• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1.4 Kinerja Perusahaan

Pengukuran kinerja merupakan sesuatu yang kompleks dan merupakan tantangan besar bagi para peneliti (Beal,2000) karena sebuah konstruk kinerja yang bersifat multidimensional dan oleh karena itu pengukuran kinerja dengan dimensi pengukuran tunggal tidak mampu memberikan pemahaman yang komprehensif (Bhargava et al,1994). Sehingga pengukuran kinerja hendaknya menggunakan atau mengintegrasikan pengukuran yang beragam (multiple measures) (Bhargava et al,1994; Venkatraman & Ramunajam,1986).

Beal (2000) mengemukakan bahwa belum ada konsensus tentang ukuran kinerja yang paling layak dalam sebuah penelitian dan ukuran-ukuran obyektif kinerja yang selama ini dipakai dalam banyak penelitian masih banyak kekurangan. Misalnya ukuran ROI (Return On Investment) mempunyai kelemahan, karena terdapat berbagai macam metode pengukuran depresiasi, persediaan dan nilai fixed cost (Wright et al, 1995). Lebih jauh Sapienza et al (1988) mengemukakan bahwa ukuran kinerja organisasi berbasis akuntansi dan keuangan memiliki kekurangan selain disebabkan oleh bervariasinya metode akuntansi, juga disebabkan oleh adanya kecenderungan manipulasi angka dari pihak manajemen sehingga pengukuran menjadi tidak valid.

Untuk menngantisipasi tidak tersedianya data-data kinerja obyektif dalam sebuah penelitian, maka dimungkinkan untuk menggunakan ukuran subyektif, yang mendasarkan pada persepsi manajer (Beal,2000). Zahra and Das (1993) membuktikan bahwa ukuran kinerja subyektif memiliki tingkat reliabilitas dan validitas yang tinggi. Disamping itu penelitian Voss & Voss (2000) menunjukkan adanya korelasi yang erat antara ukuran kinerja subyektif dan ukuran kinerja obyektif.

Berdasar uraian diatas, kinerja perusahaan diukur dengan menggunakan pengukuran subyektif yang mendasarkan pada persepsi staf dan manajer perusahaan atas berbagai dimensi pengukuran kinerja perusahaan. Dimensi pengukuran kinerja yang lazim digunakan dalam berbagai penelitian adalah pertumbuhan (growth), kemampulabaan (profitability) dan efisiensi (Murphy, et.al, 1996).

Barkham,et.al (19960 dalam Wicklund (1999) menegaskan bahwa pertumbuhan penjualan merupakan indikator kinerja yang sangat lazim dan telah menjadi konsensus sebagai ukuran dimensi pertumbuhan terbaik. Lebih lanjut, Wicklund (1999) menambahkan bahwa pertumbuhan, dipicu oleh naiknya atas permintaan produk yang ditawarkan perusahaan yang berarti naiknya penjualan.

Indikator pertumbuhan yang dipilih adalah pertumbuhan pangsa pasar (market

share). Menurut Bhargava,et.al (1994) pertumbuhan pangsa pasar bisa digunakan

untuk mengkur efektivitas pasar, disamping untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencapai skala efisiensi dan kekuatan pasar (market power).

Dimensi kemampulabaan dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan untuk mengetahui seberapa jauh perusahaan dikelola secara efektif. Indikator kemampulabaan yang digunakan mengadopsi penelitian dari Shrader,et.al (1989); Rue&Ibrahim (1998) yakni ROI (Return On Investment). ROI dihitung dari keuntungan netto sesudah pajak EAT (Earning After Tax) dibagi jumlah aktiva (Total Asset).

Menurut Kumar et al., (1997) bahwa efektifitas kinerja dapat diukur dengan indicator sebagai berikut: (1) kemampuan untuk mempertahankan pelanggan; ukuran

ini digunakan sebagai kualitas produk, kepuasan pelanggan, serta perilaku karyawan; (2) kemampuan untuk mengontrol pengeluaran operasional; ukuran ini menunjukkan efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki; (3) pertumbuhan total pendapatan dan (4) return atas layanan yang diberikan; ukuran ini menunjukkan kemampuan untuk memenuhi harapan dari stakeholder, sedangkan Lee, Lee dan Chang (2001) menyatakan bahwa indicator kinerja perusahaan dapat dilihat dari aspek produksi, aspek keuangan dan kualitas produk yang dihasilkan. Lebih jauh dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan diseluruh dunia mengakui bahwa kualitas berarti biaya rendah, peningkatan produk dan jasa, waktu turn around yang lebih baik, penurunan buangan, dan peningkatan kepuasan konsumen. Literatur juga menunjukkan bahwa pangsa pasar dan penerimaan meningkat ketika kualitas desain meningkat (Demin, 1986 dan Gavin, 1988). Dengan demikian semua ini menunjukkan bahwa penerapan berbagai pendekatan peningkatan kualitas akan menghasilkan kinerja finansial, operasional, dan kualitas yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan untuk mengkaji UKM pada umumnya selalu melibatkan kinerja usaha. Ada dua bidang yang menjadi fokus kajian tentang kinerja organisasi. Fokus pertama, ditinjau dari perspektif ilmu ekonomi yang menekankan pentingnya faktor-faktor pasar eksternal seperti posisi persaingan perusahaan, dan fokus kedua, adalah perspektif keorganisasian yang dibangun berdasarkan paradigm keperilakuan (behavioral paradigm) dan sosiologis, serta kesesuaiannya dengan lingkungan (Tvorik dan McGiven, 1997). Struktur analisis SWOT mendefinisikan kekuatan dan kelemahan yang mewakili perspektif perusahaan berbasis sumber daya sementara peluang dan ancaman mewakili pengaruh industri dan pesaing. Kedua konstruk ini telah membantu pengembangan kerangka model kinerja organisasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian Tvorik dan McGiven (1997) menunjukkan bahwa faktor ekonomi dan faktor organisasi sama-sama mempengaruhi kinerja organisasi tetapi besarnya pengaruh faktor-faktor keorganisasian adalah dua kali dari pengaruh faktor-faktor ekonomi.

Bagi usaha besar yang menerapkan sistim akuntansi yang telah terstandar, penilaian terhadap indicator-indikator keuangan dapat dilakukan dengan akurat. Pengukuran dan perspektif keuangan ini dapat pula diterapkan pada UKM, terutama untuk UKM yang telah menerapkan sistim akuntansi yang dapat diandalkan. Namun demikian, untuk sebagian UKM cara penilaian seperti ini kurang tepat, sebab sebagian besar UKM tidak melakukan pencatatan atas transaksi yang dilakukannya. Seperti yang dikatakan oleh Hughes (1992) bahwa salah satu karakteristik dari usaha kecil adalah sistik pembukuan yang relatif sederhana dan cenderung tidak mengikuti kaidah administrasi pembukuan yang terstandar, kadangkala pembukuan tidak diperbaharui sehingga sukar untuk menilai kinerjanya. Jelas bahwa apabila cara ini dipaksanakan kemungkinan hasil penilaian yang diperoleh kurang akurat.

Dalam masalah pengukuran kinerja usaha kecil, tidak ada kesepakatan tentang bagaimana dengan prosedur apa pengukuran kinerja yang harus dilakukan, dan pada umumnya para peneliti cenderung memfokuskan pada variable-variabel yang mudah pengumpulan informasinya dan variable-variabel yang dianggap sangat penting (Cooper dan Eiklund, 2000). Beberapa peneliti telah menggunakan pertumbuhan sebagai pengukuran kinerja yang paling layak untuk usaha kecil (Brown dan Kirchhoff, 1997). Dua dimensi penting dari pertumbuhan ini adalah pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan tenaga kerja. Mereka berpendapat bahwa pertumbuhan merupakan indicator yang lebih tepat dan mudah diperoleh dari pada pengkuran kinerja keuangan.

Dokumen terkait