• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPATIBILITAS DAN EFEKIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA TANAMAN PEGAGAN ( Centella asiatica L Urban)

TINJAUAN PUSTAKA

KOMPATIBILITAS DAN EFEKIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA TANAMAN PEGAGAN ( Centella asiatica L Urban)

DI ANDOSOL

Abstrak

Pengujian kompatibilitas dan efektivitas 5 isolat fungi mikoriza arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan dan hasil pada 3 aksesi tanaman pegagan. telah dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor dari bulan Juli 2008 sampai dengan Nopember 2008, dengan menggunakan pot plastik yang bermedia tanah Andosol dari Gunung Putri, Cipanas. Uji kompatibilitas dan efektivitas dilakukan terhadap 3 jenis inokulum endogenous dari rizosfer pegagan, yaitu isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, dan Acaulospora sp), isolat gabungan asal Gunung Putri (Acaulospora sp, Glomus sp-1, Glomus sp-2, dan glomus sp-3), isolat FMA gabungan asal Sukamulia (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Acaulospora sp-1, Acaulospora sp-2, dan Scutelospora sp), dan 2 jenis inokulum tunggal Glomus, dan Gigaspora yang diinokulasikan pada 3 aksesi pegagan, yaitu: Boyolali, Ciwidey dan Smugrim. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kompatibilitas dan efektivitas beberapa isolat FMA terhadap pertumbuhan dan hasil pegagan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA kompatibel bersimbiosis dengan 3 aksesi tanaman pegagan ditunjukkan dengan kolonisasi FMA pada akar tanaman pegagan tergolong tinggi hingga sangat tinggi. Inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman, akan tetapi memiliki efektivitas yang tinggi dalam meningkatkan hasil biomassa serta mampu meningkatkan serapan hara N, P dan K masing-masing 43.9, 40.9, 49.5, dan 48.2% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Efektivitas tertinggi diperlihatkan isolat FMA gabungan asal Cicurug yang mampu meningkatkan panjang akar, bobot kering akar, bobot kering terna, serapan hara N, P dan K. Aksesi Boyolali dan Ciwidey lebih unggul dibandingkan aksesi Smugrim.

Kata kunci: kompatibilitas, efektivitas, fungi mikoriza arbuskula (FMA), aksesi pegagan

Abstract

The research was conducted to investigate the compatibility and effectivity of five isolates of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) on the growth and yield of three accessions of asiatic pennywort (Centella asiatica (L.) Urban) at the Indonesian Medicinal and Aromatic Crops Research Institute, Bogor, from July to November 2008, using andosol soil from Gunung Putri, Cipanas in plastic pot as media. Compatibility and effectivity test was carried out for 3 endogenous AMF species in asiatic pennywort rhizospheres, namely mixed isolate from Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3, Acaulospora sp), mixed isolate

from Gunung Putri (Acaulospora sp, Glomus sp-1, Glomus sp-2, glomus sp-3), mixed isolate from Sukamulia (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Acaulospora sp-1, Acaulospora sp-2, Scutelospora sp), and 2 AMF Genotypes single isolate (Glomus, and Gigaspora) to 3 accessions asiatic pennywort: Boyolali, Ciwidey and Smugrim. The aim of this research was study of the compatibility and effectivity of several AFM isolate for the growth and yield of asiatic pennywort. The result showed that higher colonization in the plant root showed the compatibility of AFM with three accession asiatic pennywort. Inoculation of AMF increased the yield and N, P, and K uptake respectively 43.9, 40.9, 49.5 and 48.2%, but insignificantly increased the growth variables of mother plant. Mixed isolates from Cicurug had the highest effectiveness to increase root length, root dry weight, shoot dry weight, and N, P, K uptake. Boyolali and Ciwidey accession yield were better than Smugrim accession.

Key words: compatibility, effectivity, arbuscular mycorrhizal fungi (AMF), asiatic pennywort accessions

Pendahuluan

Kompatibilitas antara jenis FMA dan tanaman inang adalah kemampuan kedua simbion menggunakan fungsi simbiosis secara maksimal. Bagi FMA, fungsi tersebut dapat dilihat dari adanya pembentukan dan perkembangan strukur arbuskula vesikula di dalam sel-sel akar. Sementara itu, bagi tanaman inang fungsi tersebut berupa peningkatan pertumbuhan dan hasil (Smith dan Read 1997). Terbentuknya simbiosis antara FMA dan tanaman sangat tergantung pada jenis FMA, genotipe tanaman, dan kondisi tanah serta interaksi ketiganya (Brundrett et al. 1996). Setiap jenis tanaman memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA, demikian juga jenis tanah berkaitan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Setiap FMA memiliki perbedaan dalam kemampuan meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman (Daniels & Menge 1981) sehingga akan berbeda pula efektivitasnya dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Fungi yang kompatibel belum tentu efektif, karena efektivitas dalam simbiosis diindikasikan dengan keragaan pertumbuhan tanaman inang yang lebih baik (Lapanjang 2010).

Tanaman pegagan dapat ditemukan di dataran rendah sampai dengan ketinggian 2500 m dpl (Heyne 1987). Penanaman pegagan di dataran tinggi memberikan kandungan bioaktif (asiatikosida) yang lebih tinggi dibanding di dataran rendah (Ghulamahdi et al. 2008). Tanah di daerah dataran tinggi umumnya di dominasi jenis tanah andosol. Defisiensi hara fosfor (P) adalah salah

45

satu kendala dalam budidaya pada tanah andosol, tanah-tanah tersebut tidak hanya memiliki fosfor tersedia rendah, tetapi juga memfiksasi sebagian besar fosfor yang diberikan sehingga dibutuhkan banyak pupuk untuk mendapatkan respon tanaman. Fiksasi hara fosfor adalah faktor utama penyebab ketersediaan P rendah di tanah (Syarif 2007). Hasil analisis tanah andosol pada tahun 2008 menunjukkan reaksi tanah sangat masam (pH 4.45), kandungan P tersedia rendah, kandungan Fe sangat tinggi, sedangkan kandungan Al dan Mn tergolong tinggi.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan tanaman dalam penyerapan unsur hara pada andosol diduga dapat dilakukan dengan aplikasi teknologi mikroba melalui pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA). FMA menghasilkan enzim asam fosfatase yang mampu mengkatalisis hidrolisis kompleks fosfor yang tidak tersedia menjadi fosfor yang larut dan tersedia (Joner & Johansen 2000; Feng et al. 2003). Peningkatan penyerapan hara pada tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson 1984). Aplikasi FMA pada andosol diharapkan dapat memfasilitasi meningkatnya ketersediaan hara, utamanya hara P.

Setiap jenis FMA berbeda ukuran spora, ukuran hifa, lama perkecambahan spora, lama pembentukan apresorium (Smith & Read 2008), dan respon terhadap eksudat dari tanaman inang (Akiyama et al. 2005). Semakin besar garis tengah hifa semakin besar volume yang dapat menampung larutan hara yang diangkut ke tanaman, namun demikian, ukuran hifa yang besar juga berpotensi merugikan tanaman inang karena meningkatnya aliran karbon hasil fotosintesis yang dihasilkan oleh tanaman ke FMA. Sekitar 20% karbon fotosintat dialirkan oleh tanaman ke FMA, nisbah kehilangan karbon dengan perolehan larutan hara menentukan keuntungan atau kerugian tanaman dalam bersimbiosis dengan FMA. (Smith & Read 2008).

Berdasarkan hal tersebut perlu diuji kompatibilitas dan efektivitas jenis FMA terhadap pegagan pada media tanah andosol. Jenis FMA yang diisolasi dari rizosfer pertanaman pegagan telah didapatkan pada penelitian sebelumnya yaitu

spora gabungan (mix spores) berasal dari Cicurug, Gunung Putri, dan Sukamulia yang akan dibandingkan dengan spora tunggal Glomus etunicatum dan Gigaspora margarita untuk diuji kompatibilitas dan efektivitasnya pada tanaman pegagan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis FMA yang kompatibel dan efektif terhadap pertumbuhan dan biomassa tiga (3) aksesi pegagan.

Bahan dan Metode

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor. Analisis laboratorium di laksanakan di Laboratorium Pasca Panen Balittro, dan Laboratorium Ekofisiologi Balittro. Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2008 sampai dengan Nopember 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3 aksesi pegagan dengan kandungan asiatikosida tinggi berdasarkan hasil seleksi yang dilakukan Martono (2011), yaitu Casi 016 (Boyolali), Casi 008 (Ciwidey), dan Casi 019 (Smugrim), media tanam berupa tanah jenis andosol, inokulum FMA, basamid, pot plastik diameter 40 cm, polybag, pupuk kandang sapi, kertas saring, aquades, bahan kimia untuk pewarnaan akar : larutan, trypan blue, KOH 10%, HCl 2%, H2O2,

gliserol, asam laktat.

Peralatan yang digunakan terdiri dari: leaf area meter untuk mengukur luas daun, jangka sorong, seperangkat alat penyaring sieving, seperangkat alat untuk sterilisasi tanah, gelas ukur, kaca obyek, kaca penutup, pinset, pipet, pisau scalpel, cawan Petri, mikroskop, timbangan analitik, timbangan kasar, ayakan, oven, alat ukur dan alat tulis.

Metodologi Penelitian

Percobaan faktorial dengan dua (2) perlakuan dan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jenis

47

FMA, yaitu tanpa FMA, isolat tunggal Glomus etunicatum, isolat tunggal Gigaspora margarita (merupakan spora tunggal yang diperoleh dari Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB), isolat FMA asal Gunung Putri, isolat FMA asal Sukamulia, dan isolat FMA asal Cicurug. Faktor kedua adalah nomor harapan pegagan unggul kandungan bioaktifnya yaitu: aksesi Boyolali, Smugrim dan Ciwidey. Terdapat 6 x 3 x 3 = 54 unit percobaan, dan setiap unit percobaan terdiri atas empat pot tanaman. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 4.

Model aditif linier yang digunakan adalah sebagai berikut (Sastrosupadi 2000; Mattjik & Sumertajaya 2002):

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Dimana:

Yijk = nilai pengamatan untuk faktor FMA ke-i, faktor aksesi ke-j dan pada

ulangan ke-k µ = nilai tengah umum

αi = pengaruh faktor FMA pada level ke-i (i = 1,2,3,4,5,6) βj = pengaruh faktor aksesi pada level ke-j (j = 1,2,3)

(αβ)ij = interaksi FMA pada level ke-i, dan aksesi pada level ke-j

εijk = galat percobaan untuk faktor FMA ke-i, aksesi ke-j, dan ulangan ke-k

Pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan media tanam, penyiapan inokulum FMA, persiapan bahan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, pengamatan, dan analisis di laboratorium. Teknik budidaya mengacu pada Januwati dan Yusron (2005).

Pelaksanaan Penelitian Penyiapan media tanam

Tanah jenis andosol dari lapangan dibersihkan dari batuan/kerikil dan kotoran, dikering-anginkan, digemburkan dan diayak dengan ukuran 2 mm. Tanah kemudian disterilkan dengan cara fumigasi menggunakan basamid dengan dosis 40 g per 1 ton tanah). Tanah yang sudah dibersihkan dan dikeringkan

dihamparkan dengan alas plastik, selanjutnya basamid sesuai dengan dosis di taburkan diatas hamparan tanah serta diaduk secara merata. Campuran tanah dan basamid selanjutnya diberi air secukupnya sehingga kondisinya lembab dan basamid terlarut pada tanah. Langkah berikutnya adalah menutup tanah yang disterilisasi dengan plastik secara rapat. Satu minggu kemudian lapisan tanah dibalik dan ditutup lagi dengan plastik. Proses sterilisasi diakhiri pada minggu kedua, dengan membuka plastik penutup. Tanah dibiarkan beberapa hari untuk memastikan proses inkubasi selesai sehingga tidak memberikan efek negatif dari basamid, apabila dari tanah tersebut tumbuh gulma atau tumbuhan lain maka menandakan tanah steril tersebut sudah siap digunakan, selanjutnya menimbang tanah sebanyak 5 kg dan dimasukkan dalam pot plastik dengan diameter 40 cm.

Pembibitan

Pembibitan pegagan dilakukan dalam polybag berukuran (10x15 cm), dengan media pembibitan adalah campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1 yang sebelumnya sudah disterilkan, media tanam selanjutnya dibasahi kemudian dibuat lubang tanam. Sumber bibit berasal dari stek stolon 3 ruas dari 3 aksesi tanaman pegagan. Sebelum bibit pegagan ditanam, inokulum FMA sebanyak 20 g dimasukkan terlebih dahulu ke dalam lubang tanam, sehingga diharapkan terjadi kontak antara FMA dengan akar tanaman. Tidak dilakukan inokulasi FMA pada bibit tanpa mikoriza. Untuk menghindari kontaminasi antar perlakuan (mikoriza dan non mikoriza), bibit dipisahkan dalam bak-bak plastik yang berbeda, demikian pula penempatannya saling berjauhan, selanjutnya bibit ditempatkan pada tempat yang teduh. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama serta penyakit bila ditemukan gejala serangan. Bibit siap di pindah pada umur empat (4) minggu.

Penanaman dan Pemeliharaan

Sebelum dilakukan penanaman, dibuat lubang tanam pada media sebesar ukur pot bibit dengan lebar 10 cm dan kedalaman 15 cm. Bibit yang sehat berumur kurang lebih empat minggu (4–5 daun), dipindahkan dari pot pembibitan ke dalam media tanam masing-masing satu bibit secara hati-hati sehingga akar

49

masih menyatu dengan media tumbuh bibit. Kebersihan selama menanam harus dijaga agar tidak terjadi kontaminasi antar perlakuan, dengan cara menanam bibit tanaman yang tidak bermikoriza terlebih dahulu selanjutnya baru menanam bibit yang mendapatkan perlakuan mikoriza.

Pemeliharaan dilakukan selama kurang lebih 16 minggu. Pemeliharaan antara lain meliputi: penyiraman, pemupukan, pengendalian hama penyakit, kebersihan lingkungan tempat percobaan. Pemberian air dilakukan secukupnya setiap dua hari (hindari jangan sampai tergenang) serta menggunakan air yang bersih, bebas cemaran bahan kimia, dan pH netral. Dalam percobaan ini pemupukan menggunakan pupuk kandang dengan dosis 500 g/pot (20 t/ha), dan batuan fosfat dengan dosis 10.5 g/pot (420 kg/ha) yang diberikan seluruhnya pada saat penyiapan media tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila ditemukan gejala serangan dan infeksi, dalam pengendalian hindari penggunaan bahan kimia, yaitu dengan cara mekanis untuk pengendalian hama dan penggunaan pestisida nabati untuk pengendalian penyakit. Sedangkan kebersihan lingkungan ditujukan untuk menghindari adanya kontaminasi.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap semua satuan percobaan, pengamatan karakter agronomi mengacu pada panduan deskriptor yang dikembangkan khusus untuk tanaman pegagan dengan beberapa modifikasi (Bermawie et al. 2006), meliputi: (a) jumlah daun tanaman induk (dihitung jumlah daun pada tanaman induk yang sudah membuka sempurna), (b) panjang tangkai daun (diukur dari permukaan tanah hingga ujung tangkai daun), (c) diameter tangkai daun (diukur pada bagian tengah tangkai daun menggunakan jangka sorong), (d) tebal daun (diukur menggunakan jangka sorong), (e) panjang daun (diukur dari pangkal daun sampai ujung daun), (f) lebar daun (diukur lebar daun terlebar), (g) luas daun total (diukur dengan menggunakan alat leaf area meter), (h) jumlah daun total (dihitung jumlah keseluruhan daun pada tanaman), (i) jumlah stolon primer (dihitung jumlah stolon yang tumbuh dari tanaman induk), (j), jumlah buku pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpanjang), (k) panjang stolon terpanjang (diukur stolong primer terpanjang

Komponen hasil dan hasil yang diamati: (a) bobot segar dan kering terna (ditimbang bobot segar dan kering terna per tanaman/pot), (b) panjang akar (diukur dari pangkal batang sampai ujung akar), (c) bobot segar dan kering akar (ditimbang bobot segar dan kering akar tanaman induk dan anakan). Komponen hara yang diamati meliputi: (a) kadar hara N (dilakukan analisis kadar N daun), (b) kadar hara P (dilakukan analisis kadar P daun), (c) kadar hara K (dilakukan analisis kadar K daun), (d) Serapan hara N daun (dihitung dengan mengkalikan antara kadar N daun dengan bobot kering terna), (e) serapan hara P daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar P daun dengan bobot kering terna), (f) serapan hara K (dihitung dengan mengalikan antara kadar K daun dengan bobot kering terna).

Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor, menggunakan metode pewarnaan akar dari Philips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi Koske dan Gemma (1989) sebagai berikut (Lampiran 5): akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti perendaman dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 15 menit. Langkah selanjutnya akar dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan KOH dan direndam dalam larutan H2O2 selama 10–30 menit. Akar dicuci dengan air

mengalir sampai bersih selanjutnya direndam dalam larutan HCl 1% selama 5–10 menit. Larutan HCl dipindahkan dan akar direndam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin dan larutan tryphan blue 0.05% dan dipanaskan pada suhu 90 oC selama 1 jam atau 120 oC selama 5 menit. Akar siap diamati, kolonisasi ditandai dengan adanya struktur hifa, vesíkula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya di bawah mikroskop. Kolonisasi FMA pada akar tanaman (diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati). Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut: < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6–25% = Rendah (Kelas 2), 26–50% = Sedang (Kelas 3), 51–75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat tinggi (Kelas 5).

Σbidang pandang terkolonisasi

% Kolonisasi FMA = x 100 %

51

Penyiapan inokulum FMA

Inokulum FMA hasil pemerangkapan dari 3 lokasi rizosfer pegagan diperbanyak secara kultur pot dengan media zeolit berukuran 1–2 mm dengan tanaman inang sorgum. Pengecambahan benih sorgum dilaksanakan pada baki plastik berisi medium tumbuh zeolit yang telah dicuci. Penanaman bibit sorgum dilakukan setelah tumbuh 3–4 daun kurang lebih berumur 7 hari, dilakukan pada pot plastik tempat air mineral berukuran 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Ke dalam pot diisikan medium tumbuh berupa 150 g zeolit yang sudah disterilkan terlebih dahulu. Pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian hara dan pengendalian hama penyakit. Larutan hara yang digunakan adalah pupuk majemuk dengan komposisi (25% N, 5% P, 20% K) dengan konsentrasi 1 g/l air. Pemberian larutan hara dilakukan seminggu sekali sebanyak 20 ml tiap pot kultur. Setelah kultur berumur ± empat bulan, dilakukan pemanenan dengan cara menghentikan penyiraman dan membiarkan tanaman inang kering. Selanjutnya akar tanaman di potong-potong dan bagian yang keras dibuang, untuk kemudian diekstrak sporanya dari medium tumbuh menggunakan metode penyaringan basah (Gedermann & Nicolson 1963) yang kemudian diikuti dengan sentrifugasi (Brundrett et al. 1996), pembilasan dengan air dan penyaringan ulang menggunakan penyaring berukuran 150 dan 45 µm. Air berisi spora dituangkan ke cawan Petri untuk selanjutnya dilakukan penghitungan kepadatan spora.

Analisis data

Sidik ragam dilakukan terhadap data yang diperoleh untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya, jika hasil analisis ragam menunjukan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) (Gomez & Gomez 1995; Mattjik & Sumertajaya 2002). Analisis ragam menggunakan program SAS versi 9.1

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara jenis FMA dengan aksesi pegagan terhadap komponen pertumbuhan tanaman. Inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) belum menunjukkan efektivitasnya terhadap peubah jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai daun, hingga umur empat (4) bulan setelah inokulasi. Perbedaan kecepatan tumbuh tanaman lebih dipengaruhi oleh perbedaan aksesi pegagan. Tabel 3 menunjukkan aksesi Boyolali menghasilkan panjang tangkai daun nyata lebih tinggi dibandingkan aksesi Ciwidey dan aksesi Smugrim. Sedangkan pada jumlah daun induk, aksesi Smugrim menghasilkan daun terbanyak dan berbeda nyata dengan aksesi Boyolali dan Ciwidey.

Tabel 3 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai daun terpanjang pada umur 16 minggu setelah tanam

Perlakuan Jumlah daun induk Panjang tangkai daun

...……cm ……….

Aksesi

Boyolali 5.2 b 20.39 a

Ciwidey 5.2 b 18.27 b

Smugrim 8.3 a 9.38 c

Fungi Mikoriza Arbuskula

Tanpa FMA 5.4 16.07 Glomus etunicatum 6.2 15.25 Gigaspora margarita 6.9 15.16 Isolat Gabungan asal Gunung Putri 6.6 16.98 Isolat Gabungan asal Sukamulia 5.7 16.48 Isolat Gabungan asal Cicurug 6.5 16.15

Interaksi tn tn

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)

FMA tidak memberikan pengaruh nyata (P> 0.05) terhadap jumlah stolon primer, jumlah buku dan panjang stolon terpanjang. Tabel 4 menunjukkan tanaman tidak memberikan respon positif terhadap inokulasi berbagai jenis FMA, baik isolat indigenous maupun isolat tunggal dibandingkan kontrol. Peubah jumlah stolon primer, jumlah buku dan panjang stolon terpanjang dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan varietas. Aksesi Boyolali dan Ciwidey menghasilkan

53

jumlah stolon primer dan jumlah buku 1.3–1.4 dan 1.21–1.25 kali lebih banyak dibandingkan aksesi Smugrim. Demikian pula pada panjang stolon terpanjang, panjang stolon aksesi Boyolali 2 kali lipat lebih panjang dibandingkan aksesi Smugrim.

Pertumbuhan dan perkembangan FMA membutuhkan energi berupa karbon fotosintat sebelum dapat memberikan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman inangnya (Thompson et al. 1990). Adanya saling ketergantungan yang kuat antara FMA dengan inangnya dalam bersimbiosis mengakibatkan perubahan keseimbangan neraca hara, kehilangan karbon dengan perolehan perlindungan terhadap cekaman biotik dan abiotik menentukan keuntungan atau kerugian tanaman jika bersimbiosis dengan FMA (Nusantara 2011).

Tabel 4 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah stolon primer, jumlah buku, dan panjang stolon terpanjang pada umur 16 minggu setelah tanam

Perlakuan Jumlah stolon

primer Jumlah buku Panjang stolon terpanjang ……cm …... Aksesi Boyolali 5.2 a 13.1 a 139.71 a Ciwidey 4.8 a 13.5 a 123.42 b Smugrim 3.7 b 10. 8 b 87.17 c

Fungi Mikoriza Arbuskula

Tanpa FMA/kontrol 4.5 12.4 119.62

Glomus etunicatum 4.7 12.6 112.08

Gigaspora margarita 4.5 12.1 123.96

Isolat Gabungan asal Gunung Putri 5.1 12.4 113.92 Isolat Gabungan asal Sukamulia 3.8 11.0 103.25

Isolat Gabungan asal Cicurug 5.0 14.1 132.72

Interaksi tn tn tn

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)

Aksesi Boyolali dan Ciwidey menujukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan aksesi Smugrim. Dari Tabel 5 menunjukkan luas daun total pada aksesi Boyolali dan Ciwidey meningkat signifikan 4.1–4.9 kali lebih banyak dibandingkan aksesi Smugrim, hal yang sama pada peubah panjang akar meskipun peningkatannya hanya sebesar 1.47–1.59 kali.

Inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata (P> 0.05) terhadap luas daun total akan tetapi berpengaruh sangat nyata (P< 0.01) terhadap panjang akar. FMA asal

Cicurug menghasilkan panjang akar nyata lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal G. margarita dan G. etunicatum serta kontrol tetapi tidak berbeda dengan FMA asal Gunung Putri. Kolonisasi FMA yang tinggi tidak selalu memberikan hasil terbaik, G. etunicatum yang mengoloni akar pegagan tertinggi tidak menghasilkan luas daun dan panjang akar yang tinggi, sebaliknya dengan isolat asal Cicurug. Aksesi Ciwidey memberikan respon terbaik terhadap inokulasi FMA (Tabel 5). Tabel 5 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap kolonisasi FMA, luas daun total

dan panjang akar pada umur 16 minggu setelah tanam

Perlakuan Infeksi FMA Luas daun

total Panjang akar ..… % ….. …..cm2….. ..…cm ….. Aksesi Boyolali 78.52 1051.50 a 24.62 a Ciwidey 95.24 1248.40 a 22.98 a Smugrim 69.18 255.50 b 15.58 b

Fungi Mikoriza Arbuskula

Tanpa FMA/kontrol 33.93 826.30 18.43 c

Glomus etunicatum 82.33 789.60 21.08 bc Gigaspora margarita 63.60 709.90 20.35 bc Isolat Gabungan asal Gunung Putri 76.27 977.80 22.32 ab Isolat Gabungan asal Sukamulia 77.87 777.10 18.89 c Isolat Gabungan asal Cicurug 70.90 1030.00 25.30 a

Interaksi tn tn

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada setiap kolom, berbeda nyata pada uji DMRT (P < 0.05)

Perbedaan aksesi menghasilkan bobot kering akar, bobot kering terna dan nisbah tajuk akar yang berbeda sangat nyata (P< 0.01). Tabel 6 menunjukkan Ciwidey sebagai aksesi terbaik tetapi tidak berbeda dengan Boyolali pada bobot kering akar dan bobot kering terna mampu meningkatkan 402.2 dan 239.2% dibandingkan Smugrim. Sebaliknya pada nisbah tajuk-akar, aksesi Smugrim memiliki laju pertumbuhan akar lebih cepat di bandingkan bagian tajuk, sehingga menghasilkan nilai yang tertinggi dan berbeda nyata dengan Ciwidey dan Boyolali.

Inokulasi FMA memegang peranan penting dalam meningkatkan beberapa peubah produksi tanaman pegagan, dengan efektivitas masing-masing isolat berbeda. Perbedaan efektivitas jenis isolat tersebut diduga karena adanya perbedaan kemampuan isolat dalam bersimbiosis dengan akar tanaman, ada

55

kemungkinan setiap isolat memiliki preferensi yang berbeda terhadap eksudat yang dikeluarkan oleh akar tanaman pegagan sehingga efektivitas masing-masing isolat juga berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa isolat gabungan asal