• Tidak ada hasil yang ditemukan

Urusan pengolahan kebun kelapa sawit sudah ditinggalkan dan diserahkan kepada pihak lain. Tetapi urusan livelihood harus berlangsung terus karena masih ada generasi berikut. Selain itu sebenarnya terdapat world view orang Papua sebagai bagian dari orang Melanesia yang berpikir, hidup harus terus berlangsung, hidup harus dilindungi, hidup harus dirayakan atau dinikmati (Mantovani, 1991 &

Alua, 2004). Prinsip ini sejalan dengan paradigma Sustainable Livelihood. Selanjutnya, bagian ini merupakan suatu penjelasan tentang fenomena kekompok masyarakat dilihat dari perspektif

Sustainable Livelihood yang sedang berinisiatif memperjuangkan nasib keluarga dan dirinya untuk masa depan yang lebih baik.

Kelompok-kelompok Orang Workwana

Sebelum membahas lebih jauh tentang strategi kelompok- kelompok dalam mengembangkan Livelihood-nya secara berkelanjutan, penulis ingin membedakan masyarakat Workwana menurut cara mereka menanggapi dampak transformasi sosial di kampung halamannya. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok kaum tua, kelompok perempuan, kelompok terdidik dan kelompok tunakarya atau tunaskil.

Pertama, kelompok kaum tua dan dewasa. Kelompok kaum tua ini pada umumnya terdiri dari kaum laki-laki di kampung yang dari sisi

Livelihood sehari-hari bergumul dengan aktivitas subsisten. Kelompok ini masih berpegang pada tradisi setempat, beraktivtas melalui kegiatan-kegiatan subsistensi di wilayah yang memungkinkannya bergiat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini juga termasuk orang-orang yang berjuang mengelola kebun kelapa sawit 32 tahun lalu dan mengalami masa-masa sulit di awal-awal perubahan dan perkembangan daerah ini. Menurut informasi penduduk, sebagian besar dari kelompok ini telah meninggal dunia. Namun dari antara kaum tua yang ada, beberapa orang direkrut menjadi karyawan perusahaan sebagai siasat melibatkan penduduk setempat sekaligus sebagai simbol kerja sama dan pengakuan masyarakat terhadap perusahaan. Kedua, kelompok perempuan Workwana. Kelompok ini ternyata merupakan kelompok potensial yang berinisiatif mencari jalan terhadap kemandekan Livelihood keluarga di kampungnya. Salah satu prinsip yang dikemukakan kelompok ini kepada penulis ialah adanya semangat untuk berjuang yakni, “kalau kita berusaha pasti bisa”. Kelompok paruh baya ini masih tetap semangat berusaha menanggulangi persoalan tekanan hidup di kampung agar keluarganya dapat terus bertahan dalam semangat Sustainable Livelihood. Beberapa

kegiatan yang dilakukan seperti sudah diungkapkan terlebih dahulu ialah berjualan di pasar Workwana setiap sore hari, mengusahakan kios dan memelihara ternak di kampung. Dari pengamatan selama penelitian, pada sore hari di pasar terlihat dengan jelas selain ibu-ibu paruh baya terdapat juga perempuan-perempuan muda Workwana berjualan di pasar. Menurut kelompok ini, berjualan di pasar bermanfaat karena di tempat tersebut ada peluang, barang jualan dibeli orang dan dengan demikian mereka mendapat uang yang dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga termasuk membiayai anak sekolah. Selain kegiatan berjualan, terdapat pula sejumlah perempuan muda dan dewasa bergiat sebagai buruh tani di perkebunan kelapa sawit di Distrik Arso Timur yang diurus oleh perusahaan Rajawali. Berkaitan dengan permasalahan hak-hak atas hutan dan tanah yang terus dipersoalkan masyarakat, menurut kaum perempuan di sini,hal tersebut merupakan urusan bapak-bapak dan kaum lelaki. Ketiga, kelompok terdidik atau berpendidikan. Kelompok ini pada umumnya terdiri dari golongan muda potensial yang berpendidikan sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Kelompok ini bergiat dalam berbagai profesi sesuai dengan perkembangan daerah dan peluang yang ada di Kabupaten Keerom. Terdapat 17 orang, bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pemda Keerom. Bahkan salah orang putra Workwana merupakan dosen di sebauh perguruan tinggi negeri di Provinsi Papua Barat. Mereka ini pada umumnya mempunyai posisi-posisi yang baik di Pemda Keerom. Ada pula yang bergiat di bidang politik, 1 orang menjadi anggota legislatif Kabupaten Keerom dan ada pula yang aktif sebagai pegawai swasta di beberapa lembaga swasta. Selain itu terdapat pula 5 orang yang berprofesi sebagai pengusaha. Kelompok muda berpendidikan ini juga menjadi kelompok yang ikut prihatin dengan situasi daerah, kampungnya dan masyarakat adat terkait perjuangan warga masyarakat baik di Workwana maupun Arsokota yang terus menuntut hak atas tanah-tanah yang digunakan sebagai perkebunan sawit. Hal tersebut menjadi keprihatinan mereka juga karena masalah hak ulayat berkaitan dengan aset-aset Livelihood orangtua, marga, keluarga dan masa depan suku atau keretnya. Jadi baik kelompok tua maupun kelompok muda terdidik sama-sama menyadari betapa

penting suatu lingkungan hidup berkelanjutan (environmental sustainability) agar sebagai suatu entitas masyarakat terjadi pula kehidupan sosial yang berkelanjutan (social sustainability) sebagai unsur-unsur penting Sustainable Livelihood. Keempat, kelompok tunakarya. Kelompok ini pada umumnya terdiri anak-anak muda yang tidak bersekolah dan putus sekolah. Kelompok ini pada umumnya tidak mempunyai keterampilan khusus seperti orangtua mereka sehingga tidak melanjutkan lagi aktivitas hidup subsisten. Menurut penuturan informan yang ditemui di Kampung Workwana, kelompok ini pada umumnya tidak bergiat secara subsisten karena mereka tidak dibiasakan berburu binatang dan melakukan kegiatan subsisten lainnya sehingga tidak punya pengalaman seperti orangtua mereka. Pengalaman seperti orangtua mereka juga tidak diturunkan kepada kaum muda karena tempat-tempat sumber Livelihood untuk melakukan aktivitas subsistensi tidak ada lagi. Oleh karena itu mereka memilih bergiat sebagai tukang ojek, penunggu pos adat yang menerima setoran dari mobil pengangkut kayu olahan dari berbagai tempat yang melintas di depan Kampung Workwana dan kegiatan- kegiatan spontan lain yang dibutuhkan masyarakat. Menurut sekretaris kampung, kelompok ini juga biasanya melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang diberikan oleh pemerintah kampung seperti memperbaiki pagar atau memperbaiki rumah warga. Selain itu karena tanpa keterampilan nampaknya kelompok ini tampil sebagai kelompok tunakarya yang rentan dipengaruhi dengan minuman keras (miras) oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengganggu suasana dan ketenangan masyarakat di kampung.

Strategi Sustainable Livelihood Orang Workwana

Ada berbagai strategi yang ditawarkan dalam mengembangkan

Sustainable Livelihood oleh para penggagas perspektif Livelihood. Strategi tersebut ingin dilihat dalam pengalaman orang Workwana.

Chambers & Conway, misalnya, menawarkan beberapa strategi campuran termasuk memanfaatan kebiasaan masyarakat yang produktif dalam melakukan berbagai usaha. UNDP, menawarkan strategi adaptasi dengan pendekatan ekonomi yang efektif. Butler &

Mazur mengusulkan melakukan diversifikasi Livelihood agar food security terjamin. Dan Henk mengedapankan aspek security sesuai dengan apa yang dapat dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup, sedangkan Ian Scoones menawarkan selain diversifikasi ada juga intensifikasi dan ekstensifikasi serta migrasi. Sementara itu Saragih dkk, menekankan strategi manajemen yang integratif yang pada umumnya digunakan dalam Sustainable Livelihood dengan memperhatikan hubungan antara unsur-unsur mikro dan makro dalam masyarakat secara berkelanjutan sehingga Sustainable Livelihood tetap berlangsung. Nampaknya setiap situasi dan konteks yang berbeda mempunyai strategi yang berbeda pula di samping strategi yang umumnya dapat digunakan sebagai strategi Sustainable Livelihood. Studi kasus di Workwana menunjukkan, strategi yang digunakan masyarakat untuk menjawab permasalahan Sustainable Livelihood

sebagai berikut. Dari tawaran-tawaran strategi Sustainable Livelihood yang disebut Chambers dan Conway serta penggagas strategi lainnya, dalam studi kasus di Workwana terlihat ada dua strategi utama yang dilakukan masyarakat atau penduduk untuk menghadapi tekanan dan goncangan hidup. Strategi-strategi tersebut dapat dikategorikan dalam dua jenis strategi. Pertama, ada strategi resistensi sebagai gerakan moral sosial penduduk yang dilakukan oleh kelompok otoritas adat dan penduduk lainnya. Kedua, ada pula strategi coping (coping strategy) yang dilakukan kaum perempuan dan kelompok berpendidikan atau terdidik dan kelompok muda tunakarya.

Pertama, strategi resistensi moral sosial berjejaring. Strategi ini merupakan suatu perjuangan yang berhubungan langsung dengan hak- hak penduduk atau masyarakat di Workwana dan sekitarnya. Dari hasil studi kasus jelas terlihat bahwa penduduk setempat tidak berjuang sendiri tapi mereka melakukan perjuangan berjejaring dengan berbagai pihak sebagai suatu pergerakan moral sosial bersama masyarakat. Strategi ini dijalankan masyarakat adat di wilayah Distrik Arso yang terdiri dari penduduk Kampung Arsokota, Kampung Workwana dan beberapa kampung di sekitarnya, lembaga hukum perguruan tinggi dan swasta, Komnas HAM serta pihak Gereja Katolik. Kedua, strategi

kelompok-kelompok yang berbeda dari Kampung Workwana untuk menanggulangi masalah tekanan dan goncangan hidup rumah tangga akibat terputusnya usaha-usaha penduduk membangun Sustainbale Livelihood melalui kebun kelapa sawit. Strategi coping di Workwana dikembangkan bervariasi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok, seperti kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok kaum muda tunakarya.

Oleh karena studi kasus ini menggunakan juga pendekatan studi fenomenologi maka dari fenomena-fenomena yang mencuat berkaitan dengan perjuangan Sustainable Livelihood penduduk perlu dicari arti atau makna serta peran dan fungsi dari usaha-usaha tersebut.

Pertama, strategi resistensi. Strategi ini berisikan bentuk- bentuk tuntutan terkait dengan batas waktu penggunaan tanah ulayat penduduk, perlakukan yang adil dalam imbal beli tanah masyarakat dihubungkan dengan identitas lokal, identitas marga atau keret dan suku. Resistensi ini dilakukan secara berjejaring dengan cara membuat pengaduan-pengaduan dan gugatan hukum melalui Lembaga Bantuan Hukum Universitas Cenderawsih Jayapura, Komnas HAM Perwakilan Papua yang difasilitasi oleh SKP Jayapura secara berjenjang sampai ke pusat di Jakarta. Kedua, resistensi moral sosial ini merupakan bentuk penolakan terhadap kesewenang-wenangan negara dan korporasi besar yang telah memperalat aparat keamaman untuk membungkam masyarakat dan memperdayakan penduduk asli setempat agar dapat memenuhi program pembangunan BUMN atas nama pembangunan nasional. Dengan demikian resistensi merupakan strategi masyarakat mendorong penguasa atau pemerintah mengakui hak komunitas masyarakat adat di wilayahnya. Sikap resistensi ini telah diperjuangkan sampai ke Jakarta melalui DPR RI di Jakarta bahkan telah disampaikan pula kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika itu. Ketiga, resistensi moral sosial sebagai sebuah usaha memperjuangkan kembali hak-hak dan aset-aset sebagai unsur pokok Sustainable Livelihood yang menjamin kesejahteraan dan masa depan generasi yang akan datang. Masalah yang ditemui di sini antara lain seperti

dikutip Malak (2005), tentang pernyataan Gibb dan Bromley, bahwa ada tiga jenis klaim terhadap tanah yaitu, klaim negara, klaim pribadi dan klaim komunal masyarakat adat sebagai pemilik tanah (Wenehen, 2005). Yang lebih rumit lagi menurut Marti Serge (2008), ada beberapa regulasi yang tidak pro rakyat, misalnya UU No.5/1999 tentang Hak Guna Usaha (HGU) kepada seseorang atau badan hukum tidak bisa diklaim masyarakat lokal atas izin negara terhadap HGU tersebut yang sebelumnya merupakan tanah komunal. Selain itu UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mengizinkan penggunaan lahan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang 3 kali sehingga mencapai 120 tahun. Kemudian UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menempatkan hak-hak investor di atas hak-hak masyarakat untuk memperpanjang HGU awal 60 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 35 tahu. Menurut Marti, regulasi-regulasi ini berlaku untuk konsesi pertambangan, perkebunan, industri bubur kertas dan penebangan kayu. Artinya regulasi-regulasi ini memperumit tuntutan masyarakat atau penduduk lokal karena tidak pro rakyat tetapi pro penguasa dan korporasi besar dan pemodal besar. Maka dilihat dari azas keadilan dan prinsip etika pembangunan yang menjadi prinsip

Sustainable Livelihood terkait hak-hak rakyat di bidang sosial, budaya dan ekonomi, regulasi-regulasi yang tidak pro-rakyat perlu dikaji lagi karena ternyata dapat mendorong atau menggiring masyarakat khususnya penduduk lokal masuk ke dalam perangkap kemiskinan, hidup tanpa modal-modal atau tangible asset yang seharusnya ada untuk hidup (Scoones, 1998; Krantz, 2001; Sachs, 2005). Jadi strategi ini dilakukan karena sebenarnya masyarakat setempat sedang berada dalam keadaan yang disebut oleh Ferguson dan Muray (2001) serta Morse & McMara, (2013) sebagai vulnerability context. Vulnerabilty context dalam studi kasus ini ditandai oleh keadaan ketersingkiran dan krisis-krisis, seperti yang telah disebutkan terlebih dahulu.

Kedua, Strategi Coping. Sebagaimana dijelaskan di atas, strategi ini pada umumnya dilakukan oleh penduduk Kampung Workwana dengan beragam usaha kegiatan untuk menanggulangi masalah tekanan dan goncangan hidup rumah tangga akibat terputusnya usaha- usaha penduduk membangun Sustainable Livelihood melalui kebun

kelapa sawit. Strategi Sustainable Livelihood yang dikembangkan bervariasi dan dilakukan juga oleh berbagai kelompok seperti kelompok perempuan, kelompok berpendidikan dan kekompok muda tunakarya dengan cara: Satu, memanfaatkan human capital. Ternyata krisis yang terjadi tidak membuat semua orang di Workwana putus asa dan hilang akal. Situasi yang ada justru menyadarkan kelompok- kelompok seperti kaum perempuan, kaum terdidik dan berpendidikan banting stir, menangkap peluang yang ada, beruhasa membangun

Sustainable Livelihood dengan berbagai cara. Demikian pula golongan muda putus sekolah, tunakarya yang minim keterampilan berupaya memanfaatkan berbagai kemungkinan yang dapat dilakukannya untuk membangun hidup sesuai dengan kapabilitasnya sebagai orang muda. Dua, terbebaskan dari perangkap kemiskinan. Usaha mengembangkan

Sustainable Livelihood tentunya memberi pesan bahwa penduduk setempat tidak ingin terjebak dalam perangkap kemiskinan karena sedang berada dalam vulnerability context, sebagaimana pada umumnya terjadi ketika Livelihood penduduk hilang. Karena dalam keadaan demikian diandaikan semua modal-modal atau aset-aset yang dipunyai penduduk turut hilang padahal sesungguhnya yang tersisa ialah intangible assets yang merupakan modal manusia yang penting. Memang bila dlihat dari ungkapan penduduk ketika diwawancarai saat penelitian berlangsung dikatakan bahwa saat ini mereka tidak memegang uang lagi seperti masa-masa awal panen kelapa sawi di Workwana tapi dapat dilihat dari apa yang diusahakan, ternyata penduduk setempat mempunyai human capital yang dapat difungsikan dalam menanggulangi tantangan dan tekanan hidup yang dialami. Tiga, akibat proses interaksi sosial dengan penduduk lain khususnya kaum pendatang atau transmigran terjadi proses belajar bersama bagaimana mengembangkan diversifikasi Livelihood untuk menangkal dan menanggulangi permasalahan Sustainable Livelihood. Empat, kelompok perempuan menangkap peluang ekonomi melalui pasar dan usaha keluarga yang dapat dilakukan di rumah. Sedangkan kaum berpendidikan melihat peluang lain sesuai dengan perkembangan daerah untuk berprofesi sebagai pegawai negeri, pengusaha atau politisi. Sedangkan kelompok muda tunakarya memanfaatkan apa yang

bisa dilakukan bila peluang-peluang yang ada tidak menuntut keterampilan-keterampilan khusus.

Fenomena yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa di satu sisi hak-hak masyarakat setempat tetap perlu diperjuangkan dan diatur kembali, imbal beli melalui penyerahan aset-aset berupa hutan, tanah dan segala kekayaan alam yang ada di atasnya hendaknya diproses dan ditata kembali agar mengandung unsur-unsur keadilan dan kepantasan bagi penduduk. Karena menurut penduduk setempat ketidakadilan dan ketidakpantasan dalam transaksi imbal beli aset-aset Sustainable Livelihood telah menciptakan vulnerability context (Morse & McMara, 2013) yang dapat mengekalkan kerentanan serta kemiskinan baik pada aras individu dan lingkungannya maupun pada konteks yang lebih luas yakni masyarakat di wilayah Keerom.

Usaha memperjuangkan Livelihood berkelanjutan, dilakukan bersama-sama penduduk di Workwana, dan orang Arsokota serta penduduk kampung-kampung sekitarnya sebagai masyarakat adat Arso. Oleh karena itu usaha tersebut ingin dianalisa dan direflesksi dalam perspektif collective action.

Perjuangan Sustainable Livelihood Sebagai Collective Action

Studi ini menunjukkan pula bahwa usaha atau perjuangan mempertahankan Sustainable Livelihood, tidak dilalukan secara individual tetapi dilakukan secara berkelompok. Karena itu seluruh tindakan resistensi penduduk setempat dapat dikatakan sebagai

collective action karena resistensi menyatukan penduduk Workwana, Kampung tetangga Arsokota dan beberapa warga kampung lainnya di Distrik Arso. Jadi collective action penduduk ini sesungguhnya mengandung makna sebuah perjuangan demiki kepentingan bersama orang-orang Arso sebagai masyarakat adat.

Dengan demikian resistensi penduduk di daerah ini dilihat sebagai collective action (tindakan kolektif) karena diorganisir oleh kelompok masyarakat adat. Menurut Olson (2002), collective action

biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terorganisasi sesuai dengan interes kelompok. Kelompok terorganisasi Olson berbeda

dengan kelompok masyarakat adat Arso. Kelompok terorganisasi yang dibahas Olson berlatarbelakang kepentingan ekonomi dalam lingkungan masyarakat industri yakni kelompok buruh. Sedangakan kelompok terorganisasi dalam studi ini merupakan gerakan sosial yang ditandai oleh colletive action di bawah payung masyarakat adat yang memperjuangkan kepentigan hak-hak adat tanah ulayat. Namun kesamaannya ialah tindakan kelompok-kelompok terorganisasi tersebut termasuk masyarakat adat di Workwana dan kampung sekitarnya disebut sebagai colletive action karena terfokus pada perjuangan kepentingan kelompok.

Collective action orang Workwana dan sekitarnya merupakan sebuah gerakan moral sosial masyarakat, tidak berlangsung atas nama kelompok kampung tetapi atas nama masyarakat adat Arso. Karena itu bentuk resistensi ini merupakan collective action, seperti disebut Vanni (2014) sebagai sebuah kerjasama yang muncul dari masyarakat bawah yang berjejaring. Collective action di Workwana dan sekitarnya dapat dikatakan berjejaring karena merupakan gerakan masyarakat adat yang disebut masyarakat adat Arso, terdiri dari penduduk kampung-kampung di Distrik Arso yang muncul dari bawah, yakni dari kalangan masyarakat setempat. Menurut Vanni, collective action

yang berjejaring merupakan social capital masyarakat. Dengan demikian collective action orang Workwana dan sekitarnya bila dilihat dari peranan dan tujuan kelompok sebagaimana dijelaskan oleh Schutz dan Sandy (2011), ingin mencapaiu tujuan tertentu. Kasus collective action masyarakat adat di Arso bertujuan ingin memengaruhi pemerintah dan perusahaan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat atas hutan dan tanah yang digunakan baik sebagai perkebunan kelapa sawit. Salah satu taktik collective action yang terakhir digunakan oleh kelompok masyarakat adat tersebut pada akhir tahun 2016 ialah melakukan upacara adat peruhasaan menutup aktivitas perkebunan. Perjuangan penduduk tidak berhenti di situ karena dalam perspektif sustainable livelihood ada berbagai strategi yang dapat dilakukan agar terjadi penguatan kapasiltas dan kapabilitas penduduk. Salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ialah adanya program pemberdayaan.

Dokumen terkait