• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klarifikasi Agen, Agensi

Dalam dokumen RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA N (Halaman 162-179)

RELASI AGEN – STRUKTUR DALAM PERATURAN DAERAH TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI JAWA TIMUR

V.1 Agen - Struktur

V.1.1 Klarifikasi Agen, Agensi

Konsep agensi umunya diasosiasikan dengan kebebasan, kehendak bebas, tindakan kreativitas, orisinilitas dan kemungkinan perubahan melalui aksi agen bebas. Bagaimanapun juga peneliti perlu membedakan antara istilah metafisis atau mistis agensi bebas di mana agen membentuk dirinya sendiri (yaitu mewujudkan dirinya sendiri dari ketiadaan) dengan konsep agensi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial dan diberdayakan oleh sumber daya sosial yang disebarkan secara bervariasi, yang memunculkan berbagai tingkat kemampuan untuk bertindak pada ruang-ruang tertentu.

Sebagai contoh, identitas suatu kaum terikat dengan struktur yang mewarnainya yang didahului oleh hasil nilai dan diskursus sosial yang memungkinkannya melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai seorang agen. Kemudian ada perbedaan antara konsepsi di mana tindakan diciptakan oleh agen yang bebas karena tidak ditentukan dengan agensi sebagai suatu kapasitas untuk bertindak yang dibentuk secara sosial. Kebebasan yang mengarah pada kekuaasan subjektif dikaji secara khas.

Hambar rasanya bila menjadi seorang agen tidak memiliki pantauan akan suatu lingkungan yang didasarkan akan sifatnya yang aktif. Untuk menunjangnya Giddens mencoba memaparkan Model straitifikasi agen atau pelaku yang digambarkan pada skema berikut:105

Kondisi-kondisi monitoring refleksif konsekuensi – konsekuensi

Tindakan tak dikenali terhadap tindakan tindakan tak dikehendaki

rasionalisasi tindakan motivasi tindakan

Gambar. V.1 Skema Agensi

Motivasi mengacu pada potensi tindakan bukan pada model pelaksanaan tindakan secara terus menerus oleh agen yang bersangkutan. Motif-motif cenderung memiliki perolehan langsung atas tindakan hanya dalam keadaan-keadaan yang relatif tak biasa, situasisituasi yang dalam beberapa sisi terputus dari rutinitas. Kebanyakan motifmotif memasok seluruh rencana atau program ‘proyek-proyek’ dalam istilah Schutz, tempat dilakukannya gugusan perilaku. Kebanyakan perilaku sehari-hari tidak dimotivasi secara langsung.106

Berkaitan dengan adanya agen dalam relasi Perda TSP di Jatim, motivasi merupakan hal yang mendasar mendorong para agen untuk merumusakan Perda TSP Jatim, Agen yang dimaksud dalam hal ini ialah pihak dari DPRD Jatim

105

Anthony Giddens, Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal 6

106

Ibid., hal 7

selaku pembuat kebijakan dalam merumuskan sebuah undang-undang yang mengatur dalam lingkup wilayah Jatim, motivasi para agen dalam membuat Perda TSP tersebut guna untuk mengakomodasi segala kepentingan Shareholder maupun stakeholder yang ada di Jawa Timur.

Dalam hal ini juga bisa dilihat kemunculan Perda No 4/2011 tersebut karena provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan iklim investasi yang sangat baik, hal ini bisa dilihat bahwa di Jawa Timur terdapat banyak perusahaan-perusahaan baik dari BUMN, BUMD atapun BUMS. Hal tersebut dilihat bahwasanya adanya potensi yang besar yang bisa diperoleh dari dana CSR peruahaan yang ada di Jawa Timur khususnya BUMN untuk membantu pemerintah provinsi Jawa Timur dalam membangun masyarakat melalui program-programnya yang terkadang tidak bisa ter-cover dengan dana APBD Jatim. Dan juga dalam mengsinergiskan mengenai upaya pembangunan yang ada di Jawa Timur dengan melibatkan dari dunia usaha masih belum optimal itu karena adanya kesenjangan potensi daerah yang ada di Jawa Timur itu sendiri, semisal ada suatu daerah yang terdapat jumlah perusahaan yang begitu banyak hal ini sangat mendorong percepatan pembangunan yang ada di wilayah tersebut contohnya Surabaya, Gresik dan Sidoarjo akibat dana CSR dari perusahaan tersebut. Akan tetapi ada daerah yang sangat minim jumlah perusahaan sehingga dalam upaya pembangunan hanya mengandalkan APBD sehingga peroses pembangunan tersebut bisa dilihat sangat lambat. Oleh karena itu melalui Perda ini bahwasanya akan mengakomodasi daerah yang minim perusahaan akan

mendapatkan dana CSR dari perusahaan di tempat lain demi melakukan percepatan pembangunan yang ada di Jawa Timur.

Selain itu diberlakukan Perda tersebut memberikan kepastian hukum yang jelas untuk implementasi program CSR perusahaan-perusahaan yang ada di Jawa Timur, hal ini guna menghindari pungutan-pungutan yang sifatnya tidak jelas dan juga memberikan perhatian kepada perusahaan-perusahaan yang sudah melaksanakan program CSR sesuai dengan standart yang berkelanjutan melalui

reward yang diberikan kepada perusahaan tersebut. Dalam hal ini seperti yang

diutarakan oleh informan.

“Jadi gini, terlepas dari masalah-masalah yang ada di Jawa Timur. Masalah-masalah itu termasuk banyaknya perusahaan-perusahaan di luar perusahan itu sendiri, kemudian potensi ekonomi Jawa timur yang pertumbuhannya sangat baik, sehingga memungkinkan untuk masuknya modal asing. Karena disitu Undang-undang CSR itu katanya di undang-undang no. 25 tahun.. tentang ranah modal dan perseroan terbatas (PT) itu sehingga itu yang banyak mendorong. Itu yang kemudian harus perlu di aa.. adanya produk hukum yang berkaitan dengan aturan CSR itu sendiri. Di samping itu ada issue aktual, issue aktual itu yang menyangkut mengenai masalah di Jawa Timur. Misalnya gini, untuk menghindari adanya kesenjangan sosial terhadap potensi daerah. Ada daerah, daerah itu perkembangannya itu lebih cepat pada daerah yang banyak perusahan, dengan daerah yang sama sekali tidak ada perusahaannya. Lha untuk itu, untuk menghindari ada kesenjangan itu sendiri, karena di perda sendiri ada aturan. Daerah yang tidak ada perusahaannya itu juga wajib mengajukan CSR melalui forum TSP yang dibentuk. Kemudian, masalah-masalah yang lebih lain adalah Termasuk agar perusahaan-perusahaan itu ada kepastian hukum dalam menyalurkan CSA’nya. Ada bijakan hukum yang jelas. Sehingga mereka juga akan mengindari pengutan-pungutan yang sifatnya gak jelas disitu. Meskipun kenyataannya selama ini, aa..aa perusahaan itu sendiri harus ada perhatian yang jelas pula. Misalnya, kan disini ada 33kriteria. Perusahaan yang mampu melaksanakan CSR dengan standart minimal, mereka melaksanakan saja sama yang sedang, kemudian ada yang

itu, yang continue dalam mereka melaksanakan CSR. Tapi tidak ada kemudian rewardnya dari pemodal. Nah, kalo diperda ini kan diatur. Ada rewardnya, bagaimana perusahaan yang sudah men-CSR. Jadi ada ketentuan-ketentuan itu harus diatur produk hukum di perda No. 4 tahun 2011 itu. Jadi intinya seperti itu.” (Pak Kodrat, DPRD Jatim Fraksi Golkar)

“ehm..begini, keterlibatan pihak dunia usaha dalam proses pembangunan jawa timur ini dirasa masih kurang proaktif. Artinya, bahwa yang pertama kurang proaktif, yang ke-2 tidak intergritas. Tidak integritas artinya kemudian yang namanya pembangunan kan sudah..sudah dicanangkan dalam sebuah pergub yang namanya RPJMD yang sebentar lagi RPJMD yang waktu itu menjadi perda nomor berapa itu ? masih pergub, itu kan sudah ada kanal-kanal sudah ada koridor-koridor yang itu adalah atas dasar RPJMD. Apapun proses pembagunan itu tidak boleh jauh melenceng dari RPJMD, agar kemudian konstruktif, runut dan ukuran-ukuran jelas. Gitu kan ? itu yang pertama. Sehigga kemudian, Kenapa kemudian ada kegelisahan dari komisi E untuk kemudian peran serta dunia usaha terhadap pembangunan Jawa Timur itu menjadi sedikit penting. Tapi kemudian, ya atas dasar itulah kemudian kita mencoba untuk memberikan kanal-kanal, yang kemudian ininya seperti ini. Kita tidak mengikat terlalu ekstrim, setidaknya kita beri ril dan kemudian arahnya indah gitu aja sesuai RPJMD.” (Sugiri, Ketua Komisi E, DPRD Jatim Fraksi Demokrat)

Tidak hanya itu, Perda tersebut dirumuskan karena keterlibatan dari pihak dunia usaha masih dirasa kurang proaktif dalam proses pembangunan yang ada di wilayah Jawa Timur, sedangkan dalam penguatan dalam terciptanya pembangunan yang bersinergis tidak hanya pihak pemerintah yang terlibat, akan tetapi dari dunia usaha dan masyarakat itu sendiri. Hal tersebut diharapkan ketiganya saling terintegritas dan bersinergis dengan baik.

Sedangkan yang dimaksud dengan rasionalisasi tindakan adalah bahwa aktor secara rutin mempertahankan suatu ‘pemahaman teoritis’ yang terus menerus tentang landasan aktifitas mereka. Akan tetapi pemahaman mengenai hal

ini tidak boleh disertai dengan alasan unsur tindakan tindakan tertentu dan juga tidak menspesifikasikan mengenai alasan secara diskursif.

Mengenai rasionalisasi tindakan yang dimaksud dalam Perda tersebut ialah tentang rasionalisasi dan pentingnya Perda tersebut dibuat ialah guna mempercepat pembangunan yang ada di wilayah di Jawa Timur, karena jika hanya mengandalkan dari dana APBN dan APBD pembangunan tersebut dirasa akan lambat, oleh karena itu Perda tersebut mengatur mengenai peran dari dunia uasaha dan masyarakat melalui program CSR yang diberikan kepada masayarakat secara langsung dan tepat maka pembangunan akan sangat cepat karena keterlibatan aktor-aktor tersebut.

“ iya jadinya peran serta dunia usaha adalah sangat penting dan kami

butuhkan bersama-sama membangun jawa timur. Karena kalau hanya mengandalkan APBD dan APBN yang kemudian yang di terima jawa timur rasanya masih cukup lambat. Pergerakannya kan tidak secepat jika peran serta masyarakat dan dunia ussaha ikut cawe-cawe mwmikirkan jawa timur seperti apa ? yang intinya adalah itu menggedor kesadaran. Gimana caranya menggedor? Yang karena kita di ruang legislasi ya tentu dengan perda” (Sugiri, DPRD Jatim)

Secara tekhnis hal yang diatur dalam Perda melalui Pergub mengatur implementasi program CSR yang akan disalurkan oleh peruahaan tidak hanya mengutamakan pemberian dana CSR hanya kepada wilayah-wilayah yang menjadi range I mereka, akan tetapi pemerataan mengenai program-program CSR oleh perusahan bisa tersalurkan di wilayah-wilayah yang seharusnya mendapatkan dana meskipun tidak di wilayah range I mereka. Pengaturan tekhnis tersebut melalui informasi-informasi yang dimiliki oleh pihak pemerintah mengenai

pemetaan wilayah-wilayah yang lebih memerlukan dana atau program CSR di daerah Jawa Timur.

“dan ini kan perussahaan tidak tersebar di seluruh kabupaten kota. Lha kalo begituitu biasanya, kalau mengutamakan TSP memprioritaskan range I, nah itulah antara lain tugas fasilitasi provinsi agar wilayah-wilayah yang tidak terdapatkan perusahaan sta kondisinya bisa kita ukur. Mungkin perusahaan yang..karena kan perusahan di surabaya sidoarjo kan 200an. Mungkin range I nya sudah terlalu banyak. Kemudian kita informasikan datanya ini ke wilayah madura. Bayak hal yang perlu didapatkan. Perolehan datanya kita informasikanke perushaan-perusahaan lain dengan harapan perusahaan yang ada di surabya yang ada di gresik mau menengok ke wilayah yang lain diluar range I nya. Gitu. Salah satu fungsi fasilitasi yang ada di provinsi.” (Karimah, Bappeda Jatim)

“ketika mereka kesini meminta rujukan itu akan kami sampaikan, mbok kesana, mbok kesana. Karena jawa timur ini ada 38 kabupaten kota. Dan tidak hanya di range I’nya ada tempat-tempat lain. Daerah-daerah lain barang kali bisa disentuh denga CSR. Karena sekali lagi daerah itu apapun adalah menurut saya dalam tanda petik peluang pasarnya perusahaan yang bisa jadi sekarang daerah itu belum maju sehingga masyarakatnya belum berdaya, tapi visa bertolak. Katakanya unilever mau masuk kepacitan yang penjualan produknya rendah gitu aja, tapi ketika masuk CSRnya untuk kegiatan yang sama dan kemudian memberdayakan dengan pelatihan sehingga tumbuh kesadaran, tumbuh perilaku yang baik terhadap misalnya PHBS, orang akan bicaranya konsummsi sabun dan sanitarian.” (Karimah, Bappeda Jatim)

Karena mengingat wilayah di Jawa Timur itu sendiri sangatlah luas, dengan terbagi menjadi 38 daerah Kabupaten Kota, hal ini agar program maupun dana CSR perusahaan tersebut bisa terserap dengan baik dan juga adanya penebaran program CSR tersebut juga membantu brand image perusahan itu sendiri nantinya, karena yang merasakan dana maupu program perusahaan

tersebut tidak hanya masyarakat yang ada di wilayah range I nya, akan tetapi meliputi wilayah-wilayah yang ada di Jawa Timur nantinya.

Hingga sejauh ini dengan adanya Perda tersebut cukup meberikan dampak yang positif kepada perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah Jawa Timur dikarenakan pihak dari perusahaan juga dilibatkan oleh pemerintah provinsi Jawa Timur dalam melaksanakan proses percepatan pembangunan yang ada. Dengan melalui setiap kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pihak perusahaan segera dilaporkan kepada pihak pemerintah provinsi yang dalam hal ini diwakili oleh BAPPEDA Jatim.

“intinya Perda ya itu mengajak kerja sama ya.. kita tanggapi positif itu bagus. Disampng kita juga melakukan diwilayah kerjanya Bapeprov jatim kan Jawa Timur kan mas. Artinya kan kita juga membantu pemerintah daerah , iya to? Cuma dengan kegiatan kita sendiri gitu lho. Kita juga melapor ke Pemprov supaya tidak terjadi over climbing itu sudah jadi program kita jadi pemerintah tidak usah ikut lagi gitu.. biar nggak tumpuk . berhubung pembiayaan dari pak agus sendiri kurang kan dananya . jadi sinerginya itu tadi kita membina wilayah jawa itu juga pasti kita laporkan pada Bapeprov, misalnya pada saat rapat-rapat bulanan juga di ajak temenannya juga erat gitu lho…” (Erawan, PTPN X & FORUM CSR BUMN)

“keuntungannya mungkin gini mas, jadi kita lebih selektif kan mempunyai wilayah kerja masing-masing, tidak ada yang benturan, tidak ada over climbing. Jadi dengan adanya Perda itu semakin merata, pemerataan wilayah pembangunan lah.” (Erawan, PTPN X & FORUM CSR BUMN)

“saya pernah mengobrol ikut pak robertt. Itu lebih ke tidak semua program yang dilaksanakan tidak semua bisa dibiayai oleh APBD gitu, sehingga banyak titik” yang belum bisa terpenuhi itu. disisi yang petama, sisi ke-2 perusahaan juga beberapa sudah melakukan CSR di masyarakat dlingkungan apa usahanya atau bahkan meluas dari tempat usahanya, sering

kali tidak ketemu dan tumpang tindih jadi misalnya perusahaan melakukan CSR dalam suatu bidang tapi ternyata pemerintah juga melakukan program dibidang itu dan diwilayah yang sama nah…. Jadi sering kali tabrakan, tahun lalu sudah pernah seperti itu sudah 1 perusahaan melakukan CSR ketika 1 item pekerja sudah dilaksanakan ternyata beberapa daerah sudah mempunyai anggaran disitu laa… akhirnya tidak jadi tapi taunya sudah dilapangan dan sudah mulai dikerjakan bentrok ini. Kalau ketika kami mendapat komunikasi dari Bappeda jatim itu rencananya mereka menghimpun Perda TSP itu untuk mengimpun beberapa perusahaan untuk diarahkan ke bidang-bidang yang belum bias dijangkau sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tujuannya lebih dari APBD itu. Cuma itu yang saya tau”. (Andrian, Habitat for Hummanity)

Lebih dari itu juga pengaturan melalui Perda tersebut cukup rinci dalam pelaksanaannya, dalam hal ini mencoba menghindari beberapa kemungkinan masalah yang terjadi ketika program CSR tersebut diimplementasikan di lapangan. Yakni mengenai masalah tumpang tindih program ‘over climbing’ baik dalam program maupun wilayah, yang seharusnya program tersebut bisa dilaksanakan oleh perusahaan melalui program CSR akan tetapi juga program yang sama dilakukan oleh pihak pemerintah dan juga wilayah yang seharusnya sudah dimasuki oleh perusahaan tetapi juga disana benturan dengan program yang dilakukan oleh pemerintah, begitupun sebaliknya. Hal ini menghindari terjadinya miss komunikasi antara pihak masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Diharapkan nantinya sinergitas antara ketiganya sangat baik demi melancarkan proses pembangunan yang ada di wilayah Jawa Timur khususnya.

Monitoring refleksif aktivitas merupakan ciri terus menrus tindakan sehari-hari dan melibatkan perilaku tidak hanya individu namun juga perilaku

orang-orang lain. Intinya, aktor-aktor tidak hanya senantiasa memonitor arus aktivitas-aktivitas dan mengharapkan orang lain berbuat sama dengan aktivitasnya sendiri; mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik konteks tenpat bergerak dirinya sendiri. Yang dimaksudkan dengan rasionalisasi tindakan ialah bahwa para aktor juga secara rutin dan kebanyakan tanpa banyak percekcokan memperthankan suatu “pemahaman teoritis” yang terus-menerus atas dasar-dasar aktivitasnya. Pemahaman seperti ini hendaknya tidak disamakan dengan pemberian alasan-alasan secara diskursif atas butir-butir perilaku tertentu, maupun tidak disamakan dengan kemampuan melakukan spesifikasi terhadap alasan-alasan seperti itu secara diskursif. Namun demikian, agen-agen lain yang cakap mengharapkan dan merupakan kriteria kompetensi yang diterapkan dalam perilaku sehari-hari bahwa actor biasanya akan mampu menjelaskan sebagian besar atas apa yang mereka lakukan, jika memang maksud-maksud dan alasan-alasan yang menurut para pengamat normalnya hanya diberikan oleh aktor-aktor awam baik Motivasi tindakan ketika beberapa perilaku tertentu itu membingungkan atau bila mengalami kesesatan atau fraktur dalam kompetensi yang kenyataannya mungkin memang kompetensi yang diinginkan. Jadi kita biasanya tidak akan menanyai orang lain mengapa ia melakukan aktivitas yang sifatnya konvensional pada kelompok atau budaya yang ia sendiri menjadi anggotanya. Kita biasanya juga tidak meminta penjelasan bila terjadi kesesatan yang nampak mustahil bisa dipertanggungjawabkan oleh agen bersangkutan. Namun jika Freud memang benar, fenomena seperti itu mungkin memiliki dasar

pemikiran tertentu, kendati jarang disadari baik oleh pelaku seperti itu atau orang lain yang menyaksikannya.107

Berkaitan dengan hal ini yag dimaksud dengan monitoring refleksivitas ialah sejauh mana efektifitas Perda tersebut diimplementasikan. Dampak mengenai kadanya Perda itu sendiri mungkin sejauh ini masih belum bisa dirasakan oleh semua kalangan stakeholders yang ada di Jawa Timur, akan tetapi keberadaan Perda juga cukup efektif dalam upaya menyalurkan program perusahaan. Dimana penyaluran tersebut melalui pihak pemerintah melalui BAPPEDA yang di Koordinasikan dengan pihak SKPD terkait mengenai bentuk program yang akan disalurkan oleh perusahaan tersebut agar tepat guna.

“Misalnya, unilever mengagendakan akan ada pelaksanaan CSR yang mendukung sponsor kesehatan. Kita akan koordinasikan dengan dinas kesehatan, karena dinas kesehatan juga anggota tim fasilitator. Anggota tim fasilitator ini adalah seluruh SKPD yang terkait dengan kegiatan-kegiatan yang menjadi bagian kajian CSR. Yang biasanya bagian dari CSR.” (Karimah, Bappeda Jatim)

“Perda ini kan lebih kepada, kalo yang menjalankan itu kan lebih pada yang melaksanakan TSP, perda itu kan tidak mengatur secara detail gitu kan gk, tapi bagaimana pemerintah daerah ini memfasilitasi dari pelaksanaan TSP itu sendiri, memberikan apresiasi pada perusahaan yang melaksankan TSP. Dan disana memang ada substansi terhadap yang sudh melaksanakan tapi itu lebih kepada administratif. Dan itu kan kewenanganya terbatas. Jadi kita lebih mnegedepankan bagaimana apresiasi kepada perusahaan yang melaksanakn TSP dengan baik. Kalau secara regulasi pusat, dari pemerintah pusat memberikan subtansi yang tegas. Adakan yang terkadang terkait sumber daya alam, kan itu menjadi bagian dari biaya operasional untuk yang CSR untuk lingkungan dalam arti ketika perusahaan tersebut mengelola tidak berdampak pada sumber

107

Anthony Giddens. Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 hal 7

daya alam kewajiban akan sanksi yang diberikan secara tegas itu kan gak ada, gitu lhoo. Sehingga lebih besar pada kerelaan. Dan ada perusaaan itu melaksanakan CSR’nya juga untuk kepentingan marketingnya juga.” (Karimah, Bappeda Jatim)

Pada prinsipnya adanya Perda yang sudah dibentuk oleh pihak pemerintah yang pada pelaksaannya dilaksanakan oleh pihak BAPPEDA yang mewakili pemerintah daerah provinsi Jawa Timur dengan memfasilitasi pelaksanaan program CSR yang dilakukan oleh perusahaan dan juga memberikan apresiasi kepada pihak perusahaan yang telah melaksanakan program tersebut dengan tepat dikarenakan memang tidak ada sangsi tegas sendiri kepada perusahaan dalam melaksanakan program CSR akan tetapi mencoba memberikan penyadaran dalam mendorong setiap perusahaan untuk melakukan program CSR tersebut.

Terkait mengenai proses monitoring mapun evaluasi terhadapa pelaksanaan Perda ketika diimplementasikan oleh perusahaan tidak sepenuhnya dilakukan oleh pihak pemerintah, akan tetapi hal tersebut dipasrahkan sepenuhnya kepada pihak perusahan. Namun kewajiban yang dilakukan oleh perusahaan ialah melaporkan kepada pihak BAPPEDA selaku ketua Tim Fasilitasi CSR di Jawa Timur. Sehingga dari apa yang sudah dilaporkan tersebut diteruskan kepada pihak DPRD Jatim selaku pembuat regulasi dan nantinya jika ada hal yang memang belum bisa diatur dalam Perda ini maka akan perlu ditinjau kembali.

“Gini terkait pelaksanaan sesuai yang diamanatkan dalam perda bahwa monitoring, evaluasi dan lain-lain itu menjadi kewenangan perusahaan. Kalo keterlibatan kami di tim fasilitasi, kalo memang dikehendaki oleh perusahaan untuk monitoring bersama, join monitoring istilahnya waktu kebijakan pergub itu, ya dimungkinkan. Namun tidak kemudian kewajiban

pemerintah untuk melakukan monitoring terhadap kegiatan CSR perusahaan. Yang wajib dilakukan perusahaan adalah menyampaikan pelaporan pelaksanaan CSR.” (Karimah, Bappeda Jatim)

“Cuman aplikasi di lapangan ini kita belum bisa memantau secara intensif, sehingga mungkin seperti apanya saya belum bisa mengukur. Misalnya, darii laporan teman-teman di bapeda ketika perda ini ada banyak perusahaan yang sudah lonjakannya melaporkn kepada CSR sudah sangat tinggi, saya sudah melakukan ini pak, saya melakukan iini, dan seperti apa ini sudah luar biasa. Di Bappeda kan ada forum CSR yang itu dikelola Bappeda yang ini menjadi rujukan.” (Sugiri DPRD Jatim)

Mengenai sangsi dalam pelaksanaan program CSR itu sendiri memang sampai sejauh ini belum bisa mengikat sepenuhnya, karena sampai sekarang ini memang tidak ada sangsi yang mengikat, akan tetapi adanya Perda ini diharapkan

Dalam dokumen RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA N (Halaman 162-179)

Dokumen terkait