• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Struktur

Dalam dokumen RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA N (Halaman 179-200)

RELASI AGEN – STRUKTUR DALAM PERATURAN DAERAH TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI JAWA TIMUR

V.1 Agen - Struktur

V.1.2 Pandangan Struktur

Teori strukturasi memang berpijak pada pandangan tentang struktur. Namun konsep atau pandangan Giddens tentang struktur berbeda dengan pandangan strukturalisme atau pos-strukturalisme, meskipun hingga batas tertentu konsep Giddens mengenai struktur tidak mudah untuk dipahami dan mengundang kritik. Dalam pandangan Giddens struktur itu sebagai “rules and resources” yakni tata aturan dan sumber daya111, yang selalu diproduksi dan direporuksi, serta memiliki hubungan dualitas dengan agensi, serta melahirkan berbagai praktik sosial sebagaimana tindakan sosial. Dalam teori strukturalisme struktur dipandang sebagai suatu penciptaan pola relasi-relasi sosial atau fenomena-fenomena sosial serupa, sebagai kerangka atau morfologi sebuah organisme atau tiang penyangga sebuah bangunan, yang berada di luar tindakan manusia. Kritik Giddens kepada strukturalisme ialah, bahwa pandangan strukturalisme terutama strukturalisme-fungsional cenderung lebih tertuju pada “fungsi” daripada “struktur” dan meletakkan struktur sebagai sesuatu yang berada di luar112.

Bagi Giddens struktur merujuk pada aturan-aturan dan sarana-sarana atau sumber daya yang memiliki perlengkapan-perlengkapan struktural yang me-mungkinkan pengikatan ruang dan waktu yang mereproduksi praktik-praktik

111

Jari David and Julia Jary, 1991, Collins Dictionary Of Sociology. Glasgow: Harpers Collins Publisher, hal 8

112

Anthony Giddens, 2010, Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 25-26

sosial dalam sistem-sistem sosial kehidupan masyarakat. Giddens memformulasikan konsep struktur, sistem, dan strukturasi sebagai berikut113 :

Struktur Sistem Strukturasi

Aturan dan sumber daya atau seperangkat relasi transformasi,

terorganisasi sebagai kelengkapan-kelengkapan dari sistem-sistem sosial.

Relasi-relasi yang direproduksi di antara para aktor atau

kolektivitas, terorganisasi sebagai praktik-prtaktik sosial reguler. Kondisi-kondisi yang mengatur keterulangan atau transformasi struktur-struktur, dan karenanya reproduksi sistem-sistem sosial itu sendiri.

Gambar. V.2 Bagan Struktur, Sistem & Strukturasi

Dengan kelengkapan-kelengkapan struktural itu suatu struktur memung-kinkan keberadaan praktik-praktik sosial bersifat sistemik. Karena itu, Giddens memaknai struktur sebagai perangkat aturan dan sumber daya yang terorganisasikan secara rutin, berada di luar ruang dan waktu, tersimpan dalam koordinasi dan instansiasinya dalam bentuk jejak-jejak ingatan, dan ditandai dengan ketidakhadiran subjek. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur ialah Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) bagi pelaku usaha yang ada di wilayah Jawa Timur.

Sedangkan sistem sosial secara rutin melibatkan struktur terdiri dari aktivitas-aktivitas tertentu para agen manusia dan direproduksi sepanjang ruang dan waktu. Sistem sosial ini dimaknai sebagai sebagai relasi-relasi yang terbangun antara masing-masing agen yang berkaitan dengan struktur tersebut. Strukturasi

113

Ibid., hal 40

ialah kondisi dimana terjadi sebuah praktek sosial melalui hubungan yang terbentuk antara relasi sosial antara agen dengan struktur tersebut yang kemungkinan akan membentuk sebuah struktur terbaru sebagai sebuah proses dialektika.

Struktur menurut Giddens, ialah “hal-hal yang menstrukturkan (aturan dan sumberdaya)...hal-hal yang memungkinkan adanya praktik sosial yang dapat dipahami kemiripannya di ruang dan waktu serta yang memberi mereka bentuk sistemis”114. Menurut Giddens bahwa “struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia”. Dalam pandangan Giddens, berdasarkan konsep ‘dualitas struktur’ dalam hubungan antara agen dan struktur (agency and structure), bahwa ‘struktur’ merupakan medium sekaligus hasil dari tindakan yang ditata secara berulang oleh struktur. Ditekankan pula tentang ‘keterinformasian’ aktor yang tergantung pada pengetahuan dan strategi yang ada untuk meraih tujuan115. Agen atau pelaku adalah orang-orang yang konkret dalam arus kontinu antara tindakan dan peristiwa. Sedangkan struktur adalah “aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial”116. Sedangkan sistem sosial, “memproduksi praktik sosial, atau mereproduksi

hubun-114

Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008, hal 571.

115

Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, dan Bryan S. Turner, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal 78

116

B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002, hal. 19.

gan antara aktor dengan kolektivitas yang diatur sebagai praktik sosial yang terorganisasi”117.

Berbeda dengan pandangan strukturalisme yang memandang struktur be-rada di luar (eksternal) yang menentang dan mengekang pelaku, teori strukturasi Giddens memandang objektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan melekat pada tindakan dan praktik sosial yang dilakukan agen atau pelaku. Struktur bukanlah benda melainkan skemata yang hanya tampil dalam praktik-praktik sosial (social practices). Praktik sosial itu bersifat berulang dan berpola dalam lintas ruang dan waktu. Praktik sosial itu dapat berupa kebiasaan-kebiasaan seperti penyebut pengajar dengan istilah guru, pemungutan suara dalam pemilihan umum, menyimpan uang di bank, sampai kebiasaan membawa SIM (Surat Izin Mengemudi) ketika mengemudi kendaraan. Praktik sosial seperti itu dapat berlangsung kapan dan dimana saja. Dalam praktik sosial yang berpola dan berulang itulah terjadi dualitas antara pelaku (tindakan) dan struktur. Dualitas relasi tersebut terletak dalam fakta bahwa struktur mirip dengan pedoman, yang menjadi prinsip praktik-praktik sosial berlangsung118.

Karena itu Giddens melihat tiga gugus struktur. Pertama, struktur penandaan atau signifikasi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Contoh menyebut guru kepada pengajar atau menyalakan lampu kendaraan tanda belok kiri merupakan praktik sosial pada

117

Ritzer dan Goodman, , Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008 hal. 571

118

B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002,, hlm. 22.

gugus struktur signifikasi. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (economy). Contoh menyimpan uang di bank merupakan bentuk struktur dominasi ekonomi dalam bentuk kontrol atas uang atau barang. Contoh lain pemungutan suara dalam pemilihan umum merupakan bentuk struktur dominasi politik yakni penguasaan atas orang. Ketiga, struktur pembenaran (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum. Contoh dari praktik sosial dalam bentuk struktur legitimasi ialah razia polisi lalu-lintas terhadap pengendara sepeda motor atau mobil yang tidak membawa SIM (Surat Izin Mengemudi). Ketiga gugus struktur tersebut sal-ing berkaitan satu sama lain. Contohnya skemata signifikasi orang yang mengajar disebut guru pada gilirannya menyangkut skemata dominasi otoritas guru atas murid dan juga skemata legitimasi hak guru atas pengadaan ujian untuk menilai proses belajar murid. Hal serupa terjadi dalam struktur dominasi dan legitimasi119.

Signifikansi Dominasi Legitimasi

Perda TSP dalam Ranah Sosial

Perda TSP dalam Ranah Politik

Perda TSP dalam Ranah Hukum

Gambar. V.3 Bagan Struktur Perda TSP

Dari penjelasakan tabel diatas bahwasanya ranah Perda TSP yang merupakan sebuah struktur itu sendiri memberikan sebuah pemetaan yang ada,

Signifikansi dalam Perda tersebut mempunyai wilayah bahwasanya Perda tersebut

119

B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2002, hlm. 24-25.

berada dalam ranah sosial. Hal ini bisa dijelaskan bahwasanya adanya Perda tersebut turut membantu pembangungan yang ada di wilayah Jawa Timur sesuai dengan RPJMD yang tealh disepakati bersama sehingga menjadi acuan baik dari pemerintah itu sendiri dibantu dengan keterlibatan dunia usaha dalam proses percepatan pembangunan tersebut.

“oh sangat, mereka melaporkan ke bapeda mereka telah melakukan apapun, kegiatan sosial baik membina sekolah membina lingkungan hidup. Itu merupakan sebuah kemajuan. Tapi ketika dia melaporkan setidaknya ada komunikasi dengan bapeda, RPJMD seperti ini. Setidaknya bapak kalau ke ini jangan ke ini thok, karena yang dibutuhkan tahun depan seperti ini. Setidaknya ada koridor yang mereka jelaskan di RPJMD, sehingga acuan-acuan CSR diharapkan tidak melenceng dari skema pembangunan jawa timur yang memnag telah kita buat sejak awal.” (Sugiri, DPRD Jatim) “Sesungguhnya aturan itu, semakin banya aturan orang biasanya itu

semakin banyak untuk mencari celah untuk mencari kelemahan aturan dan kami mencoba untuk menggedor kesadaran dan kemudian kepentingan rakyat ini harus ditopang oleh semua stakeholder di Jawatimur baik itu pemerintah, DPR atau apapun juga tidak luput dari peran dunia usaha juga sangat kami butuhkan untuk memebangun jawa timur secara berssama-sama.” (Sugiri, DPRD Jatim)

Perda tersebut dalam ranah sosial ingin menekankan mengenai kesadaran kepada seluruh elemen masyarakat yang ada di Jawa Timur dalam upaya membawa perkembangan wilayah provinsi Jawa Timur itu sendiri melalui keterlibatan seluruh stakeholder yang ada, tidak hanya pembangunan tersebut dipasarahkan begitu saja terhadap pemerintah akan tetapi peran serta dari seluruh elemen masyarakat dan juga dari pihak dunia usaha dalam mengoptimalkan pembangunan yang terintegrasi dengan baik dan saling bersinergis.

Secara tekhnik pelaksanaan di lapangan Perda tersebut dalam mengsinergiskan program-program CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang

ada di Jawa Timur, pemerintah menjadi tim fasilitasi yang memberikan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan yang akan melakukan program CSR agar sesuai tepat sasaran agar mengurangi terjadinya ‘over lap’ program tersebut ketika diimplementasikan kepada masyrakat.

“Jadi disini kan tim fasilitasi memfasilitasi mengenai program kegiatan perusahaan dengan program kegitan pemerintah, pemerintah profensi maupun daerah supaya tidak ada over lap, dulu kan kayak over lap gitu sekarang kan eee jadi misalnya programnya CSRnya perusahaan apa apa apa sementara kita juga program pemerintah daerah kabupaten kota provensi programnya kita apa, nah ini kita temukan kira kira mana yang ini yang ini jadi biar tidak ada over lap antar progaram jadi tugas tim fasilitasi dan di dalam tim fasilitasi ini kita tidak melibatkan perusahaan jadi murni dari pemerintah, kalau dulu kan memang kita ada melibatkan beberapa perusahaan sekarang enggak ini murni, jadi sementara perusahaan sendiri memiliki forum, jadi dari forum itulah tim fasilitasi program program kita satukan.”(Herlina, BIRO PEREKONOMIAN)

“iya, semua SKPD, jadi ada Bapeda, kemudian biro kesra, dinas sosial, dinas tenaga kerja, kemudian dari BUMN juga ada , telkom, PLN, semen gresik. Itu proses pembuatannya dilibatkan, tapi kalo pada saat publik learning, tapi pada saat formulasi kebijakan tahapan sebelum adopsi itu ada masukan-masukan dari LSM juga.” (Kodrat, DPRD Jatim)

Dan juga dalam proses pembentukan Perda tersebut juga yang terlibat tidak hanya pihak dari legislatif meskipun leading sektornya adalah anggota dewan itu sendiri, akan tetapi juga melibatkan dari keselurhan stakehoders ataupun intansi yang terkait juga dilibatkan baik dari pemerintah, dunia usaha maupun dari civil society itu sendiri.

Sedangkan bentuk Perda tersebut ialah Dominasi, hal ini berarti bahwa Perda tersebut berada pada ranah politik. Dimana hal tersebut bisa dimaknai secara politik karena dalam pembentukan Perda tersebut juga menyatukan beberapa kepentinga-kepentingan yang ada sehingga bisa dikatakan bahwa

tersebut mengalami sebuah kompromi-kompromi politik agar menyatukan berbagai kepentingan tersebut. Karena memang di dalam Perda tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai sanksi yang diberikan kepada pihak perusahaan yang tidak melaksanakan program CSR.

“jadi di teori William dahm mengenai gaya perumus kebijakan itu kan ada macam-macam. Ada yang namanya gaya pro-aktif, dimana mulai pertama mereka sudah mengetahui permasalahan sehingga sampai proses perjuangan diadopsi, sampek pengambilan keputusan dia memperjuangkan. Yang kedua ada gaya perumus kebijakan yang mereka itu reskutif istilahnya, dia tidak tahu maslahnya tapi pada saat itu pokoke setuju. Ada gaya rasionalis, yaitu mereka tahu permasalahannya tapi pada saat pembahasan hal pasal-pasal tertentu mereka mengikuti. Misalnya gini, ada kepentingan ini yang namanya pembuatan perda itu kan kompromi pilitik. Sehingga ada yang beberapa kepentingan tertentu kita mengikuti. Contohnya di perda ini sanksi kan tidak ditulis .... hanya sanksi administrasi gak jelas. Kadang kan ada undang-undang sampai pencabutan izin. Tapi karena kompromi politik dikuatirkan apabila dalam taraf perda ini telah menyangkut yang tegas, investor ditakutkan malah meninggalkan kita. Itu yang berkaitan. Itu yang kemudian ... ikuti saja setuju sudah. Jadi 3 itu yang menonjol. Ada yang proses terhadap pembahasan masalah itu juga setuju, terlibat aktif, ada yang kemudian tahu masalahnya tapi dia juga ngikuti tapi ada yang ndak ngerti tapi setuju diadopsi. Nah, itu sampean tafsirkan terserah itu.” (Kodrat, DPRD Jatim)

Memang pada awal pembentukan Perda tersebut terjadi sebuah perdebatan dari anggota DPRD itu sendiri selaku pembuat kebijakan, karena ada beberapa pihak yang berpendapat jika Perda tersebut dibuat trus nantinya tidak ada aturan yang secara tegas mengikat secara hukum, makan Perda tersebut sama halnya kertas kosong yang tidak berlaku. Akan tetapi yang perlu ditekankan bahwasanya aturan Perda tersebut memang untuk saat ini belum sepenuhnya bisa mengikat secara hukum, karena jika keika Perda tersebut dipraktekan secara tegas makan akan menyebabkan sebuah beban bagi dunia usaha yanh ada di Jawa Timur.

Karena dari pihak dunia usaha pun sendiri melihat bahwasanya apa yang telah mereka lakukan itu juga sangat penting dalam proses pembanguna, dengan beban pajak yang diberikan dan juga dengan adanya perusahaan tersebut di Jawa Timur setidaknya membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan taraf ekonomi kehidupan masyarakat.

“ya, saya pikir kan misalnya gini, tidak setujunya ada pada isi dari pada perda, semangatnya semua sepakat. Contentnya misalnya tidak setuju mungkin ini harus ada punishment jika perusahaan tidak bisa memenuhi. CSR ini seperti apa hukumannya ? punishmentnya seperti apa ? kemudian jika memenuhi rewardnya seperti apa ? itu yang menjadi debat perusahaan. Kalau perda tidak bisa memberikan punishment buat apa ada perda, hanya menjadi kertas belaka. Ada yang mengatakan demikian. Tapi kan kita mencoba, ingat yang saya katakan ini adalah perda kompromi terhadap berbagai kepentingan sehingga jangan mimpi untuk memberikan punishment terlalu dalam karena kami juga menjaga dunia usaha jangan sampai kemudian sudah ada pajak, sudah ada apa, sudah ada CSR yang diikat. Inikan menjadi mahal, faktor-faktornya menjadi mahal, saya kuatir kalo sampai meninggalkan jawa timur. tapi Inilah yang saya sebut kompromi kepentingan.” (Sugiri, DPRD Jatim)

“sesungguhnya perda ini saya katakan bukan lagi aturan tapi ini sebuah komppromi kepentingan yang kemudian kita rangkum jadi satu, namanya Perda TSP. Kepentingan dimana perusahaan kita sadarkan bahwa sesunggunhya yang namanya CSR it bukan sekedar hanya pertimbangan pahala dan nama baik saja tapi disini ada muatan-muatan yang menurut saya dahsyat untuk menjadi image brand ya ? ketika perusahaan ini berperilaku baik, inikan corporate image’nya akan muncul kemudian akan menjadi trusth masyarakat pada perusahaan ini kan menjadi tinggi. Ini penting sebetulnya bagi perusahaan, yang pertama. Yang kedua, jika Perda TSP ini tidak ada, pungli-pungli yang hari ini berkeliaran misalnya perusahaan pertambangan atau apa yang saat ini ada biasanya seorang RT aja yang bertepatan ada pabrik disebelahnya itu jauh lebih berharga dari pada seorang gubernur dimata perusahaan, karena dia merasa bisa mengayomi, bisa mengamankan. Nah ini kan, mencoba akan kita generalisasikan kemudian kita indahkan. Punglinya akan kita kikis

pelas-pelan sehingga setidaknya untuk menunjukan perusahaan yang akuntable gitu llho mas”. (Sugiri, DPRD Jatim)

Karena jika Perda tersebut disepakati secara tegas dan mengikat kepada seluruh dunia usaha yang ada di Jawa Timur yang maka hal tersebut akan menjadi beban tersendiri kepada masyarakat. Hal ini nantinya akan ditakutkan bahwasanya selanjut tidak ada investor yang akan menanamkan modalnya di Jawa Timur karena aturan tersebut, sehingga yang terjadi berpengaruh kepada proses pertumbuhan pembangunan itu sendiri.

“ya tidaklah, kami juga..kami juga.. tahun ini akan sedikit kami longgari lah ya namanya kompromi kepentingan. Tahun ini mungkin akan kita longgari, berikutnya agak sedikit kita perketat gitu. Bahkan mungkin nanti ketika ini sudah menjadi sebuah kebudayaan bahwa CSR sudah menjadi kebutuhan perusahaan akan CSR, kita akan lebih ikat lagi. Agar ini sedikit menjadi sebuah kebutuhan, bahwa perusahaan mengeluarkan CSR adalah kebutuhan sedikit kita ikat kembali tidak selonggar sekarang. Tapi, biarkan ini mengalir organik lah, saat ini biarkan mengalir organik jangan..jangan terlalu di kekang nemen-nemen karena saya kuatir efek domino yang tidak baik. Tapi karena ketika kesadaran ini sudah bangkit dan CSR memang perlu. CSR memang harus kita berikan, CSR harus kita bagikan, harus adalah. Anti akan sedikit kita kencengi. Tapi butuh waktu.” {Sugiri DPRD Jatim)

Akan tetapi pada berjalanya waktu ketika semua dunia usaha menjadikan bahwasanya CSR menjadi sebuah kebutuhan yang harus dijalankan oleh perusahaan maka peraturan mengenai implementasi aturan-aturan pelaksanaan CSR tersebut akan sedikit diikat sehingga semua dunia usaha yang ada di Jawa Timur semuanya terlibat secara aktif dalam membantu pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan yang ada di Jawa Timur.

Selanjutnya penjelasan mengenai Perda dalam Struktur ialah legitimasi. Legitimasi itu sendiri dimaknai bahwasanya Perda berada dalam wilayah hukum, yang berarti bahwa perda menjadi sebuah aturan yang formiil yang harus dilaksanakan kepada seluruh elemen terkait, hal ini yang dimaksud ialah seluruh dunia usaha yang berada di wilayah Jawa Timur yang mengatur mengenai implementasi program CSR yang dilaksanakan perusahaan-perusahan dengan tujuan untuk mensinergiskan dengann pelaksanaan pembangunan pemerintah wilayah provinsi Jawa Timur.

Memang secara aturan di tingkat nasional itu sendiri, aturan mengenai Perda itu sudah ada sebelumnya yakni pada pada Undang-Undang PT (Perseroan terbatas) No 40 Tahun 2007 yang mengatur segala jenis bentuk usaha wajib melaksanakan program CSR, sedang pada UU BUMN itu sendiri sudah diatur bahkan sebelum UU PT tersebut diputuskan lalu di follow up dengan munculnya PP 47 Tahun 2012 yang mengatur pelaksanan teknis implementasi CSR itu sendiri.

Bilamana jika kita amati bahwasanya Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai TSP (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ) dalam hal ini dimaksud ialah Perda TSP Jatim tersebut keluar telebih dahulu dari pada PP (Peraturan Pemerintah), akan tetapi dalam hal ini bukan menjadi sebuah persoalan hukum dikarenakan baik PP maupun Perda tersebut induknya mengacu pada UU No 4 Tahun 2007 tersebut.

“tidak ada sama sekali. Justru PP kan mengikuti dari undang-undangnya, mengikuti undang-undang no 40 tahun 2007, sedangkan pijaka hukum kita mengikuti yang undang-undangnya. Gk mungkin PP akan benturan pada perda jika kita mengikuti itu”. (Kodrat, DPRD Jatim)

“iyya, artinya kan tidak ada yang benturan. Misalnya, tidak pasal yang berlotak belakang, yang satu menolak yang satu memperbolehkan kan tidak ada. Kami membuat itupun berdasarkan koridor-koridor hukum dan berdasarkan ..ya ini yang akan terjadi sudah kami hitung. Isalnya ketika kami memberikan...ini kalau tidak membayar, ijin dicabut. Lha ijin itu addalah domain. Kalo ijn pertambangan kan sampek kemana? Kita tidak bisa sejauh itu. Sehingga, adanya PP baru itu , dari perda duluan perdanya saya pikir tidak menjadi kendala apapun, pasalnya juga tidak ada yang bertolak belakang. Isinya sama. Gitu lho mas” (Sugiri, DPRD Jatim)

Karena baik dalam PP ataupun Perda tersebut tidak ada benturan-benturan masing-masing pasal, tidak ada pasal yang satu sama lain saling menolak. Sehingga secara hukum adanya Perda tersebut adalah produk hukum yang sah. Sehingga memang kedudukannya harus dipatuhi oleh pihak terkait.

Memang pada awalnya sebelum perda tersebut disahkan masih terjadi pro-kontra terhadap status hukumnya, dikarenakan Perda tersebut tidak bisa mengikat secara penuh terkait mengenai sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak melaksanakan secara penuh isi Perda tersebut karena ada bebarapa hal yang tidak bisa dipaksakan yang nantinya ditakutkan bahwasanya Perda tersebut menjadi blunder tersendiri dalam peningkatan perekonomian pembangunan yang ada di Jawa Timur.

“kalau reward dipasal berapa itu aku lupa, itu akan dipergunakan oleh gubernur. Punishmentnya, yang memnag ada punishmentnya berupa sanksi administrasi, baru yang paling keras lewat teguran tertulis. Itu sudah hukuman yang paling hebat, teguran tertulis. Tapikan, ketika perusahaan di tegur secara tertulis oleh provinsi oleh gubernur kan sudah luar biasa.” (Sugiri, DPRD Jatim)

“ya awalnya memang prosentase disitu. Disitu disebutkan kalo di undang-undang BUMN. Undang-undang-undang No. 19 kalo gk salah yang tentang BUMN yang kemudian diperkuat dengan permentri BUMN No. 5 itu bahwa program kemitraan dengan lingkungan yang dinamakan dengan CSR itu maksimal itu kan 2%, maksimal dari sisa keuantungan yang telah dipotong pajak. Itu, pro kontranya disitu dulu. Ada teman saya yang salah nyebutnya 5%, sampek ngamuk itu. Ada itu, saya ingat dari fraksi apa gitu sampek... karena saat itu penolakan yang berkaitan dengan masalah ee..berapa prosentasenya? Makanya doperda disebutkan apa ndak dulu itu.” (Kodrat, DPRD Jatim)

Dan juga pada saat itu terjadi perdebatan mengenai aturan prosentase dana pelaksanaan program CSR yang dikeluarkan dari laba bersih perusahaan yang

Dalam dokumen RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA N (Halaman 179-200)

Dokumen terkait