• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterpinggiran orang Kampung Workwana khususnya dan pada umumnya penduduk Kampung Arsokota serta beberapa kampung lain di sekitarnya terjadi melalui pendekatan-pendekatan pembangunan, yang bersifat represif, stigmatisasi, terjadi deforestasi, janji-janji palsu, permainan harga kelapa sawit, pengalihan kepemilikan lahan, dan program transmigrasi umum dan trasmigrasi petani PIR. Fenomena keterpinggiran ini mendorong munculnya sikap resistensi penduduk sebagaimana telah disebutkan lebih dahulu pada Bab 6.

Pertama, Pendekatan represif. Sejarah masuknya kelapa sawit di daerah ini menyisahkan sejumlah pengalaman yang disebut “memoria passionis” bagi penduduk di Kampung Workwana, dan kampung-kampung di sekitarnya. Dikatakan demikian karena dari ungkapan-ungkapan penduduk dan data-data lain yang ditemui penulis, diketahui bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan kelapa sawit pada awal tahun 1980-an di daerah ini agar program perkebunan kelapa sawit dapat dikembangkan dilakukan dengan pendekatan kekerasan dan ancaman senjata. Dalam kondisi represif tersebut, tidak ada pilihan lain bagi penduduk selain dengan terpaksa menyerahkan harta tanah ulayatnya untuk negara dan perusahaan atas nama pembangunan. Memoria passionis ini dirasakan amat memojokkan penduduk, membuat orang kampung tak berdaya. Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan bentuk perampasan dan pemaksaan penguasa terhadap penduduk sipil yang tak berdaya. Pengalaman yang sangat menyakitkan orang Arso pada umumnya ini sebagai kenangan pahit, selalu diungkapkan orangtua kepada anak- anaknya. Dengan demikian pengalaman ini bukan hanya menjadi pengalaman kaum tua, tetapi secara turun temurun akan terus dikenang orang setempat sebagai sejarah sosial penduduk (Burke, 2015, 20-30). Kekuatan penguasa menundukkan masyarakat dengan cara-

cara yang licik dan penuh kekerasan menandakan ketidakmampuan penguasa melakukan negosiasi dengan masyarakat sipil sehingga bertindak otoriter. Dengan begitu masyarakat setempat menjadi entitas yang tak berdaya karena ia harus berhadapan dengan tiga kekuatan yang mempunyai daya tekan amat kuat, yaitu pemerintah, pengusaha dan militer (Budiardjo C., & Liem S. L., 1988). Hal ini menunjukkan bahwa setiap bentuk perlawanan penduduk terhadap usaha perkebunan kelapa sawit, maka akibatnya selalu akan berhadapan dengan apara keamaman. Kisah Roni Fatagur dari Desa PIR V. Roni yang pernah ditahan aparat keamanan karena mencoba melarang perusahaan membuka hutan di daerahnya pada masa-masa awal perusahaan bergiat membuka lahan perkebunan kelapa sawit walaupun kemudian ia dikembalikan ke rumahnya oleh seorang anggota polisi memperlihatkan bahwa, aparat keamanan selalu dipakai sebagai alat pemukul penguasa. Kisah lain penduduk yang mengalami tekanan luar biasa di Workwana dan sekitarnya terungkap juga melalui pengalaman yang diungkapkan oleh jururawat Dimara (KdK.No. 27/Th. V, Desember 1987), seorang petugas kesehatan, yang dimuat dalam buletin Kabar dari Kampung.

Kedua, Stigma Separatis. Situasi sosial politik di Papua antara tahun 1969 sampai tahun 1980-an, boleh dikatakan tidak menguntungkan bagi orang Papua pada umumnya. Pengalaman tersebut juga dirasakan oleh orang Keerom yang berada di wilayah perbatasan bagian utara Papua. Karena ketika itu gerakan-gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) berdampak signifikan bagi penduduk baik di kota-kota maupun di kampung-kampung. Akibatnya secara sosial politik penduduk selalu dicurigai dan dituduh dengan stigma sebagai bagian dari OPM. Pengalaman seorang petani kelapa sawit di Workwana bernama Thomas Wenda memperlihatkan betapa kuat stigma OPM menyudutkan seseorang atau sekelompok orang. Ia dituduh oleh aparat keamanan sebagai bagian dari OPM karena memiliki marga yang sama dengan tokoh OPM Mathias Wenda yang hidup di sekitar perbatasan. Kecurigaan pihak keamanan membuat Thomas Wenda ketakutan dan memutuskan untuk keluar dari desa atau Kampung Workwana. Namun setelah diklarifikasi melalui Bapak

Lamber Welip di Pos Keamanan Kali Tami, Thomas Wenda mengurungkan niatnya pulang kampung. Dengan demikian dapat dikatakan strategi pendekatan stigma membuat penduduk selalu berada pada posisi tawar yang sangat lemah bahkan tak berdaya.

Ketiga, penghilangan pusat Livelihood penduduk (deforestasi). Dari Gambar 5.2 tentang Denah Kampung Workwana pada Bab 5, dalam tulisan ini terlihat jelas bahwa Kampung Workwana nyaris dikelilingi oleh kebun kelapa sawit. Fenomena ini menunjukkan bahwa Workwana sedang dikepung oleh kelapa sawit dan dengan demikain kehilangan hutan tempat penduduk mencari nafkah. Sehingga penduduk tidak mempunyai pilihan lain untuk berusaha mencari nafkah karena kehilangan pusat Livelihood susbsisten. Kondisi ini tentu berdampak pada kehidupan ekonomi rumah tangga dan aspek kehidupan lainnya. Proses deforestasi berlangsung terhadap hak ulayat hutan penduduk terjadi setelah pemerintah mengeluarkan berbagai izin usaha bukan saja untuk pengembangan kelapa sawit di daerah tetapi juga izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) kepada para investor dari luar Papua. Dampaknya ialah pohon kayu ditebang dan hutan menjadi gundul, ribuan bahkan jutaan kubik kayu keluar dari Kabupaten Keerom untuk diekspor. Proses deforestasi masih terus berlangsung hingga saat ini, terlihat dari setiap hari lebih dari 30 truk bermuatan kayu olahan melintas dari Keerom ke Kota Jayapura. Deforestasi juga berdampak bagi penduduk karena membuat penduduk kehilangan berbagai sumber daya penghidupan, seperti bahan makanan berupa hewan dan tumbuh-tumbuhan serta berbagai jenis kayu untuk keperluan rumah tangga. Keadaan ini membuat penduduk semakin tak berdaya menghadapi berbagai bentuk kegiatan yang bersifat eksploitatif di kampung dan di sekitarnya.

Keempat, janji-janji yang tidak pernah dipenuhi. Dikatakan oleh beberapa tokoh masyarakat setempat bahwa tanah ulayat penduduk diambil perusahaan dengan janji-janji yang menggiurkan. Dikatakan bahwa perusahaan akan membuat masyarakat hidup sejahtera, akan dibuatkan rumah sehat, anak sekolah akan dibiayai sampai ke perguruan tinggi, penduduk kampung akan dijadikan

karyawan perusahaan, rumah-rumah penduduk akan dipasang listrik, akan disediakan air bersih sampai di rumah-rumah dan akan disediakan mobil untuk melayani masyarakat. Karena tergiur oleh bujukan tersebut secara perlahan tapi pasti, lahan-lahan penduduk dilepas kepada perusahaan sehingga warga setempat kehilangan tempat mencari nafkah di hutan. Janji-janji manis itupun tak pernah diwujudkan dan hanya menyisahkan penyesalan yang luar biasa bagi penduduk. Menurut orang kampung, berbagai infrastruktur yang sekarang ada dan berkembang di Workwana bukan hasil usaha PTPN II tetapi merupakan usaha masyarakat dan dukungan pemerintah daerah. Padahal orang Workwana sama seperti orang Papua lainnya, memahami konsep janji sebagai sebuah prinsip pertukaran atau

exchange, bersifat resiprokal, timbal balik yang seimbang antara apa yang diberi dan apa yang diterima (Bdk. Whiteman, 1984; Mantovani, 1993; Alua, 2004). Karena itu sejumlah tokoh adat dan masyatakat menyatakan, kegiatan-kegiatan ini merupakan bentuk penipuan terhadap penduduk.

Kelima, harga sawit yang tidak menentu. Menurut Thomas Lobai, pendamping petani kelapa sawit di wilayah Distrik Arso, dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Menurut Thomas, harga kelapa sawit biasanya mengikuti harga mata uang dolar Amerika, bila dolar menguat harga sawit tinggi. Namun Ia mencurigai dan menyatakan kemungkinan ada oknum-oknum tertentu berperan mempermainkan harga kelapa sawit tersebut. Harga kelapa sawit yang terus merosot di wilayah ini membuat penduduk tidak tertarik untuk melanjutkan usaha tersebut sehingga terjadilah penjualan lahan dan mengontrakan lahan. Hal ini membuat penduduk semakin tak berdaya, karena tidak memiliki lahan usaha dan bergantung pada hasil kontrak dan jual lahan yang jumlahnya amat terbatas.

Keenam, kehadiran transmigrasi umum dan PIR, para pencari kerja dari luar, pedagang dan penduduk lainnya dengan berbagai latar belakang profesi mempunyai dampak yang besar pada penduduk setempat. Program transmigrasi yang diharapakan mempercepat proses

alih pengetahuan dan transfer budaya di bidang pertanian, teknologi dan ekonomi serta berbagai pengetahuan lain yang diharapkan mendukung proses pembangunan di daerah, tidak serta merta terjadi seperti orang membalik telepak tangan. Studi Dale dan Djonga (2011) di Kabupaten Keerom tentang hak-hak sosial, budaya dan ekonomi penduduk asli menunjukkan adanya fenomena terabaikan dan terpinggirkannya penduduk asli setempat di seluruh wilayah Kabupaten Keerom, termasuk di Workwana dan Arsokota karena didominasi para transmigran dan generasi keduanya, pencari kerja dari luar, pedagang dan lain-lain. Keterpinggiran tersebut berkaitan dengan kegiatan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, infrastruktur dan lain-lain. Memang harus diakui pula bahwa terdapat kontribusi signifikan dari kelompok-kelompok yang disebutkan di atas dalam seluruh proses pembangunan daerah di Kabupaten Keerom seccara keseluruhan, khususnya di distrik-distrik dan kampung- kampung. Namun keterpinggiran tersebut dapat dikatakan terjadi karena adanya persaingan di aspek modal manusia, modal usaha, modal pengetahuan, modal institusi publik (Sachs, 2005). Modal-modal yang diharapkan ada ternyata tidak mendukung penduduk setempat sehingga membuatnya kalah bersaing dengan kelompok-kelompok lain yang datang di daerah Arso khusunya dan daerah Keerom pada umumnya. Dari segi usaha atau kegiatan ekonomi misalnya, dapat dilihat setiap sore hari di pasar Workwana pada Gambar 3.3 dan 3.4 pada Bab 3 tulisan ini. Gambar tersebut menunjukkan kesenjangan yang besar antara para penjual orang asli Workwana dan penjual- penjual pendatang dari PIR 1 dan PIR 2 dan sebagainya dilihat dari segi barang jualan dan modal yang digunakan. Penjual asal Kampung Workwana umumnya hanya menjual sayur, pinang dan ubi-ubian. Artinya, modal-modal yang dipunyai golongan penduduk pendatang berdampak pada kapabilitas yang lebih unggul untuk menguasai aset- aset daripada penduduk setempat. Gejala kalah bersaing juga terlihat dari ketidakmampuan sejumlah penduduk setempat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga terpaksa harus berutang baik terhadap pedagang pendatang maupun penjual orang Workwana. Selanjutnya

akan dianalisis dan direflesikan keadaan orang Workwana dalam perspektif Livelihood.

Dengan melihat fenomena keterpinggiran di atas harus dikatakan bahwa pendekatan pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan melalui industri perkebunan kelapa sawit seperti yang terjadi di wilayah Distrik Arso khususnya di Kampung Workwana, ternyata berkontribusi menghasilkan kesenjangan hidup bahkan terjadi keterpinggiran penduduk asli dalam berbagai aspek kehidupan. Seorang informan di Workwana menyatakan kelapa sawit telah menyebabkan banyak anak kampung putus sekolah dan menikah di usia muda yang menyebakan mereka menjadi penganggur di kampung. Setelah Kabupaten Keerom berdiri, banyak dari antara kaum muda tersebut mulai berpikir dan menyadari pentingnya pendidikan sekolah serta ijazah dan dampaknya bagi pekerjaan dan hidup. Pengalaman keterpinggiran bukan hanya terjadi di Workwana dan Arsokota tetapi terjadi juga di berbagai kampung di wilayah Kabupaten Keerom (Ansaka dkk., 2009; Dale dan Djonga, 2011), bahkan terjadi pula di seantero Papua (Suebu, 2007& Widjoyo M.S. dkk., 2009; Ansaka, dkk., 2009; Tebay, 2012; Enembe, 2016).

Ketujuh. Pengalaman-pengalaman yang meminggirkan orang Workwana dan penduduk sekitarnya melalui pendekatan-pendekatan manipulatif perusahaan dan pemerintah ketika itu, tidak hanya menimbulkan konflik tetapi berujung pada sikap resistensi penduduk sebagai suatu collective action yang menjadi gerakan moral sosial penduduk menolak perusahaan kelapa sawit di daerah ini.

Dokumen terkait