan pembuatan plot-plot pengamatan, dilanjutkan dengan pengukuran faktor-faktor tempat tumbuh mencakup ketinggian tempat, iklim dan kelerengan.

3.2.3.1 Pelaksanaan penelitian

Areal-areal penelitian sebagaimana disajikan pada Tabel 3.1 dikelompokkan lebih lanjut menjadi empat kelompok berdasarkan jenis dan taraf gangguannya, yaitu:

1) Ringan, yaitu areal-areal berupa rumpang/celah bekas pohon tumbang, sebagian besar masih berupa hutan dengan kondisi baik, dan tingkat keterbukaan areal rendah (< 20 %). Berdasarkan kriteria ini maka lokasi-lokasi yang termasuk dalam kategori ringan adalah blok Lutung, Batu Kasang, Puntang dan Tegal Panjang.

2) Sedang, yaitu areal-areal yang terganggu oleh kegiatan perambahan, pada saat pembukaan hutan dilakukan masih menyisakan pohon-pohon hutan dengan kerapatan jarang, tingkat keterbukaan areal mencapai 60 – 80 %. Lokasi-lokasi yang termasuk kategori ini umumnya berada di sekitar lahan perkebunan rakyat, yaitu mencakup blok Pondok Serok, Tibet, Lutung, Curug Angklung dan Batu Kasang.

3) Berat, yaitu areal-areal yang terganggu akibat kebakaran selama beberapa waktu, kemudian areal menjadi terbuka total (keterbukaan menapai 80 – 100 %) dan hanya menyisakan hamparan vegetasi yang telah hangus terbakar. Lokasi-lokasi yang mewakili areal bekas kebakaran meliputi blok Gunung Walirang, Puntang dan Cibeurum.

4) Sangat berat, yaitu areal-areal yang terganggu oleh terpaan abu vulkanik letusan dan dampaknya berlangsung terus menerus, mengakibatkan areal terbuka total dan seluruh tutupan vegetasi di atasnya mengalami kematian secara masif, areal ini disebut juga dengan istilah hutan mati. Lokasi yang termasuk dalam kategori ini adalah blok Tegal Alun dan Puncak Waternimen. 5) Areal hutan tidak terganggu, di samping keempat tipe lokasi di atas, areal

hutan tidak terganggu digunakan sebagai pembanding/kontrol, yaitu areal hutan yang tingkat penutupannya rapat dan pada areal tersebut tidak terdapat indikasi bekas gangguan. Lokasi yang dipilih adalah hutan-hutan yang berada di wilayah Supa Beureum dan Puntang.

(39)

Tabel 3.1 Karakteristik fisiografi lokasi peneltian berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dan pembagiannya berdasarkan tipe gangguan.

No Taraf

Supa Beureum (SB) 2157 Datar Hutan sekunder tua

Lembah Puntang (PT) 2100 Datar Hutan sekunder tua

2 Ringan Rumpang Lutung (LT) 2040 Curam Hutan sekunder tua

Batu Kasang (BK) 1882 Agak curam Hutan sekunder tua

Supa Beureum (SB) 2157 Datar Hutan sekunder tua

Tegal Panjang (TP) 2041 Agak curam Hutan sekunder tua

3 Sedang Areal bekas

Lembah Cibeureum (CB) 2160 Landai semak belukar

didominasi kirinyuh

Tibet (TB) 2100 Landai semak belukar

didominasi kirinyuh

Curug Angklong (CA) 2100 Landai semak belukar

didominasi kirinyuh

Puntang (PT) 2040 Sangat curam hutan sekunder

muda

Bungbrun (BR) 2169 Datar - landai semak belukar

didominasi kirinyuh

Tegal Alun (TA) 2550 Landai semak belukar

didominasi paku-pakuan

Puncak waternimen (PW) 2446 Agak curam semak belukar

didominasi paku-pakuan

Ukuran sub-sub plot pengamatan ditetapkan sesuai dengan stadium pertumbuhan pohon (Kusmana 2007) sebagai berikut:

1) Sub plot ukuran 2 x 2 m untuk pengamatan tingkat semai (tinggi < 1.5 m); 2) Sub plot 5 x 5 m untuk pengamatan tingkat pancang (tinggi > 1.5 m – diameter

< 10 cm);

3) Sub plot 10 x 10 m untuk pengamatan tingkat tiang (diameter 10–19 cm); dan

4) Sub plot 20 x 20 m untuk pengamatan tingkat pohon (diameter ≥ 20 cm).

(40)

Gambar 3.1 Desain plot berupa kombinasi jalur dan petak (A: subplot 2 x 2 m, B: subplot 5 x 5 m, C: subplot 10 x 10 m, D: subplot 20 x 20 m)

3.2.4 Analisis data

Data vegetasi dianalisis menggunakan rumus-rumus sebagai berikut (Ludwig dan Reynold 1988; Soegianto 1994; Kusmana 1997):

1) Indeks nilai penting (INP), dengan tahapan penghitungan: a. Kerapatan Jenis i (Ki) dan Kerapatan Relatif (KR)

b. Frekuensi Jenis i (Fi) dan Frekuansi Relatif (FR)

c. Dominasi Jenis i (Di) dan Dominasi Relatif (DR)

d. Indeks Nilai Penting (INP)

INP semai, pancang= KR + FR

INP tiang, pohon = KR + FR + DR

2) Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener(H’), dengan rumus: s

H’ = -

Pi log. Pi; Pi = ni/N i

Pi : Proporsi jumlah individu jenis-i (ni) terhadap jumlah total individu (N)

S : Jumlah jenis

(41)

Nilai keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (H’) menunjukkan stabilitas

dan kompleksitas suatu komunitas. Nilai H’ = 0, jika terdapat hanya 1 jenis dalam suatu petak contoh, nilai H’ meningkat dengan meningkatnya jumlah

jenis dan makin meratanya penyebaran individu di antara jenis. Nilai H’ maksimum jika seluruh jenis diwakili oleh jumlah individu yang sama (Ludwig dan Reynold, 1988). Selanjutnya indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dapat diklasifikasikan ke dalam 5 kategori (Barbour et al. 1987 dalam Stohlgren 2007), yaitu: H’ < 1 (sangat rendah), H’ = 1–

2 (rendah), H’ = 2–3 (sedang), H’ = 3–4 (tinggi) dan H’ = 4 ke atas (sangat

tinggi).

3) Indeks kesamaan komunitas (similarity index)

Indeks kesamaan jenis (IS) atau persentase kesamaan (PS) dihitung dengan rumus:

IS (%) = (2W/(A+B)) x 100

Keterangan:

IS : Index of similarity;

W: jumlah nilai penting terkecil untuk masing-masing jenis di kedua komunitas yang diamati.

A : jumlah nilai penting masing-masing jenis dari komunitas pertama B : jumlah nilai penting masing-masing jenis dari komunitas kedua

Indeks kesamaan jenis merupakan suatu nilai yang menunjukkan kesamaan komposisi jenis tumbuhan antar dua komunitas yang dibandingkan. Dua komunitas yang memiliki kelimpahan jenis persis sama memiliki IS = 100 %, sebaliknya IS = 0 % apabila dua komunitas yang dibandingkan sama sekali berbeda, IS ≥ 75 % apabila dua komunitas yang dibandingkan dianggap sama, dan IS < 75 % apabila dua komunitas yang dibandingkan berbeda (Ludwig dan Reynolds, 1988).

4) Indeks penyebaran Morisita (Ip), dengan tahapan: a. Menghitung nilai indeks Morisita:

n adalah jumlah plot contoh, dan x adalah jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot

b. Menentukan pola sebaran dengan menghitung Mu dan Mc:

c. Menentukan standar derajat Morisita, yaitu Jika Ip lebih kecil dari nol

Mu: adalah indeks Morisita untuk pola sebaran seragam; X2

0.975 : nilai chi-square tabel dengan

derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 97.5 %

Mc: indeks Morisita untuk pola sebaran mengelompok; X2

0.025 : nilai chi-square tabel dengan derajat bebas n-1

(42)

sebarannya mengelompok. Perhitungan Ip disajikan pada rumus sebagai berikut:

5) Asosiasi interspesifik menggunakan rumus variance ratio (VR), dengan tahapan penghitungan sebagai berikut:

a. Menyusun matrik presence-absence seluruh spesies, dengan contoh formulasi sebagai berikut:

b. Menghitung varians sampel total, untuk keterdapatan S spesies dalam sampel, dengan rumus:

S

δT2= ∑ p

i (1-pi); pi = ni/N i=1

c. Menduga varians jumlah spesies total, dengan rumus: N

ST2= 1/N ∑ (Tj-t)2; j=1

t : jumlah rata-rata spesies dalam sampel

d. Menghitung variance ratio(VR) :VR = δT2/ ST2

Apabila VR lebih besar dari 1 maka terjadi asosiasi yang positif antar spesies, sebaliknya apabila VR lebih kecil dari 1 maka asosiasinya bersifat negatif. Selanjutnya untuk menguji apakah terdapat penyimpangan terhadap nilai 1, dilakukan penghitungan nilai statistik W sebagai berikut:

W = (N) (VR). Apabila nilai W berada di luar rentang X2

0.5.N < W < X20.95.N, hipotesis bahwa tidak ada asosiasi diterima.

6) Struktur horizontal dianalisis dengan cara mengelompokkan data kelimpahan/kerapatan berdasarkan sebaran stadium pertumbuhan pohon,

(43)

diikuti data diameter pohon ke dalam kelas-kelas diameter, yaitu: 10–20 cm, 20–30 cm, 30–40 cm, 40–50 cm dan di atas 50 cm.

7) Struktur vertikal pohon-pohon pada lokasi penelitian dikelompokkan ke dalam lima stratum berdasarkan kelas tinggi (Kusmana 2007) : (1) stratum A: tinggi > 30 m; (2) stratum B: tinggi 20–30 m; (3) stratum C: tinggi 10– 20 m; (4) stratum D: tinggi 4–10 m; dan (5) stratum E: tinggi < 4 m.

3.3 Hasil dan Pembahasan 3.3.1 Hasil

3.3.1.1 Komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan Jumlah jenis

Saat ini areal-areal bekas gangguan telah terisi oleh komunitas pohon-pohonan dengan jumlah dan komposisi jenis yang bervariasi. Secara keseluruhan diperoleh 32 jenis pohon yang tersebar pada berbagai lokasi dan stadium pertumbuhan pohon. Jumlah jenis terbanyak dijumpai pada areal hutan tidak terganggu sebanyak 17 jenis, diikuti oleh areal bekas kebakaran 14 jenis, rumpang 11 jenis, bekas perambahan 10 jenis, dan hutan mati 6 jenis. Hasil pengamatan jumlah jenis berdasarkan stadium pertumbuhan pada setiap lokasi disajikan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Jumlah jenis pohon berdasarkan stadium pertumbuhan di lokasi penelitian

Dari Gambar 3.2 dapat diketahui bahwa perubahan jumlah jenis pada areal-areal bekas gangguan lebih banyak terjadi pada stadium permudaan dari tingkat semai sampai dengan tingkat tiang. Areal bekas kebakaran memiliki jumlah jenis semai dan pancang terbanyak, diikuti oleh areal bekas perambahan, sedangkan areal hutan mati memiliki jumlah jenis terendah.

(44)

Tabel 3.2 Jenis-jenis pohon dominan dan kodominan di lokasi penelitian*

Lokasi No Semai Pancang Tiang Pohon

Jenis INP Jenis INP Jenis INP Jenis INP Hutan tidak

terganggu

1 Engelhardtia spicata 64.10 Engelhardtia spicata 80.40 Parinarium corymbosum 144.19 Engelhardtia spicata 57.24

2 Parinarium corymbosum 32.05 P. corymbosum 28.29 Podocarpus neriifolius 43.52 Quercus teysmannii 50.49

Rumpang 1 Phoebe declinata 50.00 Phoebe declinata 50.00 Schima wallichii 43.21

2 Quercus teysmannii 50.00 Quercus teysmannii 50.00 Podocarpus imbricatus 40.74

Bekas perambahan

1 Litsea cubeba 52.75 Litsea cubeba 62.34 Vaccinium varingifolium 131.12 Schima wallichii 107.32

2 Vaccinium varingifolium 48.91 Vaccinium varingifolium 43.38 Litsea cubeba 91.14 Paraserianthes lophantha 78.88 3 Paraserianthes lophantha 43.40 Praserianthes lophantha 42.81 Schima wallichii 46.95 Vaccinium varingifolium 73.52

Areal bekas kebakaran

1 Litsea cubeba 71.49 Litsea cubeba 94.54 Litsea cubeba 126.26 Schima wallichii 120.58

2 Homalanthus populnea 66.62 Homalanthus populnea 50.96 Schima wallichii 99.54 Vernonia arborea 43.33

Hutan mati 1 Vaccinium varingifolium 43.94 Vaccinium varingifolium 43.94 Vaccinium varingifolium 169.89

2 Helicia javanica 34.85 Helicia javanica 34.85 Litsea cubeba 130.22

3 Litsea cubeba 34.85 Litsea cubeba 34.85

Gambar

Gambar 2.1 Peta kawasan Gunung Papandayan dan sekitarnya
Gambar 2.2 Peta keadaan fisiografi Gunung Papandayan
Gambar 2.3 Peta kondisi penutupan lahan di Gunung Papandayan
Gambar 2.4  Kondisi saat ini di areal penelitian di berbagai tipe gangguan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Baca Bacalah so lah soal den al dengan te gan teliti s liti sebelum ebelum menja menjawab pe wab pertany

PCR digunakan untuk mengamplifikasi ranati pendek pada bagian tertentu dari rantai DNA. Metode PCR tertentu dapat meng-copy hingga 40 kb,yang mana masih sangat kurang

Penelitian ini menggunakan SEM (Structural Equation Modelling) dengan program AMOS 20 untuk menganalisis pengaruh nama merek, kualitas produk, harga, suasana gerai,

Kaupallisen alan työttömiä työnhakijoita alal- la oli Pirkanmaalla vuonna 2014 keskimäärin noin 2 340 kuukaudessa (noin 1 710 vuonna 2006).. Vuonna 2014 selvästi eniten työttömiä

Pengamatan morfometri dalam penelitian ini dibatasi dengan menggunakan pengukuran 23 karakter morfologi tubuh dan meristik ikan belanak (M. cephalus) yang tertangkap di

Jika data mengikuti distribusi normal, maka langkah selanjutnya adalah penentuan nilai BPA, GP, dan BPB, kemudian pembuatan grafik pengendali individual, dan melakukan

Sehubungan dengan pengumuman Panitia Seleksi Terbuka Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Di Lingkungan Pemerintah Kota Mataram Tahun 2017 nomor ..., saya yang bertanda tangan