• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan sebagai strategi sustainable livelihood yang dibahas di sini berkaitkan dengan perjuangan orang Workwana agar tetap eksis menghadapi berbagai tekanan dan goncangan hidup.

Perkebunan industri kelapa sawit sebagai sistem ekonomi pasar yang kapitalistik masuk dalam kehidupan masyarakat asli di kampung Workwana Distrik Arso Kabupaten Keerom sebagai sistem livelihood atau bentuk penghidupan baru. Sistem livelihood baru tersebut mengandaikan adanya kapabilitas penduduk yang sesuai dengan tuntutan sistem usaha yang baru pula. Diakui atau tidak pendekatan tersebut telah menyingkirkan livelihood masyarakat setempat dengan segala kapabilitas, aset dan aktivitas untuk membangun kehidupannya secara berkelanjutan dan bermakna baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kata lain, hilangnya semua aset yang dimiliki masyarakat karena alihfungsi dan alihkepemilikan berdampak pada

livelihood penduduk setempat. Tersingkirnya livelihood berarti pula tersingkir dan terabaikannya nilai-nilai eksistensial dalam world view

masyarakat (Geertz, 1973; Mantovani, 1998; Alua, 2004). Dalam studi tentang kehidupan penduduk asli di kampung Workwana Distrik Arso menunjukkan tersingkirnya livelihood setempat identik dengan tersingkirnya nilai-nilai dasar yang ada dalam world view setempat seperti, community, life, relations, exchange (Ennio Mantovani, 1993). Tersingkirnya livelihood setempat berarti pula hilangnya kapabilitas masyarakat untuk mengaktualisasikan diri sebagaimana mestinyta. Ketiadaan kapabilitas dalam diri seseorang menimbulkan apa yang disebut Sen (2000) sebagai bentuk deprivasi. Dengan demikian, tersingkirnya livelihood dapat mengakibatkan muncunya vulnerability context kemiskinan atau deprivasi penduduk setempat karena hilangnya berbagai capital yang dimilikinya (Krantz, 2001;Sachs, 2005). Tersingkirnya livelihood mengindikasikan terjadi pula proses eksklusi sosial (social exclusion) masyarakat. Social exclusion (eksklusi sosial), menunjukkan adanya situasi eksploitasi, penetrasi, fragmentasi dan marjinalisasi yang menyebabkan masyarakat tidak eksis sebagaimana mestinya. Social exclusion merupakan suatu proses di

mana individu atau komunitas masyarakat secara sistemik dihalangi hak-hak, peluang dan sumber-sumber (seperti perumahan, pekerjaan, pemeliharaan kesehatan, hak-hak sebagai warga negara, partisipasi politik, proses-proses lain yang seharusnya dijalani) yang pada umumnya ada dalam kehidupan warga dan yang merupakan unsur penting bagi integrasi sosial masyarakat. Adolfo Figuerros dalam tulisannya berjudul Social Exclusion and Rural Underdevelopment

(1999) menjelaskan, secara teoritis ada tiga tipe aset yang memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi dan perubahan sosial. Aset-aset yang dimaksud adalah aset ekonomi (tanah, modal fisik, modal uang dan modal manusia); aset politik (hak- hak yang tidak dapat diganggu gugat sebagai anggota masyarakat); dan aset budaya sebagai suatu sistem sosial yang menunjukkan karakteristik tertentu individu (bahasa, ras, seks, sistem keluarga, pendidikan, pekerjaan, agama dan asal daerah). Menurut Figuerros, aset ekonomi menunjukkan kepemilikan pribadi, aset politik dan kultural menunjukkan prestise seseorang, namun dapat menimbulkan stigma sosial yang memunculkan diskriminasi dan segregasi sosial. Berkaitan dengan keterbelakangan pembangunan pedesaan, Figuerros menyatakan pada umumnya keluarga petani pedesaan sebagai suatu unit kerja mempunyai tanah, modal fisik dan modal kerja yang terbatas. Akibatnya, petani tidak dapat menabung dan meningkatkan kapasitas diri bersumber pada modal-modal yang diperlukan sehingga secara ekonomi pasar, digolongkan sebagai unsur masyarakat miskin. Di sisi lain, kehidupan petani bisa berkembang sebab dunia kapitalis memungkinkan petani bekerja dengan teknologi sebagai ruang bagi petani setempat untuk mengadopsi inovasi-inovasi dan akan mempercepat pertumbuhan dengan menghasilkan barang-barang yang dapat dipasarkan. Namun, hal ini tidak terjadi di dunia ketiga dan bahkan petani mengalami stagnasi sehingga menimbulkan keterbelakangan. Selain itu, Glenn C. Loury (2000) dalam makalah,

Social Exclusion and Ethnic Groups: The Challenge to Economics menjelaskan bahwa perlu melakukan apa yang disebut development affirmative action kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan kapabilitas dan akses sehingga masyarakat tersebut juga

mampu bersaing dengan orang lain. Pendekatan development affirmative action merupakan tindakan inklusi sosial (social inclusion) sebagai suatu tindakan afirmatif, yang mengganti keadaan dan kebiasaan yang mengarah ke eksklusi sosial. Loury mencatat rumusan Bank Dunia mengenai definisi inklusi sosial, sebagai proses perbaikan kemampuan dan keadaan yang merugikan manusia, sebagai peluang dan penghargaan terhadap identitas manusia untuk menempatkannya sebagai bagian di dalam masyarakat. Oleh karena itu development affirmative action bisa terjadi bila ada strategi proteksi baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum maupun bentuk-bentuk program dan aksi pemberdayaan masyarakat. Karena melalui pemberdayaan penduduk setempat dapat ditingkatkan kapabilitasnya sehingga ia mampu melakukan proses coping yang dapat membebaskannya dari kerentanan yang menjebaknya ke dalam perangkap kemiskinan. Untuk itu dibutuhkan cara-cara intervensi yang tepat sebagaimana disarankan oleh pendekatan sustainable livelihood, yang ciri-cirinya berpusat pada rakyat (people-centered), holistik, dinamis, membangun kapasitas dan kapabiitas lokal, memperhatikan hubungan makro dan mikro secara berkelanjutan. Melalui pendekatan-pendekatan yang berjejaring dengan fokus pada pengembangan ekonomi skala kecil dan peningkatan knowlwdge capital lainnya sehingga terjadi sebuah proses habitus antara berbagai kapital digambarkan oleh Bourdieu (1986) sebagai berikut. Proses habitus yang digambarkan Bourdieu diharapkan terjadi melalui proses berikut: economic capital dapat menjadi cultural capital, cultural capital menghasilkan social capital dan social capital dikembangkan sebagai economic capital penduduk setempat. Dengan demikian konteks situasi penduduk yang rentan dan dapat menjadikannya terjebak ke dalam kemiskinan dapat di atasi. Dalam konteks Workwana, rumahtanga-rumahtangga diharapkan bisa mengembangkan sustainable livelihood karena mempunyai kapabilitas atau sumber daya manusia (human capital). Pengembangan human capital antara lain berkaitan dengan penggunaan alat-alat teknologi sebagai pendukung berbagai kegiatan usaha dengan cara berjejaring,

termasuk menabung, untuk membangun sustainable livelihood yang baru secara berkelanjutan.

Pemberdayaan Rumah Tangga

Seperti telah dijelaskan di atas visi pembangunan di Papua saat ini diarahkan baik berdasarkan visi pembangunan nasional maupun visi pembangunan daerah yang dielaborasi dalam konteks otonomi khusus Papua. Visi pembangunan Papua saat ini dirumuskan Enembe ialah, Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera (Enembe, 2015). Dengan visi tersebut, agenda utama pembangunan yang digagasi Enembe dalam masa kepemimpinannya terdiri dari pokok-pokok perhatian berikut. Pertama, bagaimana Orang Papua bisa berdiri tegak sesuai harkat dan martabatnya sebagai Orang Indonesia, berperan dalam berbagai sektor kehidupan yang dimulai dari kebangkitan individu, keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas. Kedua, bagaimana membangun kemandirian, bertitik tolak dari kemajuan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan Orang Papua, melalui perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan sumber daya alam secara bertanggungjawab. Menurut hemat penulis selain mengelola sumber daya alam secara bertanggungjawab, aspek pengembangan sumber daya manusia secara berkelanjutan merupakan conditiosine qua non dalam pembangunan. Maka untuk mewujudkan agenda pembangunan tersebut penulis memberi perhatian pada bentuk intervensi pembangunan berdasarkan studi kasus di Kampung Workwana sebagai berikut. Dari perspektif livelihood, penduduk setempat sendiri berperan sebagai pelaku yang melakukan penguatan kapabilitas dirinya. Artinya intervensi pemberdayaan pertama-tama hendaknya terjadi di dalam komunitas penduduk kampung dengan sasaran utama pada rumahtangga-rumahtangga. Gambar berikut merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan ketika proses pemberdayaan rumahtangga- rumahtangga dan kelompok-kelompok dilakukan. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yang berperan memengaruhi kehidupan rumahtangga-rumahtangga di Workwana. Pertama, memahami kondisi riil penduduk yang mengalami krisis-krisis dan menjadikannya secara eksistensial tersingkir atau termarjinalisasi. Kedua menggunakan

unsur-unsur pokok sustainable livelihood, berpuat pada penduduk, menggunakan modal manusia atau kapabilitas, kerja berjejaring, dengan aktivitas ekonomi skala kecil, memanfaatkan akses yang ada. Ketiga, dengan demikian penduduk diharapkan akan mampu melakukan coping secara berkelanjutan, sebagai penduduk yang mandiri sehingga terjadi diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Gambar di bawah ini menggambarkan alur pemberdayaan dimaksud.

Gambar 7.5 Proses Pemberdayaan: Diversifikasi Sustainable Livelihood

Secara konkrit pemberdayaan tersebut dapat dilakukan melalui rumahtangga-rumahtangga di kampung agar terbentuk rumahtangga- rumahtangga madiri dan hidup lebih sejahtera. Pemberdayaan penduduk kampung dapat dilakukan oleh para pihak yang peduli dengan keadaan penduduk yang rentan terjebak dalam vulnerable context yang dapat memiskinkannya.

• Keadaan termarjinalisasi

• Krisis-krisis

• Aset-aset dan akses

Realitas

•Kapabilitas

•Modal manusia

•Berjejaring

•Aset dan akses

•Aktivitas ekonomi skala kecil

Pemberdayaan

penduduk

•Coping berkelanjutan • Diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi

Sustainable

Livelihood

Dokumen terkait