BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Trauma Toraks
2.2.3. Klasifikasi
2.2.3.1. Trama tajam toraks
Luka tusuk di toraks dapat terjadi oleh benda tajam seperti pisau, belati, potongan kaca atau logam lainnya. Bentuk luka ini tidak khas, karena elastisitas kulit yang biasanya akan mengecilkan luka tembus.(Kuhajda et al., 2014)
Keparahan penusukan tergantung pada titik masuk ke toraks (luka di bawah puting depan dan sudut scapular inferior di belakang harus dianggap sebagai luka thoraco-abdominal) yang organnya telah terluka (pembuluh dinding toraks, paru-paru, jantung, toraks besar pembuluh darah, pleura visceral, esofagus, diafragma), bentuk dan ketajaman benda tembus dan akhirnya menembus organ dalam toraks. Dalam banyak kasus, objek penusukan menembus dinding toraks yang melukai pembuluh darah interkostal dan dengan ujung pleura visceral, berkontribusi mengalami pneumotoraks atau hematopneumotoraks.(Gopinath, 2004; Kuhajda et al., 2014)
Manifestasi klinis dari luka tembus adalah nyeri pada titik penusukan, batuk akibat iritasi dinsing toraks dan nafas pendek. Saat pengangkatan benda yang menusuk dari luka, pendarahan yang banyak biasanya muncul. Bekuan darah dan jaringan yang menutupi dinding toraks dapat menutupi luka tikaman yang mengubah pneumotoraks terbuka menjadi tension pneumotoraks. Pendarahan dari luka biasanya berasal dari pembuluh darah interkostal, karena mereka adalah bagian dari sirkulasi sistemik.(Kuhajda et al., 2014; McGonigle and McManus, 2014)
2.2.3.2. Trama tumpul toraks
Cedera toraks tumpul termasuk kontusio dan hematoma di dinding toraks, fraktur tulang rusuk, cedera tumpul ke parenkim paru, cedera traumatis pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks traumatik, dan haemothoraks traumatik.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)
Trauma tumpul toraks adalah diagnosis kedua yang paling umum, di samping cedera ekstremitas, pada pasien dengan trauma multipel.(Zehr, Klar and Malthaner, 2015) Trauma toraks terisolir ditemukan pada 67% dan trauma toraks terkait terjadi pada 33% pasien dengan trauma multipel. Pada pasien, kematian
9
terkait dengan cedera toraks sekitar 7,8% dan morbiditas terlihat pada 21,3%
pasien.(Subhani, Muzaffar and Khan, 2014)
Dinding toraks yang mengalami memar dan hematoma adalah cedera toraks yang paling umum. Sebagai akibat dari trauma tumpul ke dinding toraks, perdarahan masif dapat terjadi karena pembuluh darah yang terluka di kulit, jaringan subkutan, otot, dan pembuluh darah interkostal. Hematoma perdarahan atau ekstrapleural, terlihat pada X-ray sebagai model setengah lingkaran yang tumbuh dari pleura, dapat muncul di dinding toraks, otot-otot dinding toraks, di sekitar tulang rusuk dan di ruang sub-pleura. Kebanyakan haematoma ekstrapleural tidak memerlukan pembedahan karena perdarahan tidak signifikan.
Hanya hematoma yang besar atau infeksi hematoma yang memerlukan intervensi bedah.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)
Fraktur tulang rusuk adalah salah satu cedera toraks yang paling umum, sebagai akibat dari gaya tumpul langsung atau tidak langsung. Fraktur tulang rusuk terjadi pada sekitar 35% - 40% dari cedera toraks. Karakteristik luka rusuk tergantung pada jenis dampak terhadap dinding toraks. Fraktur iga spontan dapat disebabkan oleh batuk yang kronis (dari tulang rusuk VI hingga IX).(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)
Flail chest adalah kondisi medis ketika beberapa tulang rusuk yang berdekatan mengalami fraktur segmental secara unilateral atau bilateral terjadi di area costo-chondral yang dapat berhubungan dengan / tanpa fraktur sternum.
Frekuensi flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan di jalan raya. Pada kelainan ini, segmen dinding toraks bergerak secara paradoks, selama fase inspirasi tertarik ke dalam, sedangkan fase ekspirasi terdorong keluar, mencegah aliran udara ke sisi yang terluka.
Kontusio Paru merupakan kondisi dimana terjadi cedera pada kapiler alveoli, tanpa robekan atau potongan pada jaringan paru. Ini berakibat pada akumulasi darah dan cairan pada jaringan paru. Akumulasi dari cairan berakibat gannguan pertukaran udara yang berujung ke hipoksia. Patofisiologi Kontusio Paru termasuk gangguan ventilasi dan perfusi, peningkatan shunting di dalam paru, peningkatan cairan intra paru, kerusakan segmen paru, dan kehilangan
10
mayor. Kontusio paru muncul pada 25%-35% dari trauma tumpul dada. Diantara trauma pada masyarakat, terjatuh dan deselerasi yang cepat setelah kecelakaan lalu lintas adalah mekanisme trauma yang sering. Pada kasus perkelahian, gelombang kejut yang dihasilkan oleh kedakan dan proyektil dengan velositas tinggi dapat menyebabkan trauma serius pada parenkim paru. Manifestasi klinis trauma paru dapat bersifat tiba-tiba, bisa berupa penurunan saturasi oksigen akibat gangguan prtukaran gas, sianosis, dan sesak nafas. Pasien bisa mengalami takipnea dan takikardi dengan kontusio yang lebih parah, dapat dijumpai wheezing, batuk, bronchorrhea dan dahak bercampur darah pada setengah kasus, hipotensi dan penurunan curah jantung. Gawat Nafas akibat hipoksia dan hiperkarbi dengan waktu puncak 72 jam. Diagnosis dapat dipertimbangkan yaitu dengan: Mekanisme trauma, pemeriksaan fisik, dan radiografi, Analisa Gas darah menunjukkan kekurangan oksigen dan akumulasi karbon dioksida bahkan setelah pemberian oksigen. Pada foto toraks dapat dijumpai hemotoraks atau pneumotoraks. Tanda dari kontusio yang memberat setelah 48 jam diakibatkan aspirasi, pneumonia, atau ARDS. Dibutuhkan waktu rata-rata 6 jam untuk dijumpai region putih pada toraks dada. Pada CT-Scan bervariasi dari mulai gambaran irregulaer, konsolidasi diffuse . Pada USG dijumpai gambaran ireguler kerusakan jaringan, B Lines multiple, efusi pleura dengan gambaran echo yang buruk. CT-Scan sangat sensitive dalam diagnosis kontusio paru. Tatalaksana Kontusio paru bersifat suportif. Dimulai pada fase prehospital, pemberian oksigen dan assessment yang cepat dari airway dan breathing harus ditatlaksana dengan protocol trauma standar. Akibat kontusio paru dapat berakibat hipoksemia berat, transport pasien dapat berbahaya. Setalah tiba dirumah sakit pasien harus segera ditangani dengan standar protocol trauma. Tatalaksana terhadap kontusio paru berupa control nyeri, Pemberian cairan resusitasi, pemberian antibiotik dan steroid. Pasien harus dilaksanakan intubasi bila mereka mengalami kesulitan nafas. Komplikasi bisa berupa Acute Respiratory Distress syndrome (ARDS), gangguan pernafasan jangka panjang, pneumonia (Ganie, 2013).
Fraktur sternum terjadi akibat trauma tumpul yang parah. Keadaan ini sering dikaitkan dengan beberapa patah tulang rusuk. Fraktur sternum biasanya melintang dan terlokalisir ke bagian atas dan tengah tubuh sternum. Distorsi organ
11
mediastinum dapat terjadi dengan fraktur sternum, terutama kontusio miokard (dengan nyeri prekordial dan dispnea yang khas). Fraktur dapat didiagnosis pada pemeriksaan fisik, deteksi pembengkakan, deformitas dan ketegangan lokal.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)
Cedera tumpul toraks terkait dengan 25% dari semua kematian yang terkait dengan trauma, sehingga berkontribusi cukup signifikan pada cedera trauma sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan. Besarnya morbiditas yang terkait dengan cedera non-fatal, melumpuhkan dan dapat merusak, dengan implikasi fisik, psikologis, dan sosial. Beban yang dihasilkan dapat sangat memengaruhi pemulihan pasien saat akan kembali ke aktivitasnya sehari - hari.
Konsekuensi dari masalah-masalah yang sedang berlangsung ini sangat berat dan mungkin menyebabkan biaya sosial dan ekonomi yang cukup tinggi bagi individu, keluarga, dan masyarakat.(Senn-Reeves and Staffileno, 2013)