• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

1. Dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi, selain upaya preventif, perlu dilakukan pemutusan mata rantai kejahatan yang dilakukan dengan memutus pendanaan dari kejahatan serta

membatasi pemanfaatan kejahatan itu sendiri. Maka dengan sendirinya financing atas kejahatan berikutya akan terputus.

2. Terkait kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi, perlu diadakan deregulasi yang menyatakan penuntut umum tindak pidana asal dapat melakukan penuntutan tindak pidana pencucian uang. Dengan ini, KPK memiliki landasan normatif yang jelas dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi.

3. Untuk menutupi kelemahan yang ada pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 dan dalam rangka upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta tindak pidana korupsi, Mahkamah Agung dapat mengeluarkan surat keputusan yang menegaskan bahwa KPK memiliki kewenangan dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang hasil tindak pidana korupsi, sebagai pengukuhan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-XII/2014.

BAB II

HUBUNGAN ANTARA TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak yang sangat besar, baik di sektor ekonomi maupun sektor moral dan keseimbangan negara. Sehingga korupsi dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordiniory crime) dan menjadi musuh besar pada setiap negara. Berbagai upaya dilakukan oleh setiap negara untuk memberantas korupsi. Misalnya dengan dibentuknya Independent Comission Againts Coruption (ICAC) di Australia dan Hongkong, Badan Pencegah Rasuah di Malaysia, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) di Singapura, Counter Coruption Art (CCA) di Thailand, Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan lainnya.36

Berbagai badan anti korupsi di dunia memiliki visi dan misi yang sama. Yaitu memberantas korupsi dan bersifat independen. Hanya saja, setiap negara memiliki landasan Filosofis, Yuridis, Sosiologis serta landasan historis yang berbeda. Perbedaan landasan tersebut mempengaruhi bagaimana cara, proses dan kewenangan setiap negara dalam melakukan pemberantasan korupsi. sehingga dapat disimpulkan bahwa badan anti korupsi di dunia memiliki tujuan yang sama. Namun memiliki cara yang berbeda dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas

      

36 Andi Hamzah,Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar

bumi ini. Yang menjadi masalah utama adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi.37 Selain itu, Adolfo Beria memandang korupsi sebagai fenomena dunia yang keberadaannya mengikuti sejarah manusia itu sendiri.38 Howard Jones berpendapat kemajuan-kemajuan di setiap bidang menjadi biang dari perkembangan kejahatan.39 Maka dalam pemberantasan korupsi yang semakin berkembang, perlu diadakannya pembaharuan aturan terkait tindak pidana korupsi sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Pembaharuan hukum khususnya di bidang hukum pidana pada hakikatnya bermakna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.40 Hal tersebut merupakan refleksi dari filsafat hukum tentang living law yang dikemukakan oleh Eugen Erlicht, dalam arti selaras dengan kenyataan hidup ditengah pergaulan dan mencerminkan nilai yang ada di tengah masyarakat.

Tindak pidana korupsi kian berkembang di Indonesia, bahkan di dunia. Globalisasi menjadi salah satu faktor utama berkembangnya tindak pidana korupsi di Indonesia. Korupsi bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Korupsi telah       

37.Ibid Hal. 1

38 Yudi Kristiana, Op.Cit Hal. 3

39 Howard Jones, Crime in Changing Society, yang dikutip oleh Sudarto, Hukum Pidana

dan Perkembangan Masyarakat : Kajian Terhadap Hukum Pidana, Sinar Baru: Jakarta 1983 Hal. 32

ada dan meracuni bangsa Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Sejarah mencatat bahwa salah satu penyebab utama runtuhnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang merupakan organisasi terbesar milik Belanda yang mempunyai kekuasaan penuh atas wilayah jajahan Hindia Belanda adalah karena korupsi yang telah mengakar dan menghancurkan sistem perekonomian VOC.41

Pasca proklamasi, pemerintah Indonesia tidak menutup mata atas tindak pidana korupsi ini. KUHP yang merupakan kitab undang-undang yang berlaku di Indonesia atas pemberlakuan asas concordantie, memuat beberapa ketentuan yang terkait tindak pidana korupsi, yang termuat dalam beberapa Pasal dalam 3 bab, yaitu :

1. Bab VIII menyangkut kejahatan terhadap penguasa umum, terletak pada Pasal 209, dan Pasal 210 KUHP.

2. Bab XXI tentang perbuatan curang, terletak pada Pasal 387 dan 388 KUHP

3. Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan, terletak pada Pasal 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP.

Rumusan tindak pidana korupsi yang termuat dalam KUHP terdiri dari empat kelompok delik, yaitu :

1. Kelompok tindak pidana penyuapan, yang terdiri dari Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420

2. Kelompok tindak pidana penggelapan, yang terdiri dari Pasal 415, 416, dan 417 KUHP

      

41 Bayu Widyatmoko, Kronik Peralihan Nusantara, Liga Raja-Raja Hingga Kolonial,

3. Kelompok tindak pidana kerusakan, yang terdiri dari Pasal 423 dan 425 KUHP

4. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransi dan rekanan yang terdiri dari Pasal 378, 388 dan 435 KUHP.

Secara keseluruhan, di dalam KUHP terdapat 13 buah Pasal yang mengatur dan membuat rumusan tindak pidana, yang kemudian diklasifikasikan sebagai tindak korupsi. akan tetapi, di dalam KUHP tidak ada satu Pasal pun yang memberikan definisi dari tindak pidana korupsi. KUHP menjadi peraturan pertama yang mengatur ketentuan pidana terhadap tindak pidana yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi dalam sejarah hukum positif Indonesia. S.M Amin berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan terkait tindak pidana korupsi dalam KUHP sudah cukup untuk mengatur perbuatan korupsi. Pendapat tersebut bukan tanpa alasan. Amir Hamzah berpendapat Pasal-Pasal KUHP yang memuat rumusan delik korupsi persentasenya 74% dari semua rumusan delik tundak pidana korupsi yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi.42 Namun faktanya KUHP sendiri tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perkembangan masyarakat dalam usaha kemerdekaan melihatkan potensi penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh elit negara. Sehingga, KUHP dianggap tidak mampu untuk mengikuti perkembangan kehidupan di masyarakat. Sebagai kebijakan sosial, pembaruan tindak pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan masalah

kemanusiaan dalam rangka menunjang terwujudnya tujuan nasional. Berpijak terhadap filsafat hukum yang dikemukakan oleh Eugen Erlicht tentang living law, maka sudah sewajarnya ada pembaruan hukum pidana yang dianggap tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam memberantas tindak pidana korupsi. Salah satu contohnya adalah rumusan delik yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam KUHP. Akibatnya banyak terjadi penyelewengan kekuasaan negara yang tidak dapat dituntut karena perbuatan tersebut tidak termasuk kedalam rumusan yang ada dalam KUHP. Oleh karena itu, perlu ada aturan khusus yang mengatur tentang tindak pidana korupsi tersebut.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka pemerintah memerlukan keleluasaan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Atas dasar tersebut pemerintah membentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 yang hanya berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat pada tanggal 9 April 1957. Peraturan penguasa militer ini merupakan cikal bakal undang-undang tindak pidana korupsi. Dalam Konsideran Peraturan Penguasa Militer tersebut menggambarkan adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan. Perumusan tindak pidana korupsi dalam Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/06/1957 adalah :

1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan sendiri, maupun kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan negara

2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabatn yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan keadanya oleh pejabat langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau materiil baginya.

Konsep tindak pidana korupsi dalam Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/06/1957 dianggap tidak lengkap dan belum efektif. Sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan lain. Dalam hal pemilikan harta benda tidak dirumuskan pada peraturan tersebut. Untuk melengkapi aturan tersebut, dibentuk Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/08/1957 pada tanggal 22 mei 1987 tentang pemilikan harta benda. Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya dalam kepentingan negara terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang untuk mengadakan kepemilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Dalam Pengaturan Penguasa Militer PRT/PM/08/1957 memungkin adanya penyitaan terhadap :

1. Harta benda atau barang yang dengan sengaja atau karena kelalaian tidak diterangkan oleh pemiliknya atau pengurusnya

3. Harta benda orang yang kekayaannya oleh pemilik atau pemilik pembantu harta benda dianggap diperoleh secara mendadak dan merugikan

4. Harta benda yang tidak memiliki syarat-syarat tertentu disita menjadi milik negara.

Apabila penguasa militer melihat adanya indikasi kekayaan yang illegal, maka penguasa militer berhak untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi, eksekusi penyitaan harta kekayaan belum memiliki dasar hukum yang kuat. Sehingga dibentuk Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/11/1957 yang dijadikan sebagai dasar hukum melakukan penyitan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi. Kemudian dibentuk Peraturan Penguasa Perang PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi. Peraturan penguasa perang tersebut merupakan pengganti atas Peraturan Penguasa Militer PRT/PM/06/1957, PRT/PM/08/1957, PRT/PM/11/1957 atas perintah Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya.

Pada intinya, Peraturan Penguasa Perang PRT/PEPERPU/13/1958 mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi lebih baik dan lebih lengkap dibandingkan peraturan lainnya. Apabila ditelaah, Peraturan Penguasa Perang ini merupakan gabungan dari Peraturan Penguasa Militer sebelumnya. Pasal 2 dan Peraturan Penguasa Perang PRT/PEPERPU/13/1958 merumuskan delik tentang tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 2 disebutkan :

1. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelangggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung mreugikan keuangan atau perekonoman negara atau daerah, atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan kelonggaran dari masyarakat

2. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran, memperkaua diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan 3. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan

Penguasa Perang Pusat ini dan Dallam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 KUHP.

Dalam Pasal 3 Peratuan tersebut merumuskan lain tindak pidana korupsi, yaitu :

1. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat

2. Perbuatan seorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Barda Nawawi Arif menyatakan perumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat Tahun 1958, perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Melainkan perbuatan yang dianggap tercela. Dan sanksi yang digunakan bukan sanksi pidana, melainkan sanksi perampasan harta kekayaan yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas.43

Peraturan-peraturan penguasa militer ini merupakan suatu bentuk kehendak penguasa (political will) pada saat itu untuk memberantas korupsi di Indonesia, meskipun belum terdapat kesempurnaan dan masih banyak kekurangan dalam perumusan tindak pidana korupsi tersebut.

Perlu digaris bawahi, Peraturan Penguasa Perang Tahun 1958 hanya berlaku bagi daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat. Hal tersebut mendorong dibentuknya suatu peraturan bagi daerah Penguasaan Militer Angkatan Laut Nomor PRT/ZL/17/1958. Maksud dan tujuan dari peraturan penguasa militer baik Angkatan Darat maupun Angkatan Laut adalah agar dalam waktu sesingkat- singkatnya dapat diberantas perbuatan korupsi yang pada saat itu sedang merajalela sebagai akibat dari anggapan seakan-akan pemerintah tidak memiliki wibawa lagi.

Peraturan Penguasa Militer tersebut tidak berlaku lama. Setelah dua Tahun Peraturan Penguasa Militer tersebut tidak berlaku, pemerintah berinisiatif untuk membentuk sebuah undang-undang mengenai tindak pidana korupsi. Peraturan tersebut tidak berlaku karena tindak pidana korupsi kian berkembang. Sehingga formulasi aturan tindak pidana korupsi dalam peraturan tersebut tidak efektif lagi.       

43 Barda Nawawi Arief, “Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Korupsi Di

Indonesia”, Surabaya, 2013. Hal. 2. Merupakan modul Pelatihan Hakim Militer Di Surabaya, 20 s.d. 23 Maret 2013

Keadaan Indonesia yang darurat korupsi pada masa pemerintahan Orde Lama tersebut tidak memungkinkan pemerintah membentuk sebuah undang-undang. Sehingga pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (PERPU) Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, dengan staatblad Nomor 72 Tahun 1960. Setelah satu Tahun berlaku Perpu Nomor 24 Prp Tahun 1960, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961, Perpu Nomor 24 Prp Tahun 1960 dikukuhkan menjadi Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 ini merupakan refleksi dari Peraturan Penguasaan Militer pada masa Orde Lama. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan delik Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 yang sama dengan Peraturan Penguasaan Militer yang berlaku. Hanya saja, terdapat sedikit perubahan redaksional pada unsur “melawan hukum” diganti dengan “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran, serta mengganti redaksi “perbuatan” menjadi “tindakan”.

Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 merumuskan tindak pidana korupsi sebagai berikut :

1. Tindakan seseorang yang dengan sengaja atau karena memperkaya diri sendiri atau merugikan keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran dari masyarakat

2. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan

3. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai 21 peraturan ini dan dalam Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 453 KUHP.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, bentuk perbuatan korupsi lainnya tidak dikenal lagi dan pembentuk undang-undang mengganti istilah perbuatan pidana dengan istilah tindak pidana. Terdapat hal yang berbeda dalam Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 apabila dibandingkan dengan Peraturan Penguasa Militer sebelumnya, diantaranya :44

1. Penggunaan istilah tindak pidana korupsi

2. Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 menarik 12 Pasal tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP

3. Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 menaikan dan menyeragamkan sanksi pidana penjara bagi tindak pidana korupsi selama 12 Tahun.

Dalam perkembangan lebih lanjut, ternyata Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 dianggap tidak efektif dan tidak seperti apa yang diharapkan pada awalnya. Rumusan Pasal 1 huruf a dan b Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, ternyata disebutkan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi diisyaratkan terlebih dahulu adanya suatu kejahatan atau pelanggaran       

44 Rudy Satriyo Mukantardjo, “Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Sejarah

Perkembangannya”. Bogor, 2010. Hal. 9. Modul disampaikan pada acara pelatihan Hakim tentang korupsi pada tanggal 26 April 2010 di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

yang dilakukan terlebih dahulu oleh perlaku. Tapi, undang-undang ini belum mampu untuk membuktikan unsur melakukan kesalahan atau melakukan pelanggaran. Akibat sulitnya pembuktian unsur kesalahan dan pelanggaran, banyak perbuatan yang bersifat koruptif dan merugikan keuangan negara tidak dapat dipidana melalui undang-undang ini. Selain itu, fakta di lapangan ditemukan banyak hal-hal yang tdak sesuai, antara lain :45

1. Adanya perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Namun kenyataannya tidak dapat dipidana karena tidak adanya rumusan tindak pidana korupsi yang berdasarkan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan

2. Pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai negeri, tetapi kenyataannya orang-orang yang bukan pegawai negeri yang menerima tugas atau bantuan dari suatu badan negara, dapat melakukan perbuatan tercela seperti yang dilakukan pegawai negeri

3. Perlu diadakan ketentuan yang mempermudan pembuktian dan mempercepat proses hukum acara yang berlaku tanpa tidak memperhatikan hak asasi Tersangka atau Terdakwa.

Selain hal-hal yang disebutkan di atas, ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 memadai untuk memberantas tindak pidana korupsi secara efektif, terutama menyangkut perihal pembuktian.

Kondisi negara Indonesia kian mendesak untuk melakukan pemberantasan korupsi. Agar upaya yang dilakukan lebih efektif dan efisien, perlu diadakan pembaharuan kembali undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. undang-undang yang diharapkan adalah undang-undang yang mampu menutupi apa yang menjadi kekurangan dari Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Atas pertimbangan tersebut pemerintah atas dasar Amanat Presiden Nomor 07/P.U/VIII/1970 tanggal 13 Agustus 1970 menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong (DPRGR). Dan pada tanggal 29 Maret 1971 setelah melalui pembahasan dalam persidangan legislatif, rancangan undang-undang tersebut disahkan oleh Presiden menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 Nomor 19. Dalam konsideran Undang-undang Nomor 3 Tahu 1971 menegakan latar belakang pemikiran pembuat undang-undang untuk memposisikan undang-undang tersebut sebagai instrument hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi.

Perumusan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah sebagai berikut :

“Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971

a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara

langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

c. Barang siapa melakukan kejahatan tercantim dalam Pasal 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP

d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadian atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu

e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau jaji yang diberikan kepadanya, seperti yang terdapat dalam Pasal 418, 419, dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 : “Barang siapa melakukan percobbaan atau pemufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, dan e pasal ini”.

Dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, tindak pidana korupsi diklasifikasikan sebagai bentuk kejahatan. Bardanawai Arif mengklasifikasikan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 menjadi 2 kelompok, yaitu :46

1. Tindak Pidana Korupsi yang termuat dalam Pasal 1 jo Pasal 28 Undang- undang Nomor 3 Tahun 1971.

2. Tindak Pidana yang Berhubungan Dengan Tindak Pidana Korupsi yang termuat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Beberapa catatan yang disampaikan oleh Barda nawawi Arif dalam tulisannya yang berjudul “Perkembangan Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, sebagai berikut :47

      

1. Syarat adanya “kejahatan atau pelanggaran” dalam Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun1960, oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 diganti dengan perbuatan “melawan hukum”. Perbedaan perbuatan melawan hukum antara Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 sebagai berikut :

a. Perbuatan “melawan hukum” ini menurut Peperpu Nomor 013/1958 bukan Tindak Pidana Korupsi, hanya dipandang sebagau perbuatan tercela (yang diberi istilah “perbuatan Korupsi lainnya”)

b. Perumusan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 kembali ke perumusan luas dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 jo Nomor PRT/ PM/06/1957.

2. Tindak pidana dalam KUHP yang dijadikan Tindak Pidana Korupsi bertambah dibandingkan Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 yaitu ditambah Pasal 387 KUHP tentang penipuan dalam pelaksanaan pemborongan bangunan dan 388 tentang perbuatan curang yg membahayakan negara dalam keadaan perang

3. Pasal 1 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 sama dengan Pasal 41 Peperpu 013/1958 dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960

4. Pasal 1 ayat (2) merupakan perluasan yang tidak ada dalam peraturan sebelumnya

5. Ancaman pidana untuk tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 ayat 1 dan 2 di atas, diatur dalam Pasal 28 yaitu :

Dokumen terkait