• Tidak ada hasil yang ditemukan

THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PASIEN DENGAN TRAUMA TUMPUL TORAKS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PASIEN DENGAN TRAUMA TUMPUL TORAKS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PASIEN DENGAN TRAUMA

TUMPUL TORAKS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

OLEH:

DIAN AZHARY SIBUEA NIM : 147041180

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PASIEN DENGAN TRAUMA TUMPUL TORAKS

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik pada Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

DIAN AZHARY SIBUEA NIM: 147041180

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)
(5)
(6)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Dian Azhary Sibuea

NIM : 147041180

Tanda Tangan :

Medan, 20 Desember 2019 Penulis

dr. Dian Azhary Sibuea

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dian Azhary Sibuea

NIM : 147041180

Program Studi : Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Departemen Ilmu Bedah

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-ekslusif (Nonexclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul:

THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PASIEN DENGAN TRAUMA TUMPUL TORAKS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non- ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media/

formatkan, mengelola dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : 20 Desember 2019 Yang menyatakan,

(8)

ABSTRAK

THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PASIEN TRAUMA TUMPUL TORAKS DI RSUP H. ADAM

MALIK MEDAN

Dian Sibuea*, Doddy Prabisma Pohan**, Marshal**

*Residen Departemen Ilmu Bedah FK USU, **Konsultan Bedah Toraks, Kadiak dan Vaskuler, Departemen Ilmu Bedah FK USU

Pendahuluan Trauma adalah salah satu penyebab kematian terbesar di dunia.

Pada trauma toraks, sebayak 90% merupakan trauma tumpul dan 10% diantaranya memerlukan tindakan pembedahan. Angka mortalitas dapat dicegah dengan penegakan diagnosis dan tindakan yang baik. Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan pasien dengan trauma toraks baik secara anatomis dan fisiologi. TTSS dapat membantu memprediksi komplikasi lanjut dan memberikan tatalaksana dini pada pasien trauma toraks.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penilaian skor trauma TTSS dan outcome pada trauma toraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

Metode Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Hasil utama berupa hubungan nilai TTSS dengan skor Karnofsky dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil lainnya terkait perbandingan kategori nilai TTSS dengan karakteristik pasien dan luaran dengan uji Chi square.

Hasil Pada studi ini, didapatkan 20 sampel penelitian, dengan rerata umur adalah 51,15 (±14,47) tahun, terdiri dari 14 orang laki-laki (70,0%) dan 6 orang perempuan (30,0%). Kondisi pasien digolongkan atas dua kondisi, yaitu kondisi baik sebanyak 13 pasien (65,0%) dan dalam kondisi buruk sebanyak 7 pasien (35,0%). koefisien korelasi antara nilai TTSS dengan nilai Karnofsky sebesar 0.794 dan nilai p < 0.001 atau menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik.

Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, didapati bahwa terdapat hubungan bermakna antara penilaian skor trauma TTSS dengan luaran buruk pada trauma thoraks (p<0.001).

Kata Kunci : Thoracic trauma severity score, Outcome predictor, Trauma tumpul toraks

(9)

ABSTRACT

THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) AS AN OUTCOME PREDICTOR OF BLUNT THORACAL INJURY PATIENTS IN ADAM

MALIK MEDAN HOSPITAL

Dian Sibuea*, Doddy Prabisma Pohan**, Marshal**

*Resident of Department of Surgery, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara, ** Consultant for Thoracic, Cadiac and Vascular Surgery, Department of

Surgery, Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara

Introduction Trauma is one of the biggest causes of death in the world. In thoracic trauma, 90% is blunt trauma and 10% of them require surgery. Mortality rates can be prevented by establishing a diagnosis and good measures. Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) can be used to assess the severity of patients with thoracic trauma both anatomically and physiologically. TTSS can help predict advanced complications and provide early management of thoracic trauma patients. The purpose of this study was to determine the relationship between the assessment of TTSS trauma scores and outcomes on thoracic trauma at H. Adam Malik Medan Hospital.

Methods This study is a correlative analytic study with a cross sectional study design conducted at H. Adam Malik Medan Hospital. The main results in the form of the relationship of TTSS scores with Karnofsky scores were analyzed using the Spearman correlation test. Other results relate to the comparison of TTSS value categories with patient characteristics and outcomes with the Chi square test.

Result In this study, 20 study samples were obtained, with an average age of 51.15 (± 14.47) years, consisting of 14 men (70.0%) and 6 women (30.0%). The patient's condition was classified into two conditions, namely 13 patients (65.0%) good condition and 7 patients (35.0%) in poor condition. The correlation coefficient between the TTSS score with Karnofsky score is 0.794 and the p value

<0.001 or shows statistically significant results.

Conclusion Based on the results of the study, it was found that there was a significant correlation between the assessment of TTSS trauma scores with poor outcomes in the thoracic trauma (p <0.001).

Keyword : Thoracic trauma severity score, Outcome predictor, Blunt thoracal injury

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “THORACIC TRAUMA SEVERITY SCORE (TTSS) SEBAGAI PREDIKTOR OUTCOME PASIEN TRAUMA TUMPUL TORAKS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedoktean (M.Ked.) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih hormat yang tiada terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Dekan Fakultas Kedokteran USU, Ketua TKP-PPDS FK-USU, dan Ketua Program Studi Magister Kedokteran FK-USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah dan Magister Kedokteran Klinis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur RSUP Haji Adam Malik, yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menjalani pendidikan dan penelitian.

3. dr. Adi Muradi Muhar, SpB-KBD selaku Kepala Departemen Ilmu Bedah FK- USU dan dr. Doddy Prabisma Pohan, SpB-TKV selaku Sekretaris Departemen Ilmu Bedah FK-USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.

4. dr. Edwin Saleh Siregar, SpB-KBD sebagai Ketua Program studi Ilmu Bedah FK-USU dan dr. Dedy Hermansyah, SpB(K)Onk sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah FK-USU yang telah dengan sungguh-sungguh membantu, membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis menjadi dokter

(11)

Spesialis Bedah yang berbudi luhur serta siap mengabdi pada nusa dan bangsa.

5. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr Doddy Prabisma Pohan, SpBTKV, dr. Marshal, SpB, SpBTKV (K), dan Prof. Dr. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis sampai selesainya karya tulis ini.

Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan.

6. Guru Besar: Prof. dr. Bachtiar Surya, SPB-KBD yang telah memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.

7. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Bedah FK USU, para guru penulis serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga.

8. Abang, kakak, dan adik-adik peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah FK-USU yang telah banyak membantu penulis selama menjalani pendidikan.

9. Seluruh perawat/ paramedis di berbagai tempat di mana penulis pernah bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik selama ini.

10. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahanda Prof. Dr. Abdul Muin Sibuea dan Ibunda Dra. Sortha Silitonga, M.Pd yang telah memberikan semangat dan doanya.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna,

(12)

semua pihak. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Medan, Desember 2019

Penulis

dr. Dian Azhary Sibuea

(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

SURAT KETERANGAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Khusus ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 2

1.5. Hipotesis ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Anatomi Rongga Toraks ... 4

2.2. Trauma Toraks ... 6

2.2.1. Definisi dan Etiologi ... 6

2.2.2. Epidemiologi ... 7

2.2.3. Klasifikasi ... 8

2.2.4. Diagnosis... 11

2.2.5. Tatalaksana ... 12

2.3. Skoring Trauma Toraks ... 13

2.4. Skoring Trauma Toraks dan Outcome pasien ... 16

2.5. Kerangka Teori ... 20

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1. Desain Penelitian ... 21

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 21

(14)

3.4. Besar Sampel ... 21

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 22

3.6. Alur Penelitian ... 23

3.7. Definisi Operasional ... 23

3.8. Kerangka Konsep ... 27

3.9. Analisa Data ... 27

BAB 4 HASIL PENELITIAN... 29

4.1. Karakteristik Pasien ... 29

4.2. Karakteristik Thoracic Trauma Severity Score ... 29

4.3. Analisa Kategori Thoracic Trauma Severity Score dengan Kategori Luaran Pasien ... 31

4.4. Analisa Thoracic Trauma Severity Score dengan Luaran Pasien ... 31

4.5. Analisa Thoracic Trauma Severity Score dengan skor Karnofsky... 31

4.6. Pembahasan ... 32

BAB 5 PEMBAHASAN ... 33

BAB 6 SIMPULAN... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 2.1 Skor Keparahan Trauma Toraks (TTSS) ... 16

Tabel 3.1 Skor Nilai TTSS ... 26

Tabel 3.2 Kategori Karakteristik Sampel ... 27

Tabel 3.3 Kategori skor TTSS ... 27

Tabel 3.4 Kategori Luaran Pasien ... 27

Tabel 4.1. Karakteristik Pasien... 29

Tabel 4.2. Karakteristik Thoracic Trauma Severity Score ... 30

Tabel 4.3. Analisis kategori Thoracic Trauma Severity Score dengan kategori luaran pasien... 31

Tabel 4.4. Analisis Thoracic Trauma Severity Score dengan Luaran ... 31

Tabel 4.5 Analisis Thoracic Trauma Severity Score dengan skor Karnofsky ... 31

(16)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

Gambar 2.1 Rongga toraks ... 4 Gambar 2.2 Representasi diagram dari rongga paru, satu di setiap sisi toraks

dengan mediastinum (kiri) dan gambaran rongga

mediastinum (kanan) ... 5 Gambar 3.1 Cara Kerja ... 23

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma adalah salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Pada trauma thoraks, sebayak 90% merupakan trauma tumpul dan 10% diantaranya memerlukan tindakan pembedahan. Tingkat mortalitas trauma thoraks merupakan terbesar kedua setelah trauma kepala, sehingga memerlukan tindakan yang tepat.

Angka mortalitas dapat dicegah dengan penegakan diagnosis dan tindakan yang baik. (Lugo et al, 2015)

Angka kejadian trauma toraks berkisar dari 10-15% dari semua trauma dan mewakili 25% dari semua kematian akibat trauma2. Lebih kurang 16.000 kematian per tahun di Amerika Serikat disebabkan oleh trauma toraks3. Prevalensi kematian pada pasien trauma multipel terdapat trauma toraks sebesar 20-25%4. Angka kematian trauma tertinggi di seluruh dunia berada di Asia.

Trauma thoraks dapat disertai dengan keterlibatan tulang, pleura, paru, jantung ataupun organ-organ lain yang berada pada rongga thorax dan mediastinum. Keterlibatan organ-organ ini dapat berakibat pada peningkatan angka mortalitas dan morbiditas. Saat ini banyak scoring yang digunakan untuk menilai keparahan dari trauma thoraks. Trauma And Injury Severity Score (TRISS) adalah salah satu scoring yang sering digunakan. Scoring ini memiliki kriteria berupa umur, Injury Severity Score (ISS), dan Revised Trauma Score (RTS) untuk memprediksi kematian pada pasien trauma thoraks. Namun skoring ini tidak spesifik untuk pasien yang hanya mengalami trauma toraks. Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) yang diperkenalkan pada tahun 2000 dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan pasien dengan trauma thoraks baik secara anatomis dan fisiologi.(Pape et al, 2000)

Penelitiian sejenis ini pernah dilakukan sebelumnya Momssen et al.

dengan kesimpulan bahwa TTSS merupakan sebagai prediktor derajat keparahan dan salah satu system penilaian yang sesuai untuk menilai outcome pasien dengan trauma tumpul toraks. (Mommsen et all, 2012)

(18)

2

TTSS dapat menilai keterlibatan cedera tulang, cedera parenkim dan memperkirakan gangguan fisiologis. Parameter yang digunakan berupa fraktur tulang, kontusio paru, keterlibatan pleura, PaO2/FiO2 dan usia. TTSS hanya menggunakan alat diagnostic yang sudah tersedia di instalasi gawat darurat berupa foto toraks dan pemeriksaan analisa gas darah. Penilaian dini akan derajat keparahan dapat membantu memprediksi komplikasi lanjut dan memberikan tatalaksana dini pada pasien trauma thoraks. (Subhani, Muzaffar and Khan, 2014)

1.2. Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara skor trauma TTSS dengan luaran pasien dengan trauma toraks di RSUP H. Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Menentukan mengetahui hubungan antara penilaian skor trauma TTSS dan luaran pasien trauma toraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui distribusi karakteristik pasien trauma toraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Mengetahui hubungan antara penilaian skor trauma TTSS dengan faktor karakteristik dan outcome pasien trauma toraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

3. Menganalisis faktor risiko kematian pada trauma toraks.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Divisi Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular di RSUP H. Adam Malik Medan, untuk mengetahui hubungan antara penilaian skor trauma TTSS dengan karakteristik dan luaran pada pasien trauma toraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Tenaga kesehatan dapat mencegah kematian pada trauma toraks.

(19)

3

3. Memberikan data bagi para peneliti selanjutnya untuk pengembangan penelitian.

1.5. Hipotesis

Ada hubungan antara penilaian skor trauma TTSS dan outcome pada trauma toraks di RSUP H. Adam Malik Medan.

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Rongga Toraks

Rongga toraks adalah rongga tubuh, dikelilingi oleh tulang rusuk tulang, yang berisi jantung dan paru-paru, pembuluh darah besar, kerongkongan dan trakea, duktus toraks, dan persarafan otonom. Batas inferior dari rongga toraks adalah otot diafragma, yang memisahkan rongga toraks dan abdomen. Pada bagian superior, toraks berdekatan dengan pangkal leher dan ekstremitas atas.

Dinding toraks berisi otot-otot respirasi dan yang menghubungkan ekstremitas atas ke tulang aksial. Dinding toraks bertanggung jawab untuk melindungi isi rongga toraks dan untuk menghasilkan tekanan negatif yang diperlukan untuk respirasi. Toraks ditutupi oleh kulit dan fasia superfisial, yang berisi jaringan mamaria.(Roberts and Weinhaus, 2015)

Gambar 2.1. Rongga toraks.(Ombregt, 2013)

Secara anatomis, toraks dibagi menjadi beberapa kompartemen; ada dua rongga paru bilateral; masing-masing berisi paru-paru dengan selaput pleura.

Ruang antara rongga pleura adalah mediastinum,. Mediastinum dibagi menjadi kompartemen superior dan inferior oleh yang disebut sebagai " transverse thoracic plane"; melewati mediastinum pada tingkat sudut sternum dan sambungan vertebra T4 dan T5.

(21)

5

Gambar 2.2. Representasi diagram dari rongga paru, satu di setiap sisi toraks dengan mediastinum (Kiri) dan gambaran rongga mediastinum (kanan).(Roberts and Weinhaus, 2015)

Pada mediastinum superior terdapat pembuluh darah utama yang memasok darah ke ekstremitas atas, leher, dan kepala. Mediastinum inferior, ruang antara bidang torakus transversa dan diafragma, dibagi lagi menjadi mediastinum anterior, tengah, dan posterior. Mediastinum tengah adalah ruang yang berisi jantung dan perikardium. Mediastinum anterior adalah ruang antara perikardium dan sternum. Mediastinum posterior memanjang dari perikardium ke dinding posterior toraks.(Roberts and Weinhaus, 2015)

Aperture inferior toraks dibentuk oleh margin bawah tulang rusuk dan kartilago kosta dan tertutup dari abdomen oleh otot diafragma. Aperture superior toraks mengarah ke leher dan ekstremitas atas. Ini dibentuk oleh tulang rusuk pertama dan artikulasi dengan manubrium dan vertebra torakalis pertama. pangkal leher terbuka ke bagian superior toraks. Klavikula melintasi tulang rusuk pertama di tepi anterior dekat dengan artikulasinya dengan manubrium. Struktur dari aperture toraks superior dan berdekatan dengan lintasan ekstremitas atas antara tulang rusuk pertama dan klavikula.(Roberts and Weinhaus, 2015)

Sternum adalah tulang pipih yang membentuk bagian anterior rongga toraks. Ini terdiri dari tiga bagian: manubrium, tubuh, dan proses xifoideus.

Manubrium adalah bagian superior sternum; itu adalah bagian terluas dan paling

(22)

6

persimpangan mereka dengan manubrium. Depresi antara kepala sternum klavikula di atas manubrium adalah suprasternal, atau jugularis.(Roberts and Weinhaus, 2015)

Prosesus xifoideus adalah bagian sternum yang paling inferior dan mudah teraba. Itu terletak pada tingkat vertebra toraks 10 dan menandai batas inferior dari rongga toraks di anterior. Ini juga terletak pada tendon sentral diafragma dan batas inferior jantung.(Roberts and Weinhaus, 2015)

2.2. Trauma Toraks 2.2.1. Definisi dan Etiologi

Trauma toraks adalah penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada orang dewasa dan anak-anak. Ini adalah penyebab utama kematian pada sekitar 25% pasien trauma multipel dan, bila dikaitkan dengan cedera lain, menyebabkan kematian pada tambahan 50% pasien trauma multipel, biasanya sebagai akibat hipoksia dan hipovolemia. Ketika trauma jantung tidak terlibat, angka kematian dari cedera toraks tembus terisolasi rendah (<1%), tetapi jika trauma jantung hadir, mortalitas meningkat menjadi sekitar 20%.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012; Platz, Fabricant and Norotsky, 2017)

Menurut etiologi, cedera toraks dibagi menjadi: trauma tumpul dan luka toraks tembus. Cedera spesifik adalah: barotraumas paru, luka pangkal dari pohon trakeobronkial yang dihasilkan dari aspirasi, cedera paru-paru, kerusakan parenkim paru dari aspirasi, dan cedera iatrogenik. Fraktur yang berhubungan dengan dinding toraks dapat disebabkan oleh kekuatan langsung, dan jaringan dan organ toraks mungkin rusak termasuk pada keadaan kontusio, laserasi atau ruptur.

Selain itu, kekuatan-kekuatan traumatik dapat berefek secara tidak langsung.

Dalam kasus seperti itu efek kekuatan traumatik dimanifestasikan setelah disintegrasi jaringan (emboli udara yang dihasilkan dari masuknya udara ke vena pulmonal setelah laserasi paru).(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)

Ciri umum dari luka tembus adalah komunikasi langsung antara lingkungan eksternal dan ruang pleura. Jika luka terbuka di dinding toraks besar, pneumotoraks terbuka dapat terjadi. Pada luka kecil, luka menutup secara spontan karena kontraksi otot atau pembekuan darah. Namun, harus selalu diingat bahwa

(23)

7

adanya kebocoran antara lingkungan eksternal dan ruang pleura mengarah ke pengisapan udara ke dalam yang menyebabkan infeksi dan semakin memperumit manajemen klinis cedera.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)

2.2.2. Epidemiologi

Trauma toraks menempati peringkat tertinggi sebagai cedera yang paling penting pada pasien yang terluka parah, dan sekitar 50% dari mereka dengan trauma multipel juga menderita cedera toraks. Cedera pada toraks dapat mempengaruhi dinding toraks (misalnya, tulang rusuk, fraktur sternum) serta organ toraks (misalnya paru, jantung, pembuluh darah). Hanya sebagian kecil pasien dengan trauma toraks cenderung mengalami gagal napas yang memerlukan intubasi dan dukungan ventilator untuk memperbaiki hipoksia dan hiperkapnia.(Bayer et al., 2017)

Di sisi lain, 35 - 58% pasien yang mengalami luka berat membutuhkan intubasi pra-rumah sakit, tergantung pada tingkat keparahan cedera toraks yang terjadi bersamaan. Sementara pasien yang luka parah biasanya membutuhkan perawatan intensif tanpa memandang adanya cedera toraks. Disfungsi organ dan kegagalan organ multiple (MOF) diketahui berkembang lebih sering pada pasien dengan trauma toraks berat. Pada pasien yang luka parah, termasuk mereka dengan cedera otak traumatis berat / Traumatic Brain Injury (TBI), setidaknya satu organ gagal di sekitar 52%, dengan kegagalan paru terjadi di 26% kasus.

Sementara tingkat kegagalan paru berkisar 50-65% pada pasien MOF, hanya 7%

pasien tanpa MOF yang menderita gagal napas. Secara keseluruhan, pasien MOF membutuhkan ventilasi yang berkepanjangan dan perawatan yang lebih lama di unit perawatan intensif (ICU), sehingga mengkonsumsi sumber daya perawatan kesehatan yang cukup besar pula.(Bayer et al., 2017)

Trauma multipel yang parah sering dikaitkan dengan cedera paru traumatik dan muncul dengan spektrum keparahan yang luas; mortalitas trauma toraks yang dilaporkan bisa setinggi 60%, dan 20 - 25% kematian pada pasien yang terluka parah dikaitkan dengan cedera toraks.(Bayer et al., 2017)

(24)

8

2.2.3. Klasifikasi

2.2.3.1. Trama tajam toraks

Luka tusuk di toraks dapat terjadi oleh benda tajam seperti pisau, belati, potongan kaca atau logam lainnya. Bentuk luka ini tidak khas, karena elastisitas kulit yang biasanya akan mengecilkan luka tembus.(Kuhajda et al., 2014)

Keparahan penusukan tergantung pada titik masuk ke toraks (luka di bawah puting depan dan sudut scapular inferior di belakang harus dianggap sebagai luka thoraco-abdominal) yang organnya telah terluka (pembuluh dinding toraks, paru-paru, jantung, toraks besar pembuluh darah, pleura visceral, esofagus, diafragma), bentuk dan ketajaman benda tembus dan akhirnya menembus organ dalam toraks. Dalam banyak kasus, objek penusukan menembus dinding toraks yang melukai pembuluh darah interkostal dan dengan ujung pleura visceral, berkontribusi mengalami pneumotoraks atau hematopneumotoraks.(Gopinath, 2004; Kuhajda et al., 2014)

Manifestasi klinis dari luka tembus adalah nyeri pada titik penusukan, batuk akibat iritasi dinsing toraks dan nafas pendek. Saat pengangkatan benda yang menusuk dari luka, pendarahan yang banyak biasanya muncul. Bekuan darah dan jaringan yang menutupi dinding toraks dapat menutupi luka tikaman yang mengubah pneumotoraks terbuka menjadi tension pneumotoraks. Pendarahan dari luka biasanya berasal dari pembuluh darah interkostal, karena mereka adalah bagian dari sirkulasi sistemik.(Kuhajda et al., 2014; McGonigle and McManus, 2014)

2.2.3.2. Trama tumpul toraks

Cedera toraks tumpul termasuk kontusio dan hematoma di dinding toraks, fraktur tulang rusuk, cedera tumpul ke parenkim paru, cedera traumatis pada trakea dan bronkus mayor, pneumotoraks traumatik, dan haemothoraks traumatik.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)

Trauma tumpul toraks adalah diagnosis kedua yang paling umum, di samping cedera ekstremitas, pada pasien dengan trauma multipel.(Zehr, Klar and Malthaner, 2015) Trauma toraks terisolir ditemukan pada 67% dan trauma toraks terkait terjadi pada 33% pasien dengan trauma multipel. Pada pasien, kematian

(25)

9

terkait dengan cedera toraks sekitar 7,8% dan morbiditas terlihat pada 21,3%

pasien.(Subhani, Muzaffar and Khan, 2014)

Dinding toraks yang mengalami memar dan hematoma adalah cedera toraks yang paling umum. Sebagai akibat dari trauma tumpul ke dinding toraks, perdarahan masif dapat terjadi karena pembuluh darah yang terluka di kulit, jaringan subkutan, otot, dan pembuluh darah interkostal. Hematoma perdarahan atau ekstrapleural, terlihat pada X-ray sebagai model setengah lingkaran yang tumbuh dari pleura, dapat muncul di dinding toraks, otot-otot dinding toraks, di sekitar tulang rusuk dan di ruang sub-pleura. Kebanyakan haematoma ekstrapleural tidak memerlukan pembedahan karena perdarahan tidak signifikan.

Hanya hematoma yang besar atau infeksi hematoma yang memerlukan intervensi bedah.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)

Fraktur tulang rusuk adalah salah satu cedera toraks yang paling umum, sebagai akibat dari gaya tumpul langsung atau tidak langsung. Fraktur tulang rusuk terjadi pada sekitar 35% - 40% dari cedera toraks. Karakteristik luka rusuk tergantung pada jenis dampak terhadap dinding toraks. Fraktur iga spontan dapat disebabkan oleh batuk yang kronis (dari tulang rusuk VI hingga IX).(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)

Flail chest adalah kondisi medis ketika beberapa tulang rusuk yang berdekatan mengalami fraktur segmental secara unilateral atau bilateral terjadi di area costo-chondral yang dapat berhubungan dengan / tanpa fraktur sternum.

Frekuensi flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan di jalan raya. Pada kelainan ini, segmen dinding toraks bergerak secara paradoks, selama fase inspirasi tertarik ke dalam, sedangkan fase ekspirasi terdorong keluar, mencegah aliran udara ke sisi yang terluka.

Kontusio Paru merupakan kondisi dimana terjadi cedera pada kapiler alveoli, tanpa robekan atau potongan pada jaringan paru. Ini berakibat pada akumulasi darah dan cairan pada jaringan paru. Akumulasi dari cairan berakibat gannguan pertukaran udara yang berujung ke hipoksia. Patofisiologi Kontusio Paru termasuk gangguan ventilasi dan perfusi, peningkatan shunting di dalam paru, peningkatan cairan intra paru, kerusakan segmen paru, dan kehilangan

(26)

10

mayor. Kontusio paru muncul pada 25%-35% dari trauma tumpul dada. Diantara trauma pada masyarakat, terjatuh dan deselerasi yang cepat setelah kecelakaan lalu lintas adalah mekanisme trauma yang sering. Pada kasus perkelahian, gelombang kejut yang dihasilkan oleh kedakan dan proyektil dengan velositas tinggi dapat menyebabkan trauma serius pada parenkim paru. Manifestasi klinis trauma paru dapat bersifat tiba-tiba, bisa berupa penurunan saturasi oksigen akibat gangguan prtukaran gas, sianosis, dan sesak nafas. Pasien bisa mengalami takipnea dan takikardi dengan kontusio yang lebih parah, dapat dijumpai wheezing, batuk, bronchorrhea dan dahak bercampur darah pada setengah kasus, hipotensi dan penurunan curah jantung. Gawat Nafas akibat hipoksia dan hiperkarbi dengan waktu puncak 72 jam. Diagnosis dapat dipertimbangkan yaitu dengan: Mekanisme trauma, pemeriksaan fisik, dan radiografi, Analisa Gas darah menunjukkan kekurangan oksigen dan akumulasi karbon dioksida bahkan setelah pemberian oksigen. Pada foto toraks dapat dijumpai hemotoraks atau pneumotoraks. Tanda dari kontusio yang memberat setelah 48 jam diakibatkan aspirasi, pneumonia, atau ARDS. Dibutuhkan waktu rata-rata 6 jam untuk dijumpai region putih pada toraks dada. Pada CT-Scan bervariasi dari mulai gambaran irregulaer, konsolidasi diffuse . Pada USG dijumpai gambaran ireguler kerusakan jaringan, B Lines multiple, efusi pleura dengan gambaran echo yang buruk. CT-Scan sangat sensitive dalam diagnosis kontusio paru. Tatalaksana Kontusio paru bersifat suportif. Dimulai pada fase prehospital, pemberian oksigen dan assessment yang cepat dari airway dan breathing harus ditatlaksana dengan protocol trauma standar. Akibat kontusio paru dapat berakibat hipoksemia berat, transport pasien dapat berbahaya. Setalah tiba dirumah sakit pasien harus segera ditangani dengan standar protocol trauma. Tatalaksana terhadap kontusio paru berupa control nyeri, Pemberian cairan resusitasi, pemberian antibiotik dan steroid. Pasien harus dilaksanakan intubasi bila mereka mengalami kesulitan nafas. Komplikasi bisa berupa Acute Respiratory Distress syndrome (ARDS), gangguan pernafasan jangka panjang, pneumonia (Ganie, 2013).

Fraktur sternum terjadi akibat trauma tumpul yang parah. Keadaan ini sering dikaitkan dengan beberapa patah tulang rusuk. Fraktur sternum biasanya melintang dan terlokalisir ke bagian atas dan tengah tubuh sternum. Distorsi organ

(27)

11

mediastinum dapat terjadi dengan fraktur sternum, terutama kontusio miokard (dengan nyeri prekordial dan dispnea yang khas). Fraktur dapat didiagnosis pada pemeriksaan fisik, deteksi pembengkakan, deformitas dan ketegangan lokal.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012)

Cedera tumpul toraks terkait dengan 25% dari semua kematian yang terkait dengan trauma, sehingga berkontribusi cukup signifikan pada cedera trauma sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan. Besarnya morbiditas yang terkait dengan cedera non-fatal, melumpuhkan dan dapat merusak, dengan implikasi fisik, psikologis, dan sosial. Beban yang dihasilkan dapat sangat memengaruhi pemulihan pasien saat akan kembali ke aktivitasnya sehari - hari.

Konsekuensi dari masalah-masalah yang sedang berlangsung ini sangat berat dan mungkin menyebabkan biaya sosial dan ekonomi yang cukup tinggi bagi individu, keluarga, dan masyarakat.(Senn-Reeves and Staffileno, 2013)

2.2.4. Diagnosis

Fototoraks adalah alat diagnostik lini pertama yang menyediakan informasi tambahan dalam diagnosis dan evaluasi cedera toraks. Radiografi awal termasuk penilaian cedera dan gangguan secara langsung atau berpotensi mengancam kehidupan pasien. Terlepas dari keterbatasan metode berdasarkan temuan klinis, dalam banyak kasus ahli bedah dapat memutuskan tentang perawatan bedah yang tepat.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012; Whizar- Lugo, Sauceda-Gastelum and Adriana, 2015)

Pada pasien tidak sadar, radiografi torak dapat dilakukan segera setelah masuk, setelah dilakukan bantuan napas (biasanya intubasi endotrakeal) dan pemasangan tabung nasogastrik atau orogastrik (digunakan untuk menentukan posisi mediastinum). Pada pasien dengan luka tembus masuk dan luka keluar harus ditandai dengan penanda radiosensitif. Radiografi biasanya diambil dalam tampilan AP atau PA. Sangat diharapkan untuk mengambil radiografi dalam keadaan inspirasi, tetapi jika diambil selama ekspirasi mungkin juga dapat berguna dalam mendeteksi pneumotoraks kecil. Radiografi dapat digunakan untuk evaluasi integritas dinding toraks, terutama untuk mendeteksi patah tulang rusuk dan untuk memeriksa tulang belakang dan mediastinum. Posisi dekubitus lateral

(28)

12

pemaparan mungkin penting dalam temuan evaluasi. Seorang ahli bedah dengan hati-hati dan sistematis menafsirkan radiografi toraks agar tidak mengabaikan beberapa kemungkinan cedera.(Milisavljević, Spasić and Arsenijević, 2012) 2.2.5. Tatalaksana

Pendekatan manajemen trauma toraks mengikuti prinsip-prinsip umum dari resusitasi trauma seperti yang dijelaskan dalam protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS). Primary Survey dan koreksi cedera langsung yang mengancam jiwa mencakup pendekatan sistematis, tim untuk penilaian dan koreksi cedera pernapasan, kardiovaskular dan neurologis. Tim ini melakukan beberapa hal, antara lain : (Arunan and Roodenburg, 2017)

 Mengamankan atau mempertahankan jalan napas paten. Oksigen aliran tinggi dengan masker reservoir harus dimulai dengan target saturasi 94 - 98%

 Melindungi pasien dari cedera medulla spinalis lebih lanjut

 Mengoptimalkan ventilasi dan oksigenasi; mengendalikan perdarahan eksternal utama

 Membuat akses intravena dengan jarum bore besar untuk pengiriman obat dan cairan yang diperlukan

 Pengambilan sampel darah untuk pencocokan silang, jumlah darah, biokimia, analisis gas darah; menilai defisit neurologis paparan penuh pasien

 Akses langsung ke toraks dan rontgen panggul, dan penilaian sonografi untuk trauma (FAST)

 Pemberian analgesia efektif awal

Presentasi dan manajemen pasien trauma tembus tergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan: stabilitas, mekanisme, dan lokasi luka. Stabilitas mengharuskan jalan napas aman (dengan atau tanpa intubasi), bahwa pasien baik oksigenasi dan ventilasi pada tingkat yang dapat diterima, dan bahwa stabilitas hemodinamik berkelanjutan harus dilakukan. Pasien dengan tanda kolaps sirkulasi (tekanan darah sistolik <90 mm Hg dan / atau takikardia persisten > 120 denyut per menit, tidak karena nyeri atau kecemasan dan / atau hipoksemia persisten) harus dikelola dengan kontrol saluran napas yang dikombinasikan dengan pemberian resusitasi produk darah yang agresif. Pada pasien yang stabil masih ada waktu untuk mempertimbangkan pilihan diagnostik dan terapeutik yang berbeda.

(29)

13

Sedangkan pada pasien yang tidak stabil harus segera mendapatkan ruang operasi sesingkat mungkin dengan penundaan minimal. Ini tidak termasuk pasien agonal.

Jelas, ada kalanya skenario dapat dijalankan tumpang tindih (misalnya, luka tembak transmediastinum dengan kecurigaan tamponade).(Karmy-Jones et al., 2014; Ludwig and Koryllos, 2017)

2.3. Skoring Trauma Toraks

Standar saat ini untuk menilai trauma toraks sangat bervariasi. Skor yang ada yang mencakup beberapa kriteria anatomi, radiografi, dan fisiologis diperlukan untuk meningkatkan akurasi diagnostik dalam kasus trauma toraks.

Identifikasi dini dan manajemen agresif trauma toraks sangat penting untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Ini penting karena tingkat trauma toraks memiliki dampak signifikan pada persyaratan resusitasi dan dukungan unit perawatan intensif. Penilaian tepat waktu tentang kecukupan strategi pengobatan akan membantu mengurangi berbagai komplikasi.(Subhani, Muzaffar and Khan, 2014)

Sistem penilaian ini dapat memberikan beberapa manfaat: (1) secara obyektif menentukan tingkat cedera, yang memungkinkan unit perawatan untuk mengklasifikasikan pusat pasien sesuai dengan perawatan khusus yang ditentukan yang mereka butuhkan. (2) Data fisiologis yang dikaitkan dengan kematian pada periode awal setelah cedera dapat ditentukan untuk menindaklanjuti pasien yang berisiko. (3) Membantu merujuk pasien ke rumah sakit yang sesuai. (4) Pasien mungkin mendapat manfaat paling banyak dari pengobatan. (5) Memungkinkan untuk menentukan jenis rujukan yang diperlukan. (6) Database epidemiologis tentang cedera dan keparahannya dapat dibuat. (7) Menurut hasil yang diperoleh dalam pengobatan pasien trauma, efektivitas lembaga kesehatan dapat dibandingkan. Dengan demikian, dapat meningkatkan kualitas manajemen kasus trauma.(Orhon et al., 2014)

Delapan puluh persen hingga 90% pasien dengan trauma toraks berat memiliki beberapa cedera tambahan. Insiden sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS), komplikasi infeksi (misalnya, pneumonia), sindrom gangguan pernapasan

(30)

14

lebih tinggi pada pasien trauma multipel dengan trauma toraks berat.(Stevenson, 2001) Trauma toraks parah juga menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam waktu ventilasi dan lama rawatan di unit perawatan intensif (ICU) pada pasien ini.

Selain itu, cedera toraks berhubungan dengan mortalitas 30% -40% dan trauma terkait kematian 20% -25%. Sekitar 50% -75% pasien politraumatif yang meninggal mengalami cedera toraks.(Mommsen et al., 2012)

Cedera toraks yang parah adalah penyebab utama kematian terkait trauma.

Berbagai skor telah dikembangkan untuk menentukan tingkat keparahan cedera traumatik.(Chen et al., 2014) Evaluasi yang akurat tentang tingkat keparahan trauma toraks penting untuk menentukan tindakan yang tepat, memprediksi kebutuhan perawatan intensif, dan memprediksi kematian. Beberapa sistem penilaian trauma ada antara lain the trauma and injury severity score (TRISS) paling sering digunakan untuk memprediksi kematian. Sistem TRISS dikembangkan pada tahun 1980 untuk meningkatkan prediksi hasil pasien setelah trauma melalui penggunaan kriteria fisiologis dan anatomi. Ini menggunakan kombinasi usia pasien dan injury severity score (ISS),(Sutherland, Johnston and Hutchison, 2006) dan revised trauma score (RTS) untuk memprediksi kemungkinan kematian pasien setelah trauma.(Moon et al., 2017) Sebaliknya, beberapa skor lainnya hanya berfokus pada satu jenis cedera (misalnya skor Wagner untuk memar paru) tanpa mempertimbangkan cedera terkait. Lebih lanjut, skor ini tidak mempertimbangkan pertukaran gas atau kondisi pasien, yang merupakan penentu utama dalam menilai risiko pernapasan.(Daurat et al., 2016)

Namun, TRISS memiliki beberapa keterbatasan, terutama untuk pasien dengan trauma toraks.(Paffrath, Lefering and Flohé, 2014) Karena sistem penilaian ini tidak dikembangkan untuk trauma toraks yang terisolasi, mungkin mengabaikan pentingnya trauma toraks dalam hal kematian. TRISS sulit dihitung dengan cepat, dan ada batasan untuk menggunakannya sebagai alat pengambilan keputusan dalam situasi darurat. Selanjutnya, perhitungan TRISS menggunakan RTS, yang mempertimbangkan variabel GCS, SBP, dan RR saat masuk.(Zhao et al., 2008) Namun, perhitungan RTS bisa sulit karena intubasi endotrakeal, sedasi, dan paralisis neuromuskular selama perawatan pra-rumah sakit menghalangi penentuan skor GCS atau RR spontan saat masuk.(Moon et al., 2017)

(31)

15

Meskipun ISS dianggap sebagai indeks terbaik untuk menentukan tingkat keparahan trauma selama hampir 20 tahun, penilaian ini hanya menilai cedera yang paling parah di setiap daerah tubuh, namun, seorang pasien polytrauma mungkin memiliki dua luka paling parah di daerah tubuh yang sama.(Champion, 2002) Dalam hal ini, ISS mengabaikan keparahan trauma.(Ehsaei et al., 2014) Untuk memperbaiki cacat ISS ini, New Severity Severity Score (NISS) dikembangkan, yang bertujuan untuk lebih tepat memprediksi kematian pasien.

NISS terdiri dari tiga luka yang paling berat, terlepas dari daerah tubuh yang terkena.(Domingues et al., 2011)

Sistem penilaian terbaru yang dapat memprediksi komplikasi pada pasien trauma toraks diperlukan. Untuk ini pada tahun 2000 Pape dkk. mengalami Skor Keparahan Trauma toraks, TTSS menggabungkan usia pasien, parameter resusitasi, dan penilaian radiologi toraks.(Elbaih et al., 2016)

Skor keparahan trauma toraks (TTS) cocok untuk menilai cedera tulang dan parenkim serta mempertimbangkan parameter fisiologis juga. Skor ini mengevaluasi lima parameter PaO2 / FiO2 yang berbeda, patah tulang rusuk, kontusio paru, keterlibatan pleura dan usia. TTS adalah prediktor yang lebih baik dari trauma trauma terkait komplikasi pada saat masuk dalam keadaan darurat dengan menggunakan parameter yang sudah tersedia yaitu X-ray toraks dan gas darah arteri.(Subhani, Muzaffar and Khan, 2014)

Skor TTS baru-baru ini dikaitkan dengan peningkatan kejadian ARDS dan mortalitas pada populasi pasien dengan trauma toraks berat pada risiko kegagalan pernapasan yang sangat tinggi. Kinerja skor TTS untuk memprediksi ARDS cukup baik karena itu harus ditentukan pada populasi trauma yang kurang parah, terutama mereka yang tidak memiliki gangguan pernapasan saat masuk.(Daurat et al., 2016)

Tujuan skala TTS ini adalah untuk membantu evaluasi medis darurat dalam mengidentifikasi pasien trauma yang berisiko mengalami komplikasi paru, menggunakan parameter yang tersedia selama evaluasi awal yang dapat diterapkan di rumah sakit tingkat dasar dan menengah. Skala ini baru-baru ini telah divalidasi untuk memprediksi kematian.(Martínez Casas et al., 2016)

(32)

16

Tabel 2.1. Skor Keparahan Trauma Thoraks (TTSS).(Elbaih et al., 2016)

2.4. Skoring Trauma Toraks dan Outcome pasien

Beberapa sistem penilaian umum untuk pasien trauma telah menunjukkan nilai yang sangat baik untuk memprediksi hasil. Pada penelitian yang dilakukan Aukema, dkk., TTSS menunjukkan AUC tinggi 0,844 yang membuatnya menjadi sistem penilaian yang sensitif dan spesifik untuk memprediksi kematian. Selain itu, penelitian ini mampu menunjukkan hubungan antara TTSS dan kematian terkait toraks. Skor itu secara signifikan lebih tinggi daripada pada pasien yang meninggal karena komplikasi lain dan bahkan lebih pada semua pasien yang bertahan hidup. Karakteristik ekstra dari skor ini dapat menjadi nilai tambah dalam evaluasi trauma.(Aukema et al., 2011)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ebaih, dkk. Dengan menggunakan analisis kurva ROC menunjukkan bahwa TTSS di atas skor 7, skor menunjukkan

(33)

17

sensitivitas 100% dan juga 100% spesifisitas untuk memprediksi hasil pasien trauma toraks. Hal ini sama dengan apa yang ditemukan pada tahun 2014 di Pakistan, di mana mereka menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keluaran pasien dengan trauma toraks dan TTSS. Keluaran pasien memburuk dengan peningkatan skor, menggunakan uji Chi-square, hasil menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara hasil pasien dan skor keparahan trauma Thoracic (TTS).(Elbaih et al., 2016)

Pada tahun 2011 Tjeerd dkk. Di Belanda; melakukan penelitian untuk mendemonstrasikan hubungan antara TTSS dan kematian terkait trauma toraks.

Skor secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang meninggal karena komplikasi trauma toraks. Juga, tingkat komplikasi trauma toraks telah terbukti tinggi (27%) dan bisa parah. Juga, itu menunjukkan bahwa TTSS secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang mengalami ARDS setelah trauma toraks.(Elbaih et al., 2016)

Pada tahun 2012, Philipp M et al. menyarankan sebuah penelitian mengenai hasil pasien trauma toraks yang membandingkan sistem penilaian trauma toraks yang berbeda yang menatakan bahwa di antara sistem penilaian yang diperiksa, hanya TTS prediktor independen mortalitas. Pasien dengan TTS >

9 memiliki risiko kematian 4 kali lipat lebih tinggi.(Elbaih et al., 2016)

Selanjutnya, TTS menunjukkan kekuatan prediksi terbaik dibandingkan dengan sistem penilaian independen CT (AISchest, PCS) dan skor Wagner yang bergantung pada CT. Karena nilai diagnostik radiografi konvensional pada toraks tampaknya tidak terbatas dalam penelitian mereka seperti yang dijelaskan, adalah wajar bahwa TTS yang menggabungkan parameter anatomi dan fisiologis lebih unggul daripada sistem penilaian CT-dependent dan CT-independen yang hanya didasarkan pada dasar parameter. Terutama, dimasukkannya usia sebagai komponen TTS dapat berkontribusi pada nilai prediktifnya, bertepatan dengan apa yang juga didokumentasikan oleh Lotfipour S et al. pada tahun 2009, usia diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk komplikasi pasca-trauma dan hasil yang buruk setelah trauma toraks.(Elbaih et al., 2016)

Penelitian yang dilakukan oleh Daurat dkk., membuktikan bahwa dalam populasi trauma toraks besar dipengaruhi oleh memar paru dan skor TTS pada

(34)

18

inap, terlepas dari apakah pasien mengalami hipoksemia atau non-hipoksemia saat masuk. Menggunakan pendekatan zona abu-abu, batas spesifisitas tinggi dari skor TTS untuk prediksi ARDS adalah > 13 (Sp 98%, PPV 85%), sedangkan ambang sensitivitas tinggi adalah > 8 (Se 90%, NPV 92%). Sangat menarik untuk mengamati bahwa AUC dan ambang batas sebanding dalam subkelompok pasien non-hipoksemia pada admisi. Dalam analisis lebih lanjut, stratifikasi pasien yang menggunakan ambang sebelumnya adalah variabel independen dalam model prediktif multivariabel untuk ARDS dan juga dikaitkan dengan hasil sekunder seperti durasi ARDS, ventilasi mekanik atau rawat inap. Oleh karena itu temuan ini menunjukkan bahwa apapun status pernapasan awal, pendekatan klinis berdasarkan ambang skor TTS memungkinkan identifikasi dini sejumlah besar pasien yang berisiko ARDS tertunda. Deteksi dini ini merupakan penentu untuk membimbing manajemen awal yang optimal dan langkah-langkah pencegahan seperti ventilasi mekanik pelindung, terapi cairan terbatas, operasi pengendalian kerusakan dan strategi intervensi bertahap. Ventilasi non-invasif dan analgesia epidural juga harus diusulkan pada pasien yang tidak diintubasi. Di sisi lain, pada pasien termasuk dalam zona abu-abu tidak meyakinkan (yaitu skor TTS 8-12), hampir setengah dari populasi yang diteliti, skor TTS mungkin gagal untuk menilai risiko memburuknya pernapasan yang tertunda. Pada pasien dalam rentang ini, risiko ARDS yang tertunda tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, tindakan pencegahan harus dipertimbangkan, terutama jika ada faktor risiko ARDS lainnya.(Daurat et al., 2016)

Sebelumnya pada tahun 2002, Frank H et al. meneliti bahwa karena TTS tidak memerlukan CT toraks, ini dapat digunakan di setiap rumah sakit dan dapat dihitung dengan cepat. Dengan menggunakan "kurva karakteristik operasi penerima (ROC)" dapat ditunjukkan, bahwa dengan nilai 0,924, TTS lebih unggul dari semua skor yang dijelaskan lainnya. TTS menawarkan solusi yang sederhana dan andal untuk masalah penilaian awal, CT-independen terhadap keparahan trauma toraks.(Elbaih et al., 2016)

TTSS memiliki korelasi yang tinggi dengan terjadinya komplikasi atau kematian pada pasien dengan trauma toraks pada populasi dengan trauma minor, menjadikannya alat yang berguna untuk memprediksi perkembangan komplikasi

(35)

19

atau kematian pada pasien yang dirawat di Departemen Gawat Darurat dengan trauma toraks. Tingkat cut-off 8 poin di TTSS dapat digunakan untuk mengklasifikasikan pasien untuk observasi yang cermat.(Martínez Casas et al., 2016)

Hasil dari pasien memburuk dengan peningkatan skor keparahan trauma toraks (TTS). Pada penilaian TTS saat pasien masuk membantu untuk menentukan komplikasi pasca trauma toraks terkait dalam kasus ini. Ini membantu dalam meningkatkan strategi manajemen dalam kasus-kasus trauma toraks. Farooq U. dan Hanif F dkk., dalam penelitian prospektif mereka telah menyebutkan bahwa penilaian keparahan trauma toraks dan kecukupan strategi pengobatan yang tepat waktu membantu mengurangi berbagai komplikasi.

(Subhani, Muzaffar and Khan, 2014)

(36)

20

2.5. Kerangka Teori

Terjadi Kerusakan organ dalam toraks

Trauma tumpul toraks Pasien dengan Trauma toraks

Penilaian awal dengan TTSS

Hasil perhitungan skor tinggi

Hasil perhitungan skor rendah

Prognosis pasien buruk

Prognosis pasien baik

(37)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif dengan desain penelitian cross sectional.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, RSU Pirngadi Medan dan RS pendidikan USU. Waktu penelitian dilaksanakan setelah proposal disetujui oleh komite etik.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita trauma toraks yang datang ke IGD di RSUP H. Adam Malik Medan, RSU Pirngadi Medan dan RS Pendidikan USU.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah penderita trauma toraks yang memenuhi kriteria inklusi yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan, RSU Pirngadi Medan dan RS Pendidikan USU.

3.4. Besar Sampel

Untuk menentukan besar sampel tunggal minimal pada uji hipotesis dengan menggunakan koefisien korelasi dihitung dengan rumus di bawah ini (Madiyono et al, 2011):

[

⁄ ]

(38)

22

Keterangan:

n : Besar sampel

zα : Derivat baku α, dihitung dari kesalahan tipe I. Pada penelitian ini, ditetapkan kesalahan tipe I adalah 5% sehingga nilai zα two-tailed adalah 1,96.

zβ : Derivat baku β, dihitung dari kesalahan tipe II. Pada penelitian ini, ditetapkan kesalahan tipe II adalah 20% sehingga nilai zβ adalah 0,84.

r : Koefisien korelasi yang diharapkan. Pada penelitian ini, peneliti mengharapkan penelitian ini setidaknya menunjukkan korelasi sedang yaitu nilai koefisien korelasi 0,6-0,79, sehingga diambil nilai r adalah 0,7.

Sehingga berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

[

⁄ ] [

⁄ ] [

]

Maka didapatkan jumlah sampel minimal 14 orang.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi : Penderita trauma tumpul toraks di RSUP H. Adam Malik Medan, RSU Pirngadi Medan dan RS pendidikan USU yang masuk melalui Intalasi Gawat Darurat (IGD).

Kriteria eksklusi : Trauma pada anak, pasien dengan multiple trauma dan penurunan kesadaran, pasien dengan riwayat penyakit kronis dan pasien dengan gangguan metabolik lainnya.

(39)

23

3.6. Alur Penelitian

Gambar 3.1 Cara kerja

3.7. Definisi Operasional

1. Trauma tumpul toraks adalah trauma yang bersifat tumpul yang secara anatomi mengenai rongga toraks dengan disertai keluhan pada pasien yang masuk melalui IGD RSUP H. Adam Malik Medan

2. Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) metode penilaian untuk Penderita Trauma Toraks

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Penghitungan Thorax Trauma Severity Score

(TTSS)

Analisis statistik TTS terhadap outcome Pada Trauma Toraks

Analisis Data Sampel penelitian

Dimasukkan ke dalam klasifikasi High TTSS dan

Low TTSS berdasarkan grading

(40)

24

Nilai nol (0) diberikan untuk usia <30 tahun, PaO2 / FiO2> 400, tidak ada fraktur tulang rusuk, tidak ada kontusio paru-paru dan tidak ada keterlibatan pleura.

Nilai satu (1) diberikan hingga usia 30–41 tahun, PaO2 / FiO2> 300–400, 1–3 rib fraktur, kontusio paru yang melibatkan 1 lobus unilateral dan pneumotoraks.

Nilai dua (2) diberikan pada usia 42–54 tahun, PaO2 / FiO2 200–300, patah tulang rusuk 3–6, kontusio paru-paru memar yang melibatkan 1 lobus bilateral atau 2 lobus hemopneumotoraks unilateral dan unilateral atau hemothorax.

Nilai tiga (3) diberikan pada usia 55–70 tahun, PaO2 / FiO2 150-200,> 3 fraktur tulang rusuk bilateral, kontusio paru yang melibatkan <2 lobus bilateral dan hemopneumothorax bilateral atau hemotoraks.

Nilai lima (5) diberikan untuk usia> 70 tahun, PaO2 / FiO2 <150, flail chest, kontusio paru-paru melibatkan ≥2 lobus bilateral dan tension pneumothorax.

Grading dilakukan dengan menjumlahkan semua nilai. Skor 0 diklasifikasikan sebagai grade 0, skor 1–5 ditetapkan sebagai grade I, skor 6–

10 diklasifikasikan sebagai grade II, skor 11–15 diklasifikasikan sebagai grade-III dan skor 16–25 diklasifikasikan sebagai grade IV. Kelompok TTS rendah meliputi grade 0, I dan II. Kelompok TTS tinggi meliputi grade III, dan IV.

3. Outcome adalah hasil penilaian pasien di IGD. Dibagi menjadi good outcome (pasien berobat jalan dan pasien yang dirawat di ruangan bedah) dan poor outcome (perawatan ICU, tindakan operasi, mortalitas)

4. Pasien berobat jalan adalah pasien trauma thoraks yang diperbolehkan pulang setelah dilakukan tindakan medis di IGD pada hari yang sama.

5. Pasien dirawat di bangsal bedah adalah pasien trauma thoraks yang memerlukan perawatan konservatif di ruangan rawat pasien bedah.

6. Perawatan ICU adalah pasien trauma thoraks yang memerlukan perawatan di ICU setelah ditangani di IGD.

7. Tindakan pembedahan adalah pasien trauma thoraks yang memerlukan tindakan pembedahan berupa pemasangan chest tube atau thorakotomi.

(41)

25

8. Mortalitas adalah pasien trauma thoraks yang mengalami kematian.

9. Skor Karnofsky mulai dari 100 ke 0, di mana 100 adalah kesehatan

"sempurna" dan 0 adalah kematian dengan interval standar 10. Tujuan utama adalah untuk memungkinkan dokter mengevaluasi kemampuan pasien untuk bertahan hidup.

Skor 100 = Normal; tidak ada keluhan; tidak ada bukti penyakit.

Skor 90 = Mampu melakukan aktivitas normal; tanda-tanda atau gejala penyakit sedikit.

Skor 80 = Aktivitas normal dengan usaha; tanda-tanda atau gejala penyakit banyak.

Skor 70 = Hanya mampu merawat diri; tidak dapat melakukan aktivitas normal atau untuk melakukan pekerjaan yang aktif.

Skor 60 = Membutuhkan bantuan sesekali, tetapi mampu merawat sebagian besar kebutuhan pribadi mereka.

Skor 50 = Membutuhkan bantuan yang cukup dan perawatan medis sering.

Skor 40 = Cacat; membutuhkan perawatan dan bantuan khusus.

Skor 30 = Cacat parah ; perawatan di rumah sakit diindikasikan tapi tidak terdapat resiko kematian.

Skor 20 = Sangat sakit; masuk rumah sakit diperlukan; terapi suportif aktif diperlukan.

Skor 10 = Hampir mati; Progres menuju kematian dengan cepat.

Skor 0 = Mati

(42)

26

Tabel 3.1 Skor Nilai TTSS

(43)

27

Tabel 3.2 Kategori Karakteristik Sampel

Nilai PaO2/FiO2 rib fracture contusion pleural involvement age

0 >400 0 none none <30

1 300-400 1 s.d 3 1 lobe, unilateral Pneumothorax 30-41

2 200-300 3 s.d 6 1 lobe bilateral HT HPT unilateral 42-54 3 150-200 >3 and bilateral < 2 lobe bilateral HT HPT bilateral 55-70

4 <150 flail chest < 2 lobe bilateral TPT >70

Tabel 3.3 Kategori skor TTSS

Luaran grade points

LOW TTSS 0 0

1 1 s.d 5

2 6 s.d 10

HIGH TTSS 3 11 s.d 15

4 16 s.d 25

Tabel 3.4 Kategori Luaran Pasien Luaran Kondisi Pasien

Baik Diperbolehkan keluar RS Rawat ruangan

biasa

Buruk Meninggal

Operasi Rawat ICU

3.8. Kerangka Konsep

3.9. Analisa Data

Data yang sudah dikumpulkan, diolah, dan dianalisis melaui statistik dan disajikan dalam bentuk tabel. Nilai TTSS dikategorikan menjadi high dan low

Thorax Trauma

Severity Score Outcome

(44)

28

berupa hubungan nilai TTSS dengan skor Karnofsky dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil lainnya terkait perbandingan kategori nilai TTSS dengan karakteristik pasien dan luaran dengan uji Chi square. Nilai kemaknaan didapatkan pada p value < 0.05.

(45)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien pada penelitian ini ditampilkan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik Pasien

Variabel Mean (±SD) / N (%)

Umur (tahun) 51,15 (±14,47)

Jenis Kelamin

Laki-laki 14 (70,0%)

Perempuan 6 (30,0%)

Luaran

PBJ 5 (25,0%)

Rawat Inap 8 (40,0%)

Pemasangan Chest Tube 4 (20,0%)

Chest Tube dan Rawat ICU 3 (15,0%)

Kondisi Akhir Pasien

Baik (PBJ, Rawat Ruangan) 13 (65,0%)

Buruk (Perawatan ICU, Operasi, Exit) 7 (35,0%)

Pada studi ini, didapatkan 20 sampel penelitian, dengan rerata umur adalah 51,15 (±14,47) tahun, terdiri dari 14 orang laki-laki (70,0%) dan 6 orang perempuan (30,0%). Pasien yang ditangani, memiliki beberapa luaran tatalaksana, yang terdiri dari pulang berobat jalan (PBJ) sebanyak 5 pasien (25,0%), rawat inap sebanyak 8 pasien (40,0%), pemasangan chest tube sebanyak 4 pasien (20,0%), dan pemasangan chest tube beserta rawatan ICU sebanyak 3 pasien (15,0%).

Kondisi pasien digolongkan atas dua kondisi, yaitu kondisi baik sebanyak 13 pasien (65,0%) dan dalam kondisi buruk sebanyak 7 pasien (35,0%).

4.2. Karakteristik Thoracic Trauma Severity Score

Skoring pada Thoracic Trauma Severity Score (TTSS) terdiri dari komponen usia, PaO2/FiO2, fraktur iga, kontusio paru, serta keterlibatan pleura.

Karakteristik komponen ini dapat dilihat pada tabel 4.2.

(46)

30

Tabel 4.2. Karakteristik Thoracic Trauma Severity Score

Kategori Skoring N (%) Poin p-value

Usia 0,628

<30 3 15,0 0

30-41 2 10,0 1

42-54 2 10,0 2

55-70 13 65,0 3

>70 0 0 4

PaO2/FiO2 0,01

>400 2 10,0 0

300-400 11 55,0 1

200-300 7 35,0 2

150-200 0 0 3

<150 0 0 4

Rib Fracture 0,08

0 9 45,0 0

1 s.d 3 3 15,0 1

3 s.d 6 5 25,0 2

>3 and Bilateral 3 15,0 3

Flail Chest 0 0 4

Contussion 0,01

None 7 35,0 0

1 Lobe, Unilateral 7 35,0 1

1 Lobe Bilateral 5 25,0 2

< 2 Lobe Bilateral 1 5,0 3

< 2 Lobe Bilateral 0 0 4

Pleural Involvement 0.01

None 12 60,0 0

Pneumothorax 5 25,0 1

HT HPT unilateral 3 15,0 2

HT HPT bilateral 0 0 3

TPT 0 0 4

Total Skor

Low TTS (0-10) 16 80,0

High TTS (11-25) 4 20,0

Masing-masing komponen penilaian TTSS diberi skor 0-4. Berdasarkan tabel 4.2, didapati mayoritas pasien berusia 55-70 tahun (65,0%), dengan kadar PaO2/FiO2 300-400 (55,0%), dan mayoritas pasien tidak mengalami fraktur iga (45,0%). Kontusio paru umumnya terjadi pada 1 lobus paru dan unilateral (35,0%) dan 60,0% pasien tidak mengalami gangguan pada pleuranya. Berdasarkan hasil analisis per komponen, didapati bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara PaO2/FiO2, fraktur iga, kontusio paru, serta keterlibatan pleura dengan kondisi buruk pada pasien dengan trauma thoraks. (p<0.05)

(47)

31

4.3. Analisis Kategori Thoracic Trauma Severity Score dengan Kategori Luaran Pasien

Tabel 4.3. Analisis kategori Thoracic Trauma Severity Score dengan kategori luaran pasien

Luaran Pasien

p-value

Poor Good

TTSS High 4 0 0,007

Low 3 13

Berdasarkan tabel 4.3. terlihat bahwa terdapat 4 pasien dengan kategori nilai TTSS yang tinggi dan mengalami luaran klinis yang poor. Sedangkan terdapat 13 pasien dengan kategori nilai TTSS yang rendah dan mengalami luaran klinis yang good. Pada penelitian ini, dilakukan uji analisis dengan menggunakan uji Fischer‟s exact sehingga didapatkan nilai p sebesar 0,007 atau bermakna secara klinis.

4.4. Analisis Thoracic Trauma Severity Score dengan Luaran Pasien Tabel 4.4. Analisis Thoracic Trauma Severity Score dengan Luaran

Luaran Rerata Thoracic Trauma Severity Score P-value

Baik 4,46 (±2,57) 0,0011

Buruk 9,43 (±2,37)

1Analisis data dengan menggunakan uji T independen dengan nilai p<0,05 menunjukkan kemaknaan

Terlihat pada tabel 4.4. didapatkan rerata thoracic trauma severity score (TTSS) pada pasien dengan luaran yang baik adalah 4,46 (±2,57) berbanding dengan luaran yang buruk yaitu 9,43 (±2,37). Dilakukan analisis data dan didapatkan p-value sebesar 0,001 atau menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik.

4.5. Analisis Thoracic Trauma Severity Score dengan skor Karnofsky Tabel 4.5 Analisis Thoracic Trauma Severity Score dengan skor Karnofsky

Nilai TTSS Nilai Karnofsky Nilai TTSS Koefisien korelasi 1.00 -0.794

Sig. (2 tailed) . <0.001

Nilai Karnofsky Koefisien korelasi -0.794 1.000

Gambar

Gambar 2.1. Rongga toraks.(Ombregt, 2013)
Gambar 2.2.  Representasi  diagram  dari  rongga  paru,  satu  di  setiap  sisi  toraks  dengan  mediastinum  (Kiri)  dan  gambaran  rongga  mediastinum (kanan).(Roberts and Weinhaus, 2015)
Tabel 2.1. Skor Keparahan Trauma Thoraks (TTSS).(Elbaih et al., 2016)
Gambar 3.1 Cara kerja
+3

Referensi

Dokumen terkait