• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAKTU INOKULASI FMA PADA KOMBINASI DUA SUMBER P ALAMI TERHADAP PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, BIOMASSA

TINJAUAN PUSTAKA

WAKTU INOKULASI FMA PADA KOMBINASI DUA SUMBER P ALAMI TERHADAP PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, BIOMASSA

DAN PRODUKSI ASIATIKOSIDA TANAMAN PEGAGAN DI ANDOSOL

Abstrak

Waktu inokulasi merupakan tahapan yang penting pada pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) karena akan menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan waktu inokulasi FMA terbaik pada kombinasi dosis maksimal pupuk P alami dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, perkembangan, biomassa, dan produksi asiatikosida tanaman pegagan (Centella asiatica L. Urban). Percobaan lapang menggunakan rancangan petak terbagi (split plot design) disusun secara faktorial. Petak utama adalah sumber pupuk P alami, yaitu: dosis 483.3 kg ha-1 batuan fosfat, dan dosis 339 kg ha-1 tepung tulang sapi. Anak petak adalah waktu inokulasi FMA, yaitu: tanpa FMA, inokulasi FMA di pembibitan, inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada saat tanam, inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 30 hari setelah tanam, dan inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 60 hari setelah tanam. Perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi FMA meningkatkan pertumbuhan tanaman, serapan hara N, P, K, bobot kering daun dan kadar asiatikosida tanaman pegagan. Perbedaan waktu inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa tanaman pegagan tetapi nyata meningkatkan produksi asiatikosida. Perlakuan waktu inokulasi di pembibitan dan diulang pada saat tanam menghasilkan bobot kering daun, bobot kering terna, dan bobot kering total tertinggi masing-masing sebesar 4.88, 15.22, dan 18.05 g tan-1. atau meningkat 77.6, 70.1, dan 88.2%. Batuan fosfat dan tepung tulang sapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan, perkembangan, dan biomassa pegagan akan tetapi memberikan efek positif terhadap FMA yang dibuktikan tingginya kolonisasi pada akar tanaman sebesar 79.4 dan 82.0%.

Kata kunci: waktu inokulasi, pupuk P alami, pertumbuhan, biomassa, produksi asiatikosida

Abstract

Timing of inoculation is important in the utilization of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) because it will determine the growth and yield of crops. The study was aimed to evaluate the effect of AMF inoculation timing and to find the maximal dose P natural fertilizer on growth, development, biomass, and asiaticoside production of Asiatic pennywort (Centella asiatica L. Urban). Field experiment was conducted in split plot design arranged in factorial. The main plot was source of natural fertilizer, i.e. 483.3 kg ha-1 of rock phosphate, and 339 kg ha-1 the maximal dose of cown bone meal. Sub plot was different inoculation timing of AMF, i.e. without AMF, AMF inoculated at seedling, inoculated of AMF at seedling and transplanting, inoculated of AMF at seedling and 30 days

102 

after planting (dap) on stolon, and inoculated of AMF at seedling and 60 dap on stolon. The treatment replicated three times. The results showed that inoculation of AMF significantly increased the growth, nutrient uptake, biomass, and asiaticoside content of asiatic pennywort. Different inoculation timing of AMF did not significantly effect all the variables of growth, development, and plant biomass, but increased asiaticoside production. Timing of inoculation at seedling and transplanting resulted the highest on leaf dry weight, shoot dry weight, and total dry weight amount to 4.88, 15.22, and 18.05 g plant-1 or increased 77.6, 70.1, and 88.2% than without AMF (control) plants. Rock phosphate and cown bone meal did not significantly effect growth, development, and plant biomass but provide positivelly increased roots colonization of AMF 79.4 and 82.0%.

Keywords: inoculation timing, P natural fertilizer, growth, biomass, asiaticoside production

Pendahuluan

Pegagan (Centella asiatica (L) Urban) merupakan tumbuhan herba/terna tahunan yang mempunyai karakteristik khas, dari batang utama akan tumbuh stolon yang memanjang disertai dengan munculnya tunas daun pada titik tumbuh dan terdapat stipula axillaris namun tidak diiringi dengan pembentukan akar. Setiap individu baru mempunyai kemampuan untuk membentuk stolon baru lagi. Akar serabut (radix adventicia) akan muncul apabila stolon tersebut benar-benar menyentuh tanah dan kondisi tanah lembab yang akan mendukung pembentukan akar. Individu yang muncul selanjutnya mengikuti perilaku tumbuh dari tanaman utamanya. Pada individu baru pembentukan bunga dan buah bisa langsung mengikuti pertumbuhan daun pertama dari individu anakan tersebut (Musyarofah 2006). Pada kondisi lingkungan yang mendukung, stolon akan terbentuk pada umur 3–4 minggu setelah tanam (mst).

Sebagai individu baru, tanaman anakan yang muncul dari stolon akan menghadapi kompetisi hara, air dan cahaya dengan sesama tanaman anakan maupun dengan induknya, serta kemungkinan cekaman biotik dan abiotik. Faktor- faktor pembatas tersebut tentunya akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai agensia hayati merupakan alternatif yang dapat diaplikasikan pada sistem perakaran tanaman anakan. FMA berperan penting dalam membantu serapan hara tanaman, khususnya fosfor (P), serta mampu meningkatkan daya tahan tanaman

mampu terhadap cekaman biotik dan abiotik (Smith & Read 2008; Gianinazzi et al. 2010). Banyak bukti yang menunjukkan peran FMA dalam membantu pertumbuhan dan kebugaran tanaman pada tanah terdegradasi (Allen et al. 2005), meningkatkan pasokan hara ke tanaman (Harrison et al. 2002), memperbaiki agregasi tanah tererosi (Rillig & Mummey 2006), dan meningkatkan aktivitas jasad renik di rizosfer (Duponnois et al. 2005).

Waktu inokulasi merupakan tahap yang penting dalam pemanfaatan FMA karena akan menentukan keberhasilan seperti dikemukakan Seagel (2001) yang dikutip Alimudin (2006) menyarankan agar sebaiknya inokulasi dilakukan seawal mungkin dalam fase pertumbuhan tanaman. Inokulasi FMA yang dilakukan seawal mungkin akan berperan penting terhadap pertumbuhan dan hasil, terutama pada tanaman-tanaman berumur pendek (Black & Tinker 1979). Sohn et al. (2003) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa inokulasi FMA yang dilakukan lebih awal yaitu pada saat di pembibitan menghasilkan pertumbuhan, serapan hara makro yang nyata lebih tinggi serta waktu berbunga krisan lebih cepat dengan kualitas bunga yang lebih baik dibandingkan waktu inokulasi setelah transplanting maupun kontrol. Inokulasi FMA pada fase mikropropagasi memberikan bobot segar dan bobot kering biomass serta laju fotosintesis yang lebih tinggi dibanding inokulasi setelah aklimatisasi pada pisang (Subhan et al. 1998; Yano-Melo et al. 1999). Produksi metabolisme sekunder camptotechin meningkat signifikan pada tanaman yang inokulasi FMA umur 20 hari di persemaian dan inokulasi pada umur 60 hari meningkatkan produksi biomassa (Yang et al. 2010) Selain waktu, cara inokulasi juga perlu mendapat perhatian, prinsip dasarnya adalah inokulum FMA perlu berdekatan atau bersentuhan langsung dengan akar tanaman inang (Setiadi 2007; Mardatin 2007).

Sampai dengan saat ini belum banyak informasi dan penelitian mengenai waktu inokulasi FMA pada tanaman. Informasi tersebut menjadi penting, utamanya pada tanaman-tanaman merambat yang pada setiap ruas atau bukunya tumbuh anakan baru. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan studi untuk mencari waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap pertumbuhan, perkembangan, produksi biomassa dan asiatikosida pegagan. Rekomendasi dosis maksimal untuk

104 

menghasilkan biomassa tertinggi yang diperoleh dari hasil penelitian Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan di andosol adalah sebesar 483.3 kg ha-1 batuan fosfat, dan 339 kg ha-1 tepung tulang sapi.

Bahan dan Metode

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan waktu inokulasi FMA yang tepat pada kombinasi dosis maksimal dari dua sumber pupuk P alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, biomassa serta produksi asiatikosida. Tempat dan Waktu :

Penelitian akan dilaksanakan di Kebun Percobaan Gunung Putri (Balitro), Pacet, Kabupaten Cipanas pada ketinggian tempat 1500 m dpl dengan jenis tanah Andosol dilaksanakan dari bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Juli 2011. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan terdiri dari: aksesi Boyolali (aksesi dengan kandungan bioaktif tinggi), inokulum FMA campuran (mix) Cicurug, bahan lain yang digunakan antara lain adalah pupuk kandang, abu sekam, tepung tulang sapi, batuan fosfat, polybag, bahan-bahan untuk analisis kandungan hara pada jaringan, bahan-bahan untuk analisis kandungan klorofil, bahan-bahan kimia untuk analisis kandungan asiatikosida, kertas saring, aquades, bahan kimia untuk pewarnaan akar : larutan trypan blue, KOH 10%, HCl 2%, H2O2, gliserol, asam laktat.

Peralatan yang digunakan terdiri dari: peralatan tanam (cangkul, tugal), Automatic leaf area meter, jangka sorong, seperangkat alat penyaring sieving, seperangkat alat untuk sterilisasi tanah, gelas ukur, kaca obyek, kaca penutup, pinset, pipet, pisau scalpel, cawan petri, mikroskop, timbangan analitik, timbangan kasar, ayakan, oven, seperangkat alat untuk analisis serapan hara, kandungan klorofil, dan kandungan asiatikosida alat ukur dan alat tulis.

Metodologi Penelitian

Penelitian lapang menggunakan Rancangan Petak Terbagi (split plot design). Faktor pertama yang diuji adalah pupuk P alami sebagai petak utama (main treatment dengan dua taraf, yaitu: (1) dosis maksimal batuan fosfat (483 kg ha-1), dan (2) dosis maksimal tepung tulang sapi (340 kg ha-1) yang didapatkan pada penelitian ‘Kajian pemanfaatan FMA dan pemupukan P alami dari dua sumber pupuk terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman pegagan pada tanah andosol’. Faktor kedua sebagai anak petak adalah waktu inokulasi FMA, yaitu: (1) tanpa FMA, (2) inokulasi FMA di pembibitan, (3) inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada saat tanam, (4) inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 30 hari setelah tanam (hst), dan (5) inokulasi FMA di pembibitan + inokulasi pada stolon 60 hst. Kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 30 petak percobaan, setiap petak berukuran 3 m x 4 m, jarak tanam 30 cm x 40 cm, jumlah populasi tiap petak sebanyak 50 tanaman. Denah percobaan disajikan pada Lampiran 8.

Model aditif linier dari Rancangan Petak Terbagi adalah sebagai berikut (Sastrosupadi 2000; Mattjik & Sumertajaya 2002):

Yijk = µ + Bi + Pj + γij + Mk + (PM)jk + εijk

Dimana :

Yijk = nilai pengamatan pengaruh pupuk P ke-j, FMA ke-k, dan ulangan ke-i

µ = nilai tengah umum

Bi = pengaruh Blok ke-i (i=1,2,3)

Pj = pengaruh pupuk P ke-j (j=1,2)

γij = pengaruh galat yang muncul pada pupuk P ke-j, dan ulangan ke-i

Mk = pengaruh FMA ke-k (k=1,2,3,4,5)

(PM)jk = pengaruh interaksi antara pupuk P ke-j dan FMA ke-k

εijk = pengaruh galat anak petak, pupuk P ke-j, FMA ke-k, dan pada ulangan

ke-i

Pelaksanaan penelitian dimulai dari persiapan media tanam, penyiapan inokulum FMA, persiapan bahan tanam, penanaman, pemeliharaan tanaman,

106 

pengamatan, dan analisis di laboratorium. Teknik budidaya mengacu pada Januwati dan Yusron (2005).

Pelaksanaan Penelitian Pembibitan

Pembibitan pegagan dilakukan dalam polybag berukuran (10 cm x 15 cm), dengan media pembibitan adalah campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1 yang sebelumnya sudah disterilkan, media tanam selanjutnya dibasahi kemudian dibuat lubang tanam. Sumber bibit berasal dari stek stolon 3 ruas dari induk tanaman pegagan yang sehat. Sebelum bibit pegagan ditanam, inokulum FMA sebanyak 20 g dimasukan terlebih ke dalam lubang tanam, sehingga diharapkan terjadi kontak antara FMA dengan akar tanaman. Sedangkan bibit yang nantinya untuk perlakuan penelitian tanpa mikoriza tidak dilakukan inokulasi. Untuk menghindari kontaminasi (mikoriza dan non mikoriza) antar bibit dipisahkan dalam bak-bak plastik yang berbeda, demikian pula penempatannya saling berjauhan, selanjutnya bibit ditempatkan pada tempat yang teduh. Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiraman dan pengendalian hama serta penyakit bila ditemukan gejala serangan. Bibit siap ditanam pada umur 1 bulan.

Pengolahan tanah

Pengolahan tanah dilakukan 2 kali, pengolahan pertama ditujukan untuk membalik lapisan tanah sedalam lapisan olah sekaligus mengendalikan gulma selanjutnya dibiarkan satu minggu. Pengolahan tanah kedua dilakukan untuk membuat bedengan/petak percobaan dan saluran drainase, selanjutnya dilakukan penggemburkan tanah hingga diperoleh media tumbuh yang baik bagi tanaman. Ukuran bedengan adalah 2 m x 3 m, tinggi bedengan 30 cm, jarak antar perlakuan 40 cm dan antar ulangan 50 cm yang dipisahkan oleh saluran drainase.

Penanaman

Sebelum dilakukan penanaman, dibuat lubang tanam pada media sebesar ukur pot bibit dengan lebar 10 cm dan kedalaman 15 cm, jarak tanam 30 cm x 40 cm sehingga populasi setiap petak percobaan sebanyak 50 tanaman. Bibit yang

sehat berumur kurang lebih empat minggu (4–5 daun), dipindahkan dari pot pembibitan ke dalam lubang tanam masing-masing satu bibit secara hati-hati sehingga akar masih menyatu dengan media tumbuh bibit, selanjutnya bumbun lubang tanam dan tekan pada permukaan tanah sehingga bibit berdiri tegak.

Aplikasi Perlakuan Penelitian

Pupuk kandang sapi dengan dosis 20 ton ha-1 dan abu sekam dengan dosis 1.55 ton ha-1 diberikan secara bersamaan dengan pengolahan tanah terakhir dengan mencampur dan mengaduk secara merata pada bedengan percobaan, sedangkan aplikasi pupuk batuan fosfat dan tepung tulang sapi dilakukan sesudah tanam dengan membuat lubang terlebih dahulu menggunakan tugal berjarak 7–10 cm dari lubang tanam. Pupuk diberikan seluruh dosis pada saat tanam.

Inokulasi FMA dilakukan berdasar perlakuan. Perlakuan M1 (inokulasi

FMA dilakukan pada saat pembibitan); perlakuan M2 (inokulasi FMA dilakukan

pada saat penanaman dengan cara memasukkan inokulum terlebih dahulu pada lubang tanam sebelum tanam); perlakuan M3 (inokulasi FMA dilakukan pada

umur 30 hst tanam dengan cara membuat lubang di sekitar daerah perakaran pada anakan tanaman yang terbentuk pada stolon primer); dan perlakuan M4 (inokulasi

FMA dilakukan pada umur 60 hst tanam dengan cara membuat lubang di sekitar daerah perakaran pada anakan tanaman yang terbentuk pada stolon primer). Teknik inokulasi dengan memberikan pada daerah perakaran dimaksudkan agar terjadi kontak langsung antara FMA dengan akar tanaman, sehingga diharapkan proses asosiasi lebih cepat terjadi. Dosis FMA yang diberikan sebanyak 2 tablet FMA (10 g) per tanaman/anakan.

Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi penyiraman, penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Pada umumnya pemberian air/penyiraman tidak dilakukan kecuali jika dibutuhkan terutama pada awal pertumbuhan tanaman setelah transplanting, mengingat lokasi penelitian merupakan lahan kering dataran tinggi yang sumber air berasal dari air hujan dan sumber air alami.

Penyiangan dilakukan terhadap gulma dan tumbuhan liar di areal pertanaman pegagan, penyiangan dilakukan secara periodik 2-3 minggu sekali

108 

dengan melihat kondisi gulma. Sedangkan pengendalian hama penyakit dilakukan apabila ditemukan gejala serangan.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap semua satuan percobaan, pengamatan karakter agronomi mengacu pada panduan deskriptor yang dikembangkan khusus untuk tanaman pegagan dengan beberapa modifikasi (Bermawie et al. 2006), meliputi : (a) jumlah daun tanaman induk (dihitung jumlah daun pada tanaman induk yang sudah membuka sempurna), (b) panjang tangkai daun (diukur dari permukaan tanah hingga ujung tangkai daun), (c) diameter tangkai daun (diukur pada bagian tengah tangkai daun menggunakan jangka sorong), (d) tebal daun (diukur menggunakan jangka sorong), (e) panjang daun (diukur dari pangkal daun sampai ujung daun), (f) lebar daun (diukur lebar daun terlebar), (g) luas daun total (diukur dengan menggunakan alat leaf area meter), (h) jumlah daun total (dihitung jumlah keseluruhan daun pada tanaman), (i) jumlah stolon primer (dihitung jumlah stolon yang tumbuh dari tanaman induk), (j) jumlah stolon sekunder (dihitung jumlah stolon yang tumbuh pada stolon primer), (k) jumlah buku pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpanjang), (l) jumlah buku pada stolon primer terpendek dihitung jumlah buku/ruas pada stolon primer terpendek), (m) jumlah daun pada stolon primer terpanjang (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpanjang), (n) jumlah daun pada stolon primer terpendek (dihitung jumlah daun pada stolon primer terpendek). Karakter pigmen yang diukur (a) klorofil a, (b) klorofil b, (c) klorofil total. Komponen hasil dan hasil yang diamati: (a) bobot kering terna (ditimbang bobot kering terna per tanaman/pot), (b) bobot kering daun (ditimbang bobot kering daun per tanaman/pot), (c) panjang akar (diukur dari pangkal batang sampai ujung akar), (d) bobot kering akar (ditimbang bobot kering akar tanaman induk dan anakan). Komponen hara yang diamati meliputi: (a) kadar hara N (dilakukan analisis kadar N daun), (b) kadar hara P (dilakukan analisis kadar P daun), (c) kadar hara K (dilakukan analisis kadar K daun), (d) Serapan hara N daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar N daun dengan bobot kering daun), (e) serapan hara P daun (dihitung dengan mengalikan antara kadar P daun

dengan bobot kering daun), (f) serapan hara K (dihitung dengan mengalikan antara kadar K daun dengan bobot kering daun). Pengamatan kadar hara jaringan dilakukan di laboratorium Pasca Panen Balittro mengikuti metode baku analisis hara jaringan. Sampel daun yang dianalisis mengacu Ghulamahdi et al. (2009) yaitu : untuk kadar N pada posisi daun ke-4 tanaman induk, kadar P pada posisi daun ke-3 tanaman induk, dan kadar K pada posisi daun ke-4 tanaman induk. Pengamatan pigmen (klorofil daun) dilakukan di laboratorium Analisis Tanaman dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB mengikuti prosedur Sims & Gamon (2002). Pengamatan kandungan asiatikosida dilakukan di laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB, mengikuti prosedur Rafamantana et al (2009).

Pengamatan kolonisasi FMA dilakukan di laboratorium Ekofisiologi Balittro Bogor menggunakan metode pewarnaan akar dari Philips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi Koske dan Gemma (1989) sebagai berikut. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti perendaman dalam larutan KOH 10% dan dipanaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 15 menit. Langkah selanjutnya akar dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan KOH dan direndam dalam larutan H2O2 selama

10-30 menit. Cuci akar dengan air mengalir sampai bersih selanjutnya direndam dalam larutan HCl 1% selama 5–10 menit. Pindahkan larutan HCl dan akar direndam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin dan larutan tryphan blue 0.05% panaskan pada suhu 90 0C selama 1 jam atau 120 0C selama 5 menit. Akar siap diamati, kolonisasi ditandai dengan kenampakan struktur hifa, vesíkula, arbuskula atau salah satu dari ketiganya di bawah mikroskop. Kolonisasi FMA pada akar tanaman (diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati). Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai berikut : < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6–25% = Rendah (Kelas 2), 26–50% = Sedang (Kelas 3), 51–75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat tinggi (Kelas 5).

110 

Prosedur pengujian kadar asiatikosida

Pengujian kadar asiatikosida dilakukan pada laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB mengacu metode Rafamantana et al (2009) yang dimodifikasi sebagai berikut:

1. Persiapan contoh

Daun pegagan dikeringkan dengan blower (suhu 40o C selama 7 jam), selanjutnya digiling dan diayak menggunakan ayakan berukuran 40 mesh. Timbang sebanyak 1 gram serbuk pegagan, tambahkan 10 ml methanol p.a. Kocok diatas alat sonikasi selama 20 menit, cairan ekstrak tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan ampasnya diambil untuk di ekstrak kembali sampai 3 kali masing-masing dengan methanol p.a sebanyak 10 ml. Ekstrak dari ampas tersebut disatukan dengan ekstrak pertama untuk dimasukkan ke dalam labu ukur yang sama selanjutnya diencerkan dengan methanol p.a dan diimpitkan sampai tanda batas.

2. Penetapan contoh

Ekstrak disaring dengan menggunakan kertas saring Whattman no. 42, kemudian disaring kembali untuk kedua kalinya dengan kertas saring millipore ukuran 0,2 μm. Suntikan cairan tersebut ke dalam KCKT/HPLC sebanyak 20 μl dengan menggunakan fase gerak Asetonitril (CH3CN): air (20:80) dan kecepatan

alir 1 ml/menit pada panjang gelombang 206 nm. 3. Pembuatan larutan standar

Timbang ekstrak asiatikosida dengan teliti sebanyak 2 mg dengan menggunakan neraca analitis, selanjutnya masukkan ke dalam labu ukur 10 ml untuk diencerkan dengan methanol p.a dan diimpitkan sampai dengan tanda batas. 4. Penetapan standar

Suntikan larutan standar asiatikosid 200 ppm sebanyak 20 μl ke dalam KCKT/HPLC dengan menggunakan fase gerak Asetonitril (CH3CN) : air (20:80)

5. Perhitungan kadar asiatikosida % Asiatikosida = 100 % 6 10 X x pelarut sp bobot fp x std lar x std area luas sp area luas ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ Keterangan: [sp] : contoh [std] : standar lar std : larutan standar fp : faktor pengenceran

Analisis data

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam untuk mengetahui pengaruh masing-masing faktor dan interaksinya, jika hasil analisis ragam menunjukan adanya pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s Multiple Range Test dan uji Kontras Ortogonal. Analisis ragam menggunakan program SAS versi 9.1

Hasil dan Pembahasan

Pupuk fosfor (P) alami tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali terhadap jumlah daun total, hal tersebut bermakna bahwa batuan fosfat dan tepung tulang sapi merupakan sumber pupuk P alami alternatif yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Inokulasi FMA memberikan pengaruh nyata dan sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati, kecuali jumlah daun induk, panjang tangkai daun, klorofil a, klorofil b dan total klorofil. Pupuk P alami berinteraksi nyata dengan inokulasi FMA terhadap jumlah stolon sekunder dan produksi asiatikosida. (Tabel 23).

112 

Tabel 23 Rangkuman hasil analisis ragam pengaruh waktu inokulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada dosis maksimal batuan fosfat dan tepung tulang sapi terhadap peubah yang diamati

No Peubah P FMA P*FMA CV

1. Jumlah daun tanaman induk tn tn tn 36.99

2. Panjang tangkai daun tn tn tn 15.06

3. Jumlah stolon primer tn * tn 20.21

4. Jumlah stolon sekunder tn ** * 6.85

5. Jumlah buku pada stolon terpanjang tn * tn 9.08 6. Jumlah buku pada stolon terpendek tn * tn 14.65

7. Stolon terpanjang tn * tn 8.85

8. Jumlah daun total * * tn 23.90

9. Luas daun total tn * tn 19.96

10. Klorofil A tn tn tn 14.51 11. Klorofil B tn tn tn 16.66 12. Total Klorofil tn tn tn 14.87 13. Serapan hara N tn * tn 30.14 14. Serapan hara P tn * tn 26.54 15. Serapan hara K tn ** tn 24.83

16. Infeksi akar pada tanaman induk tn ** tn 6.54 17. Infeksi akar pada tanaman induk * ** tn 6.56

18. Bobot kering akar tn * tn 24.18

19. Bobot kering daun tn ** tn 23.67

20. Bobot kering terna tn * tn 26.42

21. Bobot kering total tn * tn 25.59

22. Produksi asiatikosida tn ** * 23.85

Jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, jumlah stolon primer dan jumlah stolon sekunder

Batuan fosfat dan tepung tulang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman induk, panjang tangkai daun, dan jumlah stolon primer. Dari Tabel 24 terlihat bahwa antara batuan fosfat dan tepung tulang sapi pengaruhnya tidak berbeda terhadap pertumbuhan tanaman pegagan, hal tersebut bermakna bahwa kedua pupuk P alami tersebut sama baiknya sebagai sumber P alternatif.

Waktu inokulasi FMA tidak berpengaruh nyata (P> 0.05) terhadap jumlah daun tanaman induk dan panjang tangkai daun, akan tetapi berpengaruh nyata (P< 0.05) terhadap jumlah stolon primer. FMA tidak berpengaruh nyata terhadap karakter pertumbuhan yang berkaitan dengan tanaman induk, seperti jumlah daun dan panjang tangkai daun. Diduga tanaman induk kurang kompetitif dalam mendapatkan hara, air dan cahaya dibandingkan dengan tanaman anakan sehingga

pasokan karbon fotosintat dari tanaman ke FMA dan peningkatan serapan hara