• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

KINERJA APARATUR

Konsep Kinerja

Kinerja didefinisikan secara beragam. Para ahli manajemen kinerja menyatakan bahwa konsep kinerja bersifat multi dimensional, artinya memiliki berbagai macam pengukuran dan berbagai dimensi kinerja yang ada. Begitu pula faktor-faktor yang mempengaruhinya. Peningkatan dan perbaikan indikator kinerja pada pelayanan publik dewasa ini menjadi tolok ukur bahwa kesulitan yang dihadapi pelayanan publik dalam pengukuran kinerja tidak berarti mengendurnya upaya peningkatan kinerja yang baik.

Menurut Blumberg dan Pringler (Stoner 1986) kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi, dan kesempatan untuk berprestasi dengan rumusan performance = (ability x motivation x opportunity to performance). Maksud kesempatan berprestasi adalah kesempatan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi bila mendapatkan dukungan, bantuan dan fasilitasi dari luar seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, teman kerja, informasi dan aturan kerja. Robbins (2006) yang diacu dalam (Usman 2010) mengartikan kinerja adalah produk dari fungsi kemampuan dan motifasi. Jika diformulasikan adalah sebagai berikut:

Kinerja = f (kemampuan x motivasi).

Pandangan Robbins tersebut menunjukkan bahwa kinerja dinyatakan sebagai suatu produk kerja dari orang maupun dari lembaga.

Rothwell et al. (2000) dalam kalimat awal bukunya mengemukakan

bahwa kinerja dapat menjadi suatu konsep yang elusive, artinya sulit untuk dicari

kesamaan pemahamannya. Artinya konsep atau pendefinisian kinerja sering

digunakan secara rancu dengan konsep behaviour, melalui cara yang sederhana,

kinerja sering dirumuskan sebagai hasil akhir, dan perilaku adalah alat untuk mencapai hasil akhir tersebut. Menurut Rothweell dan kawan-kawan, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Seorang yang rajin dan sangat loyal pada organisasi serta berpengalaman dapatkah dijamin kinerjanya akan lebih baik dari yang lain? Fokus

utama menurut Rothwell dan kawan-kawan adalah bagaimana mereka dapat mencapai hasil terbaik, sedangkan perilaku menjadi penekanan kedua.

Kinerja menurut Brumbach (1988) yang diacu dalam Amstrong dan Baron (1998):

“Performance means both behaviours and results. Behaviour emanate from the performer and transform performance from abstraction to action. Not just the instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right – the product of mental and physical effort applied to task – and can be judged apart from result.”

Rumusan Brumbrach tentang kinerja tersebut membawa pada pemahaman bahwa kinerja mencakup baik perilaku dan hasil. Armstrong menyebut pandangan ini

sebagai ‘mix-model’ dimana perilaku dipertimbangkan sebabagi input dan hasil

dari hasil sebagai output. Namun demikian, “Performance is not only about what

is achieved but also about how it is achieved” (Armstrong dan Baron 1998), yang berarti bahwa masalah kinerja harus ditangani secara professional melalui manajemen kinerja yang dapat mengarahkan berbagai konteks kinerja yang ada, apakah hal tersebut berkaitan dengan penetapan indikator, pengukurannya, evaluasi, maupun pengembangan dan perbaikan kinerja.

Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Menurut Bernardin & Russel

(Mardikanto 1993) kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari

fungsi pegawai tertentu. Kontribusi anggota organisasi terhadap organisasinya dapat diukur dengan penilaian kinerja kerja. Gibson (1996) menyatakan kinerja adalah hasil yang diinginkan dari pelaku. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang didasarkan pada kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Timpe (1992), kinerja adalah tingkat prestasi seseorang atau karyawan dalam suatu organisasi atau perusahaan yang

dapat meningkatkan produktivitas. Cardy et al., (1995) kinerja dipandang sebagai

bagian dari fungsi sistem kerja dari karakteristik seorang pekerja, karena karakteristik pekerja diasumsikan memiliki pengaruh besar terhadap kinerja. Hal ini didasari pada perbedaan-perbedaan individu dalam melaksanakan pekerjaan sehingga memengaruhi kinerja.

Atmosoeprapto (2001) menyatakan bahwa kinerja (performance) merupakan fungsi dari motivasi dan kemampuan yang merupakan dua faktor yang dapat menimbulkan efek sinergik. Kemampuan yang tinggi dan didukung oleh motivasi yang tinggi pula akan memberikan keragaan yang baik berupa produktivitas yang lebih baik (produktif). Seseorang untuk mampu melaksanakan tugas pokok berdasarkan standar tertentu, memerlukan kemampuan yang tertentu pula. Kinerja seseorang ditentukan oleh kemampuan ketiga aspek perilaku yaitu psikomotor, efektif dan kognitif.

Lusthaus et al. (2002) dalam Organizational Assesment: A Framwork

for Improving Performance menyatakan bahwa kinerja organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kapasitas organisasi, motivasi organisasi dan lingkungan organisasi. Kapasitas organisasi merupakan kemampuan dari suatu organisasi untuk menggunakan sumberdaya yang tersedia, motivasi organisasi menunjukkan kepribadian dasar organisasi, dan lingkungan eksternal merupakan faktor kunci didalam menetukan tinkat ketersediaan sumberdaya dan dan kesenangan, yang

mana suatu organisasi dapat menyelesaikan kegiatannya. Lusthaus et al. (2008)

menggambarkan kinerja organisasi dengan faktor-faktor yang memengaruhinya sebagai berikut:

Gambar 1 Hubungan Kinerja Organisasi dengan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.

Sumber: Lusthaus et al. (2002) dalam Organizational Assesment:

A Framwork for improving Performance Motivasi Organisasi Kapasitas Organisasi Lingkungan Organisasi Kinerja Organisasi

Menurut Gomez (2001), secara administratif organisasi atau perusahaan dapat menjadikan tujuan penilaian kinerja sebagai acuan atau standar di dalam membuat keputusan yang berkenaan dengan kondisi pekerjaan karyawan, termasuk untuk promosi pada jenjang karir yang lebih tinggi, pemberhentian dan penghargaan atau penggajian. Pengembangannya adalah untuk memotivasi dan meningkatkan keterampilan kerja, termasuk pemberian konseling untuk

mengubah perilaku karyawan dengan mengadakan latihan (training).

Pemahaman kinerja dari asumsi organisasi sebagaimana dikemukakan oleh Yuchtman dan Seashore (1967) bahwa kinerja sebagai kemampuan suatu organisasi yang memanfaatkan lingkungannya untuk mengakses sumber-sumber daya yang terbatas. Selanjutnya dikemukakan bahwa kinerja adalah sebuah

pengukuran yang mencakup persepsi dari berbagai stakeholder dalam organisasi.

Carter (1991) dan Otley (1999) dalam Lye (2006) kinerja digambarkan

sebagai berikut: “Performance is an ambiguous concept that has different

meanings for different audiences, determined organizationally and contextually”. K

Kinerja sebuah organisasi ialah gambaran mengenai bagaimana seorang (baik pimpinan maupun anggota) melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu pekerjaan, jabatan atau peranan dalam organisasi. Kinerja diartikan sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan kerja perorangan atau kelompok organisasi dalam jangka waktu tertentu. Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan (Sedarmayanti 2003).

inerja adalah suatu konsep ambigu yang memiliki arti yang berbeda untuk audiens yang berbeda, ditentukan oleh organisasi dan kontekstualnya.

Berbagai uraian tujuan dan manfaat penilaian kinerja di atas, maka dapat dirumuskan bahwa tujuan dan manfaat penilaian kinerja terangkum pada detail faktor-faktor atau unsur-unsur yang dijadikan acuan menilai kinerja itu sendiri. Bila acuannya adalah faktor-faktor atau unsur-unsur penilaian kinerja individu maka tujuannya dapat dirumuskan pada sekitar faktor-faktor atau unsur-unsur tersebut. Sedangkan manfaatnya tentu saja pada obyek dan subyek penilaian kinerja dan sistem atau wadah dimana obyek dan subyek tersebut melekat.

Demikian halnya, bila penilaian kinerja ditekankan pada kinerja organisasai atau kinerja proses, maka tujuannya dapat dirumuskan dari faktor-faktor atau unsur-unsur apa yang menjadi obyek penilaian-kriteria penilaian. Sedangkan manfaat nya untuk obyek dan subyek yang melekat pada penilaian kinerja yang dilakukan.

Manfaat dan Tujuan Penilaian Kinerja Aparatur

Masalah manajemen kinerja yang dihadapi lembaga pemerintah adalah masalah pengukuran. Lembaga pemerintah sebagai lembaga sektor publik pada umumnya tidak memiliki standard kinerja yang baku sebagaimana sektor privat.

Standard kinerja yang ada umumnya bersifat ad hoc dan jauh dari sistematik

(Hughes 1994). Pengukuran kinerja pemerintah sering bias pada beban kerja dan bukan pada hasil, serta difokuskan pada satu bidang saja, dengan mengabaikan bidang yang lain. Rendahnya kesadaran, pemahaman dan kemampuan melakukan penilaian kinerja menjadi hambatan utama bagi penilaian kinerja itu sendiri. Pemerintah Daerah harus sadar akan pentingnya penilaian kinerja bagi perbaikan kinerja

Rothwell et al. (2004) menyatakan bahwa kesenjangan atau gap kinerja

merupakan perbedaan antara tingkatan kinerja saat ini dengan yang diinginkan. Konsep kinerja yang multidimensional juga menggambarkan ragam-ragam faktor yang diperkirakan memengaruhi penilaian suatu kinerja. Tom Gilbert (LaBonte 2001) mengidentifikasikan 6 (enam) variabel kunci yang menurutnya harus dipertimbangkan dalam menilai kinerja organisasi, yakni pertama adalah variabel

lingkungan yang terdiri dari informasi, sumberdaya, dan insentif, serta yang

kedua adalah variabel individual yang terdiri dari pengetahuan, kemampuan dan motivasi.

Rummler dan Brache 1988 (Rothwell 2000) mengemukakan 6 (enam) variable yang memengaruhi kinerja individu dalam dalam pekerjaanya yaitu: spesifikasi pekerjaan, campur tangan terhadap pekerjaan mereka, konsekwensi-konsekwensi, umpan balik, pengetahuan dan keahlian, serta kapasitas individual. Tidak berbeda jauh dengan rumusan Rummler maupun Gilbert, Armstrong dan

Baron (1998) mengemukakan 5 (lima) faktor yang memengaruhi kinerja yaitu: yang pertama faktor-faktor personal yang terdiri dari skill, kompetensi, motivasi dan komitmen. Kemudian yang kedua adalah faktor-faktor kepemimpinan (leadership) seperti kualitas dukungan, pemberian semangat dan team leader. Ketiga, yakni faktor team antara lain kualitas dukungan yang disediakan oleh kolega/teman/teamwork. Keempat, faktor sistem meliputi sistem kerja dan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh organisasi. Dan yang kelima, adalah faktor situasional atau kontekstual yang berupa tekanan dan perubahan lingkungan eksternal maupun internal dimana individu itu bekerja.

Simamora (1999) menyatakan bahwa, penilaian kinerja adalah proses penilaian hasil kerja yang digunakan manajemen untuk memberikan informasi kepada karyawan secara individual, tentang mutu hasil pekerjaannya dari sudut kepentingan perusahaan. Hwang-Sun Kang (2003) menggunakan kriteria workload, efficiency, effectivines dan productivity untuk penilaian kinerja. Workload merupakan beban kerja yang berhasil diselesaikan. Efficiency

menunjukkan perbandingan antara input dan output. Effectivines menunjukkan

perbandingan antara output dan outcome yaitu tingkat ketercapaian hasil akhir

setelah output diperoleh. Productivity menunjukkan jumlah hasil yang dicapai

pada kurun waktu tertentu.

Belows (1961) dan Beach (1970) memahami bahwa, penilaian kinerja perlu dilakukan periodik dan sistematis pada prestasi seorang karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Penilaian dilaksanakan oleh atasan atau seseorang yang ditunjuk oleh organisasi untuk mengevaluasi kinerja karyawannya. Belows (1961) lebih mengarah pada penilaian kinerja individu pada suatu organisasi secara periodik, sedangkan Beach (1970) lebih mengarah pada potensi yang diberikan oleh karyawan dalam pengembangan organisasi.

Blanchard dan Spencer (1982), Muchinsky (1993) serta Bittel dan Newsroom (1996) memiliki pemahaman yang sama tentang penilaian kinerja. Menurut mereka penilaian kinerja adalah proses evaluasi yang dilakukan oleh organisasi secara sistematis dan formal tentang hasil kerja dari seorang karyawan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang diberikan organisasi.

Blanchard dan Spencer (1982) lebih menekankan pada evaluasi kinerja karyawan sebelumnya dan untuk mengetahui apa yang akan dilakukan selanjutnya, hal ini berhubungan dengan penghargaan ataupun sanksi yang akan diberikan kepada karyawan tersebut. Contoh: pemberian penghargaan kenaikan jabatan atau pemberian sanksi penundaan kepangkatan. Lain halnya dengan Muchinsky (1993) yang memandang dari segi efektivitas kerja dari seorang karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Misalnya efektivitas melakukan perencanaan, menentukan prioritas program kerja dan mengimplementasikannya. Bittel dan Newsroom (1996) lebih mengarah pada evaluasi formal tentang seberapa baik seseorang melakukan tugas dan perannya sesuai dengan tujuan organisasi.

Menurut Barry (1997) dan Amstrong (1998), penilaian kinerja ialah bentuk tanggungjawab manajemen untuk memastikan karyawan memahami misi dan tujuan organisasi yang difokuskan pada pengungkapan kelebihan dan kekurangan karyawan dalam bekerja. Barry (1997) lebih mengarah pada tanggungjawab manajemen dalam menanamkan kepercayaan diri karyawan untuk memahami misi dan tujuan organisasi. Amstrong (1998) lebih mengarah pada pengungkapan kelebihan dan kekurangan karyawan dalam bekerja. Kelebihan karyawan dapat dikembangkan secara berkelanjutan untuk memperbaiki kekurangan yang dilakukan selama pelaksanaan tugasnya.

Simamora (1999) dan Hwang-Sun Kang (2003) memahami bahwa, penilaian kinerja merupakan informasi pihak manajemen kepada karyawan

tentang kualitas hasil pekerjaannya, yang penilaiannya didasarkan pada workload,

efficiency, effectivines dan productivity dalam pelaksanaan tugas organisasi. Simamora (1999) lebih mengarah pada kepentingan perusahaan, karena karyawan hanya menerima informasi keberhasilan pelaksanaan tugasnya dan tidak mengetahui sejauh mana kinerja mereka untuk meningkatkan karir di perusahaan. Hwang-Sun Kang (2003) lebih memahami pada efektivitas, efisiensi dan produktivitas karyawan dalam melaksanakan tugas organisasi sesuai dengan beban kerjanya. Karyawan secara langsung dapat mengetahui kemampuan yang telah mereka hasilkan untuk kemajuan organisasi dan pengembangan karir mereka.

Berdasarkan uraian di atas, maka penilaian kinerja dapat didefinisikan sebagai metode sistematis berdasarkan peraturan dan standar pekerjaan dengan kriteria penilaian workload, efficiency, effectivnes dan productivity selama periode tertentu yang dilakukan oleh organisasi untuk mengetahui prestasi kerja, kontribusi, potensi dan nilai dari pekerjaan karyawan. Penilaian kinerja sebagai bentuk umpan balik organisasi pada hasil kerja karyawan yang dilaksanakan oleh pimpinan, manajer atau orang-orang yang diberi wewenang sebagai landasan pengembangan misi dan tujuan organisasi.

Penilaian kinerja (performance appraisal) pada dasarnya merupakan

salah satu kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien. Untuk keperluan penilaian kinerja diperlukan adanya informasi yang relevan dan reliabel tentang prestasi masing-masing individu (Sulistiyani dan Rosidah) Martoyo (2000) mengatakan bahwa penilaian prestasi kerja pada dasarnya penilaian yang sistemik terhadap penampilan kerja pegawai itu sendiri dan terhadap taraf potensi pegawai dalam upaya mengembangkan diri untuk kepentingan organisasi. Sasaran yang menjadi obyek penilaian antara lain adalah kecakapan dan kemampuan pelaksanaan tugas yang diberikan, penampilan dalam melaksanakan tugas, cara membuat laporan atas pelaksanaan tugas, kesegaran jasmani maupun rohani selama bekerja.

Menurut Desler (1997), ada beberapa alasan untuk menilai kinerja yaitu: (1) penilaian memberikan informasi tentang dapat dilakukannya promosi dan penetapan gaji, dan (2) penilaian memberikan suatu peluang bagi atasan dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan. Hal tersebut memungkinkan untuk dapat mengembangkan suatu rencana untuk memperbaiki kemerosotan apa saja yang mungkin dapat digali dalam penilaian dan dapat mendorong hal-hal baik yang sudah dilakukan.

Tujuan dilakukan penilaian kinerja secara umum adalah untuk

memberikan umpan balik (feedback) kepada pegawai dalam upaya memperbaiki

tampilan kerjanya dan upaya meningkatkan produktivitas organisasi, dan secara khusus dilakukan dalam kaitannya terhadap pegawai seperti tujuan promosi, kenaikan gaji, mengikuti pendidikan dan latihan (Hariandja 2002)

Dalam menilai kinerja sesorang tidak terlepas dari manajemen kinerjanya, yaitu proses komunikasi yang berlangsung terus menerus yang dilaksanakan berdasarkan kemitraan antara petugas dan atasannya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem, artinya ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikutsertakan yaitu organisasi, pengelola kinerja dan anggota staff. Manajemen kinerja merupakan cara mencegah kinerja buruk dan cara bekerjasama meningkatkan kinerja (Bacal 2002).

Manfaat pengukuran kinerja menurut Parker (Sadjiarto 2000) terdiri dari lima manfaat: (1) pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan, (2) pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal, (3) Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik, (4) pengukuran kinerja mendukung perencanaan strategis dan penetapan tujuan, (5) pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumberdaya secara efektif.

Selanjutnya dikatakan bahwa manfaat pengukuran kinerja dapat digunakan sebagai bahan informasi mengenai kinerja pemerintah yang meliputi: (1) menetapkan sasaran dan tujuan program tertentu, (2) merencanakan program kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, (3) mengalokasikan sumberdaya untuk pelaksanaan program, (4) memonitor dan mengevaluasi hasil untuk menentukan apakah ada kemajuan yang diperoleh dalam mencapai sasaran dan tujuan tersebut, (5) memodifikasi perencanaan program untuk meningkatkan kinerja.

Walaupun ada beberapa pendekatan untuk menilai kinerja organisasi, ada sedikit yang merupakan kesepakatan untuk apa seperangkat kriteria yang valid. Pandangan yang sama dikemukan oleh Davis dan Verma (1993) bahwa penilaian kinerja dalam pelayanan penyuluhan menimbulkan keprihatinan seluruh karyawan. hal itu memengaruhi motivasi karyawan, kinerja, dan efektifitas program pendidikan, keberhasilan program bergantung sebagian besar pada kinerja agen di lapangan. Oleh karena itu, penilaian kinerja merupakan fungsi manajemen kritis.

Tujuan penilaian kinerja adalah untuk mengetahui keberhasilan atau ketidakberhasilan seorang Pegawai Negeri Sipil, dan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Hasil penilaian kinerja digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil, antara lain pengangkatan, kenaikan pangkat, pengangkatan dalam jabatan, pendidikan dan pelatihan, serta pemberian penghargaan. Penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

Unsur-unsur yang dinilai dalam melaksanakan penilaian pelaksanaan pekerjaan adalah : (1) kesetiaan, (2) prestasi kerja, (3) tanggungjawab, (4) ketaatan, (5) kejujuran, (6) kerjasama, (7) prakarsa dan, (8) kepemimpian.

Kesetiaan, adalah kesetiaan, ketaatan, dan pengabdian kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah.

Prestasi Kerja, adalah hasil kerja yang dicapai seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksana tugas yang dibebankan kepadanya. Pada umumnya prestasi kerja seorang Pegawai Negeri Sipil dipengaruhi oleh kecakapan, ketrampilan , pengalaman dan kesungguhan PNS yang bersangkutan

Tanggung jawab, adalah kesanggupan seorang Pegawai Negeri Sipil menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul risiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya.

Ketaatan, adalah kesanggupan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, menaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang ditentukan.

Kejujuran, adalah ketulusan hati seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya.

Kerjasama, adalah kemampuan seseorang Pegawai Negeri Sipil untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan sesuatu tugas yang ditentukan, sehingga tercapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya

Prakarsa, adalah kemampuan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk mengambil keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan sesuatu tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan.

Kepemimpinan, adalah kemampuan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok.

Kinerja Organisasi Pemerintah Daerah

Kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Penilaian kinerja adalah proses sistematis dan berkesinambungan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan, sasaran dan tujuan yang ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strategi instansi pemerintah.

Studi tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja organisasi sangat ditentukan oleh jenis dan profil organisasi serta tujuan penelitian dilakukan.

Sebagai contoh studi yang diterbitkan oleh sebuah lembaga yang bernama Goliath

Business Knowladge on Demand, dimana temuan penelitian yang dilakukan sebelumnya dalam kewirausahaan, manajemen, dan daerah pemasaran telah menunjukkan bahwa orientasi pasar, orientasi pembelajaran, gaya manajemen kewirausahaan, dan fleksibilitas organisasi sangat berkorelasi dengan kinerja

organisasi. (Goliath Business Knowledge on Demand, 2005) dan penelitian

tersebut diperkuat dengan hasil studi yang diterbitkan baru-baru ini (Barrett,

Balloun, dan Weinstein, 2004 dalam Goliath Business Knowledge on Demand,

2005) menunjukkan bahwa organisasi nirlaba dan bisnis tidak menganggap diri mereka berbeda pada empat faktor keberhasilan atau korelasi tersebut, meskipun tingkat usaha mandiri melaporkan kinerjanya lebih tinggi dari organisasi nirlaba. Sebuah langkah logis berikutnya adalah untuk membandingkan layanan bisnis untuk perawatan kesehatan dan pendidikan, layanan utama dari sektor nirlaba.

Semler, (1997) dalam Way dan Johnson (2005) bahwa kedudukan kinerja berhubungan dengan cakupan dimana hasil aktual organisasi sesuai dengan hasil yang penting bagi organisasi untuk menemukan tujuan dan sasarannya. Proses ini dimaksudkan untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja guna memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran, selanjutnya dilakukan pula analisa akuntabilitas kinerja yang menggambarkan keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan kebijakan dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan dan visi dan misi sebagaimana ditetapkan dalam rencana strategik.

Pemerintahan reformasi yang ada selama ini dinilai kurang responsif dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, aspirasi dan dinamika yang terjadi di masyarakat, belum mampu mengantarkan bangsa keluar dari himpitin krisis serta belum mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti. Perebutan kekuasaan antar elit politik lebih mewarnai jalannya reformasi dengan adanya pergantian presiden yang begitu cepat tanpa diikuti dengan tindakan nyata kearah perbaikan. Tingkat kepercayaan rakyat pada integritas pemerintahanpun mulai dipertanyakan dan menunjukkan gejala penurunan dengan banyaknya bentuk ekspresi ketidakpuasan rakyat seperti main hakim sendiri, demonstrasi, protes, kecaman, cacimaki terhadap birokasi publik bahkan ada sebagian daerah berkeinginan untuk berpisah dari Indonesia. Pemerintah dengan birokrasinya yang diharapkan menjadi jalan pemecahan masalah tetapi malah menjadi sumber masalah dari permasalahan yang dihadapi bangsa. Berbagai bentuk penyakit

birokrasi (bureau-pathologies) (Caiden 1991 dan Hariandja 1999) adalah

merupakan hasil dari kepongahan dan salah urusnya (mis-management) para

penyelenggara negara di semua tingkatan dan pada semua sektor kehidupan. Tuntutan dan aspirasi masyarakat yang semakin mengedepan dalam era reformasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan setidaknya meliputi beberapa hal; pertama, reformasi sistem politik yang merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dinafikan untuk menuju kehidupan politik yang lebih demokratis melalui keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses politik yang menyangkut kepentingan publik (Gaffar 2000); kedua, reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dari pola sentralisasi yang bersifat paternalistik

menjadi desentralisasi yang bersifat kemitraan (Rasyid 2001); ketiga, tuntutan