PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN, BIOMASSA
DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA PEGAGAN
(Centella asiatica L. Urban) DI ANDOSOL
BUDI HARTOYO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa, dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
Budi Hartoyo
ABSTRACT
BUDI HARTOYO. Effectiveness of Arbuscular Mycorrhiza Fungi and Natural Phosphorus Fertilizer Utilization on Growth, Biomass and Asiaticoside Production of Asiatic Pennywort (Centella asiatica L. Urban) on Andosol. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, and IRDIKA MANSUR.
Consumer demands for safe and healthy food require more advanced agricultural production that is free of chemical contaminant and heavy metals harmful for health. Arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) as biological agent in several species of plants are now starting to get much attention. AMF are very important which is involved in various biogeochemical of nutrients in order to ensure plant fitness as well as terrestrial ecosystem stability. Currently, it is important to find the alternative materials that can be used as sources of phosphorus due to the need of lower cost, environmentaly friendly, and easily available. Rock phosphate and cow bone meal are some of the natural materials that can be used as a phosphorus sources alternative. Public interest increased to medicines derived from natural products including asiatic pennywort (Centella asiatica L. Urban), and required the availability of adequate of raw material supplies and quality. Cultivation of raw material to produce standardized of asiatic pennywort is not known completely, so its need research support. This dissertation is based on four experiments with the main objective was to find the role of AMF and its relation to the use of natural phosphorus fertilizer on growth, development, biomass, and asiaticoside production of asiatic pennywort. Results of the researches showed that many different types of AMF spores extracted from rhizosphere of asiatic pennywort. Symbiosis AMF with asiatic pennywort was quite compatible that is indicated by high to very high root colonization relatively, and the effectiveness to increase yield and nutrient uptake of N, P, K. Isolates mixture of AMF was more effective than single spores in increasing biomass of asiatic pennywort. Rock phosphate and cow bone meal are the source of natural P that are potential to substitute for synthetic fertilizers, especially on acid soils. Inoculation of AMF increased leaf dry weight, shoot dry weight, and total dry weight by 14.7, 17.1, and 18.0% respectively. Inoculation of AMF significantly increased the growth, nutrient uptake, biomass, and asiaticoside content of asiatic pennywort. Different inoculation timing of AMF did not significantly affect all the variables of growth, development, and plant biomass, but increased asiaticoside production. Timing of inoculation at seedling stage and transplanting resulted on the highest leaf dry weight, shoot dry weight, and total dry weight 4.88 g, 15.22, and 18.05 g plant-1 or increased 77.6, 70.1, and 88.2% respectively, than without AMF (control) plants. Rock phosphate and cown bone meal did not significantly affect growth, development, and plant biomass but provide positive effect on the high roots colonization of AMF 79.4 and 82.0% respectively, than control.
RINGKASAN
BUDI HARTOYO. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol. Di bawah bimbingan MUNIF GHULAMAHDI, LATIFAH K. DARUSMAN, SANDRA ARIFIN AZIZ, dan IRDIKA MANSUR.
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agensia hayati pada beberapa jenis tanaman saat ini mulai banyak mendapat perhatian. Fungi ini sangat penting artinya karena terlibat dalam berbagai daur biogeokimia unsur hara sehingga menjamin kebugaran tanaman dan kemantapan ekosistem. Dewasa ini, penting artinya mendapatkan bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber fosfor (P) yang harganya murah, aman bagi lingkungan, dan mudah tersedia. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber P alternatif. Meningkatnya minat masyarakat terhadap obat-obatan yang berasal dari bahan alam termasuk tanaman pegagan, menuntut ketersediaan pasokan bahan baku yang cukup dengan mutu tinggi. Budidaya tanaman untuk menghasilkan bahan baku pegagan terstandar belum diketahui secara menyeluruh, sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan aspek budidaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil.
Disertasi ini disusun berdasarkan hasil dari empat percobaan, dengan tujuan umum untuk mengetahui peran fungi mikoriza arbuskula dan hubungannya dengan penggunaan pupuk fosfor organik dalam meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, biomassa dan produksi asiatikosida tanaman pegagan. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) mendapatkan isolat-isolat FMA hasil isolasi, dan identifikasi dari 3 lokasi rhizosfer pertanaman pegagan, 2) mendapatkan FMA yang kompatibel dan efektif terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman pegagan, 3) menduga pengaruh FMA, dosis serta sumber pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman pegagan, dan 4) mendapatkan waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis optimal dari dua sumber pupuk P alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan produksi biomassa serta produksi asiatikosida. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balitro dan penelitian lapangan di Kebun Percobaan Gunung Putri, Pacet, Kabupaten Cianjur.
dan KP. Sukamulia masing-masing sebanyak 1435 spora/50 g tanah, 1190 spora/50 g tanah dan 555 spora/50 g tanah atau meningkat 769.7% (8.7 kali lipat), 4858.3% (49.6 kali lipat), dan 1634.3% (17.3 kali lipat).
Penelitian kedua berjudul Kompatibilitas dan efektivitas fungi mikoriza arbuskula pada tanaman pegagan di Andosol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simbiosis FMA dengan tanaman pegagan kompatibel ditunjukkan dengan derajat infeksi FMA pada akar tanaman pegagan tergolong kriteria tinggi hingga sangat tinggi. FMA memiliki efektivitas yang cukup tinggi dalam meningkatkan biomassa dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan, tetapi kurang berperan nyata terhadap pertumbuhan. Efektivitas tertinggi diperlihatkan isolat FMA gabungan asal Cicurug (Glomus sp-1, Glomus sp-2, Glomus sp-3 dan Acaulospora sp) yang memberikan bobot kering terna tertinggi (19.66 g.tan-1), atau meningkat 43.9% serta meningkatkan serapan hara N, P dan K masing-masing sebesar 40.9, 49.5% dan 48.2% dibandingkan tanpa perlakuan FMA.
Penelitian ketiga berjudul Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan pada andosol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FMA merupakan agensia hayati yang mampu meningkatkan pertumbuhan, biomassa tanaman, dan serapan hara tanaman pegagan. Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan efektif. meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0% dan serapan hara P sebesar 15.0% dibandingkan tanpa FMA. Interaksi FMA dengan sumber pupuk P organik nyata meningkatkan serapan hara N sebesar 67.7-115.9%. Tepung tulang sapi memberikan peningkatan serapan hara N sebesar 99.1% yang lebih tinggi dibandingkan batuan fosfat yang hanya meningkatkan sebanyak 74.7%. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber hara P alternatif pengganti pupuk buatan yang sama baiknya, serta mampu memelihara FMA. Tepung tulang sapi dengan dosis 500 kg ha-1 (P8) menghasilkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total tertinggi dan meningkatkan hasil 56.6, 45.7, dan 46.3% lebih tinggi dibanding tanpa pemberian pupuk, akan tetapi tidak berbeda dengan perlakuan dosis lainnya. Rekomendasi dosis maksimal batuan fosfat untuk produksi biomasa kering pegagan pada penggunaan FMA adalah sebesar 483.3 kg ha-1, dan dosis maksimal tepung tulang sapi adalah sebesar 339 kg ha-1.
Dari keempat penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat keanekaragaman jenis spora FMA pada rizosfer pegagan. Simbiosis FMA dengan tanaman pegagan kompatibel yang ditunjukkan dengan derajat infeksi FMA pada akar tanaman pegagan tergolong tinggi sampai sangat tinggi, dan memiliki efektivitas tinggi dalam meningkatkan hasil dan serapan hara N, P, K pada tanaman pegagan. Isolat FMA campuran lebih efektif dibandingkan spora tunggal dalam meningkatkan biomassa pegagan. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber hara P alternatif potensial yang dapat digunakan pada budidaya tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Inokulasi FMA mampu meningkatkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total masing-masing sebesar 14.7, 17.1, dan 18.0%. Penggunaan batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan media dan sumber P yang cukup baik bagi perkembangan FMA yang dibuktikan dengan tingginya kolonisasi pada akar tanaman 79.4 dan 82.0%.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
EFEKTIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA
PENGGUNAAN PUPUK FOSFOR ALAMI DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN, BIOMASSA
DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA PEGAGAN
(Centella asiatica L. Urban) DI ANDOSOL
BUDI HARTOYO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
1. Ujian Tertutup Tanggal 6 Juli 2012 Penguji Luar Komisi Pembimbing: a. Dr. Ani Kurniawati, SP. M.Si
Staf Pengajar pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
b. Ir. Atang Sutandi, MS. Ph.D
Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
2. Ujian Terbuka Tanggal 27 Juli 2012 Penguji Luar Komisi Pembimbing: a. Dr. Nurliani Bermawie
Peneliti Utama pada Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
b. Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si
Judul Disertasi : Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol
Nama : Budi Hartoyo
NRP : A262070101
Program Studi : Agronomi dan Hortikultura (AGH)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir. Munif Ghulamahdi, MS Ketua
Prof. Dr.Ir. Latifah K. Darusman, MS Dr.Ir. Sandra Arifin Aziz, MS Anggota Anggota
Dr.Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi
Agronomi dan Hortikultura Dekan Sekolah Pascasarjana
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi yang berjudul ” Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula pada Penggunaan Pupuk Fosfor Alami dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan, Biomassa dan Produksi Asiatikosida Pegagan (Centella asiatica L. Urban) di Andosol” dapat terselesaikan. Disertasi ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi mengenai peluang pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula sebagai agensia hayati yang dapat bermanfaat dan berguna dalam peningkatan produktivitas tanaman pegagan, efisiensi pemupukan dan manfaat positif lainnya, serta pemanfaatan batuan fosfat dan tepung tulang sapi sebagai sumber pupuk P alami alternatif terutama pada tanah-tanah masam.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS., Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS., Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS., dan Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc., selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Dr.Ir. Sri Budi Wilarso, M.Sc., Dr.Ir. Ade Wachjar, MS., Dr. Ani Kurniawati, SP. M.Si., dan Ir. Atang Sutandi, MS. Ph.D., Dr. Nurliani Bermawie dan Dr.Ir. Ahmad Junaedi, M.Si. sebagai penguji luar komisi pada ujian prelium, ujian tertutup, dan ujian terbuka yang telah memberikan masukan mendasar terhadap keseluruhan isi disertasi.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan program Doktor di IPB dan dan penelitian melalui KKP3T.
Putri, Teknisi Litkayasa Balittro dan KP. Gunung Putri yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Pusat Studi Biofarmaka dan Pengelola Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka. Pengelola Laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB yang telah mengijinkan penggunaan fasilitas selama penulis melaksanakan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kawan-kawan seperjuangan Angkatan 2007 Mayor AGH, Forum petugas belajar Badan Litbang Pertanian di IPB, pengurus Forum FORSCA, serta semua rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala perhatian, dukungan dan bantuannya dalam penyelesaian studi.
Terima kasih dan penghargaan yang mendalam penulis tujukan kepada istriku (Arifah, ST.), anak-anakku (Tia, Jati, dan Diva), atas segala kesabaran, ketabahan, pengertian, pengorbanan, dan doanya. Tidak lupa kepada kedua orang tua, mertua, kakak-adik, ipar, serta keluarga besar Atmosoewiryo (Alm), dan H.M. Kartubi (Alm) yang telah memberikan dorongan semangat, motivasi, dan doanya.
Akhirnya, penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1963 di Brebes, sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara dari ayah B. Atmosoewiryo (Alm) dan ibu Soemiasih (Alm). Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Brebes, Jawa Tengah. Gelar Sarjana S1 bidang Budidaya Pertanian penulis peroleh pada tahun 1987 dari Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Tunas Pembangunan Surakarta. Pada tahun 1999 penulis memperoleh beasiswa dari ARMP-II Badan Litbang Pertanian untuk mengikuti program Magister Sains (S2) di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa program Doktor (S3) pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Publikasi ilmiah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari disertasi ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah nasional dengan judul ’Keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada rizosfer tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban)’ di Jurnal Penelitian Tanaman Industri pada tahun 2011. Artikel lain berjudul ’Kompatibilitas dan efektivitas fungi mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan dan hasil pegagan’ akan dipublikasikan di Buletin Tanaman Obat. Hasil penelitian juga telah penulis siapkan untuk dipublikasikan pada jurnal ilmiah nasional, yaitu: (i) Efektivitas fungi mikoriza arbuskula dan pupuk alami terhadap pertumbuhan, biomassa, dan produksi asiatikosida, (ii) Kontribusi FMA terhadap pertumbuhan dan hasil pegagan pada penggunaan pupuk anorganik di andosol, (iii) Penggunaan batuan fosfat dan tepung tulang sapi sebagai sumber fosfat alami terhadap pertumbuhan, dan biomassa pegagan pada pemanfaatannya dengan fungi mikoriza arbuskula, (iv) Pengaruh waktu inokulasi FMA terhadap pertumbuhan dan biomassa pegagan.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 6
Hipotesis Penelitian ... 6
Kegunaan Penelitian ... 7
Ruang Lingkup Penelitian ... 7
TINJAUAN PUSTAKA ... 9
Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan ... 9
Manfaat dan Kandungan Kimia Pegagan ... 10
Metabolisme Sekunder pada Tanaman Pegagan ... 12
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) ... 18
Peran dan Fungsi Fosfor, Pupuk Organik dan Sumber Pupuk Fosfor Organik ... 20
Peranan FMA terhadap Pertumbuhan Tanaman ... 25
Peranan FMA terhadap Metabolisme Sekunder ... 26
Interaksi FMA dengan Pupuk Organik ... 27
ISOLASI, KARAKTERISASI DAN PERBANYAKAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DARI RIZOSFIR PERTANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica (L.) Urban) ………... 29
Abstrak ……….. 29
Pendahuluan ... 30
Bahan dan Metode ... 32
Hasil dan Pembahasan ... 34
Simpulan ………... 42
KOMPATIBILITAS DAN EFEKIVITAS FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica L.
Urban) DI ANDOSOL ... 43
Abstrak ... 43
Pendahuluan ... 44
Bahan dan Metode ... 46
Hasil dan Pembahasan ... 52
Simpulan ………... 63
KAJIAN PEMANFAATAN FMA DAN PEMUPUKAN P ALAMI DARI DUA SUMBER PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL ... 65
Abstrak ... 65
Pendahuluan ... 66
Bahan dan Metode ... 68
Hasil dan Pembahasan ... 74
Simpulan ………... 99
WAKTU INOKULASI FMA PADA KOMBINASI DUA SUMBER P ALAMI TERHADAP PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, BIOMASSA DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL ... 101
Abstrak ... 101
Pendahuluan ... 102
Bahan dan Metode ... 104
Hasil dan Pembahasan ... 111
Simpulan …..……….. 136
PEMBAHASAN UMUM ………... 139
SIMPULAN DAN SARAN ……… 160
DAFTAR PUSTAKA ... 161
GLOSSARY ... 205
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Jumlah spora FMA dari contoh tanah awal sebelum dan sesudah
pemerangkapan dari 3 lokasi penelitian ... 34
2 Jenis spora hasil isolasi dari rizosfer pertanaman pegagan di tiga
lokasi pengambilan contoh tanah ... 37 3 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah daun tanaman
induk dan panjang tangkai daun terpanjang ………... 52 4 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap jumlah stolon primer,
jumlah buku, dan panjang stolon terpanjang ………... 53 5 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap kolonisasi FMA, luas daun
total dan panjang akar ……… 54 6 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap bobot kering akar, bobot
kering terna dan nisbah tajuk/akar ………... 55 7 Pengaruh aksesi dan jenis FMA terhadap serapan hara N, P dan K
serta derajat infeksi pada akar tanaman ………... 56 8 Koefisien korelasi antara peubah komponen pertumbuhan, produksi
dan serapan hara N,P dan K ……….. 57 9 Kadar hara batuan fosfat dan tepung tulang sapi ………... 68 10 Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh inokulasi fungi mikoriza
arbuskula (FMA), sumber dan dosis pupuk P alami terhadap peubah yang diamati ………... 75 11 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap rata-rata
jumlah daun tanaman induk, jumlah tangkai daun, dan
panjang tangkai daun ……… 76 12 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap panjang daun,
lebar daun, diameter tangkai, dan tebal daun ……… 77 13 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah stolon
primer, jumlah stolon sekunder, jumlah buku pada stolon primer
terpanjang, dan jumlah buku pada stolon primer terpendek …... 78 14 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah daun pada
stolon primer terpanjang, jumlah daun pada stolon primer
terpendek, jumlah daun total, dan luas daun ………... 79 15 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap jumlah
klorofil a, jumlah klorofil b, dan jumlah klorofil total …………... 80 16 Interaksi FMA dan dosis dan sumber pupuk P alami terhadap
rata-rata serapan hara N pada daun tanaman ………... 81 17 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap serapan hara P
dan K jaringan daun tanaman ……… 82
18 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap Panjang akar
tanaman induk, bobot segar dan bobot kering akar per tanaman ... 84 19 Pengaruh FMA dan dosis pupuk P alami terhadap bobot kering
daun, bobot kering terna, dan bobot kering total per tanaman ……... 85 20 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan
bobot kering daun tanaman pegagan ………... 87 21 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan
bobot kering terna tanaman pegagan ………... 88 22 Dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi pada
pemanfaatan dengan FMA terhadap bobot kering daun dan bobot
kering terna ……….. 90
23 Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh waktu inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada dosis maksimal batuan fosfat dan
tepung tulang sapi terhadap peubah yang diamati ……….. 112 24 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap
rata-rata jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, jumlah
stolon primer dan jumlah stolon sekunder ………. 113 25 Interaksi waktu inokulasi FMA dan pupuk P alami terhadap
rata-rata jumlah stolon sekunder ………... 114 26 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap
rata-rata jumlah buku pada stolon primer terpanjang, jumlah buku pada
stolon primer terpendek, stolon primer terpanjang ……… 115 27 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap
rata-rata jumlah daun total dan luas daun total ………. 116 28 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap
klorofil a, klorofil b, dan klorofil total ………... 116 29 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap
serapan hara N, P, dan K ………... 117 30 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap
rata-rata derajat infeksi pada akar dan bobot kering akar ………... 118 31 Pengaruh pupuk P alami dan waktu inokulasi FMA terhadap
rata-rata bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering terna, dan
bobot kering total ………... 119 32 Interaksi waktu inokulasi FMA dan pupuk P alami terhadap kadar
dan produksi asiatikosida pegagan ……… 120 33 Nilai koefisien korelasi antara komponen pertumbuhan dengan
produksi daun kering tanaman pegagan ……….. 123 34 Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung komponen
pertumbuhan terhadap produksi daun kering tanaman pegagan …. 124
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 8 2 Lintasan utama biosintesis metabolit sekunder dan hubungannya
dengan metabolisme primer ... 13 3 Biosintesis senyawa terpena melalui lintasan asam mevalonat ... 14 4 Biosintesis isoprena melalui jalur non mevalonat (deoksisilulosa
difosfat :DXP / methylerythritol fosfat :MEP) ... 16 5 Struktur kimia glikosida asiatikosida ………. 17 6 Biosintesis centellosida (asam asiatik, asiatikosida, asam
madekasid) melalui sikliksasi 2,3-oksidoskualen ………... 17 7 Infeksi FMA pada perakaran pegagan yang ditunjukkan dengan
terbentuknya struktur vesikula (V), dan hifa internal (HI) ………… 41 8 Perbanyakan spora FMA (a), penampilan bibit pegagan bermikoriza
(b) dan bibit non-mikoriza (c) pada umur 1 bulan di pembibitan …... 74 9 Penampilan akar tanaman tanpa inokulasi FMA (M0), gambar
sebelah atas pada masing-masing lajur, serta akar yang
mendapatkan perlakuan inokulasi FMA (M1), gambar bagian bawah pada masing-masing lajur ………... 83 10 Hubungan antara perlakuan FMA dengan dosis pupuk batuan fosfat
dan tepung tulang sapi terhadap bobot kering daun ……….. 89 11 Hubungan antara perlakuan FMA dengan dosis pupuk batuan fosfat
dan tepung tulang sapi terhadap bobot kering terna ………... 89 12 Diagram analisis lintas antara komponen pertumbuhan terhadap
bobot kering daun pegagan ……… 122 13 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi:
15 Maret 2012) ……….. 190
14 Kromatogram HPLC perlakuan M0P1 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret
2012) ……….. 191
15 Kromatogram HPLC perlakuan M0P2 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret
2012) ……….. 192
16 Kromatogram HPLC perlakuan M3P1 + Std [1:1] (injeksi: 15 Maret
2012) ……….. 193
17 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi:
16 Maret 2012) ……….. 194
18 Kromatogram HPLC perlakuan M1P1 + Std [1:1] (injeksi: 16
Maret 2012) ………... 195
19 Kromatogram HPLC perlakuan M1P2 + Std [1:1] (injeksi: 16
Maret 2012) ………... 196 20 Kromatogram HPLC perlakuan M2P1 + Std [1:1] (injeksi: 16
Maret 2012) ………... 197 21 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi:
22 Maret 2012) ………. 198
22 Kromatogram HPLC perlakuan M2P2 + Std [1:1] (injeksi: 22
Maret 2012) ……….. 199
23 Kromatogram HPLC perlakuan M3P2 + Std [1:1] (injeksi: 22
Maret 2012) ……….. 200
24 Kromatogram HPLC larutan standar asiatikosida 200 ppm (injeksi:
23 Maret 2012) ………. 201
25 Kromatogram HPLC perlakuan M4P1 + Std [1:1] (injeksi: 23
Maret 2012) ……….. 202
26 Kromatogram HPLC perlakuan M4P2 + Std [1:1] (injeksi: 23
Maret 2012) ………... 203
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil analisis karakteristik andosol di KP. Gunung Putri, 2008 ... 183 2 Langkah-langkah metode tuang saring ... 184 3 Teknik trapping ... 184 4 Denah percobaan uji kompatibilitas dan efektivitas FMA pada
tanaman pegagan di andosol ………. 185 5 Prosedur pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman ………... 186 6 Denah percobaan Kajian Pemanfaatan FMA dan Pemupukan P
alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan, dan biomassa
tanaman pegagan pada andosol ………. 187 7 Analisis usahatani pegagan pada perlakuan pupuk alami dan
pemanfatan FMA di Andosol ………. 188 8 Denah percobaan Waktu inokulasi FMA pada dosis maksimal dari
dua sumber P alami terhadap pertumbuhan, perkembangan,
biomassa, dan produksi asiatikosida Tanaman Pegagan di andosol ... 189 9 Hasil analisis HPLC kandungan asiatikosida ... 190
Latar Belakang
Perkembangan industri obat herbal (herbal medicine) dan makanan kesehatan (health food) di dunia termasuk di Indonesia, yang dikenal dengan fenomena ”back to nature” saat ini sangat pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin berkembangnya penggunaan obat tradisional. Di RRC, penggunaan produk obat-obatan herbal mencapai 90% penduduk, di Jepang 60–70% dokter meresepkan obat tradisional untuk pasien mereka, di Malaysia dan India obat tradisional digunakan secara luas oleh masyarakatnya, 71% penduduk di Cili dan 40% penduduk Kolombia menggunakan obat tradisional. Di Negara-negara maju penggunaan obat tradisional sangat populer. Beberapa sumber menyebutkan penggunaan obat tradisional oleh penduduk di Perancis mencapai 49%, Kanada 70%, Inggris 40%, dan Amerika Serikat 42% (Pribadi, 2012). Sedangkan pangsa pasar penjualan obat tradisional didalam negeri juga semakin meningkat, pada tahun 2005 omset jamu Indonesia mencapai Rp. 5 Triliun, pada tahun 2010 naik menjadi Rp. 10 Triliun dan diperkirakan pada tahun 2012 mencapai Rp. 13 Triliun (Saerang, 2010).
Pegagan merupakan komoditas tanaman obat yang akhir-akhir ini cukup mendapat perhatian masyarakat karena secara empiris dikenal memiliki khasiat yang cukup banyak. Efek farmakologis dari pegagan secara ilmiah antara lain untuk meningkatkan kemampuan kognitif (Anissa 2006; Kumar & Gupta 2002), mencegah penurunan kemampuan kognitif serta stres oksidatif (Kumar & Gupta 2003), memberikan kontribusi utama pada aktivitas anti-oksidatif (Zainol et al. 2003), disamping dapat dimanfaatkan untuk kosmetik, dan perawatan kulit (Winarto & Surbakti 2003), sehingga pegagan merupakan salah satu tanaman obat yang potensial untuk dikembangkan
baku pegagan sebagian besar diambil secara langsung dari alam tanpa usaha pembudidayaan, dan hanya sebagian kecil berasal dari usaha budidaya. Kebutuhan industri bahan baku pegagan pada tahun 2002 mencapai 100 ton kering/th, namun baru dapat dipasok 4 ton/th (IPB 2005), diperkirakan kebutuhan tersebut akan terus meningkat.
Budidaya tanaman untuk menghasilkan bahan baku pegagan terstandar belum diketahui secara menyeluruh, sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan aspek budidaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil dicirikan dengan produksi biomassa, kandungan dan produksi asiatikosida yang tinggi. Dilaporkan oleh Ghulamahdi et al. (2008) bahwa budidaya pegagan untuk menghasilkan kandungan bioaktif yang tinggi apabila ditanam di daerah dataran tinggi, yang diketahui didominasi jenis andosol. Andosol merupakan jenis tanah masam yang pada umumnya memfiksasi sebagian besar fosfor yang diberikan. Fiksasi hara fosfor adalah faktor utama penyebab ketersediaan P rendah di tanah (Syarif 2007). Radjagukguk (1983) menyatakan bahwa salah satu ciri tanah mineral masam adalah rendahnya kandungan P serta fiksasi P yang tinggi. Pad andosol terdapat mineral kristalin (alofan dan imogolit) yang mengandung ion Al dan Fe, mengakibatkan pupuk P yang diaplikasikan akan dijerap secara cepat oleh permukaan mineral sehingga menurunkan ketersediaan P (Meason et al. 2009). Hasil analisis terhadap andosol menunjukkan pH tanah masam, P tersedia rendah, N total rendah, K rendah, Al dan Mn tinggi, Fe sangat tinggi (Lampiran 1).
tanaman yang bersimbiosis dengan FMA disebabkan oleh adanya (1) pengurangan jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman, (2) peningkatan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi pada bidang serap, dan (3) perubahan secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman (Abbott & Robson 1984). Aplikasi FMA pada andosol diharapkan dapat memfasilitasi meningkatnya ketersediaan hara, utamanya hara P.
FMA merupakan sumberdaya hayati potensial yang terdapat di alam dan dapat ditemukan hampir di berbagai ekosistem, termasuk pada lahan masam (Kartika 2006), dan alkalin (Swasono 2006). Menurut Smith dan Read (2008), FMA dapat berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman. Pemanfaatan FMA menyebabkan tanaman lebih toleran pada lingkungan tanah masam (Quenca et al. 2001), cekaman ganda Al dan kekeringan (Hanum 2004), mengefisiensikan pemupukan fosfor pada tanah Andosol (Haryantini & Santoso 2008). FMA dapat membantu tanaman dalam menyerap P yang tidak tersedia atau terikat menjadi P yang tersedia. Selain itu juga dapat meningkatkan produksi biomassa, status hara (P, Zn dan Fe) pada daun, dan kandungan minyak esensial (essensial oil) dan kandungan artemisinin pada tanaman Artemisia annua L (Chaudhary et al. 2008). Penelitian pada beberapa komoditas tanaman obat menunjukkan bahwa FMA dapat meningkatkan konsentrasi minyak esensial pada tanaman mentha (Zhi-lin et al. 2007), meningkatkan pertumbuhan, produksi, serta kandungan minyak atsiri pada tanaman jahe (Trisilawati 2000) dan kumis kucing (Trisilawati 2005).
Simbiosis antara tanaman pegagan dengan FMA dapat terjalin jika kedua simbion tersebut mendapatkan manfaat dan menggunakan fungsi simbiosis secara maksimal. Bagi FMA, fungsi tersebut dapat dilihat dari adanya pembentukan dan perkembangan strukur arbuskula, vesikula dan hifa di dalam sel-sel akar. Sementara itu bagi tanaman inang, fungsi tersebut berupa peningkatan pertumbuhan dan hasil (Smith dan Read 1997). Terbentuknya simbiosis antara FMA dan tanaman sangat tergantung pada jenis FMA, genotipe tanaman, dan kondisi tanah serta interaksi ketiganya (Brundrett et al. 1996). Setiap jenis tanaman memberikan tanggap yang berbeda terhadap FMA, demikian juga setiap FMA memiliki perbedaan dalam kemampuan meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman (Daniels & Menge 1981) sehingga akan berbeda pula efektivitasnya dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian Martono (2011) yang menyeleksi 17 aksesi pegagan berdasarkan kadar asiatikosida didapatkan tiga aksesi terpilih antara lain, Casi 016 (Boyolali), Casi 008 (Ciwidey), dan Casi 019 (Smugrim) dengan kadar asiatikosida masing-masing sebesar 0.91, 0.81, dan 0.77%.
Sumber isolat FMA yang berasal dari jenis tanaman inang dan jenis tanah yang sama diduga memiliki kompatibilitas yang lebih tinggi dibandingkan isolat yang berasal dari tanaman inang dan jenis tanah yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mendapatkan FMA yang mampu meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kompatibilitas dan efektivitas jenis-jenis FMA pada tanaman pegagan
fosfat, kalsium fosfat, dan tepung tulang lebih efektif untuk memelihara perkembangan FMA dan meningkatkan kolonisasi akar (Nikolaou et al. 2002).
Pupuk alami bersifat voluminous, karena kandungan haranya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pupuk anorganik sehingga dibutuhkan dalam jumlah banyak dan memerlukan tambahan biaya untuk transportasi dan aplikasi kalau didatangkan dari tempat lain. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk alami, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan takaran dosis serta sumber pupuk alami yang paling tepat pada pemanfaatan dengan FMA. Penelitian tentang interaksi FMA dan pupuk alami pada tanaman pegagan sejauh ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang peranan FMA dalam meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan produksi biomassa serta diharapkan kandungan dan produksi bioaktif pegagan (asiatikosida) akan meningkat.
Biosintesis metabolit sekunder pada sebagian besar tanaman terjadi pada daun, yaitu di plastida, retikulum endoplasma, sitosol dan kloroplas. Kandungan senyawa metabolit sekunder asiatikosida pada pegagan banyak terdapat pada bagian daun tanaman (82.6%), tangkai daun (15.9%), dan pada bagian akar (1.5%) (Kim et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut maka usaha budidaya pegagan untuk meningkatkan produktivitas asiatikosida adalah meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman, khususnya bagian daun.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang peran fungi mikoriza arbuskula dan hubungannya dengan penggunaan pupuk fosfor alami dalam meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, biomassa serta produksi asiatikosida tanaman pegagan.
Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan isolat-isolat FMA hasil isolasi, dan mendapatkan identitas dari 3
lokasi rhizosfer pertanaman pegagan.
2. Mendapatkan FMA yang kompatibel dengan tanaman pegagan dan efektif meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan produksi biomassa
3. Menganalisis pengaruh FMA, dosis serta sumber pupuk P alami terhadap pertumbuhan dan produksi biomassa tanaman pegagan.
4. Mendapatkan waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis maksimal dari dua sumber pupuk P alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan produksi biomassa serta produksi asiatikosida
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1) Setiap lokasi rhizosfer pagagan memiliki jenis FMA yang berbeda
2) Terdapat FMA jenis tertentu yang mempunyai kompatibilitas tinggi dengan tanaman pegagan dan efektif meningkatkan pertumbuhan dan produksi biomassa
3) Setiap dosis dan jenis pupuk fosfor alami pada kombinasi dengan penggunaan FMA akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produksi biomassa tanaman pegagan
pertumbuhan, perkembangan dan produksi biomassa serta produksi asiatikosida tanaman pegagan
Kegunaan Penelitian
1. Dengan didapatkan isolat-isolat FMA yang kompatibel dan efektif, diharapkan dapat dimanfaatkan pada usahatani pegagan yang efisien, aman, dan ramah lingkungan mendukung penerapan Good Agricultural Practicies (GAP). 2. Penggunaan sumber pupuk fosfor alami yang berasal dari batuan fosfat dan
tepung tulang sapi diharapkan dapat memberikan informasi manfaat dan kegunaan material alamiah potensial sebagai alternatif pengganti pupuk kimia. 3. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu alternatif rakitan teknologi untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi biomassa serta produksi asiatikosida tanaman pegagan melalui pendekatan budidaya organik.
Ruang lingkup Penelitian
Keterangan:
= garis pemanfaatan data = garis hasil yang diharapkan
Gambar 1 Diagram alir pelaksanaan penelitian.
Penelitian 1
Isolasi, karakterisasi, dan perbanyakan FMA dari rizosfer pertanaman pegagan
Penelitian 4
Waktu inokulasi FMA pada kombinasi dua sumber P
Efektivitas fungi mikoriza arbuskula pada penggunaan pupuk fosfor alami dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, biomassa, dan produksi
asiatikosida pegagan di andosol
Penelitian 3
Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap
1. Jenis fungi mikoriza arbuskula endogenus
2. Penafsiran kepadatan spora FMA
Hasil yang diharapkan:
1. Jenis FMA yang kompatibel dan efektif bersimbiosis dengan tanaman pegagan
2. Penafsiran daya infeksi FMA
Hasil yang diharapkan:
1. Jenis pupuk P alami yang sesuai dengan FMA
2. Dosis maksimal pupuk P alami pada pemanfaatan FMA
Hasil yang diharapkan:
1. Waktu inokulasi FMA yang tepat 2. Jenis dan dosis pupuk P alami
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi, Botani, dan Syarat Tumbuh Pegagan
Pegagan diklasifikasikan ke dalam famili Umbelliferae (Apiaceae), genus
Centella dengan nama spesies Centella asiatica L. (Urban) dan mempunyai nama
sinonim Hydrocotile asiatica L. Pes, tanaman ini di Indonesia mempunyai banyak
nama lokal, antara lain : antanan (Sunda); daun kaki kuda, pagago ambun, pegaga,
daun aga, pugago (Sumatera); gagan-gagan, gangganan, kerok batok, pacul
gowang (Jawa); kos-tekosan (Madura); pagaga, daun tungke-tungke, wisu-wisu,
kisu-kisu (Sulawesi); kori-kori (Halmahera); kolotidi, sarowti (Maluku); serta
bebele, penggaga paiduh (Nusa Tenggara). Pegagan secara internasional dikenal
dengan nama gotu cola, indian pennywort, ji xue cao (Winarto & Surbakti 2003).
Pegagan merupakan tumbuhan herba/terna menahun dengan batang sangat
pendek. Dari batang tumbuh stolon yang menjalar horisontal di atas permukaan
tanah dan berbuku-buku. Dari buku-buku yang menyentuh tanah akan keluar akar
dan tunas yang akan tumbuh menjadi tumbuhan baru. Daun pegagan tersusun
secara basalis (roset) dengan 2-10 daun tunggal per tanaman berbentuk seperti
ginjal berukuran 2-5 cm x 2-7 cm. Tangkai daun tegak dan sangat panjang
berukuran 9-17 cm dengan bagian dalam berlubang serta bagian pangkal melekuk
ke dalam dan melebar seperti pelepah (Santa & Prajogo 1992). Bunga berbentuk
payung tunggal (umbella) dan biasanya tersusun dari 3 bunga yang muncul dari
ketiak daun. Kelopak berwarna hijau, mahkota bunga berwarna merah lembayung.
Buah pegagan berukuran kecil berwarna kuning kecoklatan dan berbentuk
lonjong. Tumbuhan ini dapat berkembang biak dengan biji dan sulur batang atau
stolon (Djauhariya & Hernani 2004).
Pegagan dapat diperbanyak secara vegetatif dengan tunas berakar dan dapat
pula diperbanyak dengan biji atau secara generatif. Hingga saat ini perbanyakan
menggunakan stek tunas berakar lebih banyak dilakukan dibandingkan
perbanyakan dengan biji. Perbanyakan dengan biji atau benih jarang dan bahkan
belum pernah dilakukan, selain karena ukuran bijinya terlalu kecil juga sulit untuk
Daerah penyebaran tanaman pegagan sangat luas, terutama di daerah tropis
dan sub tropis. Pegagan dapat tumbuh dari dataran rendah sampai dengan
dataran tinggi dengan ketinggian 1-2500 m di atas permukaan laut (dpl), namun
tanaman ini tumbuh baik di dataran rendah pada ketinggian 700 m dpl.
Kelembaban udara yang diinginkan antara 70-90% dengan rata-rata temperatur
udara 20-250C dan tingkat kemasaman tanah netral (pH) antara 6-7 (Dalimartha
2000; Winarto & Surbakti 2003).
Manfaat dan Kandungan Kimia
Pegagan banyak dimanfaatkan sebagai obat karena khasiatnya antara lain
untuk merevitalisasi tubuh dan pembuluh darah sehingga peredaran darah ke otak
menjadi lancar, memperkuat struktur jaringan tubuh, tonik otak, membantu proses
pencernaan, sebagai pencahar, menimbulkan selera makan, memperbanyak sel
darah merah, menyembuhkan gangguan ringan di hati dan limpa yang bengkak,
anti infeksi, anti racun, penurun panas, peluruh seni dan antisifilis (Winarto &
Surbakti 2003). Disamping dapat digunakan sebagai anti diabetes, anti tumor
karena efek fisiologisnya (Fahmi 2002).
Hasil penelitian Anissa (2006) menyatakan bahwa pemberian ekstrak
pegagan dapat meningkatkan kemampuan kognitif dengan mempengaruhi
modulasi neurotransmitter pada hipokampus tikus. Ekstrak pegagan juga terbukti
efektif dalam mencegah penurunan kemampuan kognitif serta stres oksidatif yang
disebabkan oleh Intracerebroventricular dan streptozotocin yang diindikasikan
sebagai penyebab penyakit alzheimer pada tikus (Kumar & Gupta 2003). Ekstrak pegagan juga dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan memiliki mekanisme
antioksidan (Kumar & Gupta 2002). Senyawa fenolik yang dihasilkan pada
tanaman pegagan memberikan kontribusi utama pada aktivitas anti-oksidatif.
Selanjutnya dinyatakan bahwa bagian daun dan akar pegagan, kedua-duanya
mempunyai aktivitas anti-oksidatif yang tinggi, yang ditunjukkan pada kandungan
α-tocopherol. Senyawa phenolic adalah penyokong utama pada aktivitas anti-oksidatif dari pegagan (Zainol et al. 2003).
Pemberian ekstrak pegagan yang dicampur dengan Punica granatum
(Sastravaha et al. 2003). Ekstrak pegagan berpotensi dimanfaatkan untuk
menekan dan mencegah penyakit vaskuler seperti masalah pembuluh darah dan
pembuluh arteri (Incandela et al. 2001). Ekstrak pegagan dapat meningkatkan
enzim-enzim antioksidan, seperti dismutase superoksida (SOD), katalase dan
glutathion peroksidase (GSHPX), dan anti-oksidan seperti glutation (GSH) dan
menurunkan asam askorbat di dalam lymphoma-bearing pada tikus ( Jayashree et
al 2003). Gugus karboksil dan asetil memainkan peran-peran penting di dalam
mengekspresikan aktivitas imunologi, dan senyawa tersebut ada pada tanaman
pegagan (Wang et al. 2004).
Ekstrak pegagan mempunyai potensi untuk menekan kerusakan genotoxic
yang diinduksi oleh Cyproterone acetate (CPA) di dalam kultur lymphocytes
manusia. (CPA) merupakan agensia pemicu liver pada tikus betina (Siddique et al.
2008). Ekstrak pegagan mampu menghambat pembentukan azoxymethane
(AOM)-induced aberrant crypt foci (ACF) yang diketahui menginduksi tumor
pada usus tikus, hal tersebut dihubungkan dengan modifikasi perkembang biakan
sel dan induksi apoptosis di dalam colonic crypts dan mempunyai efek
chemopreventive terhadap colon tumorigenesis (Bunpo et al. 2004). Secara umum
George et al. (2009) menuliskan bahwa tanaman pegagan dapat digunakan
didalam pengobatan melalui kemampuan sebagai obat anti-alergi, anti-pruritic dan
anti-inflammatory.
Pegagan mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder antara lain
senyawa glikosida triterpenoid yang disebut asiatikosida, asam asiatikat dan
madekasat. Disamping itu juga mengandung senyawa alkaloid, hidrokotilina,
senyawa-senyawa steroid, tannin, minyak lemak, minyak atsiri, vitamin B,
saponin, gula pereduksi, garam-garam mineral seperti garam kalium, natrium,
magnesium, kalsium dan besi (Sutrisno 1996). Pegagan mengandung triterpenoid,
minyak esensial, asam amino dan senyawa lain, seperti vellarin. Senyawa
terpenoid itu sendiri mengandung asiatikosida, centellosida, madekassoside,
brahmoside, brahminoside, thankuniside, sceffoleoside, centellose, asiatik,
Metabolisme Sekunder pada Tanaman Pegagan
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang dihasilkan oleh sebagian
besar tumbuhan, menghasilkan berbagai senyawa organik yang tidak berperan
secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan senyawa
tersebut dikenal sebagai metabolit sekunder, produk sekunder atau produk alami.
Metabolit sekunder dijumpai dalam jumlah terbatas pada tumbuhan, metabolit
sekunder tertentu mungkin dihasilkan pada satu spesies atau beberapa spesies
tertentu, sedangkan metabolit primer ditemukan hampir pada semua spesies
tumbuhan (Herbert 1995; Taiz & Zeiger 2002).
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis tanaman dan
digolongkan menjadi lima yaitu glikosida, terpenoid, fenol,flavonoid, dan
alkaloid. Senyawa-senyawa tersebut bermanfaat bagi tanaman itu sendiri maupun
bagi serangga, hewan dan manusia. Fungsi senyawa metabolit sekunder pada
tumbuhan cukup banyak antara lain: 1) sistem pertahanan terhadap virus, bakteri
dan jamur, 2). Sistem pertahanan terhadap serangga, 3). Sistem pertahanan
terhadap tanaman lain melalui allelopati, 4). Atraktan serangga untuk membantu
penyerbukan, 5). Sistem pertahanan terhadap lingkungan yang kurang
menguntungkan, dan 6). Sebagai obat, food additive, flavor, pewarna dan pestisida
nabati (Vickery and Vickery 1981; Wink 1999).
Biosintesis terpenoid berasal dari metabolisme primer, produk metabolisme
primer dari hasil fotosintesis mengalami glikolisis membentuk asam piruvat
maupun 3-fosfogliserat (3-PGA), melalui lintasan asam mevalonat dan MEP
dengan dengan berbagai tahapan reaksi membentuk terpena. Hubungan antara
biosintesis metabolisme sekunder dengan metabolisme primer ditunjukkan pada
Gambar 2 Lintasan utama biosintesis metabolit sekunder dan hubungannya dengan metabolisme primer (Sumber: Taiz & Zeiger 2002)
Tumbuhan memiliki dua jalur biosintesis isoprena secara bersamaan,
perbedaannya hanya pada organ sel tempat berlangsungnya reaksi biosintesis,
lintasan asam mevalonat terjadi di plastida dan retikulum endoplasma (ER)
sedangkan lintasan DXP/MEP terjadi di sitosol (Agusta 2006; Tholl 2006) dan
kloroplas (Wu et al. 2006). Triterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang
mempunyai kerangka karbon tersusun dari enam satuan isoprena, secara
biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik. Seluruh senyawa terpenoid
yang ada di alam dibangun dari kondensasi unit isoprena aktif yang disebut
isopentenil pirofosfat (IPP) dan dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Biosintesis IPP
dan isomernya DMAPP terjadi melalui lintasan asam mevalonat dan
non-mevalonat yang disebut jalur biosintesis deoksisilulosa difosfat:DXP atau jalur
Gambar 3 Biosintesis senyawa terpena melalui lintasan asam mevalonat (Agusta 2006)
Biosintesis isoprena melalui lintasan mevalonat diawali dengan reaksi
kondensasi dua molekul asetil-coenzim A (asetil-CoA) menjadi asetoasetil-CoA
yang dikatilasi enzim asetil-CoA asetiltransferase. Selanjutnya asetoasetil-CoA
berkondensasi lagi dengan satu unit asetil-CoA membentuk molekul β-hidroksi-β
-metilglutaril-CoA (HMG-CoA) yang dikatalisasi enzim HMG-CoA sintase.
Proses kedua adalah reduksi HMG-CoA oleh NADPH yang dikatalisasi enzim
HMG-CoA reduktase menjadi asam mevalonat. Proses selanjutnya, dengan
bantuan enzim mevalonat kinase dan enzim fosfomevalonat kinase, asam
mevalonat dikonversi menjadi asam 5-pirofosfat-3-fosfomevalonat yang pada
tahap berikutnya akan dikatalisasi enzim pirofosfat mevalonat dekarboksilase
membutuhkan ATP dan ion metal divalent dalam reaksinya. Proses selanjutnya
IPP dengan bantuan enzim IPP isomerase akan membentuk kesetimbangan
menjadi dimetilalil pirofosfat (DMAPP). Kondensasi IPP dan DMAPP akan
membentuk geranil pirofosfat (GPP, C-10) dan farnesil pirofosfat (FPP, C-15)
yang dikatalisasi oleh geranil pirofosfat sintase dan farnesil pirofosfat sintase.
Geranil pirofosfat akan membentuk monoterpenoid dan farnesil pirofosfat
membentuk sesquiterpenoid, senyawa triterpenoid terbentuk jika dua molekul
sesquiterpenoid bergabung (Agusta 2006) (Gambar 3).
Biosintesis isoprena melalui jalur non-mevalonat (deoksisilulosa difosfat:
DXP atau metilerithritol pospat: MEP) terjadi di plastida dan menghasilkan
monoterpena dan triterpena (Croteau et al. 2000). Tumbuhan Arabidopsis taliana,
Perilla frutescens, daun poko (Mentha piperita), dan cabe (Capsicum annum)
menggunakan 1-deoksi-D-silulosa (DX) digunakan sebagai starting material
dalam biosintesis ini (Kuzuyama & Seto 2003). DX dengan bantuan enzim
D-silulokinase akan terbentuk 1-deoksi-D-silulosa 5-fosfat (DXP) dari reaksi
kondensasi asam piruvat dan tiamina pirofosfat (TPP) serta D-glyseraldehida
3-fosfat yang dikatalisasi oleh enzim DXP sintase. Selanjutnya DXP mengalami
reduksi menjadi metil-D-eritritol 4-fosfat (MEP) dengan zat antara
2-C-metileritrosa 4-fosfat (MEOP) yang dikatalisis oleh enzim DXP reduktoisomerase
(Agusta 2006). Kuzuyama & Seto (2003) menyatakan bahwa reaksi yang
melibatkan enzim DXP reduktoisomerase tersebut disinyalir sebagai tahapan
pertama biosintesis isoprena melalui jalur non mevalonat. Tahapan biosintesis
selanjutnya adalah terjadi reaksi antara MEP dan sitidiltrifosfat (CTP) menjadi zat
antara 4-(sitidina 5’-difosfo)-2-C-metil-D-eritritol (CDP-ME) dengan bantuan
enzim MEP sitidiltransferase. Tahap selanjutnya terjadi konversi CDP-ME
menjadi 2-fosfo-4-(sitidina 5’-difosfo)-2-C-metil-D-eritritol (CDP-ME2P) yang
dikatalisasi enzim CDP-ME kinase dengan ketersediaan ATP (Kuzuyama 2002).
Selanjutnya CDP-ME2P dikonversi menjadi 2-C-metil-D-eritritol
2,4-siklodifosfat (MECDP) dengan bantuan enzim MECDP sintase. Pembentukan
MECDP tersebut terjadi secara bersamaan dengan proses pelepasan sitidina
monofosfat (CMP). Tahap akhir dari biosintesis isoprena adalah terjadinya
menjadi zat antara 1-hidroksi-2-metil-2-(E)-butenil 4-difosfat (HMBDP) (lihat
Gambar 4). Sampai saat ini gen yang menghasilkan enzim yang mengkatalisis
reaksi ini belum diketahui secara jelas, demikian pula enzim yang berperan dalam
konversi HMBDP menjadi IPP dan DMAPP belum sepenuhnya terkarakterisasi.
Gambar 4 Biosintesis isoprena melalui jalur non mevalonat (deoksisilulosa difosfat/DXP atau methylerythritol fosfat/MEP) (Agusta 2006)
Asiatikosida
Asiatikosida (C48H78O19) merupakan salah satu senyawa penciri pegagan
(Gambar 5), termasuk ke dalam golongan glikosida triterpenoid turunan dari β
-amyrin dengan molekul gula, terdiri dari 2 glukosa dan 1 rhamnosa (Vickery &
Vicery 1981; Kim et al. 2005; Aziz et al 2007; ). Kandungan bioaktif yang
terkenal dari pegagan adalah triterpen saponin yaitu, madekakosida dan
asiatikosida, serta ursane sapogenin masing-masing asam madekasid dan asam
asiatik, kandungan senyawa tersebut dikenal sebagai centellosida, berasal dari
berbeda, termasuk α/β-amyrin sintase (α/β-AS). α/β-amyrin merupakan prekursor
asiatikosida (James & Dubery 2009).
Bagian tanaman pegagan yang digunakan untuk obat-obatan tradisional
adalah seluruh bagian tanaman, kecuali akar (Winarto & Surbakti 2003), hal
tersebut terkait dengan kandungan senyawa kimia yang banyak terdapat pada
bagian daun. Hasil penelitian Zainol et al. (2005) mendapatkan kandungan
senyawa asiatikosida tertinggi pada daun sebanyak 1.14–2.56 μg/ml, dan petiola
sebanyak 0.17–0.49 μg/ml, sedangkan pada bagian akar tidak terdeteksi.
Berdasarkan hal tersebut, maka budidaya untuk tujuan produktivitas asiatikosida
yang tinggi pada tanaman pegagan dipanen bioamassanya, khususnya bagian
daun.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan fungi tergolong filum
Glomeromycota dengan dua belas genus yang berhasil dikenali yaitu
Archaespora, Geosiphon, Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora,
Kuklospora, Intraspora, Entrophospora, Diversispora, Pacispora, dan Glomus
(Sieverding & Oehl 2006). Keduabelas genus tersebut dibedakan berdasarkan
ciri-ciri sporanya dan hubungan spora dengan hifa yang mencerminkan mekanisme
spora dihasilkan. Selanjutnya dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi biologi molekuler pada penelitian tentang FMA menyebabkan
adanya perubahan taksonomi FMA, terdapat 4 ordo dengan 10 famili dan
sebanyak 15 genus pada klasifikasi FMA yang baru:
Filum : Glomeromycota
Ordo : Archaesporales, Diversisporales, Glomales, Paraglomales
Genus : Acaulospora, Ambispora, Archaespora, Diversispora,
Entrophospora, Geosiphon, Gigaspora, Glomus, Intraspora,
Kuklospora, Otospora, Pacispora, Paraglomus, Racocetra dan
Scutellospora. (http://www.agro.ar.szczecin.pl /jblaszkowski
/Classification, html. 11 Mei 2009)
Struktur umum FMA terdiri dari organ yang terdapat di dalam jaringan
kolonisasi yang telah mencapai sel korteks yang lebih dalam letaknya dan
menembus dinding sel serta membentuk sistem percabangan hifa yang kompleks
tampak seperti pohon kecil yang mempunyai cabang-cabang (Gunawan 1993).
Karakteristik FMA menurut Scannerini dan Bonfante-Fosolo (1984) antara lain
adalah : (1) perakaran yang terkena infeksi tidak membesar; (2) cendawan
membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar, tetapi tidak setebal
mantel pada ektomikoriza; (3) hifa masuk kedalam individu sel jaringan korteks
dan (4) pada umumnya ditemukan struktur percabangan hifa yang disebut
arbuskula (arbuscules) dan adanya struktur khusus berbentuk oval yang disebut
vesikula (vesicles).
Arbuskula adalah struktur yang paling berarti dalam kompleks FMA yang
berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman. Adanya
arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada
akar tanaman (Bonfante-fosolo 1984). Selanjutnya dikatakan bahwa seluruh
endophyte dan termasuk genus Gigaspora, Scutellospora, Glomus, Sclerocytis
dan Acaulospora mampu membentuk arbuskula.
Menurut Abbot (1982), vesikula berbentuk globose dan berasal dari
penggelembungan hifa internal dari FMA. Vesikula ditemukan baik di dalam
maupun di luar lapisan korteks parenkim dan tidak semua FMA membentuk
vesikula dalam akar inangnya, seperti Gigaspora dan Scutellospora vesikulanya
ekstra-radikal dan tidak teratur. Banyak pendapat tentang fungsi dari vesikula,
seperti sebagai organ reproduktif atau organ yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan makanan. Vesikula juga dianggap sebabagi organ istirahat karena
jumlahnya akan meningkat pada saat tanaman tua atau saat tanaman akan mati
(Bonfante-fosolo 1984).
Kolonisasi akar dan produksi spora FMA dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
spesies fungi dan faktor lingkungan. Faktor spesies dibedakan menjadi faktor
kerapatan inokulum dan persaingan antar spesies fungi (Hetrick 1984).
Peningkatan kadar inokulum dapat meningkatkan kolonisasi akar sampai dengan
titik optimum tertentu (Hayman 1970). Akan tetapi tidak ada hubungan yang erat
antara kolonisasi dengan produksi spora, sehingga tidak dapat dijadikan ukuran
Sedangkan pengaruh persaingan antar spesies FMA sulit ditentukan karena hanya
diukur pada perbedaan pertumbuhan tanaman inangnya saja (Delvian 2003).
Jenis tanah sangat menentukan tingkat perkembangan tanaman yang
bermikoriza. Jenis tanah yang berbeda akan memberikan efektivitas FMA yang
berbeda pada suatu tanaman yang sama, misalnya jenis FMA yang efektif pada
suatu tanaman yang sama pada tanah mineral akan berbeda efektivitasnya jika
diberikan pada tanah gambut (Rainiyati 2007).
Peran dan fungsi fosfor, pupuk organik, dan sumber pupuk fosfor alami
Peran dan Fungsi Fosfor
Fungsi fosfor pada tanaman digolongkan dalam tiga bagian. Fungsi pertama
adalah sebagai penyusun makromolekul, dua contoh terpenting dari
makromolekul yang melibatkan fosfor adalah asam nukleat (DNA, RNA) dan
fosfolipid membran. Asam nukleat adalah senyawa yang berperan dalam
pewarisan sifat dan perkembangan tanaman. Fungsi kedua dari fosfor adalah
sebagai unsur pembentuk senyawa penyimpan dan perpindahan energi, dua
senyawa penting adalah ATP dan ADP. Energi dalamATP/ADP terletak pada
ikatan pirofosfat yang pemecahannya akan melepaskan energi, yang dikenal
dengan proses fosforilisasi. ATP merupakan sumber energi untuk hampir semua
proses biologi yang membutuhkan energi. Unsur P juga diperlukan dalam proses
fotosintesis yakni pada fotofosforilasi dan pembentukan ribulosa 1,5-bifosfat.
Fungsi ketiga P adalah sebagai regulator reaksi biokimia melalui fosforilasi yang
dapat mengaktivasi atau inaktivasi protein yang dianggap sebagai faktor kunci
dalam transduksi sinyal (Marschner 1997). Fosfor berfungsi dalam pertumbuhan
dan metabolisme tanaman, maka kekurangan fosfor mengindikasikan pada
pengurangan secara umum sebagian besar proses metabolisme seperti pembelahan
dan pembesaran sel, respirasi dan fotosintesis (Terry & Ulrich 1993).
Berdasarkan fungsi-fungsi tersebut, fosfor memegang peran yang penting
dalam proses metabolisme tanaman. Secara langsung maupun tidak langsung
fosfor berperan dalam biosintesis metabolit primer dan sekunder. Diduga terdapat
mengetahui hubungan tersebut perlu dikaji seberapa besar peran fosfor terhadap
kandungan asiatikosida.
Secara garis besar fosfor dibedakan atas P anorganik dan P organik.
Kandungan P anorganik di dalam tanah mineral selalu lebih tinggi dari P organik,
meskipun demikian pada lapisan olah kadar P organik pada tanah mineral selalu
lebih tinggi, karena adanya penimbunan bahan organik (Liferdi 2007). Sumber
cadangan fosfor banyak terdapat dalam kerak bumi, namun hampir semua
senyawa P yang dijumpai di alam daya larutnya rendah. Jumlah P total dalam
tanah cukup tinggi, tetapi pada bentuk yang tidak tersedia atau dalam bentuk
tersedia tetapi berada di luar rizosfer tanaman (Schachtman et al. 1998). Meskipun
jumlah total dalam tanah tinggi, ketersediaan P sering menjadi faktor pembatas
yang signifikan terhadap pertumbuhan pada system pertanian alamiah maupu
pertanian modern ((Lo´pez-Bucio et al. 2000).
Defisiensi hara fosfor adalah salah satu kendala dalam sistem produksi
pertanian di Indonesia. Defisiensi fosfor dijumpai secara luas terutama pada
tanah-tanah masam, berbahan organik rendah, tanah kapur, tanah salin dan tanah
vulkanis. Tanah andosol dan latosol berpotensi terjadi defisiensi fosfor.
Tanah-tanah ini tidak hanya memiliki fosfor tersedia rendah, tetapi juga memfiksasi
sebagian besar fosfor yang diberikan sehingga dibutuhkan banyak pupuk untuk
mendapatkan respon tanaman. Fiksasi hara fosfor adalah faktor utama penyebab
ketersediaan yang rendah dari hara tersebut di tanah (Syarif 2007). Di dalam tanah
P tersedia bagi tanaman kurang dari 1% P total tanah (Masrchner 1997). Pada
umumnya ketersediaan P terdapat pada kisaran pH 5.5 sampai 7.7. Ketersediaan P
menurun di bawah pH 5.5 karena terfiksasi oleh Al, Fe, hidroksida, dan liat,
sedangkan di atas pH 7.0 P difiksasi oleh Ca dan Mg (Tisdale et al. 1985).
Keberhasilan suatu tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal
sangat tergantung kepada kemampuan tanaman untuk memanfaatkan fosfor tanah.
Peningkatan serapan hara per tanaman dapat dicapai antara lain dengan (a)
peningkatan sistem perakaran yang dapat meningkatkan kontak dengan hara,
terutama hara yang kurang mobil seperti P, (b) peningkatan serapan per unit akar
bentuk-bentuk hara yang relatif kurang tersedia bagi tanaman seperti P an organik
tidak larut (Syarif 2007).
Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri
dari bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, dan atau hewan yang telah
mengalami rekayasa berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memasok
bahan organik, memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Peraturan
Mentan, No 2/Pert/HK.060/2/2006 cit Suriadikarta & Setyorini 2009).
Pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian, baik
kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan
meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik
dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat
mencegah degradasi lahan. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk
hijau, pupuk kandang, sisa panen, limbah ternak, limbah industri yang
menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Beberapa orang juga
mengelompokkan pupuk-pupuk yang ditambang seperti dolomit, fosfat alam,
kiserit, dan juga abu (yang kaya K) ke dalam golongan pupuk organik. Beberapa
pupuk organik yang diolah di pabrik misalnya adalah tepung darah, tepung tulang,
dan tepung ikan (Isroi 2008).
Pupuk organik dapat berfungsi sebagai pengikat butiran primer menjadi
butiran sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan
tersebut besar pengaruhnya terhadap porositas, penyimpanan dan penyediaan air,
dan suhu tanah. Pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting seperti: 1)
penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo,
Co, B, Mn, dan Fe, meskipun jumlahnya relatif sedikit; 2) meningkatkan kapasitas
tukar kation (KTK) tanah; dan 3) dapat membentuk senyawa kompleks dengan
ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn. Pupuk organik juga
berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat
meningkatkan aktivitas mikroba dalam penyediaan hara tanaman (Suriadikarta &
Komposisi hara pupuk organik bergantung pada sumber bahan pupuk.
Kotoran ternak mempunyai komposisi hara yang bervariasi, bergantung pada
jumlah dan jenis pakan yang diberikan. Komposisi hara dalam sisa tanaman juga
bergantung pada jenis tanaman. Rasio C/N sisa tanaman bervariasi dari 80 : 1
pada jerami gandum hingga 20 : 1 pada tanaman legum. Sekam padi dan jerami
mempunyai kandungan silika sangat tinggi namun berkadar nitrogen rendah. Sisa
tanaman legum seperti kedelai, kacang tanah, dan serbuk kayu mengandung
nitrogen cukup tinggi, sedangkan batang gandum dan jagung mengandung kalium
yang tinggi. Kandungan kalsium yang tinggi dijumpai pada kedelai dan serbuk
kayu. Pemberian jerami 5 t/ha secara nyata dapat meningkatkan produksi padi dan
mampu mensubstitusi pupuk KCl 50 kg/ha (Setyorini 2005). Perlakuan pupuk
kandang secara umum dapat meningkatkan serapan N tanaman padi yang lebih
besar dibanding kompos jerami, hal tersebut memperlihatkan bahwa pupuk
kandang mampu menggantikan peran pupuk N an-organik (Iqbal 2008).
Budidaya pegagan akan lebih baik apabila menggunakan pupuk organik
mengingat pemanfaatannya sebagai tanaman obat, hal itu dilakukan untuk
menghindari residu kimiawi yang mungkin dapat membahayakan kesehatan,
apalagi kadang pegagan dikonsumsi dalam keadaan segar.
Sumber Pupuk Fosfor Alami Tepung Tulang Sapi
Tepung tulang sapi merupakan salah satu sumber bahan alami yang dapat
dijadikan alternatif sebagai sumber fosfor memiliki susunan kimia Ca3(PO4)2
dengan kadar P antara 10–13 % (22–30% P2O5) (Leiwakabessy & Sutandi 2004).
Hasil analisis laboratorium pasca panen Balittro pada bulan Nopember 2009
terhadap sampel tepung tulang sapi menunjukkan kandungan fosfor sebesar
15.1%, kalsium 10.2%, dan magnesium 0.4%.
Tepung tulang yang dimanfaatkan sebagai sumber pupuk alami mampu
meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman. Hasil penelitian Umam (2005)
pada semai jati yang diinokulasi FMA, menunjukkan bahwa penambahan tepung
tulang mampu meningkatkan pertambahan tinggi tanaman, diameter batang dan
diperoleh Sangaji (2004), inokulasi FMA dengan penambahan tepung tulang
meningkatkan pertambahan tinggi dan diameter semai jati 149.8 dan 174.6%.
Keunggulan tepung tulang sapi sebagai sumber mineral adalah kandungan
fluor berada dalam batas yang aman, dan tidak mengandung sumsum di dalamnya
yang diduga dapat menyebabkan serangan mikroba yang berbahaya bagi
perkembangan FMA. Hasil penelitian Nusantara et al. (2007) mendapatkan bahwa
tepung tulang ayam dan tepung kulit telur memberikan efek yang kurang baik
terhadap perkembangan FMA dan hasil terbaik adalah dengan tepung tulang sapi.
Batuan Fosfat
Deposit fosfat merupakan sumberdaya alam yang potensial dan berperan
penting dalam pertanian sebagai sumber pupuk. Sebagian besar fosfat ditemukan
dalam bentuk mineral apatit (50.9%) dengan mineral ikutannya berupa kuarsa,
liat, besi, aluminium oksida, kalsit, dolomit, dan gipsum. Pupuk P-alam dapat
digunakan sebagai pupuk alternatif pengganti pupuk P kimia yang semakin mahal
dan kadang sulit didapat (Al-Jabri 2008). Kandungan P pada pupuk fosfat alam
berkisar antara 11–17% P (total) dan ketersediaannya berkisar 14–65% dari kadar
total (Leiwakabessy & Sutandi 2004).
Potensi batuan fosfat di Indonesia memang terbatas diperkirakan total
sumber daya fosfat Indonesia sekitar 20 juta ton yang teridentifikasi tersebar di 60
lokasi, sekitar 48 lokasi diantaranya ditemukan di Pulau Jawa dan Madura. Kadar
P2O5 tercatat antara 4–40%, akan tetapi pada umumnya diatas 15%. Endapan
fosfat yang ditemukan di Indonesia adalah fosfat guano, yang terbentuk dari
tumpukan sekresi (kotoran) burung atau kelelawar yang larut oleh air (hujan) atau
air tanah dan meresap ke dalam tubuh batu gamping, bereaksi dengan kalsit untuk
membentuk hidroksil fluorapatit atau Ca5(PO4)3(OH,F) dalam rekahan atau
menyusup diantara lapisan batu gamping, maupun terendapkan di dasar batu
gamping (Kusdarto 2006).
Batuan fosfat merupakan sumber hara P dan bersifat dapat melepaskan
fosfat secara lambat (slow release) yang kelarutannya makin tinggi dengan
meningkatnya kemasaman tanah (Bogidarmanti 2008). Kemampuan pupuk P-
komposisi kimia, jenis-jenis mineral dan ukuran partikel. Semakin halus ukuran
partikel semakin luas kontak antara pupuk P-alam dengan tanah sehingga
kelarutannya semakin tinggi (Al-Jabri 2008). Ditambahkan bahwa keunggulan
pupuk P didasarkan tingkat kelarutannya, sehingga pupuk tersebut cocok
digunakan pada tanah-tanah dengan daya fiksasi tinggi, terutama pada tanam
masam, seperti tanah andosol (Leiwakabessy & Sutandi 2004). Ciri-ciri tanah
yang harus diperhatikan bila menggunakan pupuk fosfat alam, yaitu : kadar air
tanah, kemasaman tanah, konsentrasi Ca dan P, serta kadar bahan organik tanah
(Hartatik & Idris 2008)
Peranan FMA Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Pada umumnya fungi mikoriza arbuskula (FMA) bersifat mutualistik. Pada
tanaman yang bersimbiosis dengan FMA, daerah penyerapan akar diperluas oleh
miselium ekternal jamur FMA, sehingga penyerapan hara terutama P menjadi
lebih besar. Kecepatan masuknya P ke dalam hifa jamur FMA dapat mencapai
enam kali lebih cepat daripada kecepatan masuknya P melalui rambut akar
(Kabirun 2002). Ditambahkan bahwa pada interaksi yang optimum, simbiosis
FMA dapat menyediakan jalur dominan untuk penyediaan P tanaman. Fungi
mikoriza juga berpotensi memfasilitasi penyediaan berbagai unsur hara bagi
tanaman terutama P. Perbaikan pertumbuhan dan kenaikan hasil berbagai tanaman
berkaitan dengan perbaikan nutrisi P tanaman.
Pemanfaatan FMA memberi beberapa keuntungan, antara lain: (1) secara
agroekosistem mikoriza akan membantu penyerapan hara dan air, baik melalui
perluasan akar dan (2) meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk fosfat
(Sastrahidayat 2000). FMA juga dapat menghasilkan hormon pengatur tumbuh
seperti sitokinin dan giberellin dan juga dapat memperbaiki metabolisme fosfat.
Selain meningkatkan pertumbuhan dan penyerapan P, inokulasi dengan FMA juga
dapat meningkatkan hasil tanaman (Kabirun 2002).
Hasil penelitian Setiawati et al. (2000) menunjukkan bahwa inokulasi
dengan FMA pada tanaman kedelai memberikan peningkatan yang nyata terhadap