• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Pustaka

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Latar Belakang

Isu pembentukan instansi khusus dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sudah lama didengar. Namun pembentukan instansi khusus dalam penanggulangan tindak pidana korupsi yang memiliki wewenang luas menjadi suatu instrumen baru dalam sejarah sistem peradilan pidana di Indonesia.

Di dalam KUHAP, kewenangan dalam penyidikan merupakan tugas dan wewenang dari Kepolisian. Sehingga dikenal dengan istilah “penyidik tunggal”.

Dan tentulah hanya Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Selain itu, lembaga Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap semua kasus tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi. Perkembagan hukum positif di Indonesia telah memperluas kewenangan Kejaksaan. Hal tersebut didasari dengan Pasal 284 (2) KUHAP yang memberikan peluang bahwa Kejaksaan juga memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Sehingga terjadi tarik menarik kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian dalam melakukan penyidikan kasus tindak pidana korupsi.

Dengan adanya tarik menarik kewenangan antara Kejaksaan dan Kepolisian, banyak fenomena tersebut menimbulkan permasalahan. Tarik menarik kewenangan tersebut menggambarkan, antara Kejaksaan dan Kepolisian menjalankan tugas dan wewenangnya menggunakan pola pikir instansi sentris. Pola pemikiran tersebut dapat berdampak negatif terhadap sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan interkoneksi antar lembaga yang termasuk komponen-komponen sistem peradilan pidana. Sehingga untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana, maka diperlukan koneksi yang baik dari seluruh komponen. Dapat disimpulkan dengan adanya tarik menarik kewenangan yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian akan merusak sistem peradilan pidana.

Putusan pengadilan Sungai Penuh Nomor 45/Pid/B/1989/PN.SPN atas nama Terdakwa Nasrul Yazid, menjadi salah satu contoh akibat terjadinya interkoneksi yang kurang baik pada lembaga Kejaksaan maupun Kepolisian.

Menurut pertimbangan Hakim dalam putusan tersebut bahwa berita acara pemeriksaan Kepolisian menyebutkan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana khusus. Menurut Hakim yang menangani kasus tersebut, polisi tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang bersifat khusus. Hakim berpendapat kewenangan tersebut terdapat pada lembaga Kejaksaan. Sehingga Hakim memvonis bebas Terdakwa hanya karena adanya persepsi yang berbeda siapa yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi tersebut.30

Kedua lembaga tersebut memiliki landasan normatif untuk membuktikan siapa yang berwenang dalam melakukan penyidikan kasus tindak pidana korupsi. Kedua lembaga tersebut hanya menjalankan perintah undang-undang. Fenomena tarik menarik kewenangan ini tidak sepatutnya terjadi. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya visi dan misi yang sama dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Lembaga Kejaksaan dan Kepolisian memiliki bentuk administratif yang berbeda, yang mengakibatkan munculnya pola pemikiran instansi sentris. Maka kemungkinan besar tarik menarik kewenangan akan terjadi.

Disamping itu, intensitas kepercayaan masyarakat kepada instansi penegak hukum yang ada sudah mulai berkurang. Sedangkan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, baik dari angka tindak pidana korupsi yang semakin meningkat, maupun jumlah perekonomian negara yang semakin berkurang. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak hanya pada perekonomian nasional. Tetapi juga terhadap

kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang sistematis dan semakin meluas juga merupakan pelanggaran hak sosial dan hak perekonomian.31

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mempertemukan antara lembaga Kejaksaan dan lembaga Kepolisian untuk mendapatkan jalan tengah atas permasalahan tersebut. Sehingga dibentuklah tim gabungan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi ”Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi jaksa agung”.

Untuk menindak lanjuti Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 5 April Tahun 2000.

Namun, tim gabungan yang dibentuk belum efektif. Ketika kita mengamati Pasal 27 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tim gabungan menangani kasus korupsi hanya pada tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Lantas, bagaimana dengan tindak pidana korupsi yang dapat dibuktikan dengan cara yang sederhana ?. Tentu tim gabungan ini tidak akan menjalankan tugasnya terhadap kasus tindak pidana korupsi yang mudah untuk dibuktikan. Mengingat bentuk tindak pidana korupsi sangat luas. Menurut penjelasan Pasal 27 Undang-undang

      

Nomor 31 Tahun 1999, tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya antara lain tindak pidana korupsi dibidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka panjang, atau di bidang moneter dan keuangan, dengan kategori :

a. Bersifat lintas sektoral

b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih

c. Dilakukan oleh Tersangka atau Terdakwa yang merupakan penyelenggara negara.

Dalam PP Nomor 19 Tahun 2000, tim gabungan memiliki kewenangan yang luas dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Jaksa agung memiliki peranan penting dalam pembentukan tim gabungan. Tim gabugan baru akan dibentuk apabila jaksa agung menetapkan kasus tersebut merupakan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Tim gabungan tersebut berisikan berbagai elemen, yaitu pemerintah, Kejaksaan, Kepolisian dan masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak menyebutkan secara eksplisit apakah pemerintah berhak untuk memasukan unsur masyarakat dalam tim gabungan tersebut. sehingga banyak timbul persoalan yang serius dalam pelaksanaan kewenangan tim gabungan ini.

Keberadaan tim gabungan tersebut semakin terancam pada saat sekelompok masyarakat yang mengajukan judicial review terhadap Peraturan Pemerintah tersebut. Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 menyebutkan sifat dari tim gabungan tersebut adalah permanen. Akan tetapi, Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 terdapat klausul “…dapat

dibentuk tim gabungan”, yang ditafsirkan bahwa tim gabungan tersebut bersifat sementara. Dalam ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Peraturan Pemerintah memiliki hirarki dibawah undang-undang.32 Sehingga Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan TAP MPR Nomor III/MPR/2000 yang memiliki hirarki lebih tinggi (asas lex superior derogate lex inferiori). Mahkamah Agung dengan putusan Nomor 03P/HUM/2000 mengabulkan permohonan pemohon dan memerintahkan agar pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah tim gabungan yang menangani kasus tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya merupakan embrio lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Akibat interkoneksi yang kurang baik dan tidak adanya kesepemahaman antara Kejaksaan dan Kepolisian, maka budaya hukum Indonesia membentuk suatu lembaga yang independen dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Hal tersebut dilegitimasi oleh Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi :

(1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) Tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi

(2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat

(4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaan Komisi       

32 Hirarki peraturan perundang-undangan dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 telah

diubah, dan pada saat ini dasar hukum mengenai hirarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 TAP MPR memiliki hirarki yang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah.

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan undang-undang.

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini bukan merupakan hal yang baru. Pada awal Orde Baru, dengan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 dibentuk sebuah tim pemberantasan korupsi yang diketuai oleh Sugih Arto yang pada saat itu menjabat sebagai Jaksa Agung. Kemudian pada Tahun 1970 dibentuk komisi empat yang juga melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang diketuai oleh Wilopo. Pada Tahun 1977, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977 dibentuk Operasi Tertib, yang juga bertujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Selanjutnya dibentuk tim gabungan yang didasarkan pada Pasal 27 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 yang mana jaksa agung sebagai koordinator.

Selanjutnya, pemerintah membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Tahun 2005 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim ini dibentuk dengan harapan dapat meningkatkan upaya percepatan pemberantasan korupsi dan dapat meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar lembaga-lembaga penegak hukum. Oleh karenanya, tim ini melibatkan unsur Kejaksaan RI, Kepolisian, dan BPKP yang diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS) yang melaksanakan tugas dan wewenangnya masing-masing serta bertanggung jawab kepada presiden.

Namun, berbagai badan yang telah ada dianggap gagal dalam memberantas tindak pidana korupsi. Badan yang dibentuk tersebut hanya

memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Interkoneksi yang tidak baik antar lembaga yang berwenang seperti Kejaksaan dan Kepolisian mencederai sistem peradilan pidana yang ada. Dalam konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), mengenal bentuk sinkronisasi struktural (structural synchronization). Yaitu adanya keselarasan antar lembaga penegak hukum. Seharusnya, pola pemikiran instansi sentris ini dihindari.33

Dasar pertimbangan dibentuknya badan khusus dalam pemberantasan korupsi melihat perkembangan tindak pidana korupsi yang semakin meluas dan sistematis. Bahkan tidak dapat lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa. Sehingga banyak menimbulkan bencana dan kerugian negara yang tidak sedikit. Dengan kualitas kejahatan yang luar biasa, maka upaya pemberantasan dengan cara yang konvensional tidak dapat lagi diharapkan dan terbukti banyak menemui hambatan serta kegagalan. Sehingga dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meningkatkan intensitas penanganan kasus tindak pidana korupsi dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi landasan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi.34

Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kewenangan yang lebih luas kepada KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi. Kewenangan KPK tidak hanya dalam hal penyelidikan dan penyidikan. KPK diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan tindak pidana

      

33 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group. :

Jakarta, 2010 Hal. 25

korupsi. dan juga KPK memiliki hak untuk mengambil alih kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian atas dasar tertentu.

Pembuat undang-undang telah merumuskan secara garis besar kerangka tugas dan wewenang dari KPK, yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu :

a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

b. Sepervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi

d. Melakukan tindakan-tindak pencegahan tindak pidana korupsi.

Hal yang paling menarik adalah, ketika KPK diberikan kewenangan untuk melakukan supervisi terhadap lembaga yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia pada saat ini, memiliki tiga instansi yang berwenang dalam memberantas tindak pidana korupsi, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Namun hanya KPK yang berwenang melakukan pengawasan terhadap lembaga Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Lahirnya KPK merupakan jawaban atas keraguan masyarakat terhadap lemabaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK merupakan sebuah lembaga yang independen, dan terdapat beberapa elemen yang berada di dalamnya termasuk polisi dan jaksa. Hal tersebut merupakan jawaban dari permasalahan yang terdapat dalam tim gabungan sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000.

Proyeksi keberadaan KPK tidak hanya dalam upaya represif, melainkan memiliki upaya preventif berupa melakukan pencegahan timbul dan

berkembangnya tindak pidana korupsi. beberapa langkah KPK dalam upaya preventif antara lain :

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi

c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi

e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum

f. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dokumen terkait