• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Pustaka

2. Penuntutan Dalam Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana termasuk klasifikasi hukum pidana formil. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya kebenaran materil. Hukum pidana formil ini menunjukan cara bagaimana peraturan-peraturan hukum pidana materil dipertahankan. Lemaire berpendapat bahwa hukum acara pidana bertugas mengabdi pada hukum pidana materil. Cara menjalankan tugas tersebut adalah apakah ukuran hukum acara pidana baik atau tidak baik. Suatu hukum acara baik adalah apabila hukum acara pidana menjadi sebab berjalannya hukum acara materil.21

Sistem peradilan pidana (criminal justice system), kini telah menjadi suatu istilah dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Sistem peradilan pidana menurut Remington dan Ohlin adalah penggunaan pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Menurut Reminghton dan Ohlin sistem merupakan suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.22

      

21 Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari setidak-tidaknya mendekati

kebenaran materil. Kata “setidak-tidaknya mendekati” bermaknakan bahwa kebenaran tidak akan mampu tercapai secara mutlak. Kebenaran memiliki korelasi dengan keadilan. Aristoteles menyebutkan bahwa keadilan bersifat absolut. Keadilan bagi seseorang akan berbeda dengan keadilan bagi orang lain. Hukum acara dapat memenuhi syarat-syarat hukum acara yang baik apabila hukum materil dijalankan dengan baik. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru : Jakarta, 1983 Hal. 418.

22 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group. :

Sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan suatu proses dalam penegakan hukum pidana. Sistem peradilan pidana adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Dalam pengertian luas, sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang Tersangka yang melakukan tindak pidana diperiksa, dituntut, diadili, dan selanjutnya dijatuhi hukuman. Dengan demikian sistem peradilan pidana merupakan langkah konkret dalam penegakan hukum pidana in abstracto.23

Dalam suatu proses penegakan hukum, selain dibutuhkan perangkat peraturan-perundang-undangan dibutuhkan juga instrumen penggeraknya, yaitu institusi penegak hukum dan diimplementasikan melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem.24

Hagan mengemukakan criminal justice system merupakan interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.25 Sistem peradilan pidana dan proses peradilan pidana memiliki kemiripan, namun antara satu dan yang lainnya berbeda. Hagan membedakan antara sistem peradilan pidana (criminal justice system) dan proses peradilan pidana (criminal justice process). Menurut Hagan, proses peradilan pidana adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang Tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Dalam sistem peradilan pidana, terdepat beberapa komponen yang terdiri dari :26

a. Kepolisian       

23 Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum TIndak Pidana Korupsi,

Refika Afitama : Bandung,2008 Hal. 115

24Ibid 25 Ibid.

b. Kejaksaan

c. Lembaga Peradilan d. Lembaga Pemasyarakatan.

Setiap instrumen hukum, seharusnya melihat apa fundamental norm dari suatu negara. Dan seharusnya untuk menciptakan efektifitas dalam sistem peradilan pidana, seharusnya setiap instansi harus mampu memiliki koneksi yang kuat dalam penegakan hukum. Romli Atmasasmita berpendapat sistem peradilan pidana yang bercirikan kebersamaan dan semangat kerja sama yang tulus dan ikhlas, merupakan sistem peradilan pidana yang sejalan dengan Pancasila sebagai fundamental norm Indonesia.27

Setiap instansi atau komponen-komponen tersebut memiliki kewenangan yang berbeda sebagai bentuk atribusi, namun memiliki tujuan yang sama. Misalnya lembaga Kepolisian yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Lembaga Kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan.

Globalisasi hukum memaksa undang-undang untuk memperluas komponen-komponen yang berada dalam sistem peradilan pidana. Contohnya dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus tindak pidana korupsi. Namun, KPK tetap harus membangun koneksi yang baik dengan komponen-komponen lainnya, agar tercipta sistem peradilan pidana yang baik, serta apa yang menjadi tujuan hukum pidana formil tercapai.

      

Penyelesaian perkara pidana dilakukan dengan melalui beberapa tingkat. Dimulai dengan pemeriiksaan permulaan (vooronder zoek). Dalam pemeriksaan permulaan ini dikumpulkan bahan-bahan yang mungkin dapat menjadi bukti. Jumlah dan sifat bahan ini menentukan apakah yang dituduh akan dituntut atau tidak. Maka pemeriksaan permulaan diakhiri dengan penuntutan pidana (strafvervolging). Hal ini merupakan tingkatan pertama dalam penyelesaian perkara pidana. Tahap yang selanjutnya yaitu pelaksanaan putusan Hakim, yaitu proses penjatuhan hukuman pidana bagi Terdakwa atau diambil tindakan (maatregel).28

Dalam hal penuntutan, menurut KUHAP jaksalah yang memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan. Dalam hukum acara pidana, penuntutan dalam arti luas terdapat 2 tahap, yaitu prapenuntutan dan penuntutan. Hanya saja, dalam KUHAP, tidak membedakan secara spesifik antara prapenuntutan dan penuntutan.

Prapenuntutan merupakan tindakan Penuntut Umum untuk meberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Hal ini dalam aturan lama (HIR), termasuk dalam penyelidikan lanjutan. Prapenuntutan muncul untuk menghindari kesan seakan-akan jaksa atau Penuntut Umum mempunyai wewenang penyidikan lanjutan, sehingga anggota legislatif menyebutnya dengan istilah prapenuntutan. Menurut Andi Hamzah, petunjuk untuk menyempurnakan

penyidikan pada hakikatnya merupakan bagian dari penyidikan lanjutan. Sehingga penyidikan dan penyelidikan tidak dapat dipisahkan secara tajam29.

Prapenuntutan adalah pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum kepada penyidik karena Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap disertai petunjuk untuk melengkapinya.

Tingkat prapenuntutan yaitu antara dimulainya penuntutan dalam arti sempit (perkara telah dikirim ke pengadilan) dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Dalam sebuah pelaksanaan prapenuntutan, proses prapenuntutan selain dapat menghindari terjadinya arus bolak balik perkara. Prapenuntutan dilakukan baik oleh penyidik maupun Penuntut Umum, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 110 ayat 2 j.o Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP.

Penuntutan dalam arti sempit Adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.

Menurut KUHAP, penuntutan merupakan tugas dan wewenang dari jaksa. Hal tersebut telah disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP, yang menyatakan “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Sedangkan Penuntut Umum menurut Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan       

29 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1996 Hal.

Hakim”. Dapat disimpulkan bahwa, penuntutan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 huruf a dan b KUHAP merupakan penuntutan dalam arti sempit.

Dalam bab ketentuan peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP berbunyi : “Dalam waktu dua Tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Pasal 284 ayat (2) tersebut tidak berlaku lagi apabila telah diatur oleh undang-undang yang menyatakan undang-undang ini tidak berlaku lagi. Hal tersebut merupakan implementasi dari asas lex specialis derogate legi generalis. Dan Pasal ini menjadi salah satu landasan hukum terbentuknnya undang-undang KPK.

Tugas dan wewenang dari KPK berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, menjadi lex spesialis dari kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang diatur oleh KUHAP, yang semulanya jaksa yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Latar Belakang

Dokumen terkait