• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA N

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA N"

Copied!
324
0
0

Teks penuh

(1)

(Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)

Disusun Oleh :

ABDUL KODIR

071214753012

MAGISTER SOSIOLOGI

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011 JAWA TIMUR

(Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister

Dalam Program Studi Sosiologi

pada Program Magister Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga

ABDUL KODIR

071214753012

MAGISTER SOSIOLOGI

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN PENULISAN TESIS

RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011 JAWA TIMUR

(Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan (TSP) di Jawa Timur) PENULISAN TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL16 JANUARI 2014

Oleh :

Dosen Pembimbing

Dr. Bagong Suyanto, Drs., MSi

NIP 196609061989031002

KPS

(4)

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011 JAWA TIMUR

(Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial Agen – Struktur dalam Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)

Telah diuji pada

Tanggal 16 Januari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Mustain Mashud, M.Si Anggota : 1. Prof. Dr. I.B Wirawan, M.Si

: 2. Dr. Tuti Budirahayu, Dra., M.Si

(5)

PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Bagian atau keseluruhan isi Penulisan Tesis ini tidak pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademis pada bidang studi dan/atau universitas lain dan tidak pernah dipublikasikan/ditulis oleh individu selain penyusun kecuali bila dituliskan dengan format kutipan dalam isi Tesis.

Apabila ditemukan bukti bahwa pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Airlangga.

Surabaya, 16 Januari 2014

(6)

HALAMAN MOTTO

“kini tak ada waktu untuk berpikir tentang

apa yang tak kau miliki, berpikirlah tentang

apa yang bisa kau lakukan dengan apa yang

ada”

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah saya sampaikan kepada Allah SWT atas segala karunia dan ramatNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dengan usaha yang tidak sedikit. tesis berjudul ‘RELASI SOSIAL DALAM IMPLEMENTASI PERDA NO 4 TAHUN 2011 JAWA TIMUR (Analisis Teori Strukturasi Mengenai Relasi Sosial dalam Implementasi Peraturan Daerah Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) di Jawa Timur)’ ini penulis angkat berdasarkan fenomena wacana CSR yang muncul karena banyak menjadi perhatian khusus di kalangan bisnis maupun para pengamat sosial. Hingga pada akhirnya di lingkup Jawa Timur fenomena mengenai CSR tersebut di respon melalui Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai implemetasi program CSR dunia usaha yang ada di Jawa Timur.

(9)

Penulis sampai pada titik akhir penulisan thesis ini tentu dengan dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Pada gilirannya, pada tesis inilah terekam jejak-jejak memori penulis. Maka, pada kesempatan ini penulis ingin sampaikan terima kasih kepada :

1.

Kedua Orang Tua penulis, (alm) abah dan mamak, untuk segenap kasih sayang yang diberikan sepanjang masa dan tetesan air matanya dalam do’a yang tak akan pernah bisa terbayarkan dengan apapun. Untuk kakak-kakak ku yang tak pernah lelah untuk memberikan semangat dalam bentuk moril maupun materiil yang menghendaki penulis untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan untuk adik-adikku tercinta agar senantiasa selalu berusaha membuat mamak kalian bangga.

2.

Ibu Anna, Egny beserta keluarga yang telah banyak memberikan perhatian, kepercayaan dan dukungan dalam bentuk apapun kepada penulis. Terima Kasih. GBU.

(10)

dosen departemen Sosiologi lainnya yang telah memberikan inspirasi bagi penulis untuk terus belajar.

4.

Segenap kawan-kawan Mahasiswa Magister Sosiologi, Bill Halan, Katon, Ghaffar, Aziz, Mushawi, Ishak, Nika, Ratih, Dewi, Indah, Mukhlisin, Lyla serta ibu Wid, pemikiran kalian telah membuka perspektif baru kepada penulis untuk memahami kajian Sosiologi. Untuk Lajang yang tersisa, Sos’07 Bobby, Jaya, Nora, Yunita, Rima, Nindy, Sarah, Dida, Tresye, Adit atas waktu kalian untuk menyambung celoteh dan canda gurau. Untuk Adit’Kak Fu’ yang terima kasih karena telah banyak meluagkan waktunya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan tesis, Mbak Titis atas kesempatan untuk penulis menjadi partner dalam setiap pekerjaan, Yogi, Cak Kirun, Cak War, Proy dalam setiap ruang diskusi kalian yang membuka cakrawala pengetahuan penulis. Yudho, Adit, Deddy, Ganyong, Gundul, Nelly, Henih, Monic, Winny dan semuanya yang tak mungkin penulis sebutkan nama kalian terima kasih banyak telah mengisi waktu luang di kampus. Segenap Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Sosiologi. Proud Become Sociologist !

(11)

Kawan2 Kader GMNI 2007, Nizen, Ayu Irene’Emon’, Ijal, Didit, Nora, Iis’Nduty’, Fitrah’Petruk’, Aditya’embek’ Femy’Amoy’, Dika, Intan, thanks untuk berbagi cinta, cita dan harapan kalian. Adik-adikku Karim, Yuni, Ardi, Jatayu, Jessica, Meteor, Rafif, Lifa, Dhewi, Andre, Rendy, Azam, Gomes dan semuanya. Jadilah Kayu Bakar dalam setiap Api Perjuangan. Sungguh teramat bangga sekali menjadi bagian Keluarga Besar GMNI FISIP Unair, sebuah ruang yang tak akan pernah terlupakan dalam setiap detik yang telah terlewati. Pemikir-Pejuang, Pejuang-Pemikir. MERDEKA!! GMNI DJAYA! MARHAEN MENANG!

6.

Kelurga Besar FISIP Unair, Pak I Basis Soesilo (Dekan Fisip), Pak Djodi yang telah banyak Mas Yunus, Mas Joko, Pak Bambang atas waktu yang diberikan untuk ruang-ruang diskusi dan selalu memberikan pengetahuan baru. Mas Tino Akademik Program Pasca Sarjana FISIP. Dan segenap jajaran Dekanat, Dosen & Karyawan FISIP UNAIR yang telah banyak mendukung dan berkontribusi untuk aktifitas kemahasiswaan. Dan tetap menjadikan Kampus FISIP UNAIR sebagai miniatur Indonesia dengan segala dinamikanya.

(12)

Atas Karunia & Hidayah Allah kita dipertemukan. Alhamdulillah Jazakumullahkhoiroh.

8.

Kepada para informan Pak Sugiri, Pak Kodrat DPRD JATIM, Pak Agus & Ibu Karimah BAPPEDA JATIM, Pak Ibnu PERTAMINA Jatim, Pak Erawan PTPN X Jatim, Pak Darmawan SPEKTRA, Ibu Herlina Sekdaprov Jatim, Pak Andri Habitat for Hummanity, dan Mas Rere WALHI Jatim terima kasih atas waktu yang diberikan kepada penulis untuk menggali data sehingga tesis ini bisa terselesaikan dengan baik.

9.

Serta semua pihak yang tak dapat penulis sebut, rasa terima kasih takkan cukup untuk ditumpahkan di atas kertas kosong ini.

(13)

SUMMARY

Respon mengenai CSR (Corporate Social Responsibility) tidak hanya di pemerintahan tingkat nasional, akan tetapi sangat direspon dengan baik oleh pemerintahan daerah dengan membuat Perda TSP (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) dan salah satunya ialah provinsi Jawa Timur. Perda TSP ini dianggap sangat akomodatif karena akan membantu pemerintah provinsi Jawa Timur dalam rangka melaksanakan pembangunan di masyarakat Jawa Timur dengan program-program CSR di mana di Jawa Timur sendiri terdapat 95 badan usaha baik BUMN, BUMD maupun BUMS. Sehingga hal ini mendorong munculnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 tahun 2011 tentang tanggung jawab sosial perusahaan.

Perda yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan ini merupakan perda modifikasi dari 3 Undang-Undang, yakni UU No 19 tentang BUMN, UU No 25 tentang penanaman modal, dan UU No 40 tentang perseroan terbatas. Dalam hal ini, perusahaan termasuk bagian dari masyarakat, sehingga sewajarnya apabila perusahaan memberikan kompensasi pada masyarakat. Perda No 4/2011 itu diharapkan dapat menciptakan jejaring yang terkoordinasi dalam pelaksanaan CSR guna mencegah terjadinya pungutan liar atau pemaksaan yang dilakukan oleh oknum tertentu atas nama instansi tertentu dengan meminta sumbangan pada perusahaan. Perda ini berada di ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta sebagai kompensasi pemulihan dan peningkatan fungsi lingkungan hidup, sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas yang berbasis kerakyatan.

Akan tetapi kemunculan Perda No 4/2011 sebagai respon terhadap UU PT yang mengatur untuk mewajibkan pelaksanaan CSR tersebut disikapi berbeda oleh peneliti. Dimana peneliti melihat bahwasanya kemunculan Perda tersebut merupakan hal yang sangat dipaksakan dan sarat akan adanya kepentingan. Hal tersebut ditunjukan dengan PP (Peraturan Pemerintah) sebagai hal yang seharusnya mengatur mengenai implikasi teknis CSR belum terbentuk di tingkat nasional, akan tetapi di tingkat daerah sudah diberlakukan meskipun Perda tersebut tidak mengatur secara mengikat dan sangat kompromis.

(14)

Jawa Timur melalui Perda TSP, dapat diamati mengenai relasi antara masing-masing agen yang telah membentuk struktur yang ada. Struktur jika diartikan oleh Giddens ialah sebuah aturan atau sumberdaya, jadi yang dimaksud struktur itu sendiri ialah Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di Jawa Timur.

Jika berbicara struktur tak lepas juga menganalisa agensi, karena Giddens pun menjelaskan antara struktur dan agensi adalah dualitas. Dalam hal ini agensi yang dimaksud ialah ialah para aktor yang terkait dalam keterlibatan struktur tersebut yakni antara pihak negara, perusahaan dan civil society. Dengan demikian penelitian ini akan mencoba menjelaskan pertautan atau dualitas dalam Perda tersebut. Peneliti menggunakan metode kualitatif karena sangat sesuai untuk mengamati objek penelitian yakni mengenai relasi-relasi sosial yang terbangun dalam implikasi Perda No 4 Tahun 2011 antara agen-agen yang mempunyai andil dalam terbentuknya struktur tersebut.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa relasi agen – struktur dalam implikasi Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan teknis implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) atau yang lazim disebut Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan relasi yang bersifat kompromi politik meskipun secara hukum Peraturan Daerah tersebut mempunyai payung hukum yang kuat yakni yang pada Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) No 40 Tahun 2007 pada pasal 74 yang membebankan perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat dengan melakukan program tanggung jawab sosial itu sendiri.

Peraturan Daerah tersebut dikatakan sebagai sebuah produk hukum yang sangat kompromis, dikarenakan dalam Peraturan Daerah tersebut ingin mengakomodasi semua stakeholders maupen shareholders yang ada di provinsi Jawa Timur. Kompromi kepentingan tersebut bisa dilihat dalam ketentuan Peraturan Daerah tersebut tidak diatur mengenai prosentase laba bersih yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan program CSRnya, semuanya diberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk mengeluarkan jumlah dana untuk program CSR.

Tidak hanya itu juga, kompromi kepentingan yang ada dalam Peraturan Daerah tersebut ialah tidak diberlakukannya sanksi yang sangat tegas kepada perusahaan yang tidak menjalankan program CSR sehingga bisa dikatakan kekuatan hukum pada Peraturan Daerah tersebut tidak mengikat. Hal ini dikarenakan bahwa nantinya Peraturan Daerah tersebut tidak menjadi beban kepada perusahaan-perusahaan yang ada. Dan ketika Peraturan Daerah ini menjadi beban tersendiri bagi perusahaan maka akan ditakutkan perusahaan-perusahaan tersebut tidak mau menginvestasikan dan lari dari Jawa Timur dikarenakan perusahaan sendiri sudah terbebankan dengan pajak yang berlaku.

(15)

sekali tidak melibatkan civil society. Dalam hal ini bisa dilihat bahwasanya dalam Peraturan Daerah tersebut hanya mengatur mengenai hubungan antara pemerintah dengan perusahan tidak mengatur mengenai hubungan tentang peran dan fungsi

civil society, dan dalam pembahasan atau penyusunan Peraturan Daerah tersebut

(16)

ABSTRAK

Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social

responsibility (CSR). Hal tersebut muncul karena saat ini masyarakat dunia telah

sadar bahwasanya adanya proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC hingga hari ini masih banyak menimbulkan permasalahan, seperti : perusakan lingkungan, pelanggaran HAM, konflik dan permasalahan sosial lainya yang segera harus ditangani. Oleh sebab itu masyarakat dunia mendorong korporasi untuk berkontribusi aktif dalam melaksanakan program pembangunan dimana mereka tinggal. Akhirnya negara lah yang memfasilitasi mereka melalui undang-undang yang mengatur tentang CSR itu sendiri. Di Indonesia regulasi mengenai CSR itu sendiri dijelaskan dalam UU PT No 40 tahun 2007, dan bahkan hal tersebut di respon hingga pemerintah daerah melalui peraturan daerah. Khusus di provinsi Jawa Timur, regulasi mengenai CSR tersebut dijelaskan dalam Peraturan Daerah No 4 Tahun 2011. Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi yang terjadi antara agen dan struktur yang ada dalam peraturan daerah tersebut.

Fokus penelitian tersebut dianalisa dengan menggunakan teori strukturasi giddens mengenai dualitas agen – struktur dan juga menggunakan relasi tripartid antara negara, masyarakat dan pasar yang terkait dalam peraturan daerah mengenai CSR sebagai strategi alternatif dalam upaya pembangunan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk melihat relasi sosial sebagai objek penelitian.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa peraturan daerah tersebut merupakan merupakan kompromi politik dalam upaya mengakomodasi kelompok kepentingan yang ada. Dan juga ditemukan bahwasanya aturan tersebut hanya mengatur hubungan antara pihak pemerintah dengan perusahaan, sehingga dapat menimbulkan kecurigaan dari pihak civil society. Adanya peraturan tersebut juga ingin mensinergiskan antara program CSR yang dilakukan perusahaan dengan program pemerintah provinsi daerah sebagai upaya percepatan pembangunan di wilayah Jawa Timur.

(17)

ABSTRACT

Forum of the UN Global Compact in Geneva , Switzerland , Thursday, July 7, 2007 the UN Secretary-General opened the media attention from around the world . The meeting aims to ask the company to show responsibility and sound business behavior known as corporate social responsibility ( CSR ) . It arises because the current world community has realized that the process of industrialization undertaken by the corporation MNC / TNC to this day still causes a lot of problems such as environmental degradation , human rights , conflict and other social issues that must be addressed immediately . Therefore, the world community to encourage corporations to contribute actively in the implementation of development programs in which they live . And finally state that facilitated them through legislation regulating CSR itself. In Indonesia regulation regarding CSR itself is described in the Company Law No. 40 of 2007 , and even that in response to local government through local legislation . Especially in East Java province on CSR regulation are explained in the Regional Regulation No. 4 of 2011. The problem in this research is how to look at the relationships and structures existing agents in the local regulation.

The formulation of this problem is analyzed using structuration theory of Giddens about the duality of agency - structure and also by using the triangular relationship between state , society and market related to local regulations regarding CSR as an alternative strategy in the development effort.

In this study it was found that the local regulation is a political compromise in an effort to accommodate the existing interest groups . And also found that the rule only governs the relationship between the government and the company , so in this case raises suspicion . The regulation would also like to synergize between CSR program by the company with the provincial local government programs as efforts to accelerate development in East Java.

(18)
(19)

BAB IV PERKEMBANGAN CSR DI INDONESIA

IV.1 Definisi CSR ... 79

IV.2 CSR di Indonesia ... 85

IV.2.1 Standarisasi Pelaksanaan CSR di Indonesia ... 100

IV.2.2 Pengaturan & Pelaksanaan CSR di Indonesia ... 131

BAB V RELASI AGEN – STRUKTUR DALAM PERATURAN DAERAH TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI JAWA TIMUR V.1 Agen - Struktur ... 142

V.1.1 Klarifikasi Agen - Agensi ... 142

V.1.2 Pandangan Struktur ... 159

V.1.3 Strukturasi ... 172

V.2 Relasi Tripartid Negara, Perusahaan & Masyarakat ...183

V.2.1 Relasi Negara ...189

V.2.2 Relasi Perusahaan ...194

V.2.3 Relasi Masyarakat ...197

BAB VI PENUTUP VI.1 Kesimpulan ...208

VI.1.1 Tesis ... 210

VI.1.2 Implikasi Teoritik ...210

VI.2 Saran ...212 DAFTAR PUSTAKA

(20)

DAFTAR GAMBAR &TABEL

Gambar II. 1. Skema Struktur ... 34

Gambar II. 2. Skema Strukturasi ... 35

Gambar II. 3. Relasi Tripartid ... 37

Gambar II. 4. Relasi Dialektika ... 37

Gambar II. 5. Relevansi Negara, Pasar & Masyarakat ... 67

Gambar V. 1. Skema Agensi ... 143

Gambar V. 2. Bagan Struktur, Sistem & Strukturasi ... 160

Gambar V. 3. Bagan Struktur Perda TSP ... 163

Gambar V. 4. Skema Strukturasi Perda TSP ... 180

Gambar V. 5. Relasi Tripartid Perda TSP ... 188

Gambar V. 6. Relasi Negara ... 189

Gambar V. 7. Relasi Perusahaan ... 194

(21)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Lester Thurow, tahun 1966 dalam bukunya “The Future of Capitalism”, sudah memprediksikan bahwa pada saatnya nanti, kapitalisme akan berjalan kencang tanpa perlawanan. Hal ini disebabkan, musuh utamanya, sosialisme dan komunisme telah lenyap. Pemikiran Thurow ini menjelaskan bahwa kapitalisme tak hanya berurusan pada ekonomi semata, melainkan juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan untuk membangun masyarakat, atau yang kemudian disebut

sustainable society. Pada jamannya, pemikiran Thurow tersebut sulit

diaplikasikan, hal ini ia tuliskan seperti there is no social ‘must’ in capitalism.1 Namun beberapa tahun sebelum pemikiran Lester Thurow tersebut, pada tahun 1962, Rachel Calson lewat bukunya “The Silent Spring”, memaparkan pada dunia tentang kerusakan lingkungan dan kehidupan yang diakibatkan oleh racun peptisida yang mematikan. Paparan yang disampaikan dalam buku “Silent Spring” tersebut menggugah kesadaran banyak pihak bahwa tingkah laku korporasi harus diluruskan sebelum menuju kehancuran bersama. Dari sini CSR (Corporate

Social Responsibility) pun mulai digaungkan, tepatnya di era 1970-an. Banyak

professor menulis buku tentang pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan, di samping kegiatan mengeruk untung. Buku-buku tersebut antara lain; “Beyond the

1

AB Susanto, A Strategic Management Approach, CSR, The Jakarta Consulting Group, Jakarta, 2007, hal 21

(22)

Bottom Line” karya Prof. Courtney C. Brown, orang pertama penerima gelar

Professor of Public Policy and Business Responsibility dari Universitas Columbia.

Pemikiran para ilmuwan sosial di era itu masih banyak mendapatkan tentangan, hingga akhirnya muncul buku yang menghebohkan dunia hasil pemikiran para intelektual dari Club of Roma, bertajuk “The Limits to Growth”. Buku ini mengingatkan bahwa, di satu sisi bumi memiliki keterbatasan daya dukung (carrying capacity), sementara di sisi lain populasi manusia bertumbuh secara eksponensial. Karena itu, eksploitasi sumber daya alam mesti dilakukan secara cermat agar pembangunan dapat berkelanjutan. Pada Era 1980 – 1990, pemikiran dan perbincangan tentang issu ini terus berkembang, yakni mengenai kesadaran dalam berbagi keuntungan untuk tanggung jawab sosial, dan dikenal sebagai community development. Hasil menggembirakan datang dari KTT Bumi di Rio de Jenerio Tahun 1992 yang menegaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menjadi hal yang harus diperhatikan, tidak saja oleh negara, terlebih lagi oleh kalangan korporasi yang diprediksi bakal melesatkan kapitalisme di masa mendatang. Dari sini konsep CSR terus bergulir, berkembang dan diaplikasikan dalam berbagai bentuk. James Collins dan Jerry Poras dalam

bukunya Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies (1994),

menyampaikan bukti bahwa perusahaan yang terus hidup adalah yang tidak semata mencetak limpahan uang saja, tetapi perusahaan yang sangat peduli dengan lingkungan sosial dan turut andil dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.2

2

Ibid., hal 35

(23)

Konsep dan pemikiran senada juga ditawarkan oleh John Elkington lewat bukunya yang berjudul “Cannibals with Fork, the Triple Bottom Line of Twentieth

Century Business. Dalam bukunya ini, Elkington menawarkan solusi bagi

peusahaan untuk berkembang di masa mendatang, di mana mereka harus memperhatikan 3P, bukan sekedar keuntungan (Profit), juga harus terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat (People) dan berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (Planet).3

Sejumlah faktor munculnya CSR di arena internasional salah satunya adalah dengan kekuatan dan pengaruh perusahaan multinasional, khususnya dampaknya di negara-negara berkembang tentang pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan, dan pekerjaan. Keprihatinan ini telah datang di tahun 1970-an, tetapi mereda pada tahun 1980. Sampai saat ini LSM, NGO atau masyarakat Internasional mengakui bahwa operasi produksi perusahaan multinasional besar memiliki dampak kritis pada tekanan lingkungan, praktek pasar tenaga kerja, pembangunan ekonomi regional, dan budaya yang lebih luas. Perusahaan multinasional sering terlihat sebagai kendaraan dari proses globalisasi yang, di satu sisi, ditandai dengan integrasi ekonomi dan konvergensi, dan di lain pihak dengan ketegangan sosial, pembangunan yang tidak merata, dan kesenjangan sosial. Ketika jaringan produksi global tersebut membuta sebuah jembatan ekonomi dengan politik hal ini memberikan sebuah dampak dengan memperburuk perbedaan spasial dalam hidup dan standar perburuhan, kesehatan, dan hak-hak individu. Bersamaan dengan itu, mereka menginduksi proses

3

diakses dari http://www.csrindonesia.com pada tanggal 13 september 2011 pukul 20.50

(24)

hibridisasi budaya dan difusi yang mengancam identitas lokal. Perusahaan multinasional dapat dengan mudah, oleh karena itu, menjadi simbol dari sebuah zaman baru eksploitasi, imperialisme, dan kolonialisme.4

Di pasar modal globalpun, CSR juga menjadi faktor yang diperhitungkan. Misalnya New York Stock Exchange (NYSE) saat ini menerapkan program Dow

Jones Sustainable Index (DJSI) untuk saham perusahaan yang dikategorikan

memiliki Social Responsible Investment (SRI). Kemudian Index and Financial

Times Stock Exchange (FTSE) menerapkan FTSE4 Good sejak 2001.

Konsekuensi dari adanya index-index tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan investasinya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam index tersebut.

Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan-perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth

Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma

4

Levy, D. L., & Newell, P, Multinationals in global governance. In S. Vachani (Ed.), Transformations in global governance: Implications for multinationals and other stakeholders, Edward Elgar: London, 2006, hal 56.

(25)

pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat.5

Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility.6

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pada dasarnya mengharuskan perusahaan untuk melakukan bisnis di luar kepatuhan hukum dan kepada pemegang saham untuk tidak maksimalisasi kekayaan melalui keuntungan yang dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa perusahaan harus melakukan lebih dari

5

Mas Achmad Dhaniri. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hal 3. 6

Ibid.,hal 3

(26)

mereka wajib lakukan berdasarkan hukum yang berlaku yang mengatur keamanan produk, perlindungan lingkungan , hak buruh, hak asasi manusia, pengembangan masyarakat, korupsi, dan sebagainya, tetapi juga menunjukkan bahwa perusahaan harus mempertimbangkan tidak hanya kepentingan pemegang saham tetapi juga stakeholder lainnya misalnya, karyawan, konsumen, pemasok, dan masyarakat lokal.

CSR mengharuskan perusahaan untuk memberikan tidak hanya jumlah barang, jasa, dan pekerjaan tetapi juga kualitas hidup orang-orang yang kepentingannya terkena dampak kegiatan perusahaan. Konsep abstrak CSR telah berubah menjadi daftar panjang praktek-praktek perusahaan , namun tidak terbatas pada, sistem manajemen lingkungan, ramah lingkungan dan aman produk, tindakan perlindungan tenaga kerja dan rencana kesejahteraan, filantropi perusahaan dan masyarakat proyek-proyek pembangunan, dan perusahaan sosial dan lingkungan pengungkapan kinerja .7

I.1.1 CSR di Indonesia

Perkembangan dunia bisnis mungkin jauh lebih dinamis daripada dunia politik dan sosial ataupun budaya. Sejalan dengan hal tersebut, dunia bisnis memiliki tantangan yang lebih kompleks serta kecepatan perubahan yang sangat tinggi, namun hasil dan akibatnya dapat dirasakan secara lebih nyata dan segera pula. Perubahan dalam dunia bisnis dapat disebabkan dan dipengaruhi oleh

7

Carroll Archie B, A History Corporate Social Responsibility, dalamA. Crane, A. McWilliams, D. Matten, J.Moon and D. Siegeleds, The Oxford Handbook Of Corporate Social Responsibility, 2008, hal.2.

(27)

perubahan dalam dunia politik, seperti proses demokratisasi dan perkembangan kesadaran hak asasi manusia, dan dunia sosial budaya, dalam bentuk gaya hidup dan perubahan pola konsumsi (Aspinal, 2003). Dinamika dan kompleksitas yang tinggi ini dapat pula dilihat pada sektor produksi industri pertambangan dan migas serta mineral lainnya. Permasalahan dalam sistem produksi tambang bukan sekedar masalah kemampuan modal, teknologi, kebercukupan cadangan mineral serta pasar, melainkan juga oleh legitimasi sosial, yakni diterima-tidaknya kehadiran dan kegiatan sebuah industri dan korporasi di tengah-tengah masyarakat sekitarnya. Konsekuensinnya masalah etika sosial menjadi salah satu permasalahan penting yang harus dihadapi oleh industri dan korporasi tambang dan migas. Banyak opini menggarisbawahi bahwa, pertumbuhan jumlah dan aset korporasi – khususnya multinational corporation (MNC) tambang dan migas – menunjukkan angka yang spektakuler tingginya, namun pertumbuhan ini tidak diikuti dengan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Dengan kata lain, tidak terlihat korelasi positif bahwa pertumbuhan produksi pertambangan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya secara umum.8

Perkembangan program CSR di Indonesia dimulai dari sejarah perkembangan PKBL. Pembinaan usaha kecil oleh BUMN dilaksanakan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang tata cara pembinaan dan pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Pada saat itu, biaya pembinaan usaha kecil

8

(28)

dibebankan sebagai biaya perusahaan. Dengan terbitnya keputusan Menteri Keuangan No.:1232/KMK.013/1989 tanggal 11 Nopember 1989 tentang Pedoman Pembinaan Pengusaha Ekonomi Lemah dan Koperasi melalui Badan Usaha Milik Negara, dana pembinaan disediakan dari penyisihan sebagian laba sebesar 1%-5% dari laba setelah pajak. Nama program saat itu lebih dikenal dengan Program Pegelkop. Pada Tahun 1994, nama program diubah menjadi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (Program PUKK) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.:316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 tentang Pedoman Pembinaan Usaha Keciln dan Koperasi melalui Pemanfaatan Dana dari Bagian Laba Badan Usaha Milik Negara.

Memperhatikan perkembangann ekonomi dan kebutuhan masyarakat, pedoman pembinaan usaha kecil tersebut beberapa kali mengalami penyesuaian, yaitu melalui Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Kepala Badan Pembina BUMN No.: Kep-216/MPBUMN/ 1999 tanggal 28 September 1999 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan BUMN, Keputusan Menteri BUMN No.: Kep-236/MBU/2003 tanggal 17 Juni 2003 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, dan terakhir melalui Peraturan Menteri Negara BUMN No.: Per- 05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

(29)

ini, yakni dalam UU Perseroan Terbatas Pasal 74. Terlepas dari itu, isu tentang

Corporate Social Responsibility (CSR) memang kian hangat. Persoalannya bukan

lagi melulu dari aspek sosial, tetapi sudah jauh merasuk ke aspek bisnis dan penyehatan korporasi. Seiring dengan berkembangnya waktu, CSR tidak lagi dipandang sebagai keterpaksaan, melainkan sebagai kebutuhan. Dari yang semula dianggap sebagai cost, kini mulai diposisikan sebagai investasi. Dalam sebuah ulasan di Majalah Marketing (edisi 11/2007) menegaskan tentang mengapa pula perusahaan harus berinvestasi pada kegiatan CSR? Apakah lantaran moralitas semata atau dia sudah menjadi marketing tools yang efisien? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan manajemen dan divisi marketing sewaktu mempersiapkan strategi CSR. Akan tetapi, perdebatan paling baru tentang CSR adalah soal imbas program tersebut pada profit perusahaan. Para pelaku dituntut untuk ikut memikirkan program yang mampu mendukung sustainability perusahaan dan aktivitas CSR itu sendiri.

Dalam hal ini, strategi perusahaan mesti responsif terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi bisnis, seperti perubahan global, tren baru di pasar, dan kebutuhan stakeholders yang belum terpenuhi.9 Berkaitan dengan masalah imbas tadi, Global CSR Survey paling tidak bisa memperlihatkan betapa pentingnya CSR. Bayangkan, dalam survey di 10 negara tersebut, mayoritas konsumen (72%) mengatakan sudah membeli produk dari suatu perusahaan serta merekomendasikan kepada yang lainnya sebagai respon terhadap CSR yang dilakukan perusahaan tersebut. Sebaliknya, sebanyak 61% dari mereka sudah

9

(30)

memboikot produk dari perusahaan yang tidak punya tanggung jawab sosial. CSR kini bukan lagi sekadar program charity yang tak berbekas. Melainkan telah menjadi pedoman untuk menciptakan profit dalam jangka panjang (CSR for

profit). Karena itu, hendaknya kegiatan sosial yang dijalankan harus berhubungan

dengan kepentingan perusahaan dan harus mendukung core business perusahaan.10

Philip Kotler, dalam buku CSR: Doing the Most Good for Your Company

and Your Cause, membeberkan beberapa alasan tentang perlunya perusahaan

menggelar aktivitas itu. Disebutkannya, CSR bisa membangun positioning merek, mendongkrak penjualan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan loyalitas karyawan, mengurangi biaya operasional, serta meningkatkan daya tarik korporat di mata investor.11 Menurut Godo Tjahjono, Chief Consulting Officer Prentis, CSR memang punya beberapa manfaat yang bisa dikategorikan dalam empat aspek, yaitu: license to operate, sumber daya manusia, retensi, dan produktivitas karyawan. Dari sisi marketing, CSR juga bisa menjadi bagian dari brand

differentiation.12 Sampai saat ini banyak perusahaan-perusahaan raksasa dunia

untuk menerapkan program kepedulian sosial. Semoga ini tak hanya jadi sekedar angin segar ditengah kekosongan issu saja, melainkan mampu menjadi virus baik yang menyebar cepat di Indonesia.13

10 Ibid.,

11

Philip Kotler. Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. New York, Thomas Dunne Books., 2007, hal. 33.

12

Majalah Marketing, Edisi 11/2007

13

Di sarikan dari berbagai sumber – Cikeas Magazine ”CSR dari mana datangnya”, Vol 1 No4/07, Majalah Marketing, ”CSR for Profit”, edisi 11/2007, dan Societa, “Sejarah Panjang Konsep CSR”, 12/2006.

(31)

Istilah CSR di Indonesia semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social

Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai

CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi social perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.

Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak (for better or worse), bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.14 Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan. Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya.

14

(32)

Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.

Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan social dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.

(33)

perkembangan berita di media massa yang menyangkut pembahasan pasal 74, sesungguhnya rumusan itu sudah mengalami penghalusan cukup lumayan lantaran kritikan keras para pelaku usaha. Tadinya, tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi berlaku untuk semua perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri, atau masihdalam kondisi merugi.

(34)

pemerintah dan masyarakat setempat dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh masing-masing perusahaan. Dengan demikian adalah tidak mungkin untuk mengukur pelaksanaan CSR. Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance yang mestinya didorong melalui pendekatan etika maupun pendekatan pasar (insentif). Pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam kaitan untuk menyamakan level of playing field pelaku ekonomi. Sebagai contoh, UU dapat mewajibkan semua perseroan untuk melaporkan, bukan hanya aspek keuangan, tetapi yang mencakup kegiatan CSR dan penerapan GCG.

(35)

dengan sanksinya pada pasal 74 ayat 3. Sanksi apabila tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan tidak diatur dalam UU PT tetapi digantungkan kepada peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Demikian juga pada pasal 74 tersirat bahwa PT yang terkena tanggung jawab sosial dan lingkungan, dibatasi namun dalam penjelasannya dapat diketahui bahwa semua perseroan terkena kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena penjelasan pasal 74 menggunakan penafsiran yang luas. Hal ini dapat dilihat pada bunyi pasal 74 ayat 1 dimana perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, sedangkan pada penjelasan pasal 74 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan kegitan usahanya di bidang sumber daya alam adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Berikutnya yang dimaksud dengan perseroan yang menjalankan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi sumber daya alam. Dengan demikian jelas tidak ada satupun perseroan terbatas yang tidak berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam.

(36)

dan standar lingkungan hidup. Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada dunia usaha. CSR adalah konsep yang terus berkembang baik dari sudut pendekatan elemen maupun penerapannya. CSR sebenarnya merupakan proses interaksi sosial antara perusahaan dan masyarakatnya. Perusahaan melakukan CSR bisa karena tuntutan komunitas atau karena pertimbangannya sendiri. Bidangnya pun amat beragam ada pada kondisi yang berbeda-beda.

Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana. Semua proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang dari pada Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, telah menyatakan sikapnya, CSR bukan sesuatu yang akan diatur.15

15

(37)

Permasalahan antara masing-masing agen yang terlibat dalam relasi dalam struktur yang terwujud dalam undang-undang tersebut tidak hanya berhenti pada hal pembahasan ketika pada proses undang-undang tersebut disahkan. Akan tetapi agen yang dalam hal ini ialah yang mewakili pihak pengusaha yang tergabung dalam KADIN mengajukan gugatan kepada MK (Mahkamah Konstitusi) mengenai uji material terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam meskipun pada akhirnya gugatan tersebut di tolak.

(38)

secara khusus dalam undang-undang tersendiri, tetapi cukup diatur dalam peraturan pelaksanaannya, dengan mengacu pada nilai-nilai atau asas-asas yang terkandung dalam Pancasila UUD 1945 dan kearifan lokal yang merupakan kristalisasi nilai budaya masyarakat Indonesia.

Berdasarkan temuan data penelitian sebelumnya dapat mengenai implikasi proses pelaksanaan CSR tidak perlu diatur secara khusus melalui undang-undang, karena hal ini juga akan memberikan respon dari masing-masing agen yang berkepentingan terhadap regulasi mengenai CSR itu sendiri. Hal tersebut ditunjukan bahwa setelah UU PT yang mengatur wajibnya CSR itu sendiri tidak ditindaklanjuti dengan PP (Peraturan Pemerintah) sebagai hal yang mengatur secara teknis tentang pelaksanaan CSR.

I.1.2 CSR di Jawa Timur

(39)

munculnya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 tahun 2011 tentang tanggung jawab sosial perusahaan.

Perda yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan ini merupakan perda modifikasi dari 3 Undang-Undang, yakni UU No 19 tentang BUMN, UU No 25 tentang penanaman modal, dan UU No 40 tentang perseroan terbatas. Dalam hal ini, perusahaan termasuk bagian dari masyarakat, sehingga sewajarnya apabila perusahaan memberikan kompensasi pada masyarakat. Perda No 4/2011 itu diharapkan dapat menciptakan jejaring yang terkoordinasi dalam pelaksanaan CSR guna mencegah terjadinya pungutan liar atau pemaksaan yang dilakukan oleh oknum tertentu atas nama instansi tertentu dengan meminta sumbangan pada perusahaan. Perda ini berada di ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta sebagai kompensasi pemulihan dan peningkatan fungsi lingkungan hidup, sekaligus memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas yang berbasis kerakyatan.

(40)

Hal ini yang mendorong peneliti untuk mencari apakah ada relasi kepentingan antara masing-masing agen dalam struktur sehingga terbentuk Perda tersebut. Terkait dengan CSR, analisis mengenai teori strukturasi sangatlah relevan untuk menganalisa permasalahan tersebut. CSR kerap kali dianggap sesuatu yang mewajibkan dan memberatkan bagi para pengusaha karena terlalu banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan diluar pajak pajak yang telah ditentukan. Diwajibkannya CSR dalam ruang lingkup dunia usaha yang ada di Jawa Timur melalui Perda TSP, dapat diamati mengenai relasi antara masing-masing agen yang telah membentuk struktur yang ada. Struktur jika diartikan oleh Giddens ialah sebuah aturan atau sumberdaya, jadi yang dimaksud struktur itu sendiri ialah Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di Jawa Timur.

(41)

I. 2 Fokus Penelitian

Kelahiran CSR yang merupakan sebuah respon msyarakat global terhadap proses industrialisasi yang dilakukan oleh korporasi MNC/TNC yang secara nyata menyebabkan masalah ekologi, pelanggaran HAM, dan permasalahan sosial lainya yang perlu untuk segera ditangani. Fakta-fakta kerusakan ekologi pada tingkat planet antara lain dapat dilihat dari lahan pertanian, hutan hujan dan hutan daerah, padang rumput dan sumber air tawar semua berisiko. Pada tingkat global, lautan, sungai dan ekosistem air lainnya mengalami kerusakan. Seiring dengan perkembangannya, CSR ini dianggap sebagai bentuk invisible hand dari korporasi untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat global, sehingga bisa melakukan proses produksi secara berkelanjutan.

CSR dinilai sebagai produk internasional, yang dalam tujuan awalnya merupakan kerangka besar agenda pembangunan dunia yang ingin mengentaskan permasalahan yang ada di dunia khususnya di negara-negara berkembang terutama bertujuan mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu diambilah kebijakan oleh PBB bahwasanya pihak korporasi / nonstate harus membantu dalam permasalahan pembangunan yakni melalui program CSR.

(42)

keputusan tersebut sudah final dengan dikuatkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam putusannya 15 April 2009 menolak gugatan uji material oleh Kadin terhadap pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mengenai kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) bagi perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Tidak hanya itu respon mengenai CSR tersebut hingga pada pemerintahan daerah, dalam hal ini ialah pemerintahan provinsi Jawa Timur yang mengeluarkan Perda No 4/2011 sebagai salah satu bentu upaya untuk mensinergiskan hubungan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat melalui pengaturan CSR yang sudah ditetapkan dalam Perda tersebut. Latar belakang mengenai munculnya Perda tersebut karena dinilai Jawa Timur mempunyai potensi besar berupa dana triliunan rupiah yang bisa digalang dari perusahaan-perusahaan khususnya BUMN yang ada di Jawa Timur guna membantu peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan masyarakat Jawa Timur melalui program CSR perusahaan tersebut.

(43)

Berdasarkan dari penjelasan tersebut, maka secara lebih rinci penelitian hendak menjawab pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana relasi agen-struktur dalam implikasi Perda Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) Jawa Timur ?

2. Bagaimana bentuk relasi antara Pemerintah (state), Perusahaan (Market) dan Masyarakat (civil society) melalui Perda Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) di Jawa Timur ?

I.3. Tujuan Penelitian

Menimbang dari kajian teoritik yang diangkat oleh penulis, tidaklah terlalu berlebihan apabila penelitian ini bertujuan melakukan analisa mengenai relasi yang terbangun dalam implikasi Perda TSP Jatim dalam praktek CSR BUMN di Jawa Timur dengan menggunakan analisis teori strukturasi.

(44)

I.4. Manfaat Penelitian

Bagi akademis :

• Memberikan kontribusi baru bagi studi-studi Sosiologi dalam relasi sosial

yang ada dalam masyarakat khususnya relasi antara agen dan struktur. • Menawarkan alternatif yang berpotensi sebagai alat analisis dalam

studi-studi Sosiologi Bagi praktis :

• Diharapkan dapat membuka pemikiran masyarakat tentang konsistensi

(45)

BAB II

PERSPEKTIF TEORITIS

II. 1 Teori Strukturasi – Anthony Giddens

II.1.1 Dualitas dalam Strukturasi

Konsep strukturasi dalam teori sosiologi Anthony Giddens cukup populer dalam kajian sosiologi kontemporer, namun sebagai suatu teori atau metodologi konsep Giddens tersebut terkesan agak sulit dipahami dan seolah abstrak. Tetapi ketika dipahami dan dielaborasi secara lebih luas konsep strukturasi sebenarnya cukup menarik dan dapat dijadikan alat analisis yang tajam terutama mengenai relasi antara agen (aktor) dan struktur (sistem) dalam kehidupan masyarakat sebagai fakta sosial yang objektif.

Strukturasi (Structuration) merupakan konsep sosiologi utama Anthony Giddens sebagai kritik terhadap teori fungsionalisme dan evolusionisme dalam teori strukturalisme. Inti teori strukturasi terletak pada tiga konsep utama yaitu tentang “struktur”, ”sistem”, dan “dualitas struktur”16, lebih khusus lagi dalam hubungannya antara agen (pelaku, aktor) dan struktur. Menurut Giddens, seperti dikutip Ritzer dan Goodman, bahwa “Setiap penelitian ilmu sosial atau sejarah pasti melibatkan pengaitan tindakan (seringkali digunakan secara sinonim dengan

agensi) dengan struktur…tidak mungkin struktur ‘menentukan’ tindakan atau

16

Anthony Giddens. Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal 25.

(46)

sebaliknya”17. Giddens dengan teori strukturasinya menekankan kajian pada “praktik sosial yang tengah berlangsung” sebagaimana dinyatakannya, bahwa “ranah dasar studi ilmu-ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individu, ataupun eksistensi bentuk totalitas sosial apapun, melainkan praktik yang ditata di sepanjang ruang dan waktu”18.

Strukturasi memandang pentingnya praktik sosial baik dalam aksi maupun struktur kehidupan masyarakat. Strukturasi mengacu pada “suatu cara dimana struktur sosial (social structure) diproduksi, direproduksi, dan diubah di dalam dan melalui praktik”. Pengertian strukturasi dikaitkan dengan konsep dualitas struktur, dimana struktur-struktur diproduksi dan direproduksi baik oleh tindakan-tindakan manusia maupun melalui medium tindakan-tindakan sosial. Teori strukturasi Giddens mencakup tentang kemampuan intelektual aktor-aktor, dimensi spasial dan temporal tindakan, keterbukaan dan kemungkinan tindakan dalam kehidupan sehari-hari, dan kekeliruan pemisahan antara agen dan struktur (agency and

structure) dalam sosiologi. Melalui teori strukturasi Ginddens berusaha untuk

melampaui batas-batas fungsionalisme dan kegigihannya dalam mentransforma-sikan dikotomi antara agen dan struktur telah diterima dalam lingkungan sosiologi mutakhir. Tetapi teori strukturasi masih juga menjadi bahan perdebatan kritis

17

Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir, terjemahan Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2008, hal 568. 18

Ibid, hal 569.

(47)

menyangkut kegagalannya untuk menghasilkan program tersendiri dalam riset empirik dari sudut pandang hipotesis yang teruji.19

Menurut teori strukturasi, domain dasar ilmu-ilmu sosial bukanlah pen-galaman masing-masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kema-syarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi sepanjang ruang dan waktu. Aktivitas-aktivitas sosial manusia, seperti halnya benda-benda alam yang berkembang biak sendiri, saling terkait satu sama lain. Maksudnya, aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus menerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka, para agen memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu.20

Telaah kritis Giddens jauh lebih luas, mencakup kritik terhadap materialisme-historis, fenomenologi, teori pilihan-rasional dalam ekonomi, teori komunikasi Habermas, dan sebagainya. Melalui telaah kritis itu, setidaknya ada dua tema sentral yang menjadi poros pemikiran Giddens sendiri, yaitu hubungan antara struktur (structure) dan pelaku (agen-cy), serta sentralitas ruang (space) dan waktu (time).

Pertama, hubungan pelaku dan struktur. Menjelaskan bahwa pelaku berbeda dengan struktur sama dengan mengatakan sesuatu yang sudah jelas.

19

Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, dan Bryan S. Turner. Kamus Sosiologi, terjemahan Desi Noviyanti dkk., Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010, hal, 560.

20

Anthony Giddens, Teori Strkturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 201,. hal. 3.

(48)

Begitu pula mengatakan bahwa struktur terkait dengan pelaku, dan sebaliknya, tidak mengatakan banyak hal. Masalah mendasar terletak dalam pertanyaan berikut. Perbedaan (atau kaitan) pelaku dan struktur berupa dualisme (tegangan atau bertentangan) ataukah dualitas (timbal-balik)? Giddens melihat bahwa ilmu sosial dijajah oleh gagasan dualisme (dualism) pelaku versus struktur. Ia memproklamirkan hubungan keduanya sebagai relasi dualitas (duality): “tindakan dan struktur saling mengandaikan”. Sebagaimana akan kita temui, apa yang terdengar sederhana ini tidak semudah yang kita bayangkan.

Yang disebut pelaku adalah orang-orang yang konkret dalam “arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia”. Adapun struktur bukanlah nama bagi totalitas gejala, bukan kode tersembunyi seperti dalam strukturalisme, bukan pula kerangka keterkaitan bagian-bagian dari suatu totalitas dalam fungsionalisme. Struktur adalah “aturan (rules) dan sumber daya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial”. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses dimana “struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) praktik sosial”. Struktur sejajar dengan langue (yang mengatasi ruang dan waktu), sedangkan praktik sosial analog dengan parole (dalam waktu dan ruang). Berdasar pronsip dualitas antara struktur dan pelaku ini, Giddens kemudian membangun suatu Teori Strukturasi.

(49)

(stage), kemana kita masuk, dari mana kita keluar. Diilhami oleh filsafat Martin

Heidegger, Giddens menyatakan bahwa waktu dan ruang bukanlah arena atau panggung tindakan, melainkan unsur kontitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Artinya, tanpa waktu dan ruang, tidak ada tindakan. Kerana itu waktu dan ruang harus menjadi unsur integral dalam teori ilmu-ilmu sosial.

Pokok ini juga yang membuat Giddens menamakan teorinya sebagai ‘struktur-asi’, sebagaimana setiap akhiran ‘is(asi)’ menunjuk pada kelangsungan proses. Artinya, waktu dan ruang merupakan unsur yang tidak-bisa tidak bagi terjadinya peristiwa atau gejala sosial. Konstitusi waktu-ruang ini sedemikian sentral dalam gagasan Giddens. Bagi Giddens, misalnya, perbedaan bentuk-bentuk masyarakat bukan terletak pada perbedaan cara produksi sebagaimana yang diajukan Karl Marx, melainkan pada cara masing-masing masyarakat mengorganisir hubungan antara waktu dan ruang. Negara (state) merupakan “bejana pemuat kekuasaan” (power container) yang didasarkan pada kontrol atas pengaturan waktu dan ruang. Modernitas merupakan gejala pemisahan waktu dari aksi ruang. Globalisasi sebagai perentangan sekaligus pemadatan waktu dan ruang

(time space distinciaton), atau “aksi dari kejauhan”.

II.1.2 Relasi Agen - Stuktur

(50)

waktu. Aktifitas-aktifitas sosial manusia, seperti halnya benda-benda alam yang yang berkembang biak sendiri, saling terkait satu sama lain. Maksudnya, aktifitas-aktifitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus-menerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas mereka, para agen mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu.21

Inti teori strukturasi Giddens, dengan fokusnya pada praktik-praktik sosial, adalah suatu teori mengenai hubungan antara agensi dan struktur. Menurut Richard J. Berstein:”Inti persis teori strukturasi dimaksudkan untuk menjelaskan dualitas dan pengaruh-mempengaruhi dualektis antara agensi dan struktur”(1989:23). Oleh karena itu, agensi dan struktur tidak dapat dianggap sebagai bagian dari satu sama lain; mereka adalah adalah suatu dualitas, semua tindakan sosial meliputi struktur, dan semua struktur meliputi tindakan sosial. Agensi dan struktur terjalin tidak terpisahkan di dalam kegiatan atau praktik-praktik manusia yang berkelanjutan.22

Konsisten dengan penekanannya pada agensi, Giddens memberi kekuasaan yang besar pada sang agen. Dengan kata lain, para agen (giddens) mempunyai kemampuan untuk membuat suatu perbedaan di dalam dunia sosial. Bahkan lebih kuat lagi, para agen tidak bermakna tanpa kekuasaan; yakni, seorang aktor berhenti menjadi seorang agen jika dia kehilangan kecakapan untuk

21

Ibid., hal 3

22

George Ritzer, TEORI SOSIOLOGI:Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hal 889

(51)

membuat perbedaan. Giddens tentu saja mengakui bahwa ada pembatas-pembatas untuk para aktor, tetapi hal itu tidak berarti bahwa para aktor tidak mempunyai pilihan-pilihan dan tidak membuat perbedaan. Bagi Giddens, kekuasaan secara logis lebih dahulu daripada subjektifitas karena tindakan melibatkan kekuasaan, atau kemampuan mengubah situasi. Dengan demikian, teori strukturasi Giddens memberi kekuasaan pada aktor dan tindakan dan berlawanan dengan teori-teori yang tidak dengan orientasi demikian dan sebagai gantinya memberi nilai penting karena maksud sang aktor (fenomenologi) atau kepada struktur eksternal (fungsionalisme struktural).23

Inti konseptual teori strukturasi terletak pada pada ide-ide mengenai struktur, sistem, dan dualitas struktur itu. Struktur didefinisikan sebagai “sifat-sifat penyusun (aturan-aturan dan sumber-sumber daya... “sifat-sifat-“sifat-sifat yang memungkinkan adanya praktik-praktik sosial serupa yang dapat dilihat membentang rentang ruang dan waktu dan yang memberi bentuk sistematik pada mereka”(Giddens, 1984:17). Struktur dimungkinkan oleh adanya aturan-aturan dan sumber daya-sumber daya. Struktur-struktur itu sendiri tidak ada dalam ruang dan waktu. Lebih tepatnya, fenomena sosial mempunyai kapasitas untuk menjadi terstruktur. Giddens berpendapat bahwa “struktur hanya ada di dalam dan melalui kegiatan agen-agen manusia”. Oleh karena itu, Giddens memberikan suatu definisi struktur yang sangat tidak lazim yang tidak mengikuti pola Durkhemian yang memandang struktur-struktur sebagai hal yang eksternal dan memaksa bagi aktor. Dia berhati-hati utuk menghindari kesan bahwa struktur adalah “diluar”

23

Ibid., hal 892

(52)

atau “eksternal” bagi tindakan manusia. “Dalam pemakaian saya, struktur adalah apa yang memberi forma dan bentuk itu”.24

Dualitas terletak dalam fakta bahwa suatu ‘struktur mirip pedoman’ yang menjadi prinsip praktik-praktik diberbagai tempat dan waktu tersebut merupakan hasil perulangan berbagai tindakan kita. Namun sebaliknya, skemata yang mirip ‘aturan’ itu juga menjadi sarana (medium) bagi berlangsungnya praktik sosial kita. Giddens menyebut skemata itu struktur. Sebagai prinsip praktik entah di Jakarta atau Medan, tahun 1992 maupu 1997, sifat struktur adalah mengatasi waktu dan ruang (timeless and spaceless) serta maya (virtual), sehingga bisa diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi. Berbeda dengan pengertian Durkheimian tentang struktur yang lebih bersifat mengekang (constraining), struktur dalam gagasan Giddens juga bersifat memberdayakan (enabling): memungkinkan terjadinya praktik sosial. Itulah mengapa Giddens melihat struktur sebagai sarana (medium dan resources). Bila kita mengendarai sepeda motor atau mobil, dan kita menyalakan lampu tanda akan belok kiri, tindakan kita menyalakan lampu itu tidak akan dipahami oleh pengendara di belakang atau di depan kecuali sudah ada skemata tata lalu-lintas yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Adanya skemata itu (dalam hal aturan lalu-lintas) memungkinkan kita melakukan tindakan belok kiri dengan aman. Itulah struktur.25

24

Ibid., hal 892 25

Priyono. B. Herry, “Anthony Giddens”: suatu pengantar, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2002, hal 22-23

(53)

Meskipun bersifat obyektif, obyektifitas struktur sosial Berbeda dengan watak obyektif struktur dalam madzhab fungsionalisme maupun strukturalisme, dimana struktur menentang dan mengekang pelaku. Bagi Giddens, obyektivitas struktur tidak bersifat eksternal melainkan melekat pada tindakan praktik sosial yang dilakukan. Struktur bukanlah benda melainkan “skemata yang hanya tampil dalam praktik sosial kita”.26

Dari berbagai prinsip struktural, Giddens terutama melihat tiga gugus besar struktur. Pertama, struktur penandaan atau signifikansi (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum.27 Dari contoh diatas, menyebut pengajar dengan istilah’guru’ atau menyalakan lampu tanda belok kiri merupakan praktik sosial pada gugus struktur signifikansi. Menyimpan uang di Bank merupakan praktik sosial dalam bingkai struktur dominasi ekonomi (kontrol atas uang atau barang). Pemungutan suara dalam pemilu juga merupakan praktik pada sosial dalam bingkai struktur dominasi ekonomi (kontril atas uang atau barang). Pemungutan suara dalam pemilu juga merupakan praktik pada lingkup struktur dominasi, namun menyangkut penguasaan atas orang (politik). Razia polisi lalu-lintas

26

Dikutip dari Priyono. B. Herry, 2002, hal 24-25, lihat jugaThe Constitution of Society, 1984, Cambridge: Plity Press, hal 25

27

Ibid, hal 29

(54)

terhadap para pengendara sepeda motor atau mobil yang tidak membawa SIM merupakan praktik sosial dalam bingkai struktur legitimasi.

Dalam gerak praktik-praktik sosial, ketiga gugus prinsip struktural tersebut terkait satu sama lain. Struktur signifikansi pada gilirannya mencakup struktur dominasi dan legitimasi. Contohnya, skemata signifikansi ‘orang yang mengajar disebut guru’ pada gilirannya menyangkut skemata dominasi ‘otoritas guru atas murid’ dan skemata legitmasi hak guru atas ‘pengadaan ujian’ untuk menilai proses belajar murid. Hal yang sama juga berlaku bagi struktur dominasi dan legitimasi. Ringkasan berikut ini mungkin berguba :28

S-D-L : tata simbol/ wacana - lembaga bahasa/wacana

D (Autorisasi/orang)-S-L : tata politik - lembaga politik

D (alokasi/barang/hal)-S-L : tata ekonomi - lembaga hukum

L-D-S : tata hukum - lembaga hukum (Keterangan : S = Signifikansi, D = Dominasi, L= Legitimasi)

Gambar. II.1 Skema Struktur

28

Dikutip dari Priyono. B. Herry, 2002, hal 24-25; lihat juga daam The Constitution of Society, 1984, Cmabridge: Polity Press, hal 33.

(55)

Bagaimana kaitan tiga prinsip struktural (struktur/skemata) itu dengan praktik sosial? Skemata di bawah ini menyajikan pola hubungan antara keduannya:29

STRUKTUR =

(sarana-antara) =

INTERAKSI =

Gambar. II.2 Skema Strukturasi

Pada gambar tersebut, dualitas antara struktur dan pelaku berlangsung sebagai berikut. Ambilah pengertian struktur sebagai sarana praktik sosial. Tindakan dan praktik sosial seperti berbicara, berdiskusi, ataupun menulis (komunikasi) mengandaikan struktur penandaan tertentu, misalnya suati tata bahasa yang dipahami oleh orang-orang dalam masyarakat yang menjadi tujuan tindakan berbicara atau menulis itu. Demikian pula penguasaan dan penggunaan aset finansial (ekonomi) atau kontrol seorang kapten atas sersan, atau juga penguasaan dan pengontrolan majikan atas buruh (poilitik), mengandaikan

29

Ibid., lihat juga daam The Constitution of Society, 1984, Cmabridge: Polity Press, hal 29. sangsi kekuasaan

komunikasi Bingkai interpretasi

fasilitas norma

legitimasi dominasi

signifikan

(56)

skemata dominasi. Pola yang sama juga berlaku pada tindakan guru menghukum murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Pemberian sangsi pada murid itu melibatkan struktur legitimasi.30

Sekarang kita siap untuk konsep strukturasi, yang didasarkan pada ide bahwa”konstitusi pada agen-agen dan struktur-struktur bukanlah dua kumpulan fenomena tertentu yang independen, suatu dualisme, tetapi menggambarkan dualitas... sifat-sifat struktural sistem-sistem sosial adalah medium maupun hasil dari praktik-praktik yang diorganisasikan secara berulang”, atau “momen produksi tindakan juga momen reproduksi di dalam konteks penetapan kehidupan sosial sehari-hari”. jelaslah bahwa strukturasi meliputi hubungan dialektis antara struktur dan agensi. Struktur dan agensi adalah suatu dualitas; tidak ada yang eksis tanpa lainnya.31

Terkait dengan CSR, analisis mengenai teori strukturasi sangatlah relevan untuk menganalisa permasalah tersebut. CSR kerap kali dianggap sesuatu yang mewajibkan dan memberatkan bagi para pengusaha karena terlalu banyak biaya yang harus dikeluarkan diluar pajak yang telah ditentukan. Akan tetapi jika bisa kita amati, dengan diwajibkannya CSR dalam lingkup dunia usaha yang ada di Jawa Timur melalui Perda yang telah ada, kita bisa mencari mengenai relasi antara masing-masing agen yang telah membentuk struktur tersebut. Struktur jika diartikan oleh Giddens ialah sebuah aturan atau sumberdaya, jadi yang dimaksud

30

Ibid., hal 26 31

Ibid., hal 894

(57)

struktur itu sendiri ialah Perda No 4 Tahun 2011 yang mengatur mengenai pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang ada di Jawa Timur.

Gambar II. Relasi Triparid

Gambar II.4 Relasi Dialektika

Perda TSP JATIM

(Struktur) Struktur (Perda TSP Jatim)

Agen

(State)

Agen

(Civil Society)

Agen

(Market)

Pemerintah

(Agen)

Market

(Agen)

Civil Society

(58)

Jika berbicara struktur tak lepas kita juga menganalisa agensi, karena Giddens pun menjelaskan antara struktur dan agensi adalah hal yang dualitas. Dalam hal ini agensi yang dimaksud ialah ialah para aktor yang terkait dalam keterlibatan struktur tersebut yakni antara pihak negara, perusahaan dan civil

society. Dengan demikian penelitian ini akan mencoba menjelaskan pertautan atau

dualitas dalam Perda tersebut.

II.2 Dialektika Negara, Masyarakat, dan Pasar

….there can be no theory of state without theory of civil society, and, correspondingly, there is no theory of civil society

without theory of the state”.32

II.2.1 Negara (State)

Dalam menyelidiki dan menentukan asal mula negara itu yang menjadi tujuan ialah, asal mula dari negara yang sebenarnya, atau negara yang ideal. Dan datangnya soal ini pada ide negara. Apa negara itu sebenarnya, tentu tidak lebih dari satu jawabannya. Hanya dalam kenyataanya terdapat bermacam-macam bentuk dan corak negara. Keadaan ini dapat dipahami menurut dua hal, yaitu, negara itu dapat dipandang sebagai realisasi, penjelmaan ide-negara dalam kenyataanya dan dalam hal ini ditinjau dengan berpangkal pokok pada ide-negara itu, atau soal ini dapat juga ditinjau dari negara yang ada dan diselidiki dan

32

Neera Candhoke, State and Civil Society, Explorations in Political Theory, SAGE Publication Pvt. Ltd, 1995, hal 13.

(59)

ditetapkan elemen-elemen apakah dari ide-negara itu terlaksana dan terdapat pada negara itu.33

Satu hal yang pasti dan bisa disetujui bersama dalam memahami fenomena negara yaitu bahwa ia muncul dalam sejarah sebagai jawaban atas krisis yang mendalam dan luas yang menimpa beberapa entitas sosial, politik dan ekonomi di beberapa kawasan eropa pada penggal terakhir Abad-Tengah, yang kemudian berlanjut sampai abad keenambelas, yang oleh Fernand Braudel disebut sebagai abad “panjang”dalam sejarah eropa. Kompleksitas dan misteri yang menyelubungi fenomena negara dengan jelas dicerminkan dalam pikiran-pikiran yang terkandung dalam beberapa konstruksi teori dan argumentasi pada abad kesembilan belas. Beberapa teoritisasi klasik seperti Marx, Webber, dan Durkheim, telah mencari jawaban pada hampir seluruh kecenderungan sosial, ekonomi dan politik yang kuat yang berkembang sejak abad keenambelas di Eropa. Marx misalnya, telah mencari jawaban pada struktur ekonomi, arah dan lingkungan sejarah, latar belakang feodalisme, keterhubungan dan kebebasannya dengan masyarakat sipil, birokrasi, pembagian kerja dan evolusi masyarakat secara keseluruhan. Durkheim mencarinya pada pembagian kerja sosial, sentralitas, hukum administrasi, organ masyarakat dan rasionalitas, kebebasan individu, otoritas dan hirarki dan pada perkembangan patologis. Sedangkan Weber mencarinya pada kekuasaan, dominasi dan penaklukan, birokrasi hukum,

33

Gambar

Gambar. II.2 Skema Strukturasi
Gambar II. Relasi Triparid
Gambar II.5  Negara, Pasar dan Civil Society
Gambar. V.1 Skema Agensi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses perancangan seni lingkungan pada Green Collaboration #3 menghasilkan pengalaman antara lain terdapat 3 kelompok besar

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa gender tidak memoderasi pengaruh pendapatan terhadap pengelolaan keuangan pribadi Antara laki – laki dan perempuan tidak

Dengan demikian penulis melakukan skripsi ini untuk membangun Sistem Informasi Manajemen Pada Rumah Sakit Khusus Paru- paru Palembang dengan tujuan untuk memudahkan pihak

Sistem Prosedur Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di DPPKAD Kota Gorontalo sudah sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 yang

Nasihat Paulus tentang memberikan teladan sebagai kualifikasi kepemimpinan orang muda, menjadi sebuah refleksi bagi mahasiswa teologi yang dipersiapkan menjadi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mangambil kesimpulan bahwa BLH sudah menjalankan langkah pengendalian, tetapi belum

Pupuk kandang sapi sebagai penyedia bahan organik yang ditambahkan ke dalam tanah menyediakan zat pengatur tumbuh tanaman yang memberikan keuntungan bagi pertumbuhan

Corey menyatakan bahwa penafsiran ini sebaiknya dimulai pada hal-hal yang bersifat tidak penting (surface) dan pada saatnya konseli telah siap untuk membicarakan hal yang lebih