• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada pokok krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial- budaya, yang terjadi sebagai dampak dari kehadiran kelapa sawit bagi penduduk di Workwana dan sekitarnya ingin dilihat dari perspektif

Sustainable Livelihood.

Terkait dengan permasalahan yang disebut di atas, lebih jauh dikatakan oleh Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain bahwa, di dalam Livelihood ada yang disebut Sustainable livelihood. Prinsip

Sustainable Livelihood amat konsern terhadap berkelanjutan hidup bagi generasi yang akan datang, baik jangka pendek maupun jangka panjang di aras lokal dan global. Dalam paham Sustainable Livelihood

aset-aset ada berbagai bentuk dan disebut juga sebagai modal-modal manusia. Oleh karena itu dalam Sustainable Livelihood aset-aset atau modal-modal yang dimiliki manusia dilihat sebagai potensi penangkal (coping) untuk menanggulangi tekanan dan goncangan hidup yang dialami seseorang atau sekelompok orang (Chambers & Conway, 1991; Krantz Lasse, 2001;). Berdasarkan kekuatan yang dimiliki Sustainable Livelihood sebagai suatu perspektif tentang kehidupan manusia dan potensi-potensi yang terintegrasi di dalamnya, krisis-krisis yang disebutkan di atas mau dianalisa dan direfleksikan. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya Sustainable Livelihood mempunyai sejumlah kekuatan: pertama, kemampuan untuk melihat secara menyeluruh baik sumber daya alam maupun sumber daya sosial sebagai modal manusia; kedua, di dalamnya ada pendekatan-pendekatan yang bersifat mikro dan makro secara berjejaring, memungkinkan untuk mengatasi kerentanan-kerentanan yang ada dengan cara mengevaluasi dan memprogramkan pendekatan-pendekatan terhadap persoalan sosial ekonomi secara lebih realistis. Itulah sebabnya kekuatan-kekuatan tersebut ingin digunakan dalam berrefleksi tentang krisis-krisis yang disebutkan di atas.

Secara singkat dapat dikatakan krisis-krisis ekologi, ekonomi, kelembagaan dan sosial-budaya ternyata berdampak menimbulkan keterpinggiran dan kesulitan masyarakat di Workwana dan sekitarnya dalam mencari nafkah sebagaimana biasa didapatkannya dari kekayaan

alam yang tersedia baginya. Kesulitan hidup ini disebut sebagai keadaan hidup yang terpinggirkan dan miskin karena tidak ada lagi

Livelihood penduduk yang terdiri aset-aset yang kelihatan (tangible assets) yang dapat diandalkan. Dalam konteks alam Workwana tidak terdapat lagi berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, buah- buahan, sagu dan lain-lain sebagai bahan pokok konsumsi sehari-hari penduduk dan semakin sulit menemukannya di sekitar kampung dan hutan-hutan yang tersisa. Selain hilangnya tangible asset, hilang pula hak-hak dan akses-akses (ingtangible assets) karena terjadi alih fungsi dan alih kepemilikan berbagai asset yang dimiliki. Keadaan ini tentu menyebabkan penduduk setempat tak berdaya dan terpinggirkan karena kehilangan Livelihood yang menjadi tumpuan utama hidupnya.

Perubahan-perubahan yang begitu cepat menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang selama ini masih dijalani dan mendorong penduduk Workwana menyesuaikan diri, cara berpikir dan bertindak menurut paradigma production thingking, employment thingking dan

poverty line thinking (Chambers & Conway, 1991). Artinya bila orang Workwana ingin melanjutkan kehidupannya atau mengembangkan

Livelihood-nya, mereka harus terlibat berproduksi melalui kebun kelapa sawit. Itu berarti orang Workwana harus menyatu dengan perkebunan kelapa sawit baik sebagai petani maupun buruh tani. Karena bila tidak demikian orang Workwana akan tersingkir dan semakin sulit mencari nafkah karena Livelihood baru menuntutnya harus mencari nafkah melalui kelapa sawit. Akibatnya ukuran kesejahteraan bagi penduduk ini ditentukan menggunakan alat ukur dunia industri, yakni manusia, tanah dan komoditi menjadi alat produksi melalui usaha perkebunan kelapa sawit. Karena dari keterangan para informan setempat, seorang pemilik perkebunan kelapa sawit dituntut membayar biaya-biaya seperti, administrasi, kredit perusahaan, ongkos sewa buruh, makan minum buruh, sewa kendaraan pengangkut TBS, pengeluaran-pengeluaraan ekstra pelancar di pabrik untuk petugas dan berbagai biaya lainnya yang tidak kecil. Hal-hal yang disebutkan ini ternyata menjadi beban yang berat bagi petani penduduk setempat. Tuntutan-tuntutan tersebut makin membuat hidup petani setempat atau orang asli Workwana terpuruk.

Suasana ini makin terasa ketika hasil panen dari waktu ke waktu menurun sesuai dengan usia tanam yang lebih dari 32 tahun. Padahal sebelumnya petani tersebut adalah tuan lahan, pemilik lahan yang kapan saja ingin mengolah dan memanfaatkan hutan serta lahannya yang kaya dapat dilakukan sesuai kebutuhannya. Dengan kata lain tersingkirnya Livelihood setempat menjadikan orang-orang di Workwana, termasuk juga penduduk di beberapa kampung sekitar, atau apa yang disebut Sen (2000) berada dalam keadaan deprivasi. Artinya keadaan deprivasi menyebabkan mereka tersingkir dalam

Sustainable Livelihood karena tersingkir pula aset-aset atau modal- modal yang dimiliki. Padahal menurut Scoones Ian (1998) dan Krantz (2001) di dalam Sustainable Livelihood terdapat berbagai kapital, yaitu

natural capital (tanah, air, udara, sumber-sumber daya terbarukan dan jasa lingkungan, seperti sistem peredaran air, pengolahan limbah dan lain-lain) economic atau financial capital (uang, kredit/debit, tabungan, dan aset-aset ekonomi lainnya seperti infrastuktur dasar, alat-alat produksi dan teknologi) human capital (keterampilan, pengetahuan, kemampuan kerja dan kesehatan yang baik, kemampuan fisik) dan

social capital (jejaring, hak-hak sosial, relasi sosial, afiliasi-afiliasi dan asosiasi-asosiasi) yang dibutuhkan untuk mengembangkan hidup. Hal serupa juga dilihat Sachs (2005) dari studi yang dilakukan di beberapa tempat di dunia. Ia menyatakan manusia mempunyai berbagai kapital yang seharusnya ada agar seseorang atau sekelompok orang tetap eksis dan mampu mengaktualisasikan dirinya dan terhindar dari perangkap kemiskinan. Kapital-kapital tersebut adalah human capital (kesehatan, gizi dan skil); business capital (mesin-mesin, berbagai fasilitas, alat transportasi diperlukan untuk kegiatan pertanian dan industri serta jasa pelayanan lainnya sebagai modal bisnis); infrastructure (infrakstruktur seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan laut, sistem telekomunikasi); natural capital (modal alam berupa tanah yang subur dan baik untuk ditanami, ketersediaan keanekaragaman hayati, berfungsinya ekosistem yang baik); public institutional capital (modal institusi publik berupa hukum dagang, sistem peradilan, institusi pemerintah serta kebijakan pelayanan dan pembagian kerja);

Perbedaan antara modal-modal yang disebut Scoones, Krantz dan Sachs di atas terlihat pada peran institusi publik sebagai salah satu modal yang tidak dijelaskan lebih rinci oleh Scoones dan Krantz. Namun menurut penulis unsur modal institusi publik yang disebut Sachs sebenarnya berkaitan dengan modal sosial yang disebutkan Scoones dan Krantz sebagai salah satu modal sosial. Karena secara kelembagaan di dalam modal sosial terdapat jejaring, berbagai asosiasi dan hak-hak yang diatur dalam lembaga-lembaga publik terkait. Jadi memang terdapat perbedaan penyebutan, tetapi baik modal sosial menurut Scoones dan Krantz maupun modal institusi publik menurut Sachs, mempunyai peran dan fungsi yang sama. Perbedaan lain di antara Sachs dengan penganjur Sustainable Livelihood ialah, Sachs menekankan input dari luar, sedangkan penggagas Sustainbale Livelihood mengandalkan human capital dan kapital lainnya dari orang setempat atau penduduk.

Dari studi kasus di Workwana memang terlihat penduduk ini sedang berada dalam keadaan tunalahan dan menjadi penduduk yang hidup tanpa beberapa modal yang seharusnya ada. Dengan kata lain penduduk ini sedang mengalami krisis karena ketiadaan modal-modal yang mereka miliki seperti disebutkan dalam Sustainable Livelihood

seperti natural capital, economic atau financial capital, human capital

dan social capital. Dalam keadaan tunalahan penduduk Workwana kehilangan beberapa modal seperti natural capital dan economic capital sebagaimana sudah digambarkan sebelumnya yang menyebabkan mereka mengalami krisis hidup. Namun dari studi kasus di Workwana terlihat walaupun penduduk kehilangan beberapa modal hidup, ternyata modal manusia dan modal sosial masih menjadi kekuatan yang digunakan untuk mensiasati Sustainable Livelihood sehingga mereka tetap eksis. Berikut akan dijelaskan beberapa kelompok penduduk yang mampu menyiasati hidup menggunakan modal-modal yang ada sehingga tetap eksis sampai saat ini.

Kelompok-kelompok dimaksud adalah kelompok perempuan dan kelompok berpendidikan serta kaum muda tunakarya. Kelompok- kelompok ini bukan merupakan bagian dari mayoritas penduduk

kampung akan tetapi keberadaan kelompok ini memberikan perspektif baru dalam memperjuangkan Livelihood dan Sustainable Livelihood.

Dokumen terkait