• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

Konsep Birokrasi

Dibandingkan dengan subjek ilmu pengetahuan yang lain, sesungguhnya eksistensi birokrasi, baik secara riil maupun sebagai subjek ilmu pengetahuan dapat dikatakan masih baru. Eksistensi birokrasi secara institusional muncul setelah manusia mulai mengenal bentuk negara modern, sedangkan sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, kajian terhadap birokrasi mulai dilakukan sekitar revolusi Perancis abad ke 18. Istilah birokrasi diperkenalkan oleh Filsuf Prancis

Baron de Grimm, dari asal kata bureau yang berarti meja tulis, dimana para

pejabat (saat itu) bekerja dibelakangnya.

Pemerintahan Perancis (dan negara eropa lainnya pada waktu tersebut) dikenal memiliki kinerja yang sangat buruk, serta mengeksploitasi rakyat secara berlebihan. Untuk menyindir kinerja para pejabat yang buruk itu, dipakailah

istilah bureumania yang kemudian memunculkan kata bureucratie (Prancis),

burocratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucracy (Inggris). Istilah-istilah tersebut yang kemudian dipakai untuk menunjukkan pengertian suatu organ atau institusi pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam suatu Negara (Thoha1999).

Konsep birokrasi sendiri tidak dapat memisahkan diri dari teori dasar tentang birokrasinya Max Weber. Birokrasi yang dimaksud Weber yaitu sebagai salah satu sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Dengan demikian, birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisasikan secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan banyak orang (Widjaja 1999). Teori Weber yang sangat popular dinamakan “Teori Domination”. Weber mengemukakan tiga sumber kekuasaan atau sumber otoritas, yaitu: (1) otoritas yang rasional dan sah, hal ini diciptakan oleh tingkat dan posisi yang dipegang oleh sesorang pejabat didalam suatu hirarki, (2) otoritas tradisional, ini diciptakan oleh kelas-kelas dalam masyarakat dan juga oleh adat kebiasaan, dan (3) otoritas kharismatik, ini ditimbulkan oleh potensi kepribadian si pejabat. Menurut Weber birokrasi itu dibangun dari otoritas yang rasional dan sah, dalam hal tertentu ia tidak

setujudengan tradisionalitas dan emosionalitas. Dengan demikian Weber memberi andil dalam analisa perilaku organisasi lewat konsep dan struktur birokrasinya.

Menurut Fritz Morstein Marx (Widjaja 1999), birokrasi sebagai tipe organisasi yang digunakan pemerintah modern untuk pelaksanaan tugas-tugas yang bersifat spesialisasi dilaksanakan dengan sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. Weber (Albrow 1989) menguraikan tentang beberapa ciri birokrasi yang biasanya terdapat pada organisasi-organisasi yang teratur dan sengaja dibentuk. Ciri-ciri dimaksud adalah:

(1) Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan

organisasi didistribusikan melalui cara yang telah ditetapkan dan dianggap sebagai tugas-tugas resmi yang pada umumnya diatur berdasarkan hukum dan peraturan-peraturan administrasi, yaitu: a) adanya pembagian tugas yang jelas, b) adanya pendelegasian wewenang dan hak untuk memerintah bagi pejabat-pejabat organisasi, c) setiap tugas dilaksanakan dengan tuntutan keahlian (spesialisasi) yang tinggi, dan oleh karena itu yang dapat diangkat menjadi aparat birokrasi yaitu mereka yang mempunyai keahlian atau kualifikasi.

(2) Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hirarkis. Artinya, tugas dan

wewenang di dalam organisasi disusun dan didelegasikan secara bertingkat-tingkat, mulai dari tingkat atas hingga tingkat paling rendah.

(3) Manajemen kantor didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis atau

diarsipkan.

(4) Kegiatan kantor penuntut pegawai bekerja dengan kapasitas penuh.

(5) Pekerja/pegawai didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi dari

kemungkinan pemecatan sepihak.

(6) Diperlukan latihan dan pendidikan bagi aparat-aparat birokrasi secara terus

menerus.

Lebih jauh ciri-ciri birokrasi ideal type Max Weber atau juga dikenal dengan Weberian Bureaucracy dijelaskan oleh Thoha (2003) sebagai berikut:

(1) Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya

jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluargannya.

(2) Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hirarki dari atas ke bawah dan ke

samping. Konsekwansinya ada jabatan atasan dan bawah, dan yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.

(3) Tugas dan fungsi-fungsi masing-masing jabatan dalam hirarki itu secara

spesifik berbeda satu sama lain.

(4) Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian

tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan dominan yang

menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

(5) Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal

tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.

(6) Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai

dengan tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

(7) Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi

berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan perimbangan yang objektif.

(8) Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan

resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

(9) Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem

yang dijalankan secara disiplin.

Dari konsep Weberian Bureaucracy tersebut jelas bahwa nilai utama yang

melekat pada birokrasi ialah efisisensi. Bahwa tipe organisasi birokrasi yang murni birokrasi diyakini mampu mencapai efisiensi administrasi maksimum. (Tjokrowinoto, 1990).

Newstrom dan Davis (1997) diacu (Usman 2010) memberikan karateristik pengembangan organisasi digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3 Karateristik Pengembangan Organisasi (Newtrom dan Davis 1997) dalam (Husman 2010).

Sebagai sebuah organisasi yang bergerak dinamis, birokrasi kiranya senantiasa berbenah dengan melakukan reformasi birokrasi melalui pengembangan. Pengembangan organisasi ialah strategi intervensi yang memanfaatkan proses kelompok untuk berfokus pada budaya organisasi secara menyeluruh dalam rangka melakukan perubahan yang diinginkan (Newstrom dan Davis 1997) dalam (Usman 2010).

Pengembangan organisasi diperlukan karena: (1) untuk menanggapi kebutuhan, (2) struktur imbalan tidak cukup untuk memperkuat pelatihan konvensional sehingga sering gagal mengalihkan hasil pelatihan ke tugas pekerjaan, dan (3) laju perubahan lingkungan berlangsung sangat cepat mengharuskan organisasi mengembangkan dirinya. Konsep tentang peranan proses organisasi, yaitu proses organisasi memiliki tiga peran: koordinasi /integrasi (coordination/integration ) - (a static concept ), belajar (learning) - (a dynamic concept) dan rekonfigurasi (reconfiguration) - (a transformational concept) (

Dilihat dari konteks hubungan fungsi, birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang menghubungkan Negara/pemerintah dengan rakyatnya. Birokrasi merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam posisi demikian, maka tugas birokrasi adalah merealisasikan setiap kebijakan pemerintah dalam pencapaian kepentingan

Teece, Pisano, Shuen. 1997).

Pembinaan Tim Orientasi Kontingensi Balikan

Pembelajaran eksperensial Pemecahan Masalah

Penggunaan Agen Perubahan Orientasi Sistem

Nilai Humanistik

Pengemba ngan Organisasi

publik. Sebagai alat pemerintah, jelas birokrasi tidak mungkin netral dari pengaruh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian. Justru karena tugasnya sebagai alat pemerintah, maka diperlukan kemandirian birokrasi, sehingga birokrasi menjadi sebuah institusi yang terus menerus mencari hal-hal baru, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan selalu belajar dari pengalaman masa lalu. Karateristik baru ditujukan kearah kemampuan memecahkan masalah-masalah secara efektif dan daya inovatif, dengan menanamkan nilai-nilai sentral seperti efektif, efisien, etos profesional, sifat-sifat adaptif, responsive, serta keberanian untuk mengambil risiko. Partisipasi dalam proses perumusan tujuan melebar dan keterlibatan aparat

birokrasi berlangsung dari bawah ke atas (bottom up) maupun sebaliknya (top

down).

Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah yang menetukan dalam pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga mampu menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya reformasi

birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good governance. Karena

reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance

(Prasojo dan Kurniawan 2008).

Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara atau sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan bersama. Ralph M. Stogdill mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut: kepemimpinan manajerial adalah proses mengarahkan dan mempengaruhi kegiatan yang berhubungan dengan tugas dari anggota kelompok (Stoner 1986). Menurut Kae H. Chung dan Leon C Megginson kepemimpinan didefinisikan sebagai kesanggupan mempengaruhi perilaku orang lain dalam suatu arah tertentu (Kossen 1986).Sedangkan menurut Edwin A. Fleishman kepemimpinan diartikan suatu usaha memengaruhi orang

antar perseorangan (interpersonal) lewat proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Gibson, Ivancevich and Donnely 1987).

Kepemimpinan di Indonesia pada dasarnya mengacu pada apa yang dikenal dengan Hasta Brata, trilogy kepemimpinan dari Tri Dharma dengan gaya paternalistik dan otoritatif. Pemimpin di Indonesia memiliki peran sebagi bapak yang bersifat bijaksana dan jujur. Karakteristik kepemimpinan Hasta Brata disebut juga sebagai delapan perilaku pemimpin, yaitu : (1) bintang: memberika inspirasi; (2) matahari: jujur, memotivasi dan memiliki daya atau spirit; (3) bulan: memiliki ambisi, memberi arah dan tuntunan; (4) angin: lincah, akurat, menyukai kerja bersama dan menciptakan nuansa yang menyenangkan; (5) api : kuat dan menentukan; (6) awan : jujur, adil dan terbuka; (7) lautan : lapang dan berpandangan luas; dan (8) bumi: bersifat keras dan dapat diandalkan (Gani, 2003).

Kepemimpinan menurut Surat Keputusan Badan Administrasi Negara No.27/KEP/1972 ialah kegiatan untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dibawa turut serta dalam suatu pekerjaan. Kepemimpinan menurut Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara No.02/SE/1980 ialah kemampuan seseorang pegawai negeri sipil untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dikerahkan secara optimal. Dari rumusan-rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi dan mengarahkan orang lain untuk tercapainya suatu tujuan tertentu.

Fairholm 2004 diacu dalam (Fairholm 2009) menawarkan klasifikasi dari lima perspektif kepemimpinan diambil dari meneliti praktek manajer pemerintah daerah.:

- Perspektif kepemimpinan pertama adalah kepemimpinan sebagai (ilmiah)

manajemen. Asumsi strategis yang mendasarinya adalah bahwa organisasi dan para pemimpin mereka perlu untuk mengontrol kekacauan sehingga

proses diprediksi, diverifikasi, dan routinizable dan output adalah norma.

Pada dasarnya, perspektif ini berfokus pada perencanaan strategis untuk efisiensi.

- Perspektif kedua adalah manajemen kepemimpinan sebagai Excellence, yang

kekacauan. Perbedaan terletak pada fokus diberikan untuk proses perbaikan dan partisipasi karyawan untuk membantu dalam mengembangkan rencana strategis untuk mengontrol kekacauan organisasi dan gangguan.

- Perspektif ketiga adalah kepemimpinan sebagai kegiatan pemindahan nilai.

Perspektif ini mengasumsikan pemikiran strategis melibatkan

memprioritaskan nilai-nilai orang lain sehingga mereka mendukung dan mengimplementasikan tujuan organisasi. Dengan cara ini mengasumsikan pemikiran strategis adalah tentang mempengaruhi kekacauan (sehingga membentuk bagaimana aktor organisasi berpartisipasi) daripada mencoba

-untuk mengontrolnya.

Perspektif keempat adalah kepemimpinan dalam budaya Trust, dimana

tujuannya pemimpin (dan aktivitas terkait) adalah untuk mendorong dan memelihara rasa saling percaya sehingga orang-orang bertindak dengan bijaksana dan mandiri untuk mencapai tujuan bersama. Perspektif ini mengasumsikan pendekatan sistem dan berfokus pada merangkul kekacauan - menggunakannya untuk menciptakan lingkungan untuk mencapai tujuan yang diinginkan

-.

Perspektif terakhir adalah jiwa kepemimpinan (spiritual) utuh. Perspektif ini

menekankan pemikiran strategis di tingkat termegah untuk mengembangkan yang terbaik pada orang lain sehingga mereka memimpin dirinya sendiri (dan lainnya) dalam arah yang tepat untuk mencapai tujuan yang tepat

Menurut Hasibuan (1996) diacu dalam (Tampubolon 2007), secara

teoritis kepemimpinan (leaderhip) merupakan hal yang sangat penting dalam

manajerial, karena kepemimpinan maka proses manajemen akan berjalan dengan baik dan pegawai akan bergairah dalam melakukan tugasnya. Dengan kepemimpinan yang baik diharapkan akan meningkatkan kinerja pegawai seperti yang diharapkan (baik oleh karyawan maupun organisasi yang bersangkutan). Selanjutnya Sukidjo Noto Atmodjo (2003) diacu dalam (Tampubolon 2007) mengemukakan bahwa faktor kepemimpinan memainkan peranan yang sangat penting dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan kinerja, baik pada tingkat kelompok maupun pada tingkat organisasi.

Didalam menjalankan kepemimpinannya, seorang pemimpin akan ditentukan melalui gaya kepemimpinannya. Menurut Thoha (1990) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia

lihat. Wang et al. (2009) dalam hasil penelitian mereka mengemukakan bahwa

gaya kepemimpinan sangat signifikan kaitannya dengan kinerja organisasi, dan dengan gaya kepemimpinan yang berbeda memungkinkan memiliki korelasi positif atau korelasi negatif dengan kinerja organisasi, tergantung pada variabel

yang digunakan oleh peneliti. Sun (2002) dalam (Wang et al. 2009)

membandingkan gaya kepemimpinan dengan kepemimpinan kinerja di sekolah dan perusahaan, dan menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan memiliki korelasi signifikan positif dengan kinerja organisasi di kedua sekolah dan perusahaan.

Secara umum, kinerja kepemimpinan identik dengan kinerja organisasi.

TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE )

Konsep Good Governance

Tata pemerintahan yang baik (good governance) telah lama

dikampanyekan di Indonesia. Kampanye ini tak dapat dilepaskan dari makin buruknya kinerja birokrasi dan maraknya korupsi akibat tidak professional, tidak efektif dan tidak efisien. Selain itu, birokrasi Indonesia juga masih tidak rasional, gemuk (kaya struktur miskin fungsi), tidak netral dan tidak transparan.

Terwujudnya good governance di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berhasil

tidaknya kinerja birokrasi. Keduanya mempunyai korelasi yang positif, dalam arti saling mempengaruhi. Kinerja birokrasi dan pemberdayaan yang semakin bagus akan berpengaruh positif terhadap pembangunan. Hubungan yang bersinergi

antara pemerintah dan masyarakat akan menghasilkan suatu pemerintahan yang kuat yang didukung oleh masyarakat. (Zuhro 2010).

Menurut Pierre dan Peters (2000) yang diacu dalam Zuhro (2010),

konsep governance secara sederhana merujuk pada proses pembuatan keputusan

dan implementasinya. Governance berlaku dan berlangsung di semua tingkatan

baik nasional maupun lokal. Sementara itu, good governance merujuk pada

adanya akuntabilitas, partisipasi, konsensus, transparansi, efisiensi dan

efektivitas, responsivitas, persamaan dan inklusivitas, serta kepatuhan pada rule of

law. Dengan cirri-ciri tersebut realisasi good governance menjadi sangat penting

karena dampaknya yang dapat mendorong terwujudnya pembangunan ekonomi daerah. Artinya, peningkatan pembangunan ekonomi daerah dimungkkinan

dengan adanya good governance.

Dari telusuran keberagaman wacana tata kepemerintahan yang baik, terdapat sekumpulan nilai yang perlu diterapkan di Indonesia. Sebagian dari nilai tersebut sebenarnya telah tumbuh dan berkembang dalam akar budaya masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, nilai-nilai tersebut sangat relevan untuk kembali diterapkan dalam kehidupan kita, hanya saja istilah dan kemasannya yang berbeda. Sekurang-kurangnya terdapat empat belas nilai yang menjadi prinsip tata kepemerintahan yang baik menurut BAPPENAS (2007) yaitu:

(1) Wawasan ke Depan (Visionary), (2) Keterbukaan dan Transparansi (Openness

and Transparency), (3) Partisipasi Masyarakat (Participation), (4) Tanggung

Jawab (Accountability), (5). Supremasi Hukum (Rule of Law), (6) Demokrasi

(Democracy), (7) Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and Competency), (8) Daya Tanggap (Responsiveness), (9) Efisiensi dan Efektivitas

(Efficiency and Effectiveness), (10) Desentralisasi (Decentralization), (11)

Kemitraan dengan Dunia Usaha Swasta dan Masyarakat (Private Sector and Civil

Society Partnership), (12) Komitmen pada pengurangan kesenjangan (Commitment to Reduce Inequality), (13) Komitmen pada perlindungan

lingkungan hidup (Commitment to Environmental Protection), (14) Komitmen

pada Pasar yang Fair (Commitment to Fair Market).

Menurut Dwiyanto (2008) sepuluh prinsip tata pemerintahan yang baik, yang menjadi pedoman untuk pemerintah daerah, kota maupun kabupaten di

Indonesia. (1) partisipasi, (2) penegakan hukum, .(3) transparansi, (4) kesetaraan, (5) daya tanggap, (6) wawasan kedepan, (7) akuntabilitas, (8) pengawasan, (9) efisiensi dan efektivitas, (10) profesionalisme.

Beberapa gambaran situasi dan kondisi yang terjadi bilamana tata kepemerintahan yang baik diterapkan antara lain sebagai berikut (BAPPENAS 2007):

1. Berkurangnya secara nyata praktik KKN di birokrasi.

2. Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan yang bersih, efisien, efektif, transparan, profesional dan akuntabel, serta semakin baiknya hasil kerja organisasi/institusi dan prestasi pegawai.

3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan dan tindakan yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat. 4. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik

yang ditunjukkan dengan berjalannya mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan masyarakat dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik (seperti forum konsultasi publik).

5. Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan demikian, hukum menjadi landasan bertindak bagi aparatur pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan pelayanan publik prima. Di samping itu, kalangan dunia usaha swasta akan merasa lebih aman dan terjamin ketika menanamkan modal dan

menjalankan usahanya karena ada aturan main (rule of the game) yang tegas,

jelas, dan mudah dipahami oleh masyarakat. Aspek positif lainnya adalah tidak akan ada kebingungan di kalangan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya serta berkurangnya konflik antarpemerintah daerah serta antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Berdasarkan beberapa pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa wujud good governance yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang solid

dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif antara negara/pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Dilihat dari ketiganya, yang paling memegang peranan penting dalam

mewakili sektor swasta dan masyarakat serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya.

Menurut Sedamaryanti (2002), upaya perwujudan ke arah good governance dapat

dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan dilakukan upaya pembenahan penyelenggaraan pemerintahan sehingga terwujud good governance.

Implementasi Good Governance Pada Pemerintah Daerah

Secara umum, berlakunya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintah Daerah akan membawa perubahan yang sangat mendasar dalam system kewenangan pemerintah. Kewenangan otonomi yang luas merupakan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

Good governance merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh semua sektor baik publik maupun swasta mengingat efek domino yang dapat

diwujudkan dari implementasi good governance. Efek domino yang dimaksud

antara lain sebagai berikut. Pertama, implementasi good governance cenderung

membawa efisiensi dan efektivitas dalam dunia usaha. Hal ini karena

implementasi good governance yang baik dapat memotong kos tinggi (high cost)

yang disebabkan adanya pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum

birokrasi pemerintah dan oknum aparat di lapangan. Kedua, implementasi good

governance akan membawa birokrasi pemerintahan Indonesia ke dalam sistem

birokrasi yang sehat dan bermutu. Ketiga, implementasi good governance dalam

sektor publik akan membawa dampak yang baik tidak hanya kepada pemerintah

tetapi juga kepada masyarakat sebagai stakeholder. Pemerintah melalui

departemen, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak hanya sebagai perusahaan dan abdi masyarakat yang hanya bermotifkan laba tetapi juga dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat (Bawono 2010).

Menurut Nugroho (2003), jika dilihat dari konteks birokrasi pemerintah

pokok yaitu: (1) apakah struktur organisasi birokrasi pemerintah/publik disusun sesuai dengan misi yang diembannya dan sesuai dengan visi yang dirumuskan?, (2) apakah penyelengaraanya dapat dipertanggungjawabkan secara sosial (termasuk politik dan manajerial),dan secara ekonomi (termasuk fiansial?). Dengan kata lain menurut Nugroho (2003), apakah implementasi sudah sesuai dengan program yang telah ditetapkan, dan apakah hasil-hasil yang diperoleh benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Dengan pemahaman tersebut maka

menurut Nugroho (2003) ukuran pokok good governance dalam konteks birokrasi

publik meliputi paling sedikit empat prinsip yaitu: transparansi, fairness,

akuntabilitas, dan resposivitas.

Pendapat Nugroho (2003) tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Sedarmayanti (2003) yang mengatakan bahwa dilihat dari aspek pemerintahan (birokrasi pemerintah), maka good governance dapat dilihat dari empat aspek/prinsip yaitu:

(1) Hukum/kebijakan ditujukan pada perlindungan kebebasan, social, politik dan

ekonomi.

(2) Administrative competence and transparency. Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model administratif serta keterbukaan informasi.

(3) Desentralisasi. Desentralisasi regional dan dekonsentrasi di dalam

departemen.

(4) Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar,

peningkatan peran usaha kecil dan segmen lain dalam sector swasta, deregulasi, dan kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan makro ekonomi.

Implementasi good governance pada birokrasi publik harus didukung

dengan tersedianya berbagai faktor yang menentukan keberhasilannya, baik faktor internal birokrasi itu sendiri maupun faktor ekstrernal. Seperti yang diungkapkan oleh Sedarmayanti (2002), bahwa implementasi good governance menuntut

dan integritas dari semua pihak yang terkait, profesionalisme, ethos kerja dan moral yang tinggi dari seluruh aparatur.