• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN PELAYANAN PERANGKAT DAERAH

2.4. Tantangan dan Peluang Pengembangan Pelayanan Dinas Pertanian

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Tahun 2016-2021 merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bandung Tahun 2005-2025 pada tahap ketiga. Perumusan visi untuk RPJMD 2016-2021 ini selain mengacu pada RPJPD Kabupaten Bandung Tahun 2005-2025, juga memperhatikan visi yang tertera pada RPJM Nasional Tahun 2015-2019 dan RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018.

Tabel 2-16. Keterkaitan Visi RPJPD, RPJMD, dan RPJMD Visi RPJP VISI RPJPD, RPJMN, DAN

RPJMD VISI RPJP Kabupaten Bandung yang

Repeh, Rapih, Kerta Raharja Tahun 2025

Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur

Jawa Barat Maju dan Sejahtera untuk Semua Sumber: RPJPD Kabupaten Bandung, RPJM Nasional, RPJMD Provinsi Jawa Barat

Sementara itu, prioritas pembangunan berdasarkan RPJP tahap ketiga, baik secara nasional maupun daerah diarahkan pada kemandirian perekonomian yang berdaya saing. Hal ini dituangkan dalam prioritas pembangunan RPJPN Tahun 2015-2020, RPJPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2015-2020 dan RPJPD Kabupaten Bandung Tahap III Tahun 2016-2021.

Tabel 2-17. Prioritas Pembangunan Berdasarkan RPJPN dan RPJPD RPJP

Nasional

Tahap III (Tahun 2015-2020)

RPJP Jawa Barat Tahap III (Tahun 2015-2020)

RPJP Kabupaten Bandung Tahap III (Tahun 2016-2021) Memantapkan pembangunan

secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat.

Memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan maksud sebagai persiapan dalam mencapai kemandirian masyarakat Jawa Barat dalam segala bidang sehingga tingkat

ketergantungan terhadap pihak eksternal dapat direduksi.

Peningkatan kualitas pembangunan yang

berwawasan lingkungan dan peningkatan perekonomian daerah yang berdaya saing.

Sumber: RPJP Nasional, RPJPD Provinsi Jawa Barat dan RPJPD Kabupaten Bandung

Proses perencanaan yang tradisional biasanya menentukan prioritas pembangunan dengan hanya mengandalkan historis kegiatan yang sudah ada.

PERUBAHAN RENSTRA 2016-2021 II - 47 Biasanya proses pembangunan tersebut tidak melihat peluang dan tantangan sehingga setiap langkah proses pembangunan cenderung monoton. Sebagai upaya untuk merubah paradigm tersebut maka perlu dianalisis mengenai tantangan dan peluang dalam proses pengembangan pelayanan SKPD termasuk pada pelayanan Dinas Pertanian. Adapun hasil analisis peluang dan tantangan yang dihadapi oleh Dinas Pertanian sesuai dengan Tugas pokok, fungsi dan kewenangannya ialah sebagai berikut:

a. Faktor Pendorong pelayanan Dinas Pertanian - Kebijakan MEA membuka pasar ekspor

- Masih tingginya permintaan masyarakat daerah lain terhadap produk Pertanian

- Dibangunnya Tol Soroja memudahkan akses transportasi barang - Berkembangnya media sarana promosi produk unggulan

- Berkembangnya trend pelestarian lingkungan yang dikaitkan dengan berbagai bidang

- Perkembangan ekonomi kab/kota berbatasan yang semakin pesat turut memengaruhi perekonomian Kabupaten Bandung khususnya yang berbatasan langsung

- Terdapat banyak investor yang telah menanamkan modalnya di sektor hulu dan hilir

- Tingginya kunjungan wisatawan ke area agrowisata dari luar Kabupaten Bandung tinggi

b. Faktor penghambat pelayanan pada Dinas Pertanian

- Masih tingginya ancaman Penyakit pada komoditas pertanian khususnya peternakan

- Kebijakan pasar bebas Asean dapat menyebabkan produk/pekerja luar negeri masuk ke Kabupaten Bandung

- Tingginya inflasi dan fluktuasi harga komponen usaha pertanian

- Fluktuasi harga produk pertanian yang tinggi mengganggu kelangsungan budidaya produk pertanian

- Alih fungsi lahan mengancam kelangsungan budidaya - Daya saing wilayah lain sebagai lokasi investasi

PERUBAHAN RENSTRA 2016-2021 III - 48

BAB III

PERMASALAHAN DAN ISU STRATEGIS PERANGKAT DAERAH

3.1. Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tupoksi

Permasalahan pembangunan pertanian masih didominasi oleh beberapa permasalahan klasik yang membutuhkan langkah-langkah terstruktur dalam jangka panjang. Namun, ada beberapa pendekatan yang telah dilakukan dengan mencantumkan kendala-kendala tersebut dalam regulasi yang jelas.

Dalam hal ini, lahan pangan berkelanjutan yang terus menghantui pembangunan telah ditetapkan sebagai komitmen bersama pengelolaannya dalam RTRW Kabupaten Bandung. Gambar di bawah ini menjelaskan isu-isu strategi dalam pembangunan pertanian di Indonesia pda umumnya, dan Kabupaten Bandung khususnya.

Gambar 3-14. Isu Strategi Pembangunan Pertanian Kabupaten Bandung

RENSTRA 2016-2021 III - 49 3.1.1 Faktor Internal

Kapasitas Sumberdaya Pertanian

Pembangunan pertanian dihadapkan kepada permasalahan permintaan produk pertanian terutama pangan yang semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertambahan penduduk, sementara kapasitas sumberdaya alam pertanian terutama lahan dan air terbatas dan bahkan semakin menurun.

Pertumbuhan wilayah kota (urbanisation, urban sprawl) diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan sumberdaya pertanian tersebut. Sebagai contoh, Menteri Pertanian (2014) melaporkan penurunan luas baku lahan sawah di Jawa Barat diperkirakan sebesar 2% sepanjang tahun 2009-2013.

Penurunan tersebut sebagai konsekuensi pemenuhan kebutuhan lahan perumahan, perindustrian, dan infrastruktur jalan. Disisi lain, percetakan lahan pertanian baru adalah kemustahilan di wilayah ini. Besarnya tekanan penambahan penduduk terhadap lahan berakibat pemilikan dan penggarapan semakin terfragmentasi, sehingga jumlah petani gurem meningkat dengan rataan pemilikan lahan yang semakin kecil. Sensus pertanian (2013) mencatat sekitar 76% dari total petani di Jawa Barat tergolong petani gurem yang menggarap lahan di bawah 2 hektar baik sebagai petani pemilik ataupun penggarap. Lebih lanjut, sumber air untuk pertanian semakin langka akibat kerusakan alam, terutama di daerah aliran sungai (DAS). Sementara itu, kompetisi pemanfaatan air juga semakin ketat dengan meningkatnya penggunaan air untuk rumah tangga dan industri. Perubahan iklim juga menjadi kendala dalam peningkatan produktivitas komoditas pertanian.

Kualitas Institusi Pertanian

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemajuan pendidikan berjalan lambat. Tahun 1992, 50 persen tenaga kerja di sektor pertanian tidak tamat SD, 39 persen tamat SD, sedangkan yang tamat SLTP hanya 8 persen (BPS, 1993). Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35 persen tamat SD 46 persen dan tamat SLTP 13 persen (BPS, 2003). Rendahnya mentalitas petani antara lain dicirikan oleh pertanian subsisten yang berorientasi jangka pendek, pemenuhan pangan keluarga, serta tidak berorientasi bisnis. Selain itu banyak petani menjadi sangat tergantung pada bantuan/pemberian pemerintah.

Keterampilan petani yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang dikembangkannya kearifan lokal (indigenous knowledge).

Di sisi lain, kelembagaan petani juga masih lemah. Petani Jawa Barat ada kecenderungan tidak berminat untuk bergabung dalam kelompok tani.

Menurut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2015), hanya 25% dari total

RENSTRA 2016-2021 III - 50 petani Jawa Barat yang berkelompok. Kelompok tani yang banyak dibentuk selama periode 1980-an dalam mengejar swasembada beras sudah banyak yang tidak berfungsi, mungkin hanya tinggal nama kelompok. Intensitas dan kualitas pembinaan terhadap kelompok pasca otonomi daerah jauh berkurang karena sistem penyuluhan yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Selama ini pengembangan kelembagaan petani umumnya berorientasi keproyekan. Kelompok tani hanya aktif pada saat proyek masih berjalan.

Setelah masa proyek berakhir, umumnya kelompok tani yang dibentuk menjadi tidak aktif. Pembentukan kelompok tani seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Kondisi kelompok tani saat ini juga dinilai sangat buruk karena berbagai instansi pemerintah masing-masing membentuk kelompok tani/kelembagaan tani untuk pelaksanaan kegiatan proyek mereka. Hal ini menyebabkan timbulnya banyak kelompok tani yang tumpang tindih.

Disamping itu, kelembagaan petani yang ada saat ini perlu ditata dengan baik.

Koordinasi ditingkat pusat dalam pembinaan kelompok tani perlu ditingkatkan agar kegiatan yang melibatkan petani tidak tumpang tindih. Pengembangan kelompok tani agar dilakukan dengan pendekatan pembangunan masyarakat (community development).

Lebih lanjut, sistem penyuluhan memiliki kendala: berkurang jumlah tenaga penyuluh. Rasio antara jumlah tenaga penyuluh dengan jumlah petani ataupun jumlah desa masih rendah. Satu tenaga penyuluh, saat ini, harus melayani 3-4 desa. Di sisi lain, sistem adopsi atau alih teknlogi dinilai masih lemah karena lambatnya diseminasi teknologi baru (invention) dan pengembangan teknologi yang sudah ada (innovation) di tingkat petani.

Rendahnya diseminasi teknologi disebabkan oleh beberapa hal. Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, sistem penyampaian hasil teknologi dilakukan oleh penyuluh melalui proses aplikasi teknologi di area percontohan. Pada era desentralisasi, kegiatan penyuluhan menjadi kewenangan pemerintah daerah dan permasalahan pada sistem penyampaian teknologi menjadi lebih kompleks akibat kurangnya perhatian pemerintah daerah pada fungsi penyuluhan pertanian. Hubungan keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan petani dinilai masih lemah. Oleh karena itu perlu adanya penataan kembali fokus dan prioritas penelitian serta sistem diseminasi yang mampu menjawab permasalahan petani disertai dengan revitalisasi penyuluhan pertanian, pendampingan, pendidikan dan pelatihan bagi petani.

Produk Pertanian

Produk pertanian berkualitas dan kompetitif menjadi tuntutan yang harus dipenuhi dalam era perdagangan bebas saat ini. Zero chemical products dan zero-waste products menjadi keharusan untuk dapat bersaing di pasar global

RENSTRA 2016-2021 III - 51 karena adanya peralihan kesukaan konsumen akan produk pertanian yang segar dan bebas bahan an-organik. Namun, teknologi tradisional yang masih diterapkan di kebanyakan petani di Kabupaten Bandung akan menghasilkan kualitas produk yang masih jauh dari harapan konsumen saat ini.

Disisi lain, produk pertanian dan pangan dengan nilai tinggi akan memberikan profit tambahan bagi petani. Petani gurem dan subsisten yang mendominasi pertanian Kabupaten Bandung akan menjadi kendala dalam menghasilkan produk bernilai tinggi dengan kualitas yang kompetitif.

Kombinasi antara kuantitas produksi yang memiliki kecenderungan semakin rendah dan rentannya harga produk-produk pertanian menyebabkan usahatani menjadi sebuah sektor usaha yang tidak dapat memberikan insentif ekonomi terhadap pelakunya. Pendapatan petani mengalami stagnasi, sementara angkatan kerja baru di pedesaan tidak memiliki cukup alternatif, dimana peluang untuk memperluas lahan pertanian sangat kecil sementara nilai produksi pertanian relatif rendah jika dibandingkan dengan nilai produksi di sektor non-pertanian. Dengan keterbatasan alternatif ekonomi tersebut, sektor formal dan informal di perkotaan relatif memberikan insentif yang lebih menarik bagi angkatan kerja pedesaan

Sistem Kepemerintahan (Governance)

Hubungan kerja antara instansi daerah dan pusat masih kurang koordinatif. Padahal, kinerja pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh keterpaduan diantara subsistem pendukungnya, yaitu mulai dari subsistem hulu (industri agro-input, agro-kimia, agro-otomotif), subsistem budidaya usahatani (onfarm), subsistem hilir (pengolahan dan pemasaran) dan subsistem pendukung (keuangan, pendidikan, dan transportasi), termasuk koordinasi yang kuat diantara instansi pemerintahan terkait. Keterkaitan antar subsistem sangat erat namun penanganannya terkait dengan kebijakan berbagai sektor. Sementara itu, Departemen Pertanian hanya memiliki kewenangan dalam aspek budidaya/usahatani. Berbagai kebijakan yang terkait dengan produk pertanian sering tidak harmonis dari hulu hingga ke hilir, seperti kasus penanganan impor produk pertanian (paha ayam, daging illegal, benih kapas transgenik).

Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya kesamaan persepsi dan komitmen tentang peranan sektor pertanian dalam pembangunan nasional. Apabila disepakati bahwa sektor pertanian merupakan penggerak utama ekonomi nasioanal maka koordinasi antar instansi menjadi hal yang sangat penting dalam menyusun kebijakan maupun implementasinya. Untuk itu perlu perbaikan menejemen pembangunan pertanian dengan mengacu pada UU dan Peraturan Pemerintah.

RENSTRA 2016-2021 III - 52 Kebijakan pemerintah yang belum memihak sektor petanian antara lain:

(1) penerapan pajak ekspor komoditas pertanian yang bertujuan untuk mendorong industri pengolahan produk pertanian dalam negeri; (2) kredit perbankan yang disediakan pemerintah, porsi terbesar diserap oleh pengusaha konglomerat, sisanya adalah untuk koperasi, usaha kecil menengah termasuk petani; (3) alokasi dana APBD untuk pembangunan sektor pertanian kurang memadai; (4) beberapa daerah menarik biaya retribusi yang tinggi termasuk pada komoditas pertanian sehingga mengurangi dayasaing dan menjadi penghambat dalam investasi di sektor pertanian; (5) pembangunan sarana dan prasarana lebih besar di perkotaan dibanding dengan perdesaan; dan (6) liberalisasi perdagangan telah menyebabkan membanjirnya produk pertanian yang disubsidi berlebih oleh negara maju membuat petani kita tidak mampu bersaing (7) kebijakan pembatasan impor produk pertanian (sapi potong) membuat pergerakan harga dan pemenuhan produk tidak stabil. Untuk itu diperlukan: (a) advokasi kebijakan dengan instansi terkait, dan (b) dukungan legislatif dan stakeholders lainnya (c) penyediaan kebijakan yang lebih mengutamakan pada petani.

3.1.2 Faktor Eksternal Pertumbuhan Penduduk

BPS (2013) melaporkan bahwa laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2013 sebesar 2.97%. Pemenuhan pangan di masa depan dirasakan akan menjadi isu karena produktivitas penciptaan pangan di tingkat petani (0.6% per tahun) tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk tersebut.

Tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan masyarakat yang terlibat pertanian menurun drastis; yang juga berarti bahwa pangsa penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan akan cenderung semakin kecil. Implikasinya adalah masyarakat yang membutuhkan pangan akan berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang memproduksi pangan. Hasilnya adalah tuntutan terhadap ketersediaan dan kontinuitas produksi pangan. Hal ini dapat menjustifikasi lebih cepatnya laju pertumbuhan industri agro dibandingkan dengan sektor pertanian. Selain itu, pergeseran pola demografis menyebabkan munculnya sektor-sektor ekonomi baru dalam rantai pasok pangan; seperti pada lembaga-lembaga dalam rantai tersebut.

Tren perubahan pada pola konsumsi pangan diindikasikan akan dan sedang membawa perubahan di dalam pasar produk-produk pertanian yang memberikan peluang pada Kabupaten Bandung sebagai salah satu sentra produksi pertanian. Salah satu perubahan yang dapat diamati secara empiris

RENSTRA 2016-2021 III - 53 ditunjukkan oleh fakta bahwa sektor agro-industri memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian; sektor pertanian menghasilkan bahan baku pangan (unprocessed food) sementara industri agro menghasilkan pangan olahan (processed food). Kondisi ini dapat dijustifikasi dengan melihat bahwa selalu terdapat kecenderungan laju peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Implikasinya adalah belanja pangan masyarakat juga mengalami peningkatan. Namun, proporsi laju peningkatan per kapita diindikasikan lebih cepat dibandingkan dengan proporsi belanja pangan sehingga terjadi pergeseran pola belanja pangan; dari staple food yang merupakan sumber kalori paling murah ke arah pangan yang harganya lebih mahal per unit kalori; seperti pada pangan sumber protein serta buah-buahan dan sayuran.

Sejalan dengan pergeseran produk pertanian segar kepada produk olahan maka fakta menunjukkan bahwa sisi konsumsi telah memberikan perhatian lebih terhadap proses industrialisasi pertanian terutama di negara berkembang. Konsumen pangan cenderung lebih memprioritaskan kualitas dan keamanan pangan. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya kesadaran konsumen terhadap potensi gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh pangan yang dikonsumsi dan kandungan pestisida dalam pangan; dimana proses produksi komoditas olahan berkaitan erat dengan tuntutan efisiensi pada industri yang berimplikasi pada penggunaan input-input modern, teknologi dan rekayasa biologis; yang diindikasikan akan menimbulkan resiko teknis dalam penggunaanya (technological risks). Tuntutan konsumen atas keamanan pangan sangat jelas terlihat dari fenomena semakin tingginya permintaan pangan yang bersifat organik dan ”bersih”. Selain itu, lembaga-lembaga pemberi sertifikasi tingkat dunia semakin banyak terberntuk dan keikutsertaan suatu negara dalam perdagangan internasional komoditas pertanian ditentukan oleh lembaga-lembaga tersebut.

Sebagai bagian dari pergeseran ini, masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak pangan olahan dengan beberapa alasan: (1) rasio pendapatan masyarakat dan biaya pangan menjadi lebih besar karena pangan yang unprocessed dapat diderivasi menjadi beragam jenis pangan sehingga secara riil menjadi lebih murah; (2) pangan olahan cenderung memiliki kualitas yang seragam dan lebih tahan lama sehingga dapat menghasilkan opportunity cost yang lebih rendah.

Pertumbuhan Industri Retail Modern

Laju pertumbuhan industri ritel modern saat ini 1,2% tidak terlepas dari pola perubahan struktur demografis; terutama di negara berkembang.

Beberapa alasan yang mendasari pertumbuhan tersebut adalah; (1)

RENSTRA 2016-2021 III - 54 Urbanisasi, yang merupakan stimulan utama pertumbuhan; (2) pergeseran pola konsumsi masyarakat pada pangan olahan dan (3) lebih rendahnya harga komoditas pertanian di ritel modern dibandingkan dengan pasar tradisonal (harga riil). Pada masa 10 tahun mendatang, supermarket diprediksi dapat menguasai lebih dari 75 persen pangsa pasar komoditas ritel; terutama di negara-negara berkembang. Proyeksi ini dilakukan berdasarkan kecenderungan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin dan Asia yang memiliki angka pertumbuhan sampai dengan 30 persen per tahun. Faktor utama lainnya sebagai pendorong pertumbuhan industri ritel modern tersebut adalah integrasi perdagangan dunia; terutama flow keuangan dunia (FDI).

Semakin terbuka pasar sebuah negara maka semakin besar peluang pertumbuhan ritel modern ini.

Beberapa tren perubahan fundamental pada sektor pertanian yang disebabkan oleh pertumbuhan supermarket ini adalah; (1) sistem rantai pasok untuk komoditas pertanian yang tersentralisasi ditandai dengan meningkatnya peran teknologi informasi dan manajemen rantai pasok; (2) hilangnya ketergantungan dan keberadaan spot market ditandai dengan semakin terspesialisasinya pelaku-pelaku dalam sistim rantai pasok pertanian; (3) inovasi bersifat institusional yang bersumber dari top leader firm di dalam industri tersebut; dan (4) standarisasi kualitas dan keamanan produk pertanian yang selalu dinamis.

Dinamika Perdagangan Bebas

Semakin terbukanya pasar dunia dan semakin luasnya pergerakan komoditas pertanian berimplikasi kepada konvergensi tuntutan konsumen terhadap komoditas tersebut. Selain tuntutan konsumen yang mengarah pada aspek keamanan pangan, standarisasi sosial dari sebuah komoditas pertanian yang diperdagangkan semakin keras disuarakan. Beberapa standar sosial yang harus dipenuhi oleh sebuah produk pertanian sebagai syarat untuk diterima oleh konsumen global berkaitan dengan aspek perdagangan yang etis dan adil.

Salah satu opsi strategis masa depan yang harus diambil industri pertanan adalah memperluas pangsa pasar. Industri pertanian di India dan Cina telah menginisiasi penggunaan label ethical trade (ETI) dan fair trade (FTI) dengan tujuan merebut pangsa pasar produk pertanian di pasar Eropa.

ETI dan FTI merupakan badan sertifikasi yang memberikan jaminan terhadap suatu produk agar dapat diterima konsumen. Sertifikat dari ETI akan menjamin produsen (pengolah) suatu komoditas telah memenuhi syarat-syarat dalam menggunakan tenaga kerja sesuai dengan standar yang telah diratifikasi bersama ILO, sementara FT memberikan jaminan bahwa manfaat ekonomi

RENSTRA 2016-2021 III - 55 yang terdapat dalam transaksi suatu komoditas (pertanian) terdistribusi merata pada setiap komponen pasok rantai komoditas tersebut.

Berkembangnya Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 menjadi target seluruh negara, termasuk Indonesia. Pembangunan pertanian berwawasan lingkungan merupakan salah satu di antara 169 indikator pencapaian. Di samping pembangunan pertanian harus mencapai target zero-hunger dan no poverty, pembangunan tersebut juga harus sejalan dengan prinsip penataan kembali lingkungan ekosistem setempat. Sebagai contoh, produksi pertanian berorientasi konservasi lingkungan dengan terasering di wilayah pegunungan dan/atau mengurangi penggunaan produk an-organik untuk merehabilitasi lahan-lahan pertanian yang telah mengalami leveling-off.

Salah satu komponen yang sangat terkait dengan sektor pertanian di masa depan adalah sampah (organik). Selain menghasilkan manfaat ekonomi, sektor pertanian diindikasikan merupakan sektor yang memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam konteks permasalahan persampahan yang dihadapi oleh banyak wilayah terutama kota besar, termasuk Kabupaten Bandung yang tergabung dalam wilayah Bandung Metropolitan. Dalam hal ini, komoditas pertanian menanggung beban lingkungan yang sangat besar (environmental cost). Wilayah kota, sebagai wilayah sentra produksi sekaligus wilayah pemasaran komoditas pertanian menghadapi eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh aktivitas pertanian di wilayah hintherland-nya; dimana pangsa sampah organik memiliki pangsa lebih dari 60 persen. Dalam kerangka pembangunan agribisnis, biaya lingkungan yang dihasilkan oleh sektor pertanian berpotensi menjadi kendala dan peluang. Sampah akan menjadi kendala ketika pada satu saat biaya lingkungan tersebut harus diinternalisasi ke dalam biaya produksi pertanian sehingga meningkatkan biaya produksi.

Sementara sampah organik berpotensi menjadi peluang ketika manfaat lingkungannya dapat dieksploitasi oleh sisi produksi; dimana proses degradasinya dilakukan di dalam aktivitas pertanian (sink sequestering). Selain dari keuntungan biologis yang diperoleh, hal ini berdampak langsung terhadap turunnya biaya penanganansampah organik di wilayah konsumsi komoditas pertanian; seperti pada biaya transport dan biaya landfilling. Secara tidak langsung, biaya eksternalitas negatif yang bersifat intangible (seperti potensi emisi gas buang).

RENSTRA 2016-2021 III - 56

3.2. Telaahan Visi Misi dan Program Kerja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Terpilih

Berdasarkan penelaahan terhadap dokumen rencana pembangunan terkait serta hasil identifikasi terhadap permasalahan dan isu strategis di Kabupaten Bandung, maka dibutuhkan perumusan visi Pemerintah Kabupaten Bandung sebagai pedoman arah kebijakan lima tahun mendatang. Visi ini dibuat untuk menentukan fokus dan arah gerak Pemerintah Kabupaten Bandung dalam bekerja menuntaskan isu-isu yang ada dan meminimalisasi potensi permasalahan di masa mendatang. Visi Pemerintah Kabupaten Bandung adalah:

“Memantapkan Kabupaten Bandung yang Maju, Mandiri dan Berdaya Saing, melalui Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Sinergi Pembangunan Perdesaan, Berlandaskan Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan”

Di dalam visi pembangunan Kabupaten Bandung di atas, terkandung beberapa pokok- pokok visi yang secara rinci dapat diterjemahkan sebagai berikut.

Tabel 3-18. Penjelasan Visi RPJMD Kabupaten Bandung Tahun 2016-2021

Visi Pokok- Pokok

Visi

Penjelasan Pokok- Pokok Visi

“Memantapkan Kabupaten Bandung yang Maju,

Mandiri dan Berdaya Saing, melalui Tata Kelola

Pemerintahan yang Baik dan Sinergi Pembangunan Perdesaan, Berlandaskan Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan”

Maju Kondisi Kabupaten Bandung yang unggul yang didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki intelektualitas tinggi, memiliki moral yang baik, kreatif, dan inovatif sehingga

membentuk masyarakat yang produktif serta dikung oleh kondisi lingkungan yang lestari yang dapat mendukung

terselenggaranya berbagai aktivitas yang sejalan untuk mencapai kemajuan daerah.

Mandiri Kondisi masyarakat Kabupaten Bandung yang mampu

memenuhi kebutuhan sendiri, untuk lebih maju serta mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan daerah lain yang telah maju, dengan mengandalkan potensi

memenuhi kebutuhan sendiri, untuk lebih maju serta mampu mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan daerah lain yang telah maju, dengan mengandalkan potensi