• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 10/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Akil Mochtar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor : 10/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Akil Mochtar)"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Abdussalam dan DPM SItompul, Sistem Peradilan pidana, Restu Agung : Jakarta, 2007

Amrullah, M.Arif. Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundring, Bayu Media Publishing: Malang, 2004

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Prenada Media Group : Jakarta, 2010

Bayu Widyatmoko, Kronik Peralihan Nusantara, Liga Raja-Raja Hingga Kolonial, Pressindo : Jakarta, 2014

Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum TIndak Pidana Korupsi, Refika Afitama : Bandung,2008

Daniel, Elwi. Korupsi (Konsep, Tindak Pudana, dan Pemberantasannya), PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2012

Emong Sapardjaya, Komariah, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni : Bandung, 2002

Djaja, Ermansjah, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika : Jakarta, 2010

Halim, Pathoring, Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi, Total Media : Jakarta, 2013

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya : Jakarta, 1996 .Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar

(2)

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika: Jakarta, 2008

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada : Depok, 2005

Hussein Alatas, Syeid, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES : Jakarta, 1983

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media : Surabaya, 2007

Kristiana, Yudi, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2006

.Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif

Hukum Progresif), Thafa Media : Yogyakarta, 2015

.Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Penyelidikan, Penyidikan,

Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, Lingkar Hukum Progresif, Thafa

Media : Yogyakarta, 2009

Marpaung, Leden, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan : Jakarta, 2009

Meliala, Adrianus, Menyingkap Kejahatan Kerah Putih, PT. Midas Surya Grafindo : Jakarta, 1995

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta : Jakarta, 2008.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit Alumni : Bandung, 1992

(3)

Stessens, Guy, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press, The Edinburg Building, Cambridge CB2 8 RU

: UK, 2000

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Hukum Pidana), Sinar Baru: Jakarta 1983

Sutendi, Adrian, Tindak Pidana Pencucian Uang, PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 2008

Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta : PT. Ichtiar Baru : Jakarta, 1983

Wiyono, R., Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Sinar Grafika : Jakarta, 2014

Yunara, Edi. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus), Citra Aditya Bakti : Bandung, 2005

B.Majalah Hukum

Barda Nawawi Arief, Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, merupakan Bahan atau modul Pelatihan Hakim Militer Di

Surabaya, 20 s.d. 23 Maret 2013

Biro Hukum Urusan Hukum dan Sekretariat Bank Indonesia, “Money Laundering”, Jakarta, 2010

(4)

Husein, Yunus, “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Melalui Pelaksanaan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang”, Jakarta, 2012.

FATF Report, “Laundering The Proceeds of Coruption”, July 2011, Page 9

Satriyo Mukantardjo, Rudy, “Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah Perkembangannya”. Bogor, 2010. Modul disampaikan pada acara

pelatihan Hakim tentang korupsi pada tanggal 26 April 2010 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Syafrudin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bertanggungjawab, Jurnal Pro Justitia, Universitas Parahyangan Bandung,

Edisi IV, Tahun 2000

World Bank Institute, “The Cost of Corruption”, Artikel, 8 April 2004

C.Internet

Artikel Harian Terbit Nasional, “ICW : Hanya 9 Persen Kerugian Negara Akibat Korupsi Yang Digantikan” Tanggal 25 Agustus 2015

http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/08/25/39272//25/ICW-Hanya-9-Persen-Kerugian-Negara-Akibat-Korupsi-yang-Digantikan

Ade Aleandro, Berita “KPK Tidak Berwenang Melakukan Penuntutan Perkara Pidana Pencucian Uang”

m.kompasiana.com/adealeandro/KPK-tidak- berwenang-melakukan-penuntutan-perkara-pidana-pencucian-uang_55281bd6f17e61c4188b458c

“’Grey Area’ Penanganan TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Bagian 1)”

(5)

m.hukumonline.com/berita/baca/lt52f0d3968ed1f/grey-area-penangan-Tindak Pidana Pencucian Uang-bagian-1

Husein, Yunus, “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, Jakarta, 2004

Remi, Sutan Sjahdeni, “Kerugian Negara Akibat Pencucian Uang”, Artikel, Jakarta, 2 Januari 2013, http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/pencucian-uang/97-kerugian-negara-akibat-pencucian-uang D.Putusan

1. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

10/PID.SUS/TPK/2014/PN. JKT.PST Atas Nama Terdakwa Akil Mochtar. 2. Putuasan Nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama

Terdakwa Lutfi Hasan Ishaaq.

(6)

BAB III

KEWENANGAN KPK DALAM MELAKUKAN PENUNTUTAN TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A.Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang telah dikodifikasi menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya yang juga mengatur Hukum Acara, telah menata desain prosedur untuk sistem peradilan pidana di Indonesia, yang tidak hanya memuat tentang hak dan kewajiban terkait proses pidana, tetapi juga memuat tentang tahapan dan tata cara proses pidana. Yang menjadi tugas dan wewenang masing-masing institusi penegak hukum.63 Dalam rangka penegakan hukum formil maupun materil, hal yang paling penting adalah adanya sinkronisasi structural. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana di Indonesia menginginkan adanya hubungan kerja yang baik antara Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Peradilan, dan instansi lain yang berwenang dalam melakukan penegakan hukum.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah salah satu lembaga yang termasuk dalam instansi dalam penegakan hukum sebagaimana maksud dari konsep sistem peradilan pidana terpadu. Dengan adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, instansi yang berwenang menangani kasus tindak pidana korupsi adalah Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam konsideran menimbang Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan “KPK dibentuk karena lembaga pemerintahan yang ada dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi belum       

(7)

efisien dan efektif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”.64 Pasal 284 ayat (2) KUHAP juga memberikan celah kepada KPK dalam melaksanakan tugasnya untuk memberantas tindak pidana korupsi dan menjadi salah satu dasar hukum KPK dalam melaksanakan pemberantasan korupsi. Pasal 284 ayat (2) KUHAP memberikan pengecualian terhadap ketentuan khusus acara pidana. Dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan salah satu undang-undang khusus terhadap pemberantasan korupsi yang dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan “KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Tugas, wewenang dan kewajiban KPK dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi diatur dalam BAB II Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Adapun yang menjadi tugas KPK dalam menangani kasus korupsi berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah :

1. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

Dalam tugas ini, KPK diwajibkan untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Hal tersebut bertujuan agar terhindarnya intansi sentris dan miss komunikasi antara KPK dan instansi lainnya. Instansi lainnya menurut penjelasan Pasal 6 Undang-undang       

64 Konsideran bagian menimbang Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

(8)

Nomor 30 Tahun 2002 adalah “Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen Dalam pelaksanaan koordinasi dengan instansi yang berwenang”. Pasal 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan wewenang KPK dalam melakukan koordinasi dengan instansi lain adalah :

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

2. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Instansi khusus yang memiliki tugas melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang hanya KPK. Namun, dengan keluasan tugas dan wewenang dari KPK bukan berarti KPK memiliki kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan instansi yang berwenang seperti Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Sistem ketatanegaraan Indonesia menganut asas check and balances.65 Sehingga antara KPK dan Kepolisian serta Kejaksaan memiliki

kedudukan yang sama sebagai lembaga negara. Kewenangan KPK dalam pelaksanaan supervisi termuat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun

      

65 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafido Persada : Jakarta, 2013

(9)

2002, yaitu KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

3. Melakukan Penyelidikan, Penyidikan, Dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

Menurut KUHAP, Penyelidikan dan Penyidikan terhadap tindak pidana merupakan tugas dan wewenang dari Kepolisian, dan Penuntutan merupakan tugas dari Kejaksaan. Dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 6 huruf c Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, dan dilegitimasi oleh Pasal 284 ayat (2) KUHAP, KPK juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan khusus terhadap tindak pidana korupsi. Namun, ketentuan ini tidak semerta-merta menghapuskan kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK adalah tindak pidana korupsi sebagai mana yang disebutkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat.

(10)

Selain itu, KPK juga memiliki kewenangan untuk mengambil alih proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi yang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, disertai alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu :

a. Adanya Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti.

b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK, terdapat kewenangan khusus yang dimiliki oleh KPK dalam melaksanakan tugasnya tersebut, seperti yang disebutkan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu :

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

(11)

c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan Tersangka atau Terdakwa yang sedang diperiksa.

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik Tersangka, Terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan Tersangka untuk memberhentikan sementara Tersangka dari jabatannya.

f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan Tersangka atau Terdakwa kepada instansi yang terkait.

g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh Tersangka atau Terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

i. Meminta bantuan Kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,

(12)

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

Perlu digaris bawahi, konsep pemberantasan tindak pidana korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menyangkut upaya represif dan preventif. Berbeda dengan konsep pemberantasan korupsi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang hanya menggunakan upaya represif. Atas dasar tersebut, KPK sebagai instansi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, juga menggunakan upaya preventif seperti pencegahan. Upaaya pencegahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bertujuan untuk menekan angka korupsi yang akan terjadi. Sehingga upaya preventif sangat diperlukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Wewenang KPK dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi disebutkan dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai berikut :

a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara.

b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.

c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.

d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi.

(13)

f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. KPK memiliki tugas untuk memonitoring kegiatan penyelenggara negara dalam pelaksanaan tugasnya dengan kewenangan yang dimilikinya. Pemantauana ini merupakan salah satu upaya preventif KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Wewenang yang dimiliki oleh KPK dalam pelaksanaan monitoring penyelenggara pemerintahan negara disebutkan dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, antara lain :

a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah.

b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi.

c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.

(14)

kewenangan untuk melakukan penyadapan tanpa adanya izin dari pengadilan hanya Badan Intelijen Negara (BIN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini membuktikan betapa luasnya kewenangan KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Bahkan KPK memiliki kewenangan untuk melakukan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan.

B.Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntutan Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan disebut dengan kekuasaan formal, yaitu kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang.66 Setiap kewenangan yang dimiliki oleh penegak hukum, harus diberikan oleh undang-undang. Kewenangan yang dimaksud di atas, dalam ilmu Hukum Administrasi Negara disebut kewenangan Atributif.

Pasal 74 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi “Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini”.

Dari formulasi Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang. Artinya, apabila tindak pidana asal dari Tindak Pidana Pencucian Uang adalah tindak pidana korupsi, berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 jo Pasal 74 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, KPK memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.

      

66 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bertanggungjawab,

(15)

Selain itu, KPK juga memilliki kewenangan untuk menggabungkan perkara tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana asal dengan Tindak Pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup. Hal tersebut didasari oleh Pasal 75 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Penggabungan tindak pidana dapat dilakukan pada tahap penuntutaan. Sehingga Penuntut Umum dapat menggabungkan perkara tindak pidana yang memiliki hubungan satu sama lain dalam satu surat dakwaan. Lantas, bagaimana dengan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang ?. Apakah pada tahap penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang, Penuntut Umum dapat menggabungkan perkara ?. tentu saja bisa. Mengingat penyidikan akan bermuara kepada penuntutan.

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 menyebutkan secara jelas dan tegas pada Pasal 74 bahwa penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam penjelasan Pasal 74 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan penyidik tindak pidana asal antara lain pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

(16)

Penuntut Umum dari tindak pidana asal Tindak Pidana Pencucian Uang bisa melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang ?. Contohnya pada tindak pidana pencucian hasil tindak pidana korupsi. KPK memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 74 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 jo Pasal 6 jo 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Tapi, apakah KPK memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi?. Persoalan ini menjadi ambiguitas dalam penegakan hukum. Ketika penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal, seharusnya pada tahap penuntutan, Penuntut Umum tindak pidana asal berwenang melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena penyidikan akan bermuara kepada penuntutan.

Dewasa ini, penolakan atas kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi semakin bergejolak. Hal ini diakibatkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak mengatur secara tegas siapa saja yang berwenang melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sehingga, KPK dianggap tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi, karena tidak ada hukum yang mengatur.

Kehendak dari perumusan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tertuang dalam penjelasan umum undang-undang tersebut yang menyatakan :

(17)

Poin yang paling cruzial adalah “efektifitas penegak hukum”. Apabila KPK yang semula memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan dan menggabungkan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dan tindak pidana korupsi, hasil penyidikan tersebut harus dilimpahkan kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan, apakah langkah tersebut merupakan langkah yang efektif dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang?. Tentu saja sangat tidak efektif. Karena langkah tersebut secara tidak langsung melanggar asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009.

Ketika undang-undang memberikan kewenangan kepada KPK dalam melakukan penyelidikan serta menggabungkan tindak pidana asal dan Tindak Pidana Pencucian Uang, secara mutatis mutandi KPK juga memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 dengan Akil Mochtar sebagai Pemohon. Dalam amar putusannya, Hakim Konstitusi berpendapat Penuntut Umum adalah suatu kesatuan. Berikut kutipan pendapat Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang :67

      

67 Putusan MK Nomor 77/PUU-XII/2014 dengan pemohon Akil Mochtar. Akil Mochtar

(18)

“…Penuntut Umum yang bertugas di Kejaksaan RI maupun yang bertugas di KPK adalah sama. Selain itu, demi peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, penuntut oleh jaksa yang bertugas di KPK akan lebih cepat dari pada harus dikirim lagi ke Kejaksaan negeri. Apalagi Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut terkait dengan tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK… .”

Polemik tentang kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan terus bergulir. Buktinya banyak dissenting opinion Hakim pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi terhadap kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi yang mana KPK sebagai Penuntut Umum. Tercatat 6 Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi yang mana KPK sebagai Penuntut Umum, terdapat dissenting opinion.68Diantaranya perkara nomor

10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Akil Mochtar, perkara nomor 55/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Anas Urbaningrum, perkara nomor 64/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Syahrul Raja Sempurna Jaya, perkara nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Lutfi Hasan Ishaq, perkara nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Djoko Susilo, perkara nomor 49/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Ahmad Fathanah. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, keraguan terhadap kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi telah terjawab.

      

68Artikel “’Grey Area’ Penanganan TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Bagian 1)”

(19)

C.Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST Atas Nama Terdawa Akil Mochtar

Putusan Nomor 10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST Atas Nama Terdawa Akil Mochtar adalah salah satu putusan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi yang mana KPK sebagai Penuntut Umum. Dalam putusan ini, timbul perbedaan pendapat Hakim terkait kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi. Berikut analisis putusan 10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST Atas Nama Terdawa Akil Mochtar :

1. Kasus

a. Kasus Posisi69

Akil Mochtar merupakan ketua Mahkamah Konstitusi RI berdasarkan Keputusan Presiden RI (KEPRES RI) Nomor 59/P Tahun 2008 jo KEPRES RI Nomor 42/P Tahun 2013. Terdakwa tertangkap tangan oleh penyidik KPK pada saat menerima sejumlah uang dari Cornelis Nalau Antun yang merupakan suruhan dari Hambith Binti yang merupakan Bupati Terpilih Kabupaten Gunung Mas yang didampingi oleh Chairun Nisa yang merupakan kerabat dari Akil Mochtar pada tanggal 2 Oktober 2013. Setelah dilakukan penyidikan, penuntutan dan berdasarkan fakta hukum yang ada, Akil Mochtar terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.

Akil Mochtar menerima hadiah berupa sejumlah uang dari berbagai orang pada beberapa kasus yang ditangani oleh Akil Mochtar di Mahkamah Konstitusi.

      

(20)

Selain itu, diketahui bahwa Akil Mochtar pada Tahun 2006 memiliki harta kekayaan yang tidak sesuai dengan penghasilannya sebagai Anggota DPR RI pada saat itu. Berikut tindak pidana yang dilakukan oleh Akil Mochtar :

1) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Gunung Mas sejumlah 3 Milyar Rupiah. 2) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala

Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak sejumlah 1 Milyar Rupiah.

3) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Empat Lawang sejumlah 10 Milyar Rupiah dan 500.000 USD (Lima Ratus Ribu US Dollar).

4) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Palembang sejumlah Rp. 19.866.092.800 (Sembilan Belas Milyar Delapan Ratus Enam Puluh Enam Juta Sembilan Puluh Dua Ribu Delapan Ratus Rupiah).

5) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lampung Selatan sejumlah Rp. 500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah)

6) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Buton sejumlah 1 Milyar Rupiah.

(21)

8) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Tapanuli Tengah sejumlah Rp. 1.800.000.000 (Satu Milyar Delapan Ratus Juta Rupiah).

9) Menerima suap terkait permohonan keberatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Jawa Timur sejumlah 10 Milyar Rupiah. 10)Menerima suap dari Alex Hasegem yang merupakan Wakil Gubernur

Papua sebesar Rp. 125.000.000 (Seratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah) dengan maksud agar putusan terkait permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Boven Digoel dipercepat.

11)Menerima uang sejumlah Rp. 7.500.000.000 (Tujuh Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) dari Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan (adik kandung Ratu Atut yang merupakan Gubernur Provinsi Banten pada saat itu). Uang tersebut ditransfer dengan beberapa tahap, yaitu :

a) Rp. 250.000.000 (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) yang ditransfer pada tanggal 31 Oktober 2011

b) Rp. 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah) dan Rp. 150.000.000 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah) pada tanggal 1 November 2011 c) Rp. 2.000.000.000 (Dua Milyar Rupiah) pada tanggal 17

November 2011

(22)

12)Melakukan pencucian uang dengan modus operandi memecahkan uang hasil tindak pidana ke jumlah yang lebih kecil, menempatkan kedalam sistem perbankan, melakukan konversi kemata uang lain, menyimpan uang hasil tindak pidana korupsi, membelanjakan uang hasil tindak pidana korupsi, mennggunakan perusahaan boneka dan melakukan transfer elektronik dengan tahapan sebagai berikut :

a) Menempatkan uang sejumlah Rp. 17.330.500.000 (Tujuh Belas Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Juta Lima Ratus Juta Rupiah) di Rekening Giro Bank Mandiri KC Pontianak Diponegoro atas nama CV. RATU SAMAGAT.

b) Menempatkan uang sejumlah Rp. 10.868.650.000 (Sepuluh Milyar Delapan Ratus Enam Puluh Delapan Juta Enam Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) Tabungan Bank Mandiri KC Pontianak Diponegoro atas nama CV. RATU SAMAGAT.

c) Menempatkan uang sejumlah Rp. 23.576.592.800 (Dua Puluh Tiga Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Enam Juta Lima Ratus Sembilan Puluh Dua Ribu Delapan Ratus Rupiah) di Rekening Giro PT BNI (Persero Tbk) KC Pontianak atas nama CV. RATU SAMAGAT.

(23)

deposito Rekening Bank BCA KCP Rahadi Usman Pontianak sebesar Rp. 1.000.000.000 (Satu Milyar Rupiah).

e) Menukar dengan mata uang asing, antara lain US Dollar, Euro, Singapore Dollar ke mata uang Rupiah di PT. Dolarindo Intravalas Primatama dengan jumlah Rp. 61.049.521.350 (Enam Puluh Satu Milyar Empat Puluh Sembilan Juta Lima Ratus Dua Puluh Satu Tiga Ratus Lima Puluh Rupiah), Mengkonversi ke PT. Uni Sarana Dana dengan jumlah Rp. 2.744.677.000 (Dua Milyar Tujuh Ratus Empat Puluh Empat Juta Enam Ratus Tujuh Puluh Tujuh Ribu Rupiah) dan di PT. Valas Inti Tolindo Rp. 1.457.552.000 (Satu Milyar Empat Ratus Lima Puluh Tujuh Lima Ratus Lima Puluh Dua Ribu Rupiah).

f) Menyimpan uang sebesar Rp. 2.700.000.000 (Dua Milyar Tujuh Ratus Juta Rupiah) pada ruang karaoke rumah dinas ketua MK RI.

g) Membeli tanah, dan kendaraan bermotor lainnya.

h) Membeli bibit sawit dengan alasan sebagai usaha, padahal diketahui Akil Mochtar tidak pernah ada usaha pabrik kelapa sawit.

(24)

b. Dakwaan70

Dalam surat dakwaan yang disusun secara kombinasi dari surat dakwaan kumulatif dan surat dakwaan alternatif. Penuntut Umum mendakwakan Terdakwa dengan 6 dakwaan sebagai berikut :

KESATU :

Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

DAN KEDUA :

Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

DAN KETIGA :

Pertama, Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang

      

(25)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Atau :

Kedua, Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

DAN

KEEMPAT :

Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

DAN KELIMA :

(26)

DAN KEENAM :

Perbuatan Terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

c. Fakta Hukum71

Fakta hukum yang dalam pertimbangan Hakim diperoleh selama persidangan berupa keterangan saksi,barang bukti dan keterangan Terdakwa, yang dikaitkan oleh Hakim dengan surat dakwaan Penuntut Umum yang disusun dalam dakwaan kombinasi antara dakwaan kumulatif dan dakwaan alternatif. Salah satu Fakta hukum yang diperoleh Hakim adalah bahwa Terdakwa merupakan orang yang normal, karenanya Terdakwa disebut memiliki kemampuan bertanggung jawab. Selain itu, Terdakwa memiliki hubungan batin dengan perbuatannya yang tercermin dari perbuatan nyata yang dilakukan Terdakwa.

Berikut fakta hukum yang diperoleh Hakim dalam persidangan, sesuai dengan klasifikasi dakwaan Penuntut Umum :

1) Fakta hukum yang diperoleh Hakim terkait dakwaan kesatu :

a) Berdasarkan keterangan saksi Kasianur Sidauruk yang bersesuaian dengan keterangan saksi Machfud MD dan Janedri Mahili Gaffar serta dokumen bukti bahwa benar M. Akil Mochtar adalah Hakim

      

(27)

pada Mahkamah Konsstitusi Republik Indonesia (MK RI) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 59/P Tahun 2008 tanggal 4 Agustus 2008 Jo KEPRES Nomor 42/P Tahun 2013 Tanggal 10 April 2013 dan Ketua MK RI masa jabatan 2013-2016 yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua MK RI Nomor 5 Tahun 2013.

(28)

janju guna mempengaruhi putusan keberatan Pilkada Kabupaten Gunung Mas terbukti.

c) Berdasarkan keterangan saksi Susi Tur Andayani yang saling bersesuaian dengan keterangan Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Amir Hamzah, Deni Syahputra, Ahmad Farid Asyari, Yayah Rodiah, Mohammad Awaludin, Ratu Atut Chosiyah dan Agus Sutisno, majelis Hakim berkesimpulan Terdakwa melalui Susi Tur Andayani telah meminta uang sebesar 3 Milyar Rupiah kepada Ratu Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana Chasan melalui Amir Hamzah terkait perkara Permohonan Keberatan Hasil Pilkada Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Yang mana atas permintaan tersebut disepakati oleh Tubagus Chaeri Wardana Chasan untuk dipenuhi sebesar 1 Milyar Rupiah terlebih dahulu. Sehingga, Majelis berpendapat unsur menerima uang dalam dakwaan pertama Penuntut Umum telah terpenuhi. Tidak terlaksananya penerimaan uang tersebut bukan karena kehendak Terdakwa maupun saksi Susi Tur Andayani, melainkan sudah keduluan oleh penyidik KPK. d) Perbuatan menerima hadiah berupa uang terkait permohonan

(29)

Juli 2013. Fakta selanjutnya bahwa sesuai dengan keterangan saksi Diki Mulia yang mendengar percakapan antara Muchtar Ependy dan Budi tentang Pilkada Empat Lawang, Muhtar Ependy meminta uang sebesar 15 Milyar Rupiah untuk pemenangan sengketa permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Empat Lawang di MK RI. Berdasarkan uraian kejadian dan petunjuk yang saling berhubungan satu sama lain, majelis Hakim berkeyakinan unsur menerima uang atau janji yang berhubungan dengan proses gugatan keberatan Pilkada Kabupaten Empat Lawang telah terpenuhi.

(30)

f) Bahwa Terdakwa menerima setoran uang dari Susi Tur Andayani pada bulan Juli 2010 sebesar 250 Juta Rupiah ke rekening Bank BNI atas Nama Akil Mochtar dengan menuliskan “pembayaran kelapa sawit” dan 250 Juta Rupiah ke rekening tabungan atas nama CV. Ratu Samagat dengan berita yang tertulis untuk “pembayaran tagihan” sesuai permintaan Terdakwa. Menurut majelis telah dikualifikasikan sebagai gratifikasi karena saksi dan bukti di persidangan tidak dapat menunjukan fakta yang meyakinkan majelis bahwa sebelumnya telah ada janji yang berkaitan dengan Plkada Kabupaten Lampung Selatan.

2) Fakta hukum yang diperoleh Hakim terkait dakwaan kedua :

a) Terdakwa menerima uang sebesar 1 Milyar Rupiah uang diberikan oleh Umar Abdul Samiun yang dikirim ke rekening Tabungan atas nama CV. Ratu Samagat. Patut diduga uang tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Buton Tahun 2012. b) Terdakwa menerima uang sebesar Rp. 2.989.000.000 yang

diberikan oleh Rusdi Sibua diketahui atau patut diduga bahwa uang tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kabupaten Pulau Moratai Tahun 2011.

(31)

diduga bahwa uang tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2011.

d) Terdakwa menerima uang sebesar 10 Milyar Rupiah yang dberikan oleh Zainudin Amali. Diketahui atau patut diduga uang tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan atas hasil Pilkada Jawa Timur Tahun 2013.

3) Karena pada dakwaan ketiga surat dakwaan Penuntut Umum disusun secara alternatif, maka Hakim memilih salah satu yang untuk dipertimbangkan. Fakta hukum yang diperoleh Hakim terkait dakwaan ketiga alternatif kedua adalah :

a) Bahwa Alex Hasegem pernah mengirim uang kepada Terdakwa melalui transfer rekening yang dikirim ke rekening bank BCA KCP Rahadi Usman Pontianak atas nama Akil Mochtar pada tanggal 14 September 2010 sebanyak 2 kali, masing-masing berjumlah Rp. 25.000.000. Dan pada bulan Juni Tahun 2011, Alex Hasegem mentransfer uang sejumlah Rp. 50.000.000 dan Rp.25.000.000 pada tanggal 20 Juni 2011 ke rekening Bank BCA atas nama Terdakwa.

4) Fakta hukum yang diperoleh Hakim terkait dakwaan keempat :

(32)

terkait hubungan bisnis investasi antara PT. BPP dengan CV. Ratu Samagat. Akan tetapi, Terdakwa dan saksi Tubagus Chaeri Wardana tdak dapat membuktikan uang tersebut berkaitan dengan bisnis investasi. Sehingga majelis berpendapat unsur diketahui atau patut diduga bahwa janji atau hadiah tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya telah terpenuhi.

5) Fakta hukum yang diperoleh Hakim terkait dakwaan kelima :

a) Terdakwa menitipkan uang sejumlah Rp. 35.000.000.000 yang berasal dari pemberian uang dalam kaitannya dengan perkara sengketa Pilkada di Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang kepada Muhtar Ependy untuk dikelola.

b) Berdasarkan keterangan saksi Muhtar Ependy, saksi mentransfer uang sejumlah Rp. 3.866.122.800 ke rekening CV. Ratu Samagat dan memberikan uang tunai kepada Terdakwa.

c) Saksi Daryono memberi keterangan bahwa penukaran mata uang dollar ke rupiah dan kemudian mentransfer uang hasil penukaran ke CV. Ratu Samagat yang berjumlah Rp. 56.555.366.000 adalah permintaan Terdakwa.

(33)

e) Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Terdakwa mengetahui sumber uang yang masuk ke rekening CV. Ratu Samagat berasal dari penukaran uang asing yang diberikan oleh Terdakwa dan pemberian dari para pihak yan sedang berperkara terkait dengan hasil pilkada di MK. Dengan mendirikan CV. Ratu Samagat, Terdakwa ingin menyamarkan asal usul harta kekayaan yang seolah berasal dari kegiatan usaha atau bisnis yang sah.

f) Terdakwa diketahui melakukan renovasi rumah di Jl. Karya Baru Nomor 20 Pontianak Kalimantan Barat dengan biaya Rp. 1.951.500.000, membeli tanah dan bangunan du Desa Parit Tokaya, Pontianak, Kalimantan Barat dengan harga Rp. 800.000.000 dan rumah tersebut diatas namakan Aries Adhitya Shafitri.

g) Terdakwa melalui Daryono membeli dua unit mobil dengan masing-masing harga Rp. 216.000.000 dan Rp. 294.800.000.

6) Fakta hukum yang diperoleh Hakim terkait dakwaan keenam :

(34)

Ketidakwajaran tersebut mengindikasikan perolehan harta kekayaan Terdakwa tersebut menyimpang dari profil Terdakwa selaku penyelenggara negara.

b) Dipersidangan Terdakwa menerangkan terkait dengan penerimaan uang sejumlah Rp. 6.166.800.000 yang ditempatkan di tabungan BNI KC Pontianak yang berasal dari Yuana Sisilia sebesar Rp. 300.000.000. Terdakwa menjelaskan uang tersebut adalah pembayaran tanah, dari Daryono sebesar Rp. 500.000.000 terkait penjualan tanah, dan dari Susi Tur Andayani Rp. 250.000.000 terkait pengembalian pinjaman saksi kepada Terdakwa. Namun, Argumentasi tersebut bertentangan dengan keterangan Susi Tur Andayani yang menerangkan bahwa uang yang dikirim Terdakwa adalah fee pengacara Pilkada Laampung Selatan, yang keterangan ini bersesuaian dan karenanya dikuatkan Sugiarto dan Eki Setianto. d. Tuntutan Pidana72

Dalam Tuntutan Pidana, Penuntut Umum tetap terhadap dakwaannya. Yang menyatakan Terdakwa bersalah melaanggar Pasal yang didakwakan dari dakwaan kesatu sampai dengan dakwaan keenam. Tuntutan pidana yang dijatuhkan kepada Akil Mochtar adalah :

1) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa M. Akil Mochtar berupa pidana penjara seumur hidup dan ditambah dengan pidana denda sebesar Rp.10.000.000.000

      

(35)

2) Pidana tambahan pencabutan hak memilih dan dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut aturan-aturan umum

3) Menyatakan barang bukti terlampir dalam surat tuntutan (barang bukti aset dirampas)

4) Menetapkan agar Terdakwa M. Akil Mochtar membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000.

e. Putusan73

Sebelum majelis Hakim menjatuhkan pidana, maka majelis Hakim wajib mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Terdakwa sebagai berikut :

1) Hal-hal yang memberatkan :

a) Terdakwa adalah Ketua Lembaga Tinggi Negara yang merupakan ujung tombak dan benteng terakhir bagi masyarakat dalam mencari keadilan yang seharusnya menjadi teladan dalam masalah integritas pribadinya.

b) Perbuatan Terdakwa mengakibatkan runtuhnya kewibawaan lembaga MK RI sebagai benteng terakhir penegakan hukum

c) Diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga MK RI.

2) Hal-Hal yang meringankan :

(36)

a) Bahwa dalam hal Terdakwa dijatuhi pidana dengan ancaman terberat, maka hal-hal yang meringankan tidak dapat dipertimbangkan lagi.

Dalam Amar Putusan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 10/PID.SUS/TPK/PN.JKT.PST, memutuskan :

1) Menyatakan bahwa Terdakwa Akil Mochtar telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana : a) Korupsi sebagaimana dalam dakwaan kesatu. Sebagaimana diatur

dalam Pasal 12 huruf c Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana, kecuali sepanjang perbuatan menyangkut penerimaan janji atau uang yang berkaitan dengan perkara keberatan hasil Pilkada kabupaten Lampung Tengah.

(37)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana

c) Korupsi sebagaimana dalam dakwaan ketiga alternatif kedua. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana

d) Korupsi sebagaimana dalam dakwaan keempat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana

e) Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dalam dakwaan kelima Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana

(38)

Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa M. Akil Mochtar berupa pidana penjara selama seumur hidup.

3) Menyatakan barang bukti74 (berupa aset dikembalikan kepada negara, dan beberapa bukti tetap terlampir di berkas perkara, beberapa bukti dikembalikan kepada Terdakwa, beberapa bukti dikembalikan kepada saksi, beberapa bukti digunakan sebagai bukti dalam kasus lain terkait dan yang memiliki hubungan dengan kasus ini).

4) Menetapkan agar Terdakwa M. Akil Mochtar membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000.

2. Analisis Putusan

Pada putusan Akil Mochtar, 2 orang Hakim memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Selain itu, ahli hukum sebagai saksi ahli dalam persidangan memiliki pandangan yang berbeda terkait kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi. Sehingga, timbul pro dan kontra terhadap kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.

      

74 Alat bukti yang terlampir sejumlah 1126, yang terdiri dari surat, dokumen, foto copy

(39)

a. Perbedaan Pendapat Hakim (Dissenting opinion) Dalam Perkara Pidana Dengan Nomor 10/Pid.sus/TPK/2014/PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Akil Mochtar

Dissenting opinion sesungguhnya merupakan bentuk akuntabilitas publik

atas Hakim dalam memutuskan perkara. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat maka Hakim yang berbeda pendapat tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan.

Sebenarnya, dissenting opinion bukan merupakan budaya hukum Eropa Kontinental melainkan merupakan budaya hukum Anglosaxon. Namun demikian dalam perkembangan budaya hukum tersebut diadopsi di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, termasuk Indonesia. Hukum positif Indonesia megatur tentang dissenting opinion, pada Pasal 14 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut :

(1)Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan Hakim yang bersifat rahasia

(2)Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakaim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan

(3)Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim yang berbeda wajib memuat dalam putusan

(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksu pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam peraturan Mahkamah Agung.

(40)

pendapat, pendapat tersebut harus dilampirkan dalam amar putusan. Ketentuan ini merupakan konsekuensi dari prinsip Indepedenct of Judiciari.75

Pertanggungjawaban secara hukum sudah barang tentu dapat dilihat dari pendapat yang disampaikan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari putusan yang akan dikaji oleh publik. Dalam penyampaian pendapat tersebut haruslah memiliki landasan keilmuan yang jelas, memiliki sifat objektifitas, memiliki legal reasoning yang jelas, dan lainnya. Apabila dilihat dari sisi moral, akan dilihat

apakan pendapat tersebut ada nilai-nilai tertentu yang akan disampaikan dari dissenting opinion tersebut, apakah memiliki keluruhan nilai, dan lainnya. Di sisi

lain, dissenting opinion juga bermanfaat bagi penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan materi yang disampaikan oleh Hakim dalam dissenting opinion-nya.76

Dissenting opinion mewarnai penanganan kasus Tindak Pidana Pencucian

Uang hasil tindak pidana korupsi, yang mana Penuntut Umumnya adalah KPK. Hal ini merupakan refleksi dari ketidak jelasan undang-undang mengatur mengenai kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi. Salah satu kasus Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi adalah perkara Nomor 10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa AKIL MOCHTAR. Dalam kasus tersebut, terdapat 2 Hakim yang memiliki perbedaan pendapat (dissenting opinion), yaitu Sofialdi, SH yang merupakan Hakim Anggota III, dan Alexander Mawarta yang merupakan Hakim Anggota IV.

      

(41)

Hakim Anggota III, Sofialdi, SH dalam amar putusan berpendapat KPK tidak berkewenangan melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian yang dengan alasan pertimbangan sebagai berikut :

1) Bahwa, Penuntut Umum pada KPK tidak mempunyai kewenangan berdasarkan udnang-undang untuk melakukan penuntutan atas tundak pidana pencucian uang ke Pengadilan sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010.

2) Bahwa dengan tidak adanya kewenangan tersebut maka Penuntutan yang diikuti dengan Surat Tuntutan Pidana terhadap tindak pidana pencucian yang dalam dakwaan kelima harus dinyatakan tidak dapat diterima dan Terdakwa tidak dapat dipersalahkan dan dijatuhi pidana berdasarkan dakwaan kelima tersebut.

3) Menimbang bahwa terhadap dakwaan keenam yaitu penuntutan ex Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c undang-Undang-Undangndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tidak dapat diperiksa dan dituntut ke persidangan perkara a quo dengan alasan bahwa :

a) KPK sendiri dalam undang-undang ini tidak punya kewenangan daolam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang.

(42)

oleh KPK adalah suatu tindakan yang tidak berdasarkan hukum atau tanpa kewenangan sendiri.

c) Bahwa terhadap surat dakwaan keenam yang dilakukan penuntutan oleh KPK tanpa ada kewenangan penyidikan sejak awal kemudian dilakukan penuntutan maka menurut pendapat Hakim Anggota III surat dakwaan keenam dan tuntutan terhadap dakwaan tersebut harus dinyatakan batal dengan sendirinya sehingga konsekuensinya Terdakwa tidak dapat dipersalahkan dengan dakwaan yang telah batal tersebut.

(43)

dalam Pasal 141 KUHAP yang salah satunya adalah memiliki hubungan erat antara 1 dan yang lainnya. Perlu digaris bawahi adalah tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang memiliki hubungan yang erat, sebagaimana yang telah penulis jabarkan dalam BAB II. Beranjak dari pemikiran tersebut, KPK yang berwenang melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang, secara mutatis mutandi dapat melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.

Dalam konteks hukum progresif, manusia berada di atas ukum. Hukum hanya menjadi sarana untuk menjamin dan menjaga kebutuhan manusia.77 Hakim harus objektif melihat bahwa keberadaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 merupakan sarana pencapaian sesuatu yang lebih luas, bukan sekedar untuk undang-undang itu sendiri. Apabila terdapat kekurangan maupun cacat dalam undang-undang tersebut, maka tidak mungkin aparat penegak hukum menunggu perubahan terlebih dahulu baru kemudian melakukan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kreativitas hakim dalam memaknai hukum tidak akan berhenti pada “mengeja bunyi pasal-pasal dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010”. Hakim seharusnya tidak dipaksa untuk tunduk dan masuk dalam undang tersebut, tetapi hakim harus melakukan sesuatu untuk melengkapi undang-undang tersebut. Karena manusia berada di atas hukum78.

      

77 Konteks hukum progresif lebih menekankan tujuan hukum untuk manusia, dan manusia

untuk hukum. Sehingga, hukum hanya dianggap sebagai suatu dokumen yang absolut. Hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Yudi Kristiana, Op.Cit Hal. 358-359.

78 Dalam sistem hukum Indonesia, hakim diberikan kewenangan untuk melakukan penemuan

(44)

Hakim Anggota IV, Alexander Marwarta, AK., SH., CFE dalam amar putusan menyampaikan dissenting opinionnya yang pada intinya sebagai berikut :79

1) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memiliki kewenangan mengadli tindak pidana pencucian yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi, bukan mengadili tindak pidana yang diduga adalah tindak pidana korupsi.

2) Jika dasar penyitaan atau perampasan harta kekayaan Terdakwa hanya karena jumlah harta kekayaan Terdakwa tidak sesuai dengan profil Terdakwa, maka hal tersebut menumbulkan ketidakadilan bagi Terdakwa.

3) Apakah ketidakmampuan Terdakwa membuktikan asal usul perolehan harta kekayaannya dapat menjadi dasar untuk merampas atau menyita seluruh harta kekayaan Terdakwa karena diduga juga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi, padahal Penuntut Umum sendiri tidak menyampaikan alat bukti untuk meng-counter pembuktian yang dilakukan Terdakwa.

Dalam pertimbangan Hakim Anggota IV tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada poin ke-1, Hakim Anggota IV berpendapat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana yang diduga tindak pidana korupsi. penulis berpendapat, maksud pertimbangan Hakim Anggota IV poin ke-1 berkaitan dengan Pasal 69 Undang-undang Nomor 8 Tahun

      

(45)

2010 bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi, tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu. KPK menggunakan dakwaan kumulatif antara Pasal tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pada bagian dakwaan kelima, perbuatan Terdakwa melanggar tindak pidana pencucian yang yang diancam pidana dan diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Dalam kasus tersebut, Terdakwa belum ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Secara yuridis, Terdakwa pencucian uang dapat dituntut walaupun pelaku belum ditetapkan melanggar tindak pidana asal. Hanya saja Hakim Anggota IV berpendapat tuntutan dapat diajukan ke Pengadilan Umum bukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat ad hoc. Hakim Anggota IV menurut penulis berpendapat pada dakwaan kelima, Terdakwa masih “Patut Diduga” melakukan tindak pidana asal yaitu tindak pidana korupsi, sedangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa apabila Terdakwa telah ditetapkan melanggar tindak pidana korupsi.

(46)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah untuk menyelamatkan aset negara. Pendekatan ini di banyak negara diakui lebih menjanjkan keberhasilannya ketimbang mengejar pelaku kejahatan yang biasanya memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan. Pendekatan Follow the Money memudahkan dilakukannya asset tracking (penelusuran aset), karena pada umumnya pelaku kejahatan korupsi menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan.80

b. Pro kontra Terhadap Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi menimbulkan berbagai pendapat dari beberapa ahli hukum. Secara yuridis normatif Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak menyebutkan secara tegas siapa yang dimaksud sebagai Penuntut Umum dalam Pasal 76 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Apakah KPK berwenang melakukan penuntutan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi atau tidak. Apabila dilihat dari segi normatifnya, KPK tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi. Tetapi apabila kita melihat dari landasan filosofis dan sosiologisnya, KPK justru memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.

Permasalahan teknis terhadap hukum formil Indonesia mengalami ambiguitas. Pendapat tersebut terbukti dengan terdapatnya 6 kasus Tindak Pidana

Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi yang mana KPK sebagai Penuntut       

80 Sigit Herman Binaji,”Dualisme Pandangan Penuntutan TPPU”, Mahkamah Agung RI Edisi

(47)

Umum. Setiap kasus tersebut, terdapat beberapa pendapat yang berbeda (dissenting opinion) Hakim dalam amar putusan. Beberapa Hakim berpendapat KPK memiliki kewenangan dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi, dan beberapa Hakim menegaskan KPK tidak memiliki kewenangan dalam penuntutan hasil tindak pidana korupsi. Tentunya setiap pendapat Hakim memiliki alasan yuridis, sosiologis maupun filosofis berdasarkan landasan keilmuan yang dimilikinya. Sehingga, kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi masuk kedalam “gray area”.

Sampai saat ini, perdebatan sering terjadi dikalangan praktisi hukum bahkan beberapa ahli hukum dengan pola pikir yang berbeda terhadap kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ada yang mendukung bahwa KPK memiliki kewenangan dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi, dan ada yang tidak setuju terhadap kewenangan tersebut.

Kepala Pusat Penilitan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein menyampaikan argumennya dalam kesaksian pada persidangan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana yang bersangkutan dihadirkan sebagai ahli oleh Jaksa Penuntut Umum KPK yang pada pokonya dapat diringkas sebagai berikut :81

1. Memang benar undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tidak menyebutkan kewenangan KPK untutk menuntut perkara Tindak

(48)

Pidana Pencucian Uang, tetapi Pasal 75 undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang memerintahkan apabila dalam menyidik tindak pidana asal (korupsi) ditemukan adanya Tindak Pidana Pencucian Uang, maka penyidik (KPK) menggabungkan keduanya sebagai gabungan tindak pidana (concursus realis), yaitu tindak pidana asal (Korupsi) dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hal penyidikanya digabung, maka wajarlah KPK yang berwenang menuntut perkara korupsi juga menggabungkan penuntutan perkara korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Bukankah perkara korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang yang diperiksa sangat berhubungan erat ?.

(49)

sudah tentu memakan waktu dan biaya yang lama dan kurang memberikan kepastian hukum kepada Terdakwa.

3. Menyerahkan penuntutan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang kepada Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Justru sebaliknya KPK mempunyai kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi yang sedang ditangani Kepolisian atau Kejaksaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

4. Menurut ahli hukum Jerman Gustav Radburch, tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dari ketiga unsur tersebut keadilanlah yang harus didahulukan. Menurut para ekonom, hukum yang adil adalah hukum yang efisien dan efisiensilah yang merupakan tujuan hukum.

5. Teori Hukum Progressive yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo yang mengedepankan hati nurani, keadilan, dan konsep “hukum untuk manusia”. Pemikiran hukum progresif ini sering “beyond in the text” lebih jauh dari teks hukum yang ada dalam peraturan. Memang kalau dikaji secara mendalam peraturan perundang-undangan yang ada sebagai ciptaan manusia pasti ada kekurangan. Oleh karena itu haruslah dilihat yurisprudensi yang ada dan ditafsirkan sesuai dengan hati nurani untuk memperoleh keadilan.

(50)

dalam melaksanakan tugas penuntutan tindak pidana dan kewenangan lain. penjelasan Pasal 2 ayat (3) menjelaskan ”Kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, dan tata kerja Kejaksaan. Dengan demikian Penuntut Umum di Kejaksaan dan di KPK adalah merupakan satu kesatuan. KPK memang tidak pernah merekrut Penuntut Umum sendiri di luar yang berasal dari Kejaksaan. 7. Mengingat sistem anti pencucian uang bertujuan utama untuk

(51)

Memang benar dalam undang-undang tidak ada diatur apakah memiliki kewenangan atau tidak, tetapi tidak selamanya apa yang tidak diatur dalam undang-undang tidak boleh dilakukan dan sebaliknya, tidak selamanya apa yang tidak diatur dalam undang-undang boleh dilakukan. Herman Kantoro Wismo memberikan tiga indikator dalam menentukan apa yang tidak diatur dalam undang-undang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, indikator tersebut yaitu, kepatutan, ketertiban umum dan tertib hukum. Dalam indikator tertib hukum, karena pengadilan Tindak Pidana Korupsi memiliki kewenangan dalam mengadili Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi, secara interprestasi sistematis, gramatikal maupun historis KPK memiliki kewenangan untuk memproses dari tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi.82

Sebagai konsekuensi pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010, yakni Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Predikat Crime korupsi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, KPK berwenang menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan dakwaan kumulatif, karena secara historis embrio lahirnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi melalui Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 adalah pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 di mana Pengadilan Tindak Pidana Korupsi awalnya menerima limpahan perkara dari Jaksa KPK. Sehingga, logis Jaksa KPK berwenang menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang. Putusan Hakim Progresif

(52)

dengan menerobos positivisme hukum sangat dibutuhkan manakala norma hukum positif dirasa tidak memadai guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan: “Dalam hal KPK sudah mulai menyidik perkara Tindak Pidana Korupsi, Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan Penyidikan”. Sehingga menjadi tidak efektif dan tidak efisien manakala Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi sebagai Predicat Crime Tindak Pidana Pencucian Uang sudah dilakukan Jaksa pada KPK namun kemudian Penuntutan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang-nya diambil alih lagi atau dituntut oleh Jaksa pada Kejaksaan.83

I Gede Panjta memberikan argumen yang bertentangan terhadap argument Yusuf Husein (Kepala PPATK) poin ke-1. I Gede Pantja menyatakan KPK tidak memiliki kewenangan dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selanjutnya Menurut Mudzakir, terkait masalah kewenangan harus diatur dengan landasan normatif yang jelas bukan melalui interprestasi. Penafsiran para ahli tidak akan menimbulkan kewenangan. Dengan kata lain Mudzakir berpendapat tafsiran para ahli tidak dapat dijadikan landasan memberikan kewenangan kepada suatu instansi penegak hukum.84

Chairul Huda kembali memperjelas bahwa KPK tidak berwenang dalam melakukan penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi. menurut Chairul Huda yang merupakan saksi ahli Akil Mochtar pada persidangan perkara pidana Nomor 10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST bahwa pada tahap       

(53)

penyidikan, penyidik dapat menggabungkan antara tindak pidana asal dan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan Pasal 74 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010. Dalam hal tindak pidana pencuciang hasil korupsi, KPK berwenang menggabungkan tindak pidana korupsi sebagai predicate crime dan Tindak Pidana Pencucian Uang pada tahap penyidikan, seolah-olah KPK juga berwenang menggabungkan tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang pada tahap penuntutan, dan KPK berwenang melakukan penuntutan.

Menurut Chairul Huda pendapat tersebut harus ditolak. Konstruksi tersebut tidak sesuai dengan Pasal 3 KUHAP yang menjadi landasan Hukum Acara. Dalam Pasal 3 KUHAP terdapat asas legalitas Hukum Acara, yang berarti kewenangan aparat penegak hukum harus ditentukan oleh undang-undang. Sehingga KPK tidak bisa memiliki sesuatu kewenangan apabila tidak ditentukan oleh undang-undang. KPK tidak berwenang dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil tindak pidana korupsi dengan hanya didasari interprestasi para ahli dengan menarik asas-asas hukum.

Poin kontra terhadap kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang hasil korupsi terdapat pada pendapat Hakim Anggota III yang

memberikan dissenting opinion pada Putusan Nomor

(54)

didasarkan pada anggapan KPK sendiri bahwa kewenangan tersebut dimilikinya, karena KPK mempunyai kewenangan penyidikan atas Tindak Pidana Pencucian Uang, karena kewenangan tersebut tidak jatuh dari langut, akan tetapi ditentukan oleh hukum.85

Hukum acara tidak dapat diinterprestasikan dan dianalogikan satu dan lain sebagaimana prinsip due process of law. Apabila dasar kewenangan penuntutan KPK atas Tindak Pidana Pencucian Uang didasarkan pada analogi dan interprestasi, menafsir-nafsirkan kaitan Pasal yang satu dengan yang lain sehingga dapat disimpulkan KPK berwenang melakukan penuntutan perkara pencucian uang hasil korupsi tentulah tidak sesuai dengan prinsip Due process of law. Melainkan merupakan pertimbangan Teleologi.86

Mudzakir mengatakan ketika undang-undang menyebutkan bahwa KPK diberikan kewenangan satu, dua, dan tiga oleh undang-undang, maka tidak boleh lahir kewenangan baru yaitu empat atas sebauh interprestasi dan alasan peradilan yang cepat dan murah. Kewenangan tetap harus lahir dari undang-undang yang ditulis secara eksplisit karena kewenangan baru yang tidak disebutkan undang-undang berpotensi abuse of power dan merenggut hak-hak tersangka.87

Perdebatan ini tidak akan ada habisnya sebelum ada win solution dari pemerintah terkait kewenangan KPK dalam penuntutan Tindak Pidana Pencucian

      

85 Putuasan Nomor 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama Terdakwa Lutfi

Hasan Ishaq.

86 Pertimbangan Teleologi diartikan sebagai pertimbangan moral akan baik buruknya

suatu tindakan dilakukan. Yang dipentingkan adalah tujuan atau akibat dari pertimbangan tersebut.

87 Ade Aleandro, Berita “KPK Tidak Berwenang Melakukan Penuntutan Perkara Pidana

(55)
(56)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang bersifat turunan. Sehingga tindak pidana pencucian uang bergantung pada predicate crime-nya dan memiliki hubungan yang erat dengan predicate

crime-nya. Salah satu tindak pidana yang menjadi predicate crime tindak

pidana pencucian uang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 2010 adalah tindak pidana korupsi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh FATF, tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang paling berpengaruh terhadap tindak pidana pencucian uang. Karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang banyak menghasilkan uang haram. Dapat dikatakan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang memiliki hubungan yang erat. Menurut N.H.T. Siahaan, tindak pidana korupsi bisa dikatakan sebagai predicate crime apabila dana hasil tindak pidana korupsi di atas 500 juta

rupiah, dan uang tersebut disamarkan melalui beberapa modus pencucian uang.

(57)
(58)

mengenai kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi. Dalam praktek hukkum di Indonesia, tercatat dari 6 kasus tindak pidana pencucian uang hasil korupsi yang mana KPK sebagai penuntut umum, terdapat dissenting opinion di setiap kasus. Contoh kasusnya adalah perkara pidana nomor 10/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST Atas Nama Terdakwa Akil Mochtar. Terdapat dua orang hakim yang mengajukan dissenting opinion terhadap kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014 yang pada amar putusannya hakim konstitusi berpendapat KPK memiliki kewenangan dalam melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang sepanjang predicate crime-nya adalah tindak pidana korupsi. Tafsir hakim konstitusi terhadap klausul “Penuntut Umum” pada Pasal 76 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah Jaksa yang bertugas di Kejaksaan RI ataupun yang bertugas di KPK. Menurut hakim konstitusi, Jaksa Penuntut Umum yang ditugaskan di Kejaksaan maupun di KPK adalah sama. Putusan mahkamah konstitusi menjadi cikal bakal landasan normatif kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.

B. Saran

(59)

membatasi pemanfaatan kejahatan itu sendiri. Maka dengan sendirinya financing atas kejahatan berikutya akan terputus.

2. Terkait kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi, perlu diadakan deregulasi yang menyatakan penuntut umum tindak pidana asal dapat melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang. Dengan ini, KPK memiliki landasan normatif yang jelas dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.

(60)

BAB II

HUBUNGAN ANTARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak yang sangat besar, baik di sektor ekonomi maupun sektor moral dan keseimbangan negara. Sehingga korupsi dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordiniory crime) dan menjadi musuh besar pada setiap negara. Berbagai upaya dilakukan

oleh setiap negara untuk memberantas korupsi. Misalnya dengan dibentuknya Independent Comission Againts Coruption (ICAC) di Australia dan Hongkong,

Badan Pencegah Rasuah di Malaysia, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura, Counter Coruption Art (CCA) di Thailand, Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan lainnya.36

Berbagai badan anti korupsi di dunia memiliki visi dan misi yang sama. Yaitu memberantas korupsi dan bersifat independen. Hanya saja, setiap negara memiliki landasan Filosofis, Yuridis, Sosiologis serta landasan historis yang berbeda. Perbedaan landasan tersebut mempengaruhi bagaimana cara, proses dan kewenangan setiap negara dalam melakukan pemberantasan korupsi. sehingga dapat disimpulkan bahwa badan anti korupsi di dunia memiliki tujuan yang sama. Namun memiliki cara yang berbeda dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas

      

36 Andi Hamzah,Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar

Referensi

Dokumen terkait

Pada pertemuan pertama terdapat 6 kelompok dimana terdapat 4 hingga 5 siswa dari masing-masing kelompok, pada pertemuan pertama karena masih proses adaptasi

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang

Tabel 2.3 Jumlah Mata Air, Debit Rerata Tahunan dan Volume Tahunan di Wilayah Sungai UPT PSDAW di Provinsi Jawa Timur tahun 2012

Oleh karena itu untuk membuat animasi iklan dibutuhkan dua komponen animasi yaitu animasi teks yang digunakan untuk menyampaikan informasi dan animasi twening objek yang

RKPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2017 merupakan penjabaran RPJMD Provinsi Jawa Timur tahun 2014- 2019 dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN dan Rencana

Langkah pertama pembuatan program ini adalah mengumpulkan elemen elemen yang dibutuhkan untuk membuat suatu aplikasi multimedia lalu dilanjutkan dengan menggabungkan elemen

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Marpaung (2006) dalam skripsinya yang berjudul “Pemerolehan Bahasa Batak Toba Anak Usia 1-5 Tahun”, menyimpulkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa anak adalah