• Tidak ada hasil yang ditemukan

KJRI Johor Bahru dan KBRI Kuala Lumpur Malaysia

Dalam dokumen PENELITIAN TENTANG DEPORTASI TKI (Halaman 116-134)

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Hasil Penelitian: Praktek-Praktek yang Dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam Melindungi WNI yang Dideportas

5. KJRI Johor Bahru dan KBRI Kuala Lumpur Malaysia

Negara Malaysia adalah salah satu negara Asia yang cukup makmur dan sejahtera dengan perekonomian yang berbasis industri dan pertanian. Lapangan pekerjaan di Malaysia sangat memberikan peluang bagi TKI untuk bekerja di sana. Letak geografis yang berdekatan dengan Indonesia, menjadikan salah satu alasan mengapa Malaysia mempunyai daya tarik tersendiri bagi para TKI untuk mengadukan nasibnya di sana, disamping adanya faktor kesamaan suku, agama, dan budaya.

Banyaknya TKI yang mengadukan nasib di Malaysia memberikan dampak positif dan negatif bagi kedua negara. Dampak positif adalah saling terpenuhinya kebutuhan kedua negara dalam hal ketenagakerjaan. Sementara dampak negatifnya dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama dari sudut pandang Malaysia, beberapa hal yang menjadi musuh utama di Malaysia saat ini adalah dadah (narkotika) dan Pendatang Asing Tanpa Ijin (PATI), sedangkan dari sudut pandang Indonesia, tidak sedikit TKI yang bekerja di Malaysia mengalami berbagai macam permasalahan yang berdampak pada terganggunya hubungan bilateral kedua negara.

Sebagai data tambahan mengenai bagaimana peran instansi Pemerintah Indonesia yang bekerja di Malaysia dalam melindungi WNI yang dideportasi adalah sebagai berikut:

a. Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Johor Bahru (KJRI-JB) Malaysia Berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan dengan Bapak Nelwansyah dari Bidang Imigrasi, Ibu Woro dari Bidang Konsuler, dan Bapak Suryana dari Bidang Pensosbud KJRI-JB dengan tujuan untuk membahas permasalahan-permasalahan TKI khususnya di Johor Bahru, maka diketahui bahwa pihak KJRI-JB telah melakukan berbagai upaya untuk

89

Berdasarkan Laporan Identifikasi dan Verifikasi data pelanggaran HAM, serta penanganan pemulangan WNI/TKI-B di Johor Bahru dan Kuala Lumpur Malaysia oleh tim Balitbang HAM tanggal 21-24

memberikan perlindungan terkait permasalahan TKI di Malaysia, yaitu sebagai berikut:

1) Bidang Konsuler berperan aktif dalam melakukan negosiasi kepada majikan untuk menerapkan standar gaji sesuai dengan kontrak kerja (minimal RM 481). Majikan dan TKI bersama-sama menandatangani kontrak kerja di depan pejabat Konsuler. Apabila diketahui majikan tidak mentaati kontrak kerja yang telah disepakati, maka pejabat Konsuler dapat melaporkan ke Mahkamah Perburuhan untuk diproses peradilan. 2) Konsuler melakukan blacklist bagi majikan dan agen yang tidak mentaati

aturan yang telah ditetapkan. Pemberlakuan blacklist tersebut juga disampaikan ke seluruh Perwakilan RI di Malaysia.

3) KJRI-JB melakukan Welcoming Programme. Program ini dimaksudkan untuk mengadakan penyuluhan terhadap TKI yang baru bekerja di Malaysia. Kegiatan ini bekerjasama antara KJRI-JB dengan perusahaan yang mempekerjakan TKI tersebut.

4) KJRI-JB telah membuat call centre, sms centre untuk memfasilitasi para TKI apabila ada permasalahan dapat menghubungi via telepon atau SMS yang nomornya telah ditentukan.

5) KJRI-JB telah membuat shelter atau tempat penampungan sementara yang cukup baik bagi TKI yang bermasalah.

6) KJRI-JB telah membuat brosur/leaflet mengenai cara aman bekerja di Malaysia.

Meskipun upaya telah dilakukan namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan berbagai kendala yang dialami dalam melakukan perlindungan terhadap TKI di Johor Bahru, yakni sebagai berikut:

1) KJRI-JB:

a) Pemerintah Malaysia belum meratifikasi konvensi Hak-hak Sipol dan Ekosob, tidak tunduk pada Viena Convention 1962, dan memiliki Internal Security Act (ISA), sehingga saat melakukan penangkapan tidak ada kewajiban Pemerintah Malaysia untuk memberitahukan kepada Perwakilan RI di Malaysia. Banyak kasus-kasus penangkapan

TKI tidak dilaporkan kepada KJRI-JB, sehingga KJRI-JB tidak dapat memberikan pelayanan dan perlindungan hukum terhadap TKI. Kondisi demikian sangat menyulitkan bagi KJRI-JB dalam mengklarifikasi jenis kesalahan yang dilakukan oleh para TKI.

b) Kebijakan petugas penegak hukum Malaysia yang memberlakukan “kebijakan wilayah” artinya TKI yang sedang bepergian keluar wilayah, dianggap “berada di wilayah yang salah”.

c) Pemerintah Malaysia memberikan bonus atau peningkatan karir bagi para petugas yang dapat menangkap pendatang haram.

d) Banyak majikan yang “nakal” dalam arti mempekerjakan TKI tanpa dokumen yang sah, sehingga bisa leluasa mempekerjakan TKI dengan upah yang dibawah standar (RM.481). Kepada majikan seperti ini Pemerintah Malaysia tidak memberikan sanksi apapun.

e) Banyak TKI yang menjadi korban salah tangkap oleh Polisi, Imigrasi, maupun RELA (Relawan Rakyat Malaysia). Hal ini terjadi karena saat dilakukan razia banyak TKI tidak mampu menunjukkan dokumen yang sah, karena dokumen asli dipegang oleh majikan. Di lain pihak majikan TKI tersebut enggan untuk menjelaskan permasalahan dan membawa dokumen asli kepada pihak berwajib. Selain itu ada beberapa WNI yang ditangkap karena dicurigai sebagai TKI bermasalah karena berpenampilan kurang meyakinkan. Permasalahan yang terbanyak pada TKI adalah mereka tidak memiliki dokumen yang sah, baik untuk tinggal maupun untuk bekerja di Malaysia. 2) Satgas Deportasi KJRI-JB:

a) Jumlah staf KJRI-JB yang kurang memadai, sehingga pengecekan dan wawancara terhadap WNI/TKI-B yang akan dipulangkan dilakukan sore hari setelah selesai pekerjaan di KJRI-JB.

b) WNI/TKI-B yang dideportasi belum dapat diberikan SPLP sehingga ketentuan sebagaimana di dalam UU No.9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian belum dapat dilaksanakan.

c) Depoh Transit Pasir Gudang (DTPG) Johor kondisinya sangat memprihatinkan. Fasilitas yang tersedia sangat minim sekali dan tidak layak huni sehingga perlu didukung fasilitas terutama

makanan, pakaian, kasur, peralatan MCK, dan sebagainya bagi WNI/TKI-B yang akan dipulangkan ke Indonesia.

d) Pemerintah Malaysia tidak pernah melaporkan kepada KJRI-JB apabila melakukan penangkapan terhadap WNI. Demikian juga sulit memperoleh data jenis pelanggaran terhadap WNI/TKI-B yang akan dideportasi.

e) Pemerintah Malaysia tidak memberikan sanksi apapun terhadap majikan “nakal” yang mempekerjakan WNI/TKI-B tanpa ijin kerja.

f) Dana perlindungan TKI di KJRI-JB masih kurang. Tahun 2010 anggaran yang disediakan oleh BNP2TKI dihentikan dan diserahkan kepada Satker (Kementerian Luar Negeri RI). Tahun anggaran 2010, KJRI-JB terpaksa mempergunakan dana kas besi untuk menangani WNI/TKI-B yang ditempatkan di Shelter (penampungan sementara di lingkungan KJRI-JB).

Berdasarkan keterangan Atase Imigrasi KJRI-JB, kriteria WNI/TKI yang dapat dideportasi adalah seperti dalam tabel 3.20

Tabel 3.20

Kriteria WNI/TKI Yang Dideportasi

KJRI-JB memiliki empat wilayah akreditasi diantaranya Johor, Malaka, Pahang, dan Negeri Sembilan. Namun sejak tahun 2007, Pemerintah Malaysia

telah mengeluarkan kebijakan satu pintu untuk pemulangan (deportasi) WNI/TKI-B dari seluruh Semenanjung Malaysia melalui Pelabuhan Pasir Gudang Johor dengan membangun Depoh Imigrasi Pasir Gudang. Terkonsentrasinya proses deportasi dalam satu wilayah menyebabkan terjadinya penumpukan jumlah WNI/TKI-B yang akan dideportasi.

Adapun mekanisme dalam penanganan WNI/TKI-B yang akan dideportasi dari Johor ke Tanjungpinang, dapat dilihat alurnya pada gambar 3.1

Gambar 3.1

Alur Penanganan WNI/TKI-B Yang Akan Dideportasi Dari Johor Ke Tanjungpinang

b. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur (KBRI-KL), Malaysia

Berdasarkan data yang diperoleh dari KBRI-KL, diketahui bahwa jumlah TKI yang bekerja di Malaysia sebanyak 953.685 orang, dengan perincian bekerja di ladang 336.848 orang, bekerja sebagai pembantu rumah tangga 203.359 orang, bekerja di konstruksi 179.122 orang, bekerja di kilang 114.634 orang, pekerja pelayanan 39.847 orang, dan pekerja di pertanian 79.875 orang.

Jumlah WNI/TKI-B yang ada di penampungan sementara (shelter) setiap tahunnya mengalami kenaikan. Tahun 2006 sebanyak 659 orang, tahun 2007 sebanyak 744 orang, tahun 2008 sebanyak 727 orang, dan tahun 2009 sebanyak 1.042 orang. Tahun 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 sebanyak 709 orang dewasa dan 19 orang bayi/anak-anak. WNI/TKI-B ditampung di 2 (dua) tempat: Pertama, di shelter untuk WNI/TKI-B yang masih atau sedang mengalami/dalam proses penyelesaian masalah di Malaysia. Kedua, di Rumah Kita yang merupakan bantuan kemanusiaan dari CINB Malaysia untuk menempatkan WNI/TKI-B yang sudah selesai permasalahannya di Malaysia, namun masih menunggu untuk proses pemulangannya.

Jenis pengaduan yang masuk ke KBRI-KL dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian antara lain dalam bentuk sektor informal dan sektor formal yang dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.2

1) Kunjungan ke shelter atau tempat penampungan sementara KBRI di Kuala Lumpur Malaysia

Berdasarkan hasil kunjungan ke shelter atau tempat penampungan sementara, diketahui sampai dengan tanggal 24 Nopember 2010, penghuni shelter sebanyak 59 orang terdiri dari 57 orang dewasa dan 2 bayi. Sedangkan yang tinggal di shelter Rumah Kita sebanyak 46 orang yang terdiri dari 44 orang dewasa dan 2 orang bayi. Shelter atau tempat penampungan sementara tidak diperuntukkan bagi TKI laki-laki, sehingga kalau ada kasus TKI laki-laki ditempatkan di ruang sopir. Saat ini terdapat 20 orang TKI laki-laki yang ditempatkan di ruangan sopir.

Berikut ini adalah hasil wawancara yang dilakukan tim dengan WNI/TKI-B di shelter atau tempat penampungan sementara:

a) Sdri. Fiona 14 tahun, yang bersangkutan membakar rumah majikan. Alasan pembakaran rumah karena yang bersangkutan mau diperkosa majikan.

b) Sdri. Umi Lawati (Butet), yang bersangkutan bekerja sebagai PRT namun kenyataannya dipekerjakan di bengkel sebagai mekanik dan sering dipukul majikan.

c) Sdri. Fatimah, yang bersangkutan sudah 14 tahun bekerja sebagai PRT namun tidak pernah digaji.

d) Sdri. Kurniasih, yang bersangkutan korban trafficking yang diperjualbelikan.

Berdasarkan keterangan dari para WNI/TKI-B, permasalahan yang paling banyak adalah mereka tidak dibayar gaji dan tidak betah untuk bekerja di Malaysia. Kondisi demikian tidak sesuai dengan harapan atau janji-janji agen saat mereka di rekrut sebagai TKI di Indonesia.

Pada saat wawancara dengan beberapa WNI/TKI-B di shelter, dijumpai ada beberapa orang yang stress dan sakit. Khusus yang sakit diketahui bahwa WNI/TKI-B tersebut terserang kanker servik stadium 4. Khusus untuk yang sakit seperti ini, KBRI-KL tidak serta merta dapat memulangkan WNI/TKI-B ke Indonesia, hal ini dikarenakan pihak penerbangan meminta jaminan dari KBRI-KL kurang lebih RM.4.000 untuk sekali perjalanan ke Indonesia, sementara KBRI-KL tidak memiliki dana untuk itu.

Selain itu juga diketahui bahwa, banyaknya agen-agen ilegal/individu yang memanfaatkan salah satu agen resmi untuk memberangkatkan TKI ke Malaysia. Namun sesampainya di Malaysia, TKI tersebut dipekerjakan sebagai PSK dan setelah dianggap tidak bermanfaat lagi, mereka dicampakkan di halaman KBRI-KL. Ada juga agen-agen ilegal/individu yang mengirimkan TKI yang tidak sehat atau memiliki penyakit, sehingga sesampainya di Malaysia menjadi permasalahan tersendiri. Agen-agen ilegal/individu ini setelah ditelusuri ternyata banyak berkeliaran di Batam dan sekitarnya.

Pada saat tim melakukan kunjungan ke shelter, para WNI/TKI-B sedang mengadakan pengajian (bagi yang beragama Islam). Pengajian diselenggarakan tiga kali dalam satu minggu. Selain dari pengajian juga dilakukan kegiatan peningkatan keterampilan seperti menjahit dan

melakukan pekerjaan kebersihan di lingkungan shelter. Kondisi shelter

sangat baik dan bersih, sehingga WNI/TKI-B yang berada di shelter

tersebut nyaman menempatinya.

Disisi lain, WNI-TKI-B yang memiliki tingkat pendidikan cukup dan keahlian tertentu diberdayakan di lingkungan KBRI-KL. Mereka ikut membantu lokal staf untuk kegiatan fotocopy berkas, melaminating paspor, melakukan data entry, dan sebagainya. WNI/TKI-B yang membantu pekerjaan di KBRI-KL diberikan honor sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukannya.

Hampir setiap hari, ada saja WNI/TKI-B yang datang ke shelter

tersebut. Mereka biasanya datang diantar sopir taxi pada malam hari sampai di halaman KBRI-KL. Selanjutnya petugas konsuler dan petugas

shelter menempatkan WNI/TKI-B yang baru datang tersebut di shelter. Hanya saja shelter tersebut diperuntukkan bagi wanita saja sementara untuk laki-laki tidak ada tempat penampungan. Saat kunjungan kami ke KBRI-KL, terdapat 20 orang WNI-TKI-B laki-laki yang berada di ruangan sopir KBRI-KL.

2) Focus Group Discussion (FGD) dengan Bapak Sayid Budihardjo Atase Imigrasi dan Bapak Agus Triyanto A.S. Atase Tenaga Kerja KBRI-KL.

Berdasarkan hasil FGD dengan Atase Imigrasi dan Atase Tenaga Kerja KBRI-KL, diperoleh keterangan sebagai berikut:

a) Bahwa permasalahan WNI/TKI-B di Malaysia yang ada saat ini berawal dari permasalahan di Indonesia saat recruitment calon TKI. Kualifikasi pendidikan yang rendah turut membuat mereka mudah dibujuk rayu oleh majikan untuk melakukan hal-hal yang yang tidak diatur dalam kontrak kerja.

b) Pemerintah tidak dapat mengawasi pemotongan gaji yang dilakukan oleh agen terhadap TKI kurang lebih 8 bulan. Pemotongan gaji ini cukup bervariasi tergantung berapa besar jumlah uang yang telah dikeluarkan PPTKIS mulai saat pemberangkatan sampai tiba di negara tujuan. Program Kementerian Hukum dan HAM yang memberikan “nol rupiah” terhadap pembayaran biaya paspor bagi calon TKI pertama kali berangkat, perlu dievaluasi kembali. Program ini perlu dievaluasi dan di cross check dengan pemotongan gaji TKI

apakah biaya paspor dimasukkan dalam rincian pemotongan gaji atau tidak. Apabila biaya paspor masih dimasukkan dalam unsur pemotongan gaji TKI, maka hal ini bukan meringankan TKI, namun malah memberikan biaya lebih terhadap agen-agen.

c) Dasar hukum bilateral dengan Memorandum of Understanding

(MOU) yang telah dilakukan dengan Pemerintah Malaysia kurang kuat. Dasar hukum MOU tidak kuat dikarenakan menurut aturan Pemerintah Malaysia, warga negaranya dapat secara langsung merekrut calon TKI dari Indonesia dan tidak ada sanksi apa-apa terhadap hal seperti ini. Disarankan agar dasar hukum tidak dalam bentuk MOU tetapi Memorandum of Agreement (MOA) yang memuat secara rinci hal-hal yang disetujui kedua belah pihak.

d) Menurut keterangan parlemen Malaysia, terdapat uang sebesar 13 (tiga belas) juta ringgit Malaysia yang merupakan uang asuransi para TKI yang tidak dapat dicairkan. Dana tersebut merupakan akumulasi asuransi para TKI yang tidak diambil secara perseorangan karena banyak data TKI tersebut sudah berubah. Oleh karena itu disarankan perlu ada pengetatan dan konsistensi terhadap data TKI untuk menghindari tidak dapat dicairkannya biaya asuransi TKI di Malaysia.

Pola penanganan pemulangan (deportasi) WNI/TKI-B yang dilakukan KBRI-KL mengacu pada ketentuan Pemerintah Malaysia yang memberlakukan pemulangan satu pintu untuk seluruh depoh/penjara yang ada di Semenanjung Malaysia ke Depoh Transit Pasir Gudang Johor. Dengan demikian WNI/TKI-B yang sudah mengalami masa hukumannya di penjara yang ada di Semenanjung Malaysia untuk selanjutnya dikirim ke Depoh Transit Pasir Gudang dan kemudian dipulangkan ke Tanjungpinang.

WNI/TKI-B yang berada di Shelter dan Rumah Kita yang ada di lingkungan KBRI-KL, dipulangkan ke Jakarta melalui Bandar Udara Kuala Lumpur dan Pelabuhan Port Klang untuk mereka yang akan menuju Medan Sumatera Utara. Pemulangan terhadap WNI/TKI-B yang sakit atau stress dilakukan pengawalan oleh staf KBRI-KL, dengan maksud untuk memastikan bahwa yang bersangkutan sudah sampai dan bertemu dengan keluarganya.

BAB IV

PENUTUP

Penelitian yang dilakukan menggambarkan bagaimana penanganan para deportan pada saat tiba di daerah entry point (wilayah perbatasan). Sedangkan peran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di negara pendeportasi (Malaysia) ataupun peran pemerintah daerah asal para deportan belum dapat diketahui karena keterbatasan ruang lingkup penelitian ini.

A.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut bahwa:

1. Masalah deportasi adalah masalah yang paling banyak menimpa Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri, khususnya di Malaysia. Berdasarkan temuan di empat wilayah penelitian, paling banyak TKI yang dideportasi disebabkan pelanggaran keimigrasian. Dalam rangka melindungi warga negara Indonesia yang dideportasi, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan payung hukum kebijakan melalui Kementerian Luar Negeri, yakni Peraturan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pelayanan Warga di Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Dalam peraturan tersebut diatur mengenai perlindungan terhadap buruh migran Indonesia di luar negeri yang mengalami masalah, termasuk masalah deportasi. Pola penanganan perlindungan diatur secara lebih khusus dengan beberapa peraturan, yakni Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya (TK-PTKIB), Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sebagai panduan pelaksanaan perlindungan di daerah, Gubernur dan Bupati/Walikota di daerah

entry point (wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia), transit dan daerah asal TKI kemudian membentuk Satgas secara lintas sektoral dengan

tugas operasional untuk menangani penerimaan dan pemulangan TKIB dan PMBS dari Malaysia. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah daerah yang menjadi entry point para deportan, menjadi pihak yang paling berperan dalam melakukan penanganan perlindungan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola penanganan WNI yang dideportasi oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan, bersifat koordinatif dengan melibatkan beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pada setiap provinsi atau kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk menangani para deportan. Di dalam Satgas ditunjuk satu instansi yang menjadi koordinator dalam pelaksanaan penanganan WNI yang dideportasi. Namun demikian pelaksanaan koordinasi diantara SKPD yang tergabung dalam Satgas belum memperlihatkan kinerja yang maksimal karena kurangnya koordinasi diantara SKPD. Seperti yang berlaku pada Tim Satgas di Sumatera Utara dimana Pemerintah Daerah Provinsi Sumut hanya sebatas memfasilitasi pembentukan tim melalui Keputusan Gubernur. Sementara itu, pelaksanaan penanganan pemberangkatan dan pemulangan TKI dilakukan oleh BP3TKI (yang berkedudukan sebagai Sekretaris Tim) berkoordinasi dengan instansi lainnya. Demikian juga di provinsi lain, ada beberapa SKPD yang merasa telah melakukan banyak hal dalam penanganan para deportan, namun instansi lain merasa kurang berperan dalam tim Satgas.

2. Semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) di empat wilayah penelitian, sudah membentuk ketentuan yang menjadi dasar hukum dalam penanganan WNI yang dideportasi. Ketentuan yang dibuat pada umumnya hanya merupakan dasar hukum bagi tim koordinasi ataupun satuan tugas yang bekerja untuk penanganan WNI yang dideportasi, dimana WNI yang dideportasi ini dapat dikategorikan sebagai WNI bermasalah atau TKI bermasalah. Lebih lanjut, di dalam ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah daerah hanya memuat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh setiap SKPD. Ketentuan yang telah dibentuk tidak secara tegas memuat hak-hak para deportan pada proses deportasi. Namun jika diteliti lebih dalam tentang tupoksi masing-masing SKPD, maka akan diketahui hak-hak apa saja yang dapat diperoleh oleh para deportan seperti kewajiban SKPD untuk memberikan kebutuhan tempat penampungan, permakanan, transportasi pemulangan ke daerah asal, ataupun pelayanan kesehatan bagi para deportan. Berdasarkan kewajiban yang harus dilakukan oleh

setiap SKPD di dalam tim Satgas, maka hak-hak inilah yang dapat dituntut oleh para deportan pada saat proses penanganan deportasi kepada pemerintah daerah. Hak-hak tersebut tidak lain adalah bentuk-bentuk perlindungan hak asasi manusia dalam melindungi WNI yang dideportasi. Pemerintah daerah harus memenuhi kebutuhan para deportan sesuai dengan tugas pokok masing-masing SKPD sebagaimana telah dituangkan dalam ketentuan (keputusan gubernur atau bupati atau walikota).

3. Pemenuhan hak-hak kepada para deportan yang diberikan oleh pemerintah daerah tidak terlepas dari berbagai kendala, yaitu:

a. Kendala terbesar adalah terkait kewenangan penanganan dan perlindungan bagi para deportan itu sendiri yang dialami di setiap daerah, dimana sebagian besar WNI atau TKI yang dideportasi adalah bukan merupakan warga di pemerintah daerah masing-masing. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam alokasi anggaran melalui APBD yang seharusnya diperuntukkan bagi warga daerah masing-masing. Alokasi dana ini menjadi masalah tersendiri karena berbagai bentuk penanganan ini membutuhkan biaya yang cukup besar karena biasanya deportasi terjadi secara massal.

b. Dalam hal pemulangan yang tidak hanya membutuhkan biaya besar tetapi juga membutuhkan koordinasi yang intens terutama dengan pemerintah daerah asal, yang belum tentu memiliki kepedulian, apalagi pemulangan hanya sampai di provinsi, sementara pelaksanaan koordinasi sebenarnya sangat diperlukan hingga ke daerah asal para deportan. Sistem pembiayaan yang bersifat reimburse menimbulkan beban bagi beberapa instansi karena harus menyiapkan dana talangan yang tidak dapat dialokasikan dalam anggaran instansi yang bersangkutan. Sementara itu, beberapa SKPD mengungkapkan bahwa biaya operasional penanganan para deportan belum dapat didukung oleh anggaran setiap SKPD yang melekat pada tupoksinya. Selain itu, pemerintah daerah yang menerima deportan juga belum mempunyai kerjasama dengan pemerintah daerah asal para deportan, sehingga pemerintah daerah di entry point merasakan beban dalam hal pembiayaan bagi pemulangan para deportan ke daerah asalnya.

c. Pemerintah daerah belum dapat menyediakan tempat penampungan khusus bagi para deportan. Pada saat ini, tempat penampungan yang ada hanya memakai gedung yang bukan diperuntukkan bagi tempat penampungan

(seperti rumah dinas atau tempat yang dipinjamkan oleh pihak ketiga) dan prasarana dan fasilitas yang tersedia belum memberikan perlindungan khusus seperti kepada kaum perempuan dalam hal penyediaan tempat penampungan, maupun keterbatasan tenaga ahli seperti tenaga kesehatan.

d. Sedangkan dari sisi deportan, sebenarnya banyak diantara mereka yang ingin kembali bekerja di Malaysia, namun mereka tidak memiliki dokumen keimigrasian karena sebagian besar paspor para deportan diambil oleh aparat Malaysia. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu

Dalam dokumen PENELITIAN TENTANG DEPORTASI TKI (Halaman 116-134)